Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..
Mereka hari itu resmi pindah ke rumah
mendiang Paijo setelah 3 hari kematian lelaki itu. Ketika sampai dirumah yang
besar itu, Minho malah senang sekali, dia berteriak-teriak pada Sri, kakak
angkatnya itu.
“Mbak’e.. Eotteon keun jib!! Manse! (rumahnya besar banget... hore!-red),”
dia malah bicara pada kakak angkatnya itu dengan bahasa korea, senang kalau
rumah barunya besar sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi karena
kesenangan.
“Jaesaenghal
su isseoyo, Mbak’e (aku bisa bebas main-red) ,” kata Minho senang. Dia
langsung mengeluarkan mobil-mobilan kulit jeruk walau sudah rusak dan ada yang
hilang rodanya, tetap dia berwajah ceria, main dan langsung berlari-lari di ruangan
tengah yang besar itu.
Sri tetap tidak faham apa maksud perkataan
Minho kecil itu, dia hanya melihat adik angkatnya itu asik berputar-putar
bermain dengan mobil-mobilan yang sudah rusak itu.
“pean
dolan dewek ya, dek.. aku sibuk beres kamar ku dewek,” kata Sri bicara
padanya, kalau dia hari itu sibuk harus bereskan kamarnya sendiri, tapi Minho
hanya memandang dia, tidak mengerti lalu melanjutkan mainnya.
“pean
yang anteng yo, Lek.. semua sibuk beresin barang,” kata Suparno, berjongkok
lalu mengusap kepala Minho.
Tuminah, isteri mendiang Paijo menghampiri
Suparno,”ini yang kamu bilang anak wong
korea sing ilang iku, No??”
Suparno mengangguk mengiyakan,”Iya Bude.. “
Tuminah mencoba berjongkok di depan Minho
yang berdiri diam di depan Suparno,”pean
ngganteng, Lek.. cah bagus.. tinggal nang kene wae yo... karo mbah puteri,”
senyum Tuminah padanya
Minho hanya membalas senyuman orangtua itu
dengan senyum lagi.
“ora
iso boso indonesia, Bude.. opo meneh jowo.. biasa ne cuma Pak’e, Mbak’e, Bu’e,
Abang,” keluh Suparno
“
sing penting bocah ki ora nakal,” kata Tuminah,”mudah-mudahan kamu gak
nakal ya, ngger.. baik-baik dadi menungso”,
Tuminah menasehati Minho yang masih kecil supaya jadi manusia yang baik dan gak
nakal.
Minho hanya tertawa, walau sebenarnya dia
tidak mengerti apa yang dibicarakan Tuminah barusan. Lalu dia melanjutkan
mainnya.
“pean
gak cari dimana orangtuane, No??,” tanya Tuminah sore hari ketika
istirahat. Semua barang dari rumah Suparno ke rumahnya sudah dipindahkan.
Tuminah melihat Minho yang main bersama Sri dan diajarkan Sri bahasa Indonesia.
“sebener’e
aku mau laporkan ke polisi, Bude.. tapi kasian karo Sri.. dia sayang banget
sama Minho kui.. akhirnya wes ta’ urus surat keluarga, kalau Minho anak angkat
ku,” jawab Suparno
“ra
kebayang aku, pean bisa ambil bocah kui,” jawab Tuminah
“nyasar,
Bude,” kata Suparno. Dia memang tidak merasa mengambil dan Minho memang ikut di
belakangnya tanpa dia ketahui.
“ben
nyasar kui mestinya dibalikaken (harusnya kalau tersasar ya dibalikin),”
kata Tuminah.
“lama-lama
dia bakalan lupa orangtuane nang ndi,” lanjut Tuminah lagi.
Suparno sebenarnya memendam rasa bersalah,
tetapi juga memendam sebuah keinginan mengabulkan keinginan anaknya, Sri.
“aku ndak salahkan kamu, No... cuma
berfikir saja.. piye perasaan
orangtuanya?? Kalau umur rong taun
memang masih gak ingat siapa orangtuane,” kata Tuminah.
Suparno jadi mikir lagi.
Malam itu, Suparno langsung bekerja di
ladang jengkol yang sudah menjadi miliknya. Dia mengumpulkan para karyawan yang
terlebih dahulu sudah setia menjual jengkol serta hasil kebun mendiang Paijo
sebelumnya.
“Aku diamanati almarhum Pakde Paijo supaya
kalian tetap jualan.. saiki aku yang
pegang usahane Pakde almarhum,” kata Suparno membuka pembicaraan pertama.
Para karyawan itu mengaku sedih memang
ditinggalkan Paijo, terlebih lagi memang orangtua itu menolong mereka usaha dan
punya pekerjaan.
“aku
wes catet gaji kalian piro, jadi aku pegang catetan almarhum nang kene,”
kata Suparno menunjukkan buku besar yang semua berisi catatan gaji karwayan,
kecuali penjual jengkol.
“yen
ta’ hitung-hitung.. kalian semestine dapet bagian 60% hasil dodolan jengkol’e... Pakde Paijo kemarin
kan cuma kasih 50%, saiki ta’ tambah dadi
60%..,” kata Paijo ngobrol dengan para pedagang.
Minho duduk dipangku oleh Suparno malam
itu sambil dia tetap asyik memainkan mobilan kulit jeruk yang sebenarnya sudah
rusak. Sama sekali dia tidak marah dengan Yudi yang sudah merusak mainan dari
Sri.
“ngengggg........unggg........ngeeenggggg,”suara
kecilnya ribut meniru-niru mesin mobil yang melaju kencang. Beberapa karyawan
dan pedagang jengkol dan sayuran ketawa lihat tingkahnya.
“Pak’e.. car.. car,” katanya pada Suparno, yang artinya mobil. Dalam usia 2
tahun sebelum dinyatakan hilang itu, Minho memang sempat diajarkan orangtuanya
berbahasa inggris kosakata ringan.
“Opo,
Lek??,” tanya Suparno pada Minho, selingan kala mereka ngobrol.
Seorang pedagang jengkol yang lulusan SMA
mengerti apa maksud Minho,”kui artine
mobil, Pakde No,” katanya pada Suparno.
“car,”kata
penjual jengkol itu pada Minho.
“Car,
Abang.. car,” kata Minho menoleh pada Trisno yang penjual jengkol lulusan
SMA itu.
“yes..
this is car,” jawab Trisno dengan logat bahasa jawa inggris yang kental.
Minho tertawa pada Trisno
“ramah
tenanan ki bocah, Pakde.. ,” kata Trisno, senang dengan sifat Minho yang
ramah.
“kui bocah’e
adek Juminah bojoku.. kasian bapak’e mangkat, dadi kita sing urus,”
ternyata Suparno malah jadi berbohong pada para karyawannya, bilang Minho anak
dari adik isterinya yang suaminya meninggal, jadi dirawat mereka.
Para karyawan cuma mengatakan,”ooo” saja.
“yo
wes.. aku diamanati karo Pakde almarhum.. kita mesti gawe sing rajin.. jangan
sampe gak ono gawean karena dadi males.. ben pean ono masalah, cerito karo aku,”
kata Suparno mengingatkan para karyawannya kembali pesan dari Paijo almarhum
supaya mereka rajin kerja dan jangan ragu untuk curhat kalau memang ada masalah.
Mereka ngobrol sampai malam sekitar jam
21.00 lewat. Sri lalu melihat Minho di depan yang ternyata sedang dikecengin
para karyawan dan pedagang dengan disuruh bernyanyi bahasa korea.
Minho pun bernyanyi bahasa korea, karena
Trisno ternyata iseng-iseng mengajak Minho pelan-pelan dengan bahasa inggris
supaya bernyanyi.
“come
on.. sing,” kata Trisno dengan logat jawa inggrisnya sambil bertepuk
tangan, memancing Minho untuk bernyanyi dan joget.
Minho lalu bertepuk tangan, bernyanyi dan
joget-joget sendiri, sementara Trisno dan para karyawan lainnya yang sudah
harus mengangkat berkarung-karung jengkol buat para pedagang malah jadi ikutan tertawa,
sorak-sorak dan tepuk tangan ketika Minho nyanyi dan joget di dipan teras rumah
tanpa malu sama sekali pada kumpulan orangtua itu.
“ealah..
Pakde Trisno nanggapin adekku,” keluh Sri,”mengko dia ngompol kalau keakehan dolan”. Sri ketakutan kalau Minho
banyak main sebelum tidur, nanti dia besok paginya bakalan ngompol.
Trisno dan yang lain malah tertawa,”lucu tenan adek mu ki, Sri.. “
Sementara ternyata Yudi memperhatikan
tingkah Minho dari jauh.
“cah
koyo kui kok disayang sih?? Aneh tenanan kabeh,” gerutu Yudi dari kejauhan,
dia tidak ingin melihat Minho sudah mulai akrab dengan para karyawan dan
pedagang ayahnya sendiri.
Minho sudah lelah, akhirnya Sri
menggendongnya supaya ke kamar supaya tidur. Sementara para karyawan
dan pedagang jengkol dan sayuran masih tetap kumpul membawa barang-barang
jualan mereka nanti untuk dini dan pagi hari.
“Yo, Lek.. sana turu.. sesuk dolan
meneh karo aku,” kata Trisno mengelus kepala Minho supaya istirahat karena
anak kecil tidak sebaiknya tidur malam.
Sri mengajarkan Minho untuk pamit pada semuanya dengan bahasa, tapi dia
malah mengingat bahasa inggris dan bilang,”Goodbye,
Abang.. emuach”, sambil melambaikan tangannya dengan ekspresi kiss-bye alias mencium tangannya sendiri
ke bibirnya dan ditujukan pada Trisno dan yang lain. Pedagang yang lain malah
tertawa melihat tingkah lucu Minho. Sri lalu membawanya masuk.
“pean
ndak turu, Yud??,” tanya Juminah ketika dia melihat Yudi duduk cemberut di
depan ruang tengah, nonton tv, menyuruh anaknya itu tidur karena hari sudah
mulai malam.
“durung
ngantuk,”jawab Yudi singkat dengan nada agak judes, kalau dia belum
mengantuk.
“Bu’e...
aku arep tuku Tamiya meneh,” lanjutnya lagi, dia minta dibelikan mainan mobilan balap yang baru.
“Bu’e
durung ono duite.. nanti Bu’e minta pada Bapak’e,” balas Juminah. Dia harus menunggu
suaminya memberikan tambahan uang kalau Yudi memang mau mainan lagi.
“Mainanku
wes rusak meneh, Bu’e! Ben Bu’e ndak tuku buat ku..aku mabur!,” Yudi malah membentak ibunya sendiri kalau
dia harus dibelikan mainan besok.
Juminah menarik nafasnya, tidak menyangka
anaknya bisa seberani itu membentak dan mengancamnya kabur dari rumah.
“nanti Bu’e bilang sama Pak’e mu, Lek..,” balas
Juminah.
Yudi langsung berjalan masuk ke kamar
barunya, Juminah mengatakan,” cuci kaki mu dulu, Lek”
Yudi tetap tidak peduli atas perkataan
ibunya sendiri, dia malah membanting pintu.
“Aku harus bicara ini sama Bapak’e,” kata
hatinya Juminah, dia miris melihat apa yang sudah terjadi pada anak lelakinya
itu. Sementara diluar, Suparno masih sibuk mengurus
dagangannnya.
Hari-hari berikutnya...
Yudi pagi-pagi sibuk minta mainan baru pada Suparno. Mereka sedang makan
pagi sama-sama. Sri sibuk menyiapkan buku sekolahnya dan dia juga membantu
Juminah menyuapi Minho. Tuminah ikutan makan pagi bersama mereka.
“Pak’e.. aku minta duit.. buat tuku
Tamiya,” kata Yudi, minta uang beli mobilan Tamiya baru lagi.
“loh.. tamiya sampean kemarin ndi??,”
tanya Suparno heran. Sebelum Tamiya awalnya yang dia banting rusak, Suparno sudah
membelikan tamiya baru lagi, masak iya baru satu hari sudah minta beli yang
baru? Hal itu membuat Suparno heran.
“pean tuku mobilan terus.. buat
apa, Lek??,” tanya Tuminah pada Yudi.
Dia juga penasaran, dia melihat anak itu memang semakin manja kalau tidak
dituruti kemauannya.
Yudi diam saja, tidak menjawab pertanyaan Tuminah, nenek angkatnya itu.
“ojo dimanja.. mainan ne akeh,”
kata Tuminah tegas pada Suparno. Dia tidak ingin Yudi gampang dimanja oleh
keluarga Suparno supaya di kehidupan masa datang dia tidak jadi orang mudah
patah semangat.
Yudi malah terkesan melawan perkataan Tuminah,”aku ora manja, Mbah puteri.. aku cuma mau tamiya sing anyar”. Dia
masih ngotot memang ingin mobilan tamiya baru.
“Tamiya mu kui akeh.. tapi ben Minho
arep pinjem aja.. angel tenan (mainan tamiya kamu banyak, tapi kalau Minho
mau pinjam, susah),” keluh Sri pada Yudi.
“lebih baik ta’ kasih ke temenku
daripada kasih dia,” jawab Yudi ketus sambil makan.
“enggak boleh gitu, Lek.. dia kan
adikmu,” kata Juminah
“sopo bilang dia adikku?? Emoh aku
duwe Adik pungut dari pasar (gak mau aku punya adik ambil dari pasar),”
balas Yudi ketus.
“Ojo iri karo Minho..!,” Sri yang
tadinya menyuapi Minho yang masih sambil main di lantai, malah menghampiri
Yudi, marah dengan pernyataan adiknya yang terakhir dengan Yudi bilang kalau
Minho cuma anak pungut dari pasar.
“Lek.. kenapa bahasa mu dadi kasar??,” keluh Juminah pada Yudi
“Iyo.. bener toh?? Pak’e pungut
dia dari pasar??,” tanya Yudi lagi pada Sri. Dia jadi berdiri didepan kakaknya
itu, lalu berkacak pinggang di depan Sri.
“wes.. ojo ribut.. Minho kui adikmu.. mau diambil dari mana saja..
dia adikmu,” Suparno mengeluarkan suara tegasnya. Dia lalu menasehati anaknya
Yudi, kalau sikap seperti itu tidak baik dan hanya bikin suatu hari Minho bisa
sedih.
“dudu urusan ku (bukan urusanku),” kata Yudi,”aku cuma mau dibelikaken tamiya sing anyar,” dia tetep ngotot pada
ayahnya minta dibelikan tamiya baru.
Minho berjalan menghampiri Sri,”
aku mau makan.. Mbak’e,” katanya. Dia masih lapar.
Lalu dia ramah melihat Yudi dan
bertanya,”abang.. sekolah??”, karena melihat kakak angkatnya itu memakai
seragam sekolah.
“Ojo pura pura manis karo aku!,” bentak Yudi pada Minho yang memang
masih polos itu. Dia lalu menggeser badan Minho dan anak kecil itu hampir jatuh.
Sri buru-buru menangkap badan Minho sebelum jatuh.
“Tega tenan kowe!,” teriak Sri pada Yudi.
“Ra urus..!!! aku pergi dulu, Pak’e.. Bu’e,” kata Yudi cuek, sama
sekali tidak cium tangan.
Suparno ngelus dada dengan kondisi sikap anaknya. Dia berjanji akan bicara baik-baik dari hati ke hati siang ini pada Yudi selepas dia pulang sekolah. Tuminah melihat kejadian itu dengan tidak habis pikir.
Suparno ngelus dada dengan kondisi sikap anaknya. Dia berjanji akan bicara baik-baik dari hati ke hati siang ini pada Yudi selepas dia pulang sekolah. Tuminah melihat kejadian itu dengan tidak habis pikir.
Sri menghampiri ayahnya, mengeluh
soal tabiat Yudi pada Minho
“aku wedi, Pak’e ... wedi.. mengko Yudi arep nyelakain Minho,” Sri
ternyata ketakutan kalau suatu hari nanti Yudi bisa mencelakai Minho.
“Ojo dipikirken, Nduk.. Adik mu ndak sejahat itu,” Suparno mencoba
menghiburnya, pasti Yudi gak akan sejahat itu mencelakai Minho.
“Pak’e.. uang tabunganku sudah
habis.. hari ini aku mau belikan Minho tamiya,” kata Sri lagi.
Suparno tanya berapa harga tamiya
itu, Sri menyebut angka sepuluh ribu dan Suparno mengeluarkan uangnya.
“simpan uang mu saja,” kata
Suparno. Dia berjongkok di hadapan Minho,”beli.. car ya??”, katanya ramah pada Minho.
“car, Pak’e.. aku mau,” senyum Minho, dia bergayut pada badan
Suparno.
Suparno tertawa dengan tingkah
manja Minho,”habis makan.. kita jalan-jalan ya, Lek..”, dia lalu menggendong
Minho.
“Aku pergi dulu, Pak’e.. Bu’e..
Mbah,” Sri pamit sekolah pada kedua orangtua dan Tuminah dan cium tangan
mereka, dia tetap pergi dengan sepeda ke sekolahnya.
“nanti sore kita jalan-jalan ya,”
senyum Suparno pada Minho.
“jalan-jalan??,” Minho bingung
dengan kata-kata baru yang dia dengar.
Suparno bingung bagaimana
menjelaskannya, sebab yang terbiasa akrab dan mengajarkan anak kecil itu adalah
Sri. Juminah mengambil Minho dari tangan Suparno, seperti biasa, tiap pagi
sehabis Juminah menyiapkan sarapan pagi, dia mengajak anak kecil itu
jalan-jalan pagi sambil berbelanja sayuran di tukang sayur lewat. Tapi mulai
hari ini, mereka bisa ambil sayur dari kebun sendiri, sehingga Juminah hanya
dirumah untuk masak lagi.
Tuminah mengajak Minho berjalan
pagi di lahan kebunnya yang sekarang diolah oleh Suparno. Minho menurut saja
dituntun oleh orangtua itu.
“sayur... ini bayam,” Tuminah
mengajarkan Minho untuk mengenal nama-nama sayuran yang akan dia petik dengan menunjukkan
bayam yang dipetik, menyuruh Minho memegangnya.
“Ba.. yam,” sebut Minho meniru
perkataan Tuminah.
“pintar pean, Lek..,” senyum Tuminah.
“mbah..,” kata Minho lagi.
“iya.. aku Mbah puterimu,” balas
Tuminah lagi
“putu, Bude??,” tanya seorang yang lewat di depan kebun bertanya apa
Tuminah berada bersama cucunya, sebab semua tahu Tuminah tidak memiliki anak.
“dudu .. ki anak’e Suparno (bukan, ini anaknya Suparno),” jawab
Tuminah
“Ngganteng tenan... beda karo sing liane,” ujar orang itu, dia
melihat Minho dari atas ke bawah, beda kulitnya, baik dengan Suparno dan
Juminah, juga beda dengan kedua anak mereka.
Tuminah lalu bercanda pada orang
itu kalau dia sudah lama tidak melihat Suparno beberapa tahun terakhir dan
bilang kalau Minho anak ke tiga dari keluarga Suparno.
Orang itu yang bernama Panjul
akhirnya hanya mengangguk saja,”wes suwe
ora ketemu karo si Suparno.. mengko dolan nang omahe,”
“saiki mereka tinggal nang omahku,” jawab Tuminah pada
Panjul bilang kalau Suparno dan keluarga sudah pindah bersama mereka.
“ok lah, Bude.. nanti sore aku dolan nang kana,” balas Panjul. Di hatinya, Panjul berfikir: “kok anaknya Suparno beda
banget dengan keluarga mereka dari segi fisik??”, tapi disingkirkannya pikiran
itu.
Tuminah masih jongkok di depan
Minho yang memegang batang bayam.
“Bayam,” kata Minho percaya diri
bilang pada Tuminah.
“Lek.. akeh sing heran karo pean.. Suparno salah langkah ambil kamu, Lek..
dia bisa punya masalah nanti kalau pean besar,” kata Tuminah, tapi dia senyum pada Minho. Merasa memang anak kecil itu
tidak bersalah. Dia hanya berfikir, bisa saja suatu hari nanti Minho bawa
senang keluarga Suparno atau bahkan membawa petaka.
“Nanti sore jalan-jalan sama Mbah
puteri ya... kita beli mobilan, kasian kamu,
Lek.. Yudi sepertinya ndak suka karo
pean,” kata Tuminah lagi. Dia dari awal hari keluarga Suparno tinggal
bersamanya sudah melihat Yudi tidak menyukai anak kecil itu.
“itu makanya.. aku doa buat pean.. semoga kalau pean mengko wes gede.. dadi
wong bagus lakune”, kata Tuminah lagi
Minho cuma senyum dengan
perkataan Tuminah, dia memang belum mengerti kalau dunia ini pasti akan ada
orang sayang atau benci dirinya. Dia hanya bisa merasa, Tuminah yang
menyuruhnya memanggilnya dengan sebutan “mbah puteri” adalah orang yang baik
baginya.
“mbah.. suka,” jawab Minho polos. Tuminah lalu mengajak jalan lagi
Minho beberapa ratus meter untuk memetik kacang panjang dan dia mengajarkan
lagi anak kecil itu nama-nama tumbuhan dan hewan yang mereka temui.
Minho senang pagi itu dia bisa
belajar dan juga dekat dengan Tuminah yang sudah dia panggil “Mbah”.
Tuminah duduk di kursi makan
dekat dapur bersama Juminah.
“aku kawatir karo anakmu kui, Yudi.. lakune kasar karo Minho.. keliatan
tenan,” kata Tuminah memulai pembicaraan ketidakenakan hatinya dengan
tingkah Yudi yang kasar pada Minho yang juga dia anggap cucunya sendiri. Sementara
di dekat mereka, Minho anteng saja bermain mobilan bekas dari kardus bungkus
rokok yang dibuatkan Sri kemarin malam.
“sudah berapa lama seperti itu?,”
tanya Tuminah pada Juminah
Juminah memberhentikan menyiangi
sayur bayamnya,” sejak pertama kali Minho tinggal sama kita, Bude”
“makin kawatir aku,” ujar
Tuminah.
Juminah lalu berkata kalau dia
akan menasehati Yudi pelan-pelan sehabis dia pulang sekolah hari ini.
“Ini anak masih polos, Jum.. dia
belum ngerti ada orang benci atau sayang dengan dia,” kata Tuminah lagi. Dia
berdiri lalu menuju wastafel, mencuci sayuran yang sudah disiangi.
Juminah memang berfikir kalau
Minho kecil ini terlihat polos dan murni. Dia merasa memang anaknya sendiri,
Yudi yang terlalu iri. Awalnya Juminah tidak memperdulikan, karena kebutuhan
Minho yang masih kecil dan juga waktu ditemukan, dia sama sekali tidak memiliki
baju. Ternyata perhatian lebih itulah yang membuat Yudi iri pada anak itu.
“ya, Bude.. aku akan nasehati
Yudi,” kata Juminah lagi.
Mereka lalu masak untuk makan
siang. Sebab Suparno akan pulang siang dari kebun dan persawahan, mengontrol
usaha.
Sri pulang dengan senang hati,
dia bawa mainan baru buat Minho.
“ini loh.. Mbak’e beli mainan,”
katanya ditunjukkan pada Minho, ternyata kartu kwartet dengan berbagai macam
gambar kartun.
Minho melihat-lihat gambar yang
ada di kwartet itu dan Sri mengajaknya bermain tebak-tebakan.
“ganti baju dulu, Sri.. sebentar
pagi Bapak mu pulang,” kata Juminah. Sri menuruti apa kata ibunya
Lalu dia kembali lagi dan
bertanya pada Juminah apa Yudi sudah pulang atau belum.
“tadi aku liat Yudi main sama si
Amat, si Budi sama si Iwan, Bu’e,” kata Sri. Juminah tanya kemana mereka
mainnya tapi Sri menjawab tidak tahu.
“selalu pulang sampai magrib,
belum ganti baju sekolah,” keluh Juminah.
“semenjak ada Minho ini??,” tanya
Tuminah sambil menghidangkan makanan.
“semenjak dulu, Bude.. tapinya,
semenjak ada Minho.. lebih lagi,” keluh Juminah lagi.
“dadi masalah,” balas Tuminah singkat,”dibicarakan lagi sama si No”,
maksudnya tertuju pada Suparno, supaya Juminah dan suaminya bisa mendidik anaknya
sendiri.
“iri, Mbah,” kata Sri.
“mungkin Yudi iri karena kamu
manjain Minho??,” tanya Tuminah.
“Yudi enggak mau main sama aku..
aku enggak ada teman main, Mbah.. jadi aku main sama Minho,” jawab Sri.
Sri lalu mengajak Minho main
tepuk kwartet. Minho mengikuti gaya Sri menepuk kartu yang diadu telapak
tangannya dengan telapak tangan Sri. Dia tertawa-tawa sendiri, menilai bermain
itu asyik.
“eh.. kamu menang.. nih.. lihat
kartu mu enggak terbalik,” kata Sri pada Minho. Jelas anak kecil itu masih
bingung, tidak tahu mana menang, mana kalah, dia hanya melihat Sri memberikan
kartunya pada dirinya.
“Pean mesti konsentrasi sama Yudi itu,” kata Tuminah,”aku ndak kawatir sama anak kecil ini.. tapi sama anakmu itu”
Juminah berfikir, apa mungkin dia
kembalikan saja Minho ke kantor polisi, demi supaya anaknya Yudi tidak iri lagi
padanya?? Tapi dia lihat lagi.. Sri semakin akrab dengan anak kecil itu.
Suparno pulang istirahat dari
kontrol sawah dan kebun. Dia sembahyang sebentar lalu makan siang bersama. Dilihatnya
tidak ada Yudi dan dia tanya pada Sri, kemana adiknya itu. Sri menjawab kalau
dia hanya melihat Yudi bermain bersama tiga teman akrabnya.
Selesai makan, Juminah membujuk
Sri untuk main ke luar rumah bersama Minho. Tuminah, Suparno dan Juminah bicara
diruang tengah.
“Anakmu kui si Yudi iri sekali dengan anak angkatmu,” kata Tuminah memulai
pembicaraan pada Suparno.
“aku sudah melihatnya Bude.. jadi
hari ini aku mau ngobrol sama dia,” jawab Suparno
“harus diselesaikan dari kecil,
No.. jangan sampai nanti kalau sudah besar terlihat makin jelas rasa iri anakmu
itu,” kata Tuminah
Suparno mengangguk, sebenarnya
hari ini dia mau mengajak anak-anak nya pergi jalan sore dengan mobil baru
Suparno yang dulunya mobil mendiang Paijo, supaya ada kedekatan antara Yudi dengan
Minho.
“yang aku kawatirkan malah bukan
Minho itu.. tapi anak mu,” ujar Tuminah
“aku mengerti, Bude..,” jawab
Suparno. Lalu dia pamit untuk mencari Yudi supaya pulang, supaya nanti sore
bisa jalan-jalan bersama.
Disepanjang jalan Suparno mikir
keras: apa dia akan mengantarkan Minho ke kantor polisi saja.. demi supaya Yudi
anaknya tidak jadi badung??
Sementara Suparno mencari Yudi,
anak itu ternyata sedang bermain dengan lima orang teman akrabnya, yang
sayangnya, ternyata badung-badung.
“hari ini kita ambil uangnya si
Jarwo... nanti kalau dia lewat,” kata Budi pada yang lainnya, termasuk Yudi.
Benar saja, tak berapa lama, anak
kecil yang disebut Jarwo lewat jalan desa itu. Yudi, Budi, Iwan, Amat dan Bejo
langsung menghampiri anak penakut itu.
“mana uang mu??,” tanya Amat
dengan membawa kayu
Jarwo yang melihat Amat menenteng
kayu jadi ketakutan. Dia gemetaran dan mengambil uang dari sakunya.
“aku cuma punya segini,” kata
Jarwo gemetaran, memberikan uang Rp 2000 kepada mereka. Iwan merampas uang itu
dari tangan Jarwo.
“besok kamu lewat sini lagi..
kamu bayar uang ke kita,” ancam Yudi.
Jarwo ketakutan, dia mengangguk
saja. Lalu mereka melepaskan anak penakut itu sebelumnya mereka mengelepak
kepalanya.
“sana pergi!,” Yudi menendang
Jarwo. Anak penakut itu kesakitan dan pergi.
Yudi dan yang lainnya
tertawa-tawa.
“dua ribu kurang,” kata Bejo
“ojo kawatir.. aku duwe lebih,” kata Yudi. Dia mengeluarkan dua
lembar uang Rp 10 ribuan. Saat itu, uang segitu sangat besar dan bisa membeli
mainan mewah. Uang jajan Jarwo anak penakut itu pun sudah termasuk besar.
“wah..akeh duitmu, Yud,” mata mereka terbelalak lihat uang sebanyak
itu
Yudi mengipas-kipas uang sepuluh
ribuan itu di depan teman-temannya,”ayo kita main pe es”
Empat orang temannya yang nakal
itu merangkul nya. Mereka pergi mencari tempat sewa PS (play station).
Sementara Suparno pusing mencari
dimana keberadaan Yudi sampai menjelang sore, sementara dia sebenarnya sudah
janji mau mengajak keluarganya jalan-jalan.
Lalu ketika dirumah, Juminah
membuka lemarinya, ingin mengambil uang dibawah bantal, dia melihat uang Rp 10
ribuannya hilang dua lembar.
“kemana ya??,” dia bingung
sendiri dan mencari cari di bawah tempat tidur.
Lalu dia keluar kamar meminta
tolong Sri membantu mencarikannya, tapi tetap uang Rp 10ribuan dua lembar itu
tidak juga ketemu.
“ndak mungkin hilang, Sri.. ndak
ada yang masuk kamar ibu kecuali Bapakmu,” kata Juminah pada anaknya sendiri,
ketika Sri bertanya apa ada orang lain masuk kamar kedua orangtuanya itu.
Yudi asik bermain PS dengan
teman-temannya, tidak ingat pulang ke rumah. Dia tertawa-tawa saja sambil main
PS dengan teman-temannya yang dia traktir main.
“besok kita main lagi, Yud,” kata
Bejo senang.
“Tenang wae.. bapakku wes dadi
juragan.. aku bisa dapat duit akeh.. ,” kata Yudi membanggakan dirinya
kalau dia sudah menjadi anak juragan (pengusaha) jengkol dan sayuran serta
beras, dan pasti.. dia bisa dapat banyak uang jajan..
“keren tenan kowe, Yud.. wes dadi anak Juragan,” kata Amat.
Yudi membusungkan dadanya, dia
senang dipuji teman-temannya..
Bersambung ke part 6....