This is me....

Minggu, November 02, 2014

The Jengkol Heirs (Part 5: Memulai Hari Menjadi Anak Juragan Jengkol)

Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..

Mereka hari itu resmi pindah ke rumah mendiang Paijo setelah 3 hari kematian lelaki itu. Ketika sampai dirumah yang besar itu, Minho malah senang sekali, dia berteriak-teriak pada Sri, kakak angkatnya itu.
“Mbak’e.. Eotteon keun jib!! Manse! (rumahnya besar banget... hore!-red),” dia malah bicara pada kakak angkatnya itu dengan bahasa korea, senang kalau rumah barunya besar sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi karena kesenangan.
Jaesaenghal su isseoyo, Mbak’e (aku bisa bebas main-red) ,” kata Minho senang. Dia langsung mengeluarkan mobil-mobilan kulit jeruk walau sudah rusak dan ada yang hilang rodanya, tetap dia berwajah ceria, main dan langsung berlari-lari di ruangan tengah yang besar itu.
Sri tetap tidak faham apa maksud perkataan Minho kecil itu, dia hanya melihat adik angkatnya itu asik berputar-putar bermain dengan mobil-mobilan yang sudah rusak itu.
pean dolan dewek ya, dek.. aku sibuk beres kamar ku dewek,” kata Sri bicara padanya, kalau dia hari itu sibuk harus bereskan kamarnya sendiri, tapi Minho hanya memandang dia, tidak mengerti lalu melanjutkan mainnya.


pean yang anteng yo, Lek.. semua sibuk beresin barang,” kata Suparno, berjongkok lalu mengusap kepala Minho.
Tuminah, isteri mendiang Paijo menghampiri Suparno,”ini yang kamu bilang anak wong korea sing ilang iku, No??”
Suparno mengangguk mengiyakan,”Iya Bude.. “
Tuminah mencoba berjongkok di depan Minho yang berdiri diam di depan Suparno,”pean ngganteng, Lek.. cah bagus.. tinggal nang kene wae yo... karo mbah puteri,” senyum Tuminah padanya
Minho hanya membalas senyuman orangtua itu dengan senyum lagi.
ora iso boso indonesia, Bude.. opo meneh jowo.. biasa ne cuma Pak’e, Mbak’e, Bu’e, Abang,” keluh Suparno
sing penting bocah ki ora nakal,” kata Tuminah,”mudah-mudahan kamu gak nakal ya, ngger.. baik-baik dadi menungso”, Tuminah menasehati Minho yang masih kecil supaya jadi manusia yang baik dan gak nakal.
Minho hanya tertawa, walau sebenarnya dia tidak mengerti apa yang dibicarakan Tuminah barusan. Lalu dia melanjutkan mainnya.

pean gak cari dimana orangtuane, No??,” tanya Tuminah sore hari ketika istirahat. Semua barang dari rumah Suparno ke rumahnya sudah dipindahkan. Tuminah melihat Minho yang main bersama Sri dan diajarkan Sri bahasa Indonesia.
sebener’e aku mau laporkan ke polisi, Bude.. tapi kasian karo Sri.. dia sayang banget sama Minho kui.. akhirnya wes ta’ urus surat keluarga, kalau Minho anak angkat ku,” jawab Suparno
“ra kebayang aku, pean bisa ambil bocah kui,” jawab Tuminah
nyasar, Bude,” kata Suparno. Dia memang tidak merasa mengambil dan Minho memang ikut di belakangnya tanpa dia ketahui.
ben nyasar kui mestinya dibalikaken (harusnya kalau tersasar ya dibalikin),” kata Tuminah.
lama-lama dia bakalan lupa orangtuane nang ndi,” lanjut Tuminah lagi.
Suparno sebenarnya memendam rasa bersalah, tetapi juga memendam sebuah keinginan mengabulkan keinginan anaknya, Sri.
“aku ndak salahkan kamu, No... cuma berfikir saja.. piye perasaan orangtuanya?? Kalau umur rong taun memang masih gak ingat siapa orangtuane,” kata Tuminah.
Suparno jadi mikir lagi.

Malam itu, Suparno langsung bekerja di ladang jengkol yang sudah menjadi miliknya. Dia mengumpulkan para karyawan yang terlebih dahulu sudah setia menjual jengkol serta hasil kebun mendiang Paijo sebelumnya.
“Aku diamanati almarhum Pakde Paijo supaya kalian tetap jualan.. saiki aku yang pegang usahane Pakde almarhum,” kata Suparno membuka pembicaraan pertama.
Para karyawan itu mengaku sedih memang ditinggalkan Paijo, terlebih lagi memang orangtua itu menolong mereka usaha dan punya pekerjaan.
aku wes catet gaji kalian piro, jadi aku pegang catetan almarhum nang kene,” kata Suparno menunjukkan buku besar yang semua berisi catatan gaji karwayan, kecuali penjual jengkol.
yen ta’ hitung-hitung.. kalian semestine dapet bagian 60% hasil dodolan jengkol’e... Pakde Paijo kemarin kan cuma kasih 50%, saiki ta’ tambah dadi 60%..,” kata Paijo ngobrol dengan para pedagang.
Minho duduk dipangku oleh Suparno malam itu sambil dia tetap asyik memainkan mobilan kulit jeruk yang sebenarnya sudah rusak. Sama sekali dia tidak marah dengan Yudi yang sudah merusak mainan dari Sri.
“ngengggg........unggg........ngeeenggggg,”suara kecilnya ribut meniru-niru mesin mobil yang melaju kencang. Beberapa karyawan dan pedagang jengkol dan sayuran ketawa lihat tingkahnya.
“Pak’e.. car.. car,” katanya pada Suparno, yang artinya mobil. Dalam usia 2 tahun sebelum dinyatakan hilang itu, Minho memang sempat diajarkan orangtuanya berbahasa inggris kosakata ringan.
Opo, Lek??,” tanya Suparno pada Minho, selingan kala mereka ngobrol.
Seorang pedagang jengkol yang lulusan SMA mengerti apa maksud Minho,”kui artine mobil, Pakde No,” katanya pada Suparno.
car,”kata penjual jengkol itu pada Minho.
Car, Abang.. car,” kata Minho menoleh pada Trisno yang penjual jengkol lulusan SMA itu.
yes.. this is car,” jawab Trisno dengan logat bahasa jawa inggris yang kental. Minho tertawa pada Trisno
ramah tenanan ki bocah, Pakde.. ,” kata Trisno, senang dengan sifat Minho yang ramah.
“kui bocah’e adek Juminah bojoku.. kasian bapak’e mangkat, dadi kita sing urus,” ternyata Suparno malah jadi berbohong pada para karyawannya, bilang Minho anak dari adik isterinya yang suaminya meninggal, jadi dirawat mereka.
Para karyawan cuma mengatakan,”ooo” saja.
yo wes.. aku diamanati karo Pakde almarhum.. kita mesti gawe sing rajin.. jangan sampe gak ono gawean karena dadi males.. ben pean ono masalah, cerito karo aku,” kata Suparno mengingatkan para karyawannya kembali pesan dari Paijo almarhum supaya mereka rajin kerja dan jangan ragu untuk curhat kalau memang ada masalah.

Mereka ngobrol sampai malam sekitar jam 21.00 lewat. Sri lalu melihat Minho di depan yang ternyata sedang dikecengin para karyawan dan pedagang dengan disuruh bernyanyi bahasa korea.
Minho pun bernyanyi bahasa korea, karena Trisno ternyata iseng-iseng mengajak Minho pelan-pelan dengan bahasa inggris supaya bernyanyi.
come on.. sing,” kata Trisno dengan logat jawa inggrisnya sambil bertepuk tangan, memancing Minho untuk bernyanyi dan joget.
Minho lalu bertepuk tangan, bernyanyi dan joget-joget sendiri, sementara Trisno dan para karyawan lainnya yang sudah harus mengangkat berkarung-karung jengkol buat para pedagang malah jadi ikutan tertawa, sorak-sorak dan tepuk tangan ketika Minho nyanyi dan joget di dipan teras rumah tanpa malu sama sekali pada kumpulan orangtua itu.
ealah.. Pakde Trisno nanggapin adekku,” keluh Sri,”mengko dia ngompol kalau keakehan dolan”. Sri ketakutan kalau Minho banyak main sebelum tidur, nanti dia besok paginya bakalan ngompol.
Trisno dan yang lain malah tertawa,”lucu tenan adek mu ki, Sri..
Sementara ternyata Yudi memperhatikan tingkah Minho dari jauh.
cah koyo kui kok disayang sih?? Aneh tenanan kabeh,” gerutu Yudi dari kejauhan, dia tidak ingin melihat Minho sudah mulai akrab dengan para karyawan dan pedagang ayahnya sendiri.
Minho sudah lelah, akhirnya Sri menggendongnya supaya ke kamar supaya tidur. Sementara para karyawan dan pedagang jengkol dan sayuran masih tetap kumpul membawa barang-barang jualan mereka nanti untuk dini dan pagi hari.
Yo, Lek.. sana turu.. sesuk dolan meneh karo aku,” kata Trisno mengelus kepala Minho supaya istirahat karena anak kecil tidak sebaiknya tidur malam.
Sri mengajarkan Minho untuk pamit pada semuanya dengan bahasa, tapi dia malah mengingat bahasa inggris dan bilang,”Goodbye, Abang.. emuach”, sambil melambaikan tangannya dengan ekspresi kiss-bye alias mencium tangannya sendiri ke bibirnya dan ditujukan pada Trisno dan yang lain. Pedagang yang lain malah tertawa melihat tingkah lucu Minho. Sri lalu membawanya masuk.

pean ndak turu, Yud??,” tanya Juminah ketika dia melihat Yudi duduk cemberut di depan ruang tengah, nonton tv, menyuruh anaknya itu tidur karena hari sudah mulai malam.
durung ngantuk,”jawab Yudi singkat dengan nada agak judes, kalau dia belum mengantuk.
Bu’e... aku arep tuku Tamiya meneh,” lanjutnya lagi, dia minta dibelikan mainan mobilan balap yang baru.
Bu’e durung ono duite.. nanti Bu’e minta pada Bapak’e,” balas Juminah. Dia harus menunggu suaminya memberikan tambahan uang kalau Yudi memang mau mainan lagi.
Mainanku wes rusak meneh, Bu’e! Ben Bu’e ndak tuku buat ku..aku mabur!,” Yudi malah membentak ibunya sendiri kalau dia harus dibelikan mainan besok.
Juminah menarik nafasnya, tidak menyangka anaknya bisa seberani itu membentak dan mengancamnya kabur dari rumah.
“nanti Bu’e bilang sama Pak’e mu, Lek..,” balas Juminah.
Yudi langsung berjalan masuk ke kamar barunya, Juminah mengatakan,” cuci kaki mu dulu, Lek”
Yudi tetap tidak peduli atas perkataan ibunya sendiri, dia malah membanting pintu.
“Aku harus bicara ini sama Bapak’e,” kata hatinya Juminah, dia miris melihat apa yang sudah terjadi pada anak lelakinya itu. Sementara diluar, Suparno masih sibuk mengurus dagangannnya.

Hari-hari berikutnya...
Yudi pagi-pagi sibuk minta mainan baru pada Suparno. Mereka sedang makan pagi sama-sama. Sri sibuk menyiapkan buku sekolahnya dan dia juga membantu Juminah menyuapi Minho. Tuminah ikutan makan pagi bersama mereka.
“Pak’e.. aku minta duit.. buat tuku Tamiya,” kata Yudi, minta uang beli mobilan Tamiya baru lagi.
“loh.. tamiya sampean kemarin ndi??,” tanya Suparno heran. Sebelum Tamiya awalnya yang dia banting rusak, Suparno sudah membelikan tamiya baru lagi, masak iya baru satu hari sudah minta beli yang baru? Hal itu membuat Suparno heran.
pean tuku mobilan terus.. buat apa, Lek??,” tanya Tuminah pada Yudi. Dia juga penasaran, dia melihat anak itu memang semakin manja kalau tidak dituruti kemauannya.
Yudi diam saja, tidak menjawab pertanyaan Tuminah, nenek angkatnya itu.
ojo dimanja.. mainan ne akeh,” kata Tuminah tegas pada Suparno. Dia tidak ingin Yudi gampang dimanja oleh keluarga Suparno supaya di kehidupan masa datang dia tidak jadi orang mudah patah semangat.
Yudi malah terkesan melawan perkataan Tuminah,”aku ora manja, Mbah puteri.. aku cuma mau tamiya sing anyar”. Dia masih ngotot memang ingin mobilan tamiya baru.
Tamiya mu kui akeh.. tapi ben Minho arep pinjem aja.. angel tenan (mainan tamiya kamu banyak, tapi kalau Minho mau pinjam, susah),” keluh Sri pada Yudi.
“lebih baik ta’ kasih ke temenku daripada kasih dia,” jawab Yudi ketus sambil makan.
“enggak boleh gitu, Lek.. dia kan adikmu,” kata Juminah
sopo bilang dia adikku?? Emoh aku duwe Adik pungut dari pasar (gak mau aku punya adik ambil dari pasar),” balas Yudi ketus.
Ojo iri karo Minho..!,” Sri yang tadinya menyuapi Minho yang masih sambil main di lantai, malah menghampiri Yudi, marah dengan pernyataan adiknya yang terakhir dengan Yudi bilang kalau Minho cuma anak pungut dari pasar.
Lek.. kenapa bahasa mu dadi kasar??,” keluh Juminah pada Yudi
“Iyo.. bener toh?? Pak’e pungut dia dari pasar??,” tanya Yudi lagi pada Sri. Dia jadi berdiri didepan kakaknya itu, lalu berkacak pinggang di depan Sri.
wes.. ojo ribut.. Minho kui adikmu.. mau diambil dari mana saja.. dia adikmu,” Suparno mengeluarkan suara tegasnya. Dia lalu menasehati anaknya Yudi, kalau sikap seperti itu tidak baik dan hanya bikin suatu hari Minho bisa sedih.
dudu urusan ku (bukan urusanku),” kata Yudi,”aku cuma mau dibelikaken tamiya sing anyar,” dia tetep ngotot pada ayahnya minta dibelikan tamiya baru.
Minho berjalan menghampiri Sri,” aku mau makan.. Mbak’e,” katanya. Dia masih lapar.
Lalu dia ramah melihat Yudi dan bertanya,”abang.. sekolah??”, karena melihat kakak angkatnya itu memakai seragam sekolah.
Ojo pura pura manis karo aku!,” bentak Yudi pada Minho yang memang masih polos itu. Dia lalu menggeser badan Minho dan anak kecil itu hampir jatuh. Sri buru-buru menangkap badan Minho sebelum jatuh.
Tega tenan kowe!,” teriak Sri pada Yudi.
Ra urus..!!! aku pergi dulu, Pak’e.. Bu’e,” kata Yudi cuek, sama sekali tidak cium tangan.
Suparno ngelus dada dengan kondisi sikap anaknya. Dia berjanji akan bicara baik-baik dari hati ke hati siang ini pada Yudi selepas dia pulang sekolah. Tuminah melihat kejadian itu dengan tidak habis pikir.

Sri menghampiri ayahnya, mengeluh soal tabiat Yudi pada Minho
aku wedi, Pak’e ... wedi.. mengko Yudi arep nyelakain Minho,” Sri ternyata ketakutan kalau suatu hari nanti Yudi bisa mencelakai Minho.
Ojo dipikirken, Nduk.. Adik mu ndak sejahat itu,” Suparno mencoba menghiburnya, pasti Yudi gak akan sejahat itu mencelakai Minho.
“Pak’e.. uang tabunganku sudah habis.. hari ini aku mau belikan Minho tamiya,” kata Sri lagi.
Suparno tanya berapa harga tamiya itu, Sri menyebut angka sepuluh ribu dan Suparno mengeluarkan uangnya.
“simpan uang mu saja,” kata Suparno. Dia berjongkok di hadapan Minho,”beli.. car ya??”, katanya ramah pada Minho.
car, Pak’e.. aku mau,” senyum Minho, dia bergayut pada badan Suparno.
Suparno tertawa dengan tingkah manja Minho,”habis makan.. kita jalan-jalan ya, Lek..”, dia lalu menggendong Minho.
“Aku pergi dulu, Pak’e.. Bu’e.. Mbah,” Sri pamit sekolah pada kedua orangtua dan Tuminah dan cium tangan mereka, dia tetap pergi dengan sepeda ke sekolahnya.
“nanti sore kita jalan-jalan ya,” senyum Suparno pada Minho.
“jalan-jalan??,” Minho bingung dengan kata-kata baru yang dia dengar.
Suparno bingung bagaimana menjelaskannya, sebab yang terbiasa akrab dan mengajarkan anak kecil itu adalah Sri. Juminah mengambil Minho dari tangan Suparno, seperti biasa, tiap pagi sehabis Juminah menyiapkan sarapan pagi, dia mengajak anak kecil itu jalan-jalan pagi sambil berbelanja sayuran di tukang sayur lewat. Tapi mulai hari ini, mereka bisa ambil sayur dari kebun sendiri, sehingga Juminah hanya dirumah untuk masak lagi.

Tuminah mengajak Minho berjalan pagi di lahan kebunnya yang sekarang diolah oleh Suparno. Minho menurut saja dituntun oleh orangtua itu.
“sayur... ini bayam,” Tuminah mengajarkan Minho untuk mengenal nama-nama sayuran yang akan dia petik dengan menunjukkan bayam yang dipetik, menyuruh Minho memegangnya.
“Ba.. yam,” sebut Minho meniru perkataan Tuminah.
“pintar pean, Lek..,” senyum Tuminah.
“mbah..,” kata Minho lagi.
“iya.. aku Mbah puterimu,” balas Tuminah lagi
putu, Bude??,” tanya seorang yang lewat di depan kebun bertanya apa Tuminah berada bersama cucunya, sebab semua tahu Tuminah tidak memiliki anak.
dudu .. ki anak’e Suparno (bukan, ini anaknya Suparno),” jawab Tuminah
Ngganteng tenan... beda karo sing liane,” ujar orang itu, dia melihat Minho dari atas ke bawah, beda kulitnya, baik dengan Suparno dan Juminah, juga beda dengan kedua anak mereka.
Tuminah lalu bercanda pada orang itu kalau dia sudah lama tidak melihat Suparno beberapa tahun terakhir dan bilang kalau Minho anak ke tiga dari keluarga Suparno.
Orang itu yang bernama Panjul akhirnya hanya mengangguk saja,”wes suwe ora ketemu karo si Suparno.. mengko dolan nang omahe,
“saiki mereka tinggal nang omahku,” jawab Tuminah pada Panjul bilang kalau Suparno dan keluarga sudah pindah bersama mereka.
“ok lah, Bude.. nanti sore aku dolan nang kana,” balas Panjul. Di hatinya, Panjul berfikir: “kok anaknya Suparno beda banget dengan keluarga mereka dari segi fisik??”, tapi disingkirkannya pikiran itu.
Tuminah masih jongkok di depan Minho yang memegang batang bayam.
“Bayam,” kata Minho percaya diri bilang pada Tuminah.
“Lek.. akeh sing heran karo pean.. Suparno salah langkah ambil kamu, Lek.. dia bisa punya masalah nanti kalau pean besar,” kata Tuminah, tapi dia senyum pada Minho. Merasa memang anak kecil itu tidak bersalah. Dia hanya berfikir, bisa saja suatu hari nanti Minho bawa senang keluarga Suparno atau bahkan membawa petaka.
“Nanti sore jalan-jalan sama Mbah puteri ya... kita beli mobilan, kasian kamu, Lek.. Yudi sepertinya ndak suka karo pean,” kata Tuminah lagi. Dia dari awal hari keluarga Suparno tinggal bersamanya sudah melihat Yudi tidak menyukai anak kecil itu.
“itu makanya.. aku doa buat pean.. semoga kalau pean mengko wes gede.. dadi wong bagus lakune”, kata Tuminah lagi
Minho cuma senyum dengan perkataan Tuminah, dia memang belum mengerti kalau dunia ini pasti akan ada orang sayang atau benci dirinya. Dia hanya bisa merasa, Tuminah yang menyuruhnya memanggilnya dengan sebutan “mbah puteri” adalah orang yang baik baginya.
mbah.. suka,” jawab Minho polos. Tuminah lalu mengajak jalan lagi Minho beberapa ratus meter untuk memetik kacang panjang dan dia mengajarkan lagi anak kecil itu nama-nama tumbuhan dan hewan yang mereka temui.
Minho senang pagi itu dia bisa belajar dan juga dekat dengan Tuminah yang sudah dia panggil “Mbah”.

Tuminah duduk di kursi makan dekat dapur bersama Juminah.
aku kawatir karo anakmu kui, Yudi.. lakune kasar karo Minho.. keliatan tenan,” kata Tuminah memulai pembicaraan ketidakenakan hatinya dengan tingkah Yudi yang kasar pada Minho yang juga dia anggap cucunya sendiri. Sementara di dekat mereka, Minho anteng saja bermain mobilan bekas dari kardus bungkus rokok yang dibuatkan Sri kemarin malam.
“sudah berapa lama seperti itu?,” tanya Tuminah pada Juminah
Juminah memberhentikan menyiangi sayur bayamnya,” sejak pertama kali Minho tinggal sama kita, Bude”
“makin kawatir aku,” ujar Tuminah.
Juminah lalu berkata kalau dia akan menasehati Yudi pelan-pelan sehabis dia pulang sekolah hari ini.
“Ini anak masih polos, Jum.. dia belum ngerti ada orang benci atau sayang dengan dia,” kata Tuminah lagi. Dia berdiri lalu menuju wastafel, mencuci sayuran yang sudah disiangi.
Juminah memang berfikir kalau Minho kecil ini terlihat polos dan murni. Dia merasa memang anaknya sendiri, Yudi yang terlalu iri. Awalnya Juminah tidak memperdulikan, karena kebutuhan Minho yang masih kecil dan juga waktu ditemukan, dia sama sekali tidak memiliki baju. Ternyata perhatian lebih itulah yang membuat Yudi iri pada anak itu.
“ya, Bude.. aku akan nasehati Yudi,” kata Juminah lagi.
Mereka lalu masak untuk makan siang. Sebab Suparno akan pulang siang dari kebun dan persawahan, mengontrol usaha.

Sri pulang dengan senang hati, dia bawa mainan baru buat Minho.
“ini loh.. Mbak’e beli mainan,” katanya ditunjukkan pada Minho, ternyata kartu kwartet dengan berbagai macam gambar kartun.
Minho melihat-lihat gambar yang ada di kwartet itu dan Sri mengajaknya bermain tebak-tebakan.
“ganti baju dulu, Sri.. sebentar pagi Bapak mu pulang,” kata Juminah. Sri menuruti apa kata ibunya
Lalu dia kembali lagi dan bertanya pada Juminah apa Yudi sudah pulang atau belum.
“tadi aku liat Yudi main sama si Amat, si Budi sama si Iwan, Bu’e,” kata Sri. Juminah tanya kemana mereka mainnya tapi Sri menjawab tidak tahu.
“selalu pulang sampai magrib, belum ganti baju sekolah,” keluh Juminah.
“semenjak ada Minho ini??,” tanya Tuminah sambil menghidangkan makanan.
“semenjak dulu, Bude.. tapinya, semenjak ada Minho.. lebih lagi,” keluh Juminah lagi.
dadi masalah,” balas Tuminah singkat,”dibicarakan lagi sama si No”, maksudnya tertuju pada Suparno, supaya Juminah dan suaminya bisa mendidik anaknya sendiri.
“iri, Mbah,” kata Sri.
“mungkin Yudi iri karena kamu manjain Minho??,” tanya Tuminah.
“Yudi enggak mau main sama aku.. aku enggak ada teman main, Mbah.. jadi aku main sama Minho,” jawab Sri.
Sri lalu mengajak Minho main tepuk kwartet. Minho mengikuti gaya Sri menepuk kartu yang diadu telapak tangannya dengan telapak tangan Sri. Dia tertawa-tawa sendiri, menilai bermain itu asyik.
“eh.. kamu menang.. nih.. lihat kartu mu enggak terbalik,” kata Sri pada Minho. Jelas anak kecil itu masih bingung, tidak tahu mana menang, mana kalah, dia hanya melihat Sri memberikan kartunya pada dirinya.
Pean mesti konsentrasi sama Yudi itu,” kata  Tuminah,”aku ndak kawatir sama anak kecil ini.. tapi sama anakmu itu”
Juminah berfikir, apa mungkin dia kembalikan saja Minho ke kantor polisi, demi supaya anaknya Yudi tidak iri lagi padanya?? Tapi dia lihat lagi.. Sri semakin akrab dengan anak kecil itu.

Suparno pulang istirahat dari kontrol sawah dan kebun. Dia sembahyang sebentar lalu makan siang bersama. Dilihatnya tidak ada Yudi dan dia tanya pada Sri, kemana adiknya itu. Sri menjawab kalau dia hanya melihat Yudi bermain bersama tiga teman akrabnya.
Selesai makan, Juminah membujuk Sri untuk main ke luar rumah bersama Minho. Tuminah, Suparno dan Juminah bicara diruang tengah.
“Anakmu kui si Yudi iri sekali dengan anak angkatmu,” kata Tuminah memulai pembicaraan pada Suparno.
“aku sudah melihatnya Bude.. jadi hari ini aku mau ngobrol sama dia,” jawab Suparno
“harus diselesaikan dari kecil, No.. jangan sampai nanti kalau sudah besar terlihat makin jelas rasa iri anakmu itu,” kata Tuminah
Suparno mengangguk, sebenarnya hari ini dia mau mengajak anak-anak nya pergi jalan sore dengan mobil baru Suparno yang dulunya mobil mendiang Paijo, supaya ada kedekatan antara Yudi dengan Minho.
“yang aku kawatirkan malah bukan Minho itu.. tapi anak mu,” ujar Tuminah
“aku mengerti, Bude..,” jawab Suparno. Lalu dia pamit untuk mencari Yudi supaya pulang, supaya nanti sore bisa jalan-jalan bersama.
Disepanjang jalan Suparno mikir keras: apa dia akan mengantarkan Minho ke kantor polisi saja.. demi supaya Yudi anaknya tidak jadi badung??

Sementara Suparno mencari Yudi, anak itu ternyata sedang bermain dengan lima orang teman akrabnya, yang sayangnya, ternyata badung-badung.
“hari ini kita ambil uangnya si Jarwo... nanti kalau dia lewat,” kata Budi pada yang lainnya, termasuk Yudi.
Benar saja, tak berapa lama, anak kecil yang disebut Jarwo lewat jalan desa itu. Yudi, Budi, Iwan, Amat dan Bejo langsung menghampiri anak penakut itu.
“mana uang mu??,” tanya Amat dengan membawa kayu
Jarwo yang melihat Amat menenteng kayu jadi ketakutan. Dia gemetaran dan mengambil uang dari sakunya.
“aku cuma punya segini,” kata Jarwo gemetaran, memberikan uang Rp 2000 kepada mereka. Iwan merampas uang itu dari tangan Jarwo.
“besok kamu lewat sini lagi.. kamu bayar uang ke kita,” ancam Yudi.
Jarwo ketakutan, dia mengangguk saja. Lalu mereka melepaskan anak penakut itu sebelumnya mereka mengelepak kepalanya.
“sana pergi!,” Yudi menendang Jarwo. Anak penakut itu kesakitan dan pergi.
Yudi dan yang lainnya tertawa-tawa.
“dua ribu kurang,” kata Bejo
ojo kawatir.. aku duwe lebih,” kata Yudi. Dia mengeluarkan dua lembar uang Rp 10 ribuan. Saat itu, uang segitu sangat besar dan bisa membeli mainan mewah. Uang jajan Jarwo anak penakut itu pun sudah termasuk besar.
wah..akeh duitmu, Yud,” mata mereka terbelalak lihat uang sebanyak itu
Yudi mengipas-kipas uang sepuluh ribuan itu di depan teman-temannya,”ayo kita main pe es”
Empat orang temannya yang nakal itu merangkul nya. Mereka pergi mencari tempat sewa PS (play station).
Sementara Suparno pusing mencari dimana keberadaan Yudi sampai menjelang sore, sementara dia sebenarnya sudah janji mau mengajak keluarganya jalan-jalan.
Lalu ketika dirumah, Juminah membuka lemarinya, ingin mengambil uang dibawah bantal, dia melihat uang Rp 10 ribuannya hilang dua lembar.
“kemana ya??,” dia bingung sendiri dan mencari cari di bawah tempat tidur.
Lalu dia keluar kamar meminta tolong Sri membantu mencarikannya, tapi tetap uang Rp 10ribuan dua lembar itu tidak juga ketemu.
“ndak mungkin hilang, Sri.. ndak ada yang masuk kamar ibu kecuali Bapakmu,” kata Juminah pada anaknya sendiri, ketika Sri bertanya apa ada orang lain masuk kamar kedua orangtuanya itu.
Yudi asik bermain PS dengan teman-temannya, tidak ingat pulang ke rumah. Dia tertawa-tawa saja sambil main PS dengan teman-temannya yang dia traktir main.
“besok kita main lagi, Yud,” kata Bejo senang.
Tenang wae.. bapakku wes dadi juragan.. aku bisa dapat duit akeh.. ,” kata Yudi membanggakan dirinya kalau dia sudah menjadi anak juragan (pengusaha) jengkol dan sayuran serta beras, dan pasti.. dia bisa dapat banyak uang jajan..
“keren tenan kowe, Yud.. wes dadi anak Juragan,” kata Amat.
Yudi membusungkan dadanya, dia senang dipuji teman-temannya..


Bersambung ke part 6....