This is me....

Rabu, Juni 15, 2016

Aku Bukan Bang Thoyib (Part 39: Microchip)

Cerita ini hanya fiksi imajinasi belaka. Gak usah dipikirin kenapa begini, kenapa begitu..

Rima memulai hari yang baru menjadi seorang direktur utama, menggantikan Minho. sementara, Tina sangat gusar dengan kondisi yang dia tidak bayangkan sebelumnya. Namun begitu, dia berusaha tetap santai agar Rima tidak mengetahui rencana buruknya. Rima memintanya untuk masuk ke ruangan direktur, bicara soal tugas ke depan.
“untuk sementara, aku yang akan mengambil alih tugas Mr Lee.. jadi.. kita bisa bekerjasama,” senyum Rima pada Tina.
“baik, bu Rima,” Tina membalas senyuman Rima dengan menunduk hormat.
“doh.. sialan banget dah.. kenapa dia makin bersinar aja sih?? Payah,” gerutu hatinya Tina, ketika dia dipersilahkan duduk di depannya oleh Rima.

Rima lalu berbicara pada Tina tentang apa yang akan mereka lakukan setelah mendapatkan musibah kecelakaan yang mengancam jiwa Minho dan menyebabkan kedua staff nya meninggal. Mereka harus menyelesaikan masalah sekelompok unit mobil yang bernomor seri sama, yang mendapatkan masalah rem, yang juga dianggap menjadi sebab kecelakaan yang menimpa Minho dan kedua staff nya itu.

“aku akan memanggil Pak Leo untuk berbicara dengan kita. Walau sebenarnya perusahaan ini masih dalam keadaan duka, urusan mobil dengannya masih akan kita bicarakan,” kata Rima, membuka pembicaraan serius di meeting kecil antara dia, Sung, Sam dan dua ketiga sekretaris mereka.
“apa yang akan Nyonya lakukan??,” tanya Sam, serius.
Rima berdiri, dia berusaha bangun dan menjelaskan semua rencana yang sudah ada di kepalanya tadi malam. Walau sedih baru ditinggalkan Minho, dia mesti kuat dan bisa membantu usaha pasangannya itu.
“Pertama.. saya melihat ada beberapa kejanggalan ketika terjadi kecelakaan itu. Mr Lee (insinyur) kita kenal sedari jaman Tuan Lee Hyeon bekerja, dia dapat dengan baik merancang mesin... hampir nol kesalahan dan pabrik kita tidak pernah mengalami kerugian, tidak pernah ada rencana tarik besar-besaran. Hal kemarin menurut pandangan saya adalah aneh..sangat aneh.. insinyur Lee tidak pernah gagal dalam merancang mesin dan kita tidak pernah mengalami masalah, apakah itu dari mesin, karburator, kabel penghubung bensin, atau bahkan sewaktu kita berusaha menginvesigasi, dalam perubahan kecil misalnya knalpot yang mungkin dimodifikasi oleh pembeli.. ternyata tidak.. mereka bahkan baru saja membeli.. ada apa sebenarnya??”.
Sung dan Sam berfikir, memang selama ini dengan unit produksi yang sama, tidak ada kejanggalan dan tidak ada komplain.
“dan kalau ada komplain.. berarti semua produksi yang sama, yang dijual di dealer manapun... mestinya sudah banyak laporannya dan segera ditarik,” kata Sung.
Rima dan Sam mengangguk.
“kita memproduksi 10.000 unit dengan nomor mesin yang sama. Dan komplain berjalan di unit ke 5.000. Tidak ada laporan lain sebelumnya..,” kata Rima.
“Jika sudah berjalan.. semestinya di unit ke 1 jika ada masalah.. dapat kita hentikan produksinya,” lanjutnya lagi.
“tapi sama sekali tidak ada laporan...,” kata Sung.
Dia memperlihatkan semua laporan komplain. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kejadian kecelakaan konsumen. Mereka mengundang beberapa insinyur pekerja bawahan Lee.
“memang seperti itu, bu Rima.. kami selalu mengecek semua kendaraan sebelum dilempar ke pasaran.. itu hal yang pasti... tuan Lee juga lakukan itu,” kata Imam, asisten dari Lee mendiang.
“ada yang mendompleng kerja kita..,” Sam langsung berdiri.
“ah.. sialan.. sepertinya adiknya Hyeon yang satu ini pintar,” gerutu Tina dalam hatinya.
“Kami bisa memastikan semua produksi aman dikendarai, Tuan ... dan Ibu,” kata Imam, dia jadi ikutan berdiri.
Imam seorang pekerja yang setia dan pintar. Minho melalui Lee yang menjadi manager sebelum lelaki itu meninggal memang mempercayakan Imam untuk masalah laik atau tidaknya sebuah mobil dilempar ke pasaran.
Tina merasa kalah karena dia tidak terpikir untuk melempar lelaki ini.

“sebegitu mudahkah nya perusahaan ini digoyang??,” tanya hatinya Rima. Dia merasa sedang membangkitkan sebuah perusahaan yang aslinya rapuh.
“Pak Imam sebenarnya sudah tahu apa masalahnya kan?? Sementara.. saya mengambil kesimpulan: ada sabotase dalam produksi unit ini,” kata Rima, mendadak perkataannya itu terang saja mengagetkan Tina. Sementara, yang lain tidak pula berkomentar, tapi tercengang dengan apa yang dikatakannya. Dia berani mengungkapkan itu.
Sung dan Sam yang sebelumnya memang sudah membicarakan ini, cukup kaget juga dengan asumsi Rima. Asumsi sangat beresiko, tapi kedua orang ini yakin, perempuan di depan mereka bukan tanpa alasan mengatakan itu.
“Jadi ibu pikir... Pak Leo bermasalah dengan kita??,” tanya Tina, dia berani, nekad mengatakan itu pada Rima, akhirnya, dia terpancing juga.
Sung menoleh padanya, dan Tina meminta maaf bertanya seperti itu, namun, Rima sama sekali tidak marah padanya.
“Tidak.. saya belum terfikir seperti itu, bu Tina...,” balas Rima, kalem.
Tentu saja, Tina tidak berpikiran seperti dirinya. Tina lantas lebih curiga dengan apa yang dikatakan Rima sebelumnya, kalau wanita itu akan menyuruh Imam supaya lebih giat lagi menginvestigasi semua kekacauan produksi ini.
“Kita memang tidak bisa menuduh orang tanpa bukti.. tapi, bukan berarti investigasi dihentikan,” kata Rima.
Tina menjadi sangat kesal. Rima memerintahkan Imam untuk mengetahui semua duduk perkara dengan jelas dan akan dipertemukan 2 hari berikutnya dengan pihak Leo, walau dalam hal ini, karoserie dipegang oleh pihak Leo.

Pertemuan pun bubar. Di dalam ruangannya, Rima jadi berpikir keras.
“agak riskan jika menuduh pihak Leo.. sama sekali sepertinya tidak bisa.. tapi.. tidak ada perusahaan lain yang lebih besar kerjasamanya dengan pihak Minho selain dia..”
Dia bergumam sendiri, sekali lagi.. main tuduh tidaklah baik dalam hal ini.
Lalu dia membuka berkas-berkas lama.. mengingat kembali.. dengan siapa saja mereka bekerjasama.
“ban dengan multi daya tyre.. apa ini?,” gumamnya lagi, namun terus saja menebak.
Dia melihat lagi, milik siapa? Lamanya bekerja dan belum pulihnya ingatan membuat dia sulit untuk mengembalikan kejadian selama dia dulu bekerja.
“Wirja? Apa tidak ada hubungan antara Wirja dengan Leo?,” tanya dia dalam hatinya. Dan dia pun mengumpulkan dan membaca kembali proposal, perjanjian dan beberapa transaksi. Dia masih bingung, jika memang Wirja adalah orangnya... bagaimana menyeret orang ini??
                                                -------------------------------
Sementara itu, Sung di dalam ruangannya ternyata sedang berbicara dengan kakaknya. Apa yang mereka bicarakan di pertemuan sebelumnya dibahas dengan kakaknya itu.
“selama 20 tahun aku pernah memimpin perusahaan ini.. memang tidak pernah bermasalah,” ujar Hyeon.
Sung mengangguk. Jelas, seperti ada sebuah kejahatan di dalam kasus ini.
“apa..kamu pernah membuat orang menderita dalam usaha??,” tanya Sung, serius.
Hyeon berusaha mengingat lagi, mungkin dia pernah melakukan itu. Namanya dalam bisnis, sebuah persaingan itu sebenarnya hal yang sangat wajar.
“atau mungkin isterimu pernah melakukannya??,” tanya Sung lagi.
“jangan gila.. isteriku tidak serendah itu,” marah Hyeon pada adiknya itu.
Sung malah menjawab dengan tertawaan. Dia memang terkesan tidak akur sedari dulu dengan ibunya Minho. ada perseteruan pendapat dalam bisnis keluarga yang dia tidak sukai dari sikap kakak iparnya itu. Dan entah  mengapa... dia malah bertanya itu pada kakaknya.
Hyeon jadi tersinggung dengan pertanyaan adiknya sendiri. Setahu dia, memang walau isterinya keras dalam berbisnis, namun namanya persaingan, itu adalah hal yang wajar.
“menjadi tidak wajar kalau ada cara yang salah,” ujar Sung, santai.
“jadi.. kamu menyalahkan isteriku??,” tanya Hyeon masih dengan nada tersinggung.
“ah.. enggak.. enggak.. aku hanya kepikiran selintas seperti itu, Hyeongje.. jangan marah dulu,” balas Sung dengan nada santai dan ngeles.
“kasus ini memang menyebalkan...,” gerutu hatinya Sung.
Semua jadi terkesan menebak, siapa yang bermasalah.
                                                -------------------------------------
“sekarang.. isterimu sudah sangat kuat masuk ke lingkaran bisnis kita,” kata Hyeon pada Minho.
Minho diam sejenak pagi itu. Perasaannya masih seperti tertinggal di rumahnya beh Hamid,  nun jauh disana.
“dia memang sangat pantas untuk masuk ke dalam keluarga kita.. dan aku sangat percaya dia... itu tidak masalah, Appa,” jawab Minho, berusaha untuk tidak galau.
“hanya ibumu satu-satunya perempuan yang mampu memegang bisnis keluarga kita,” balas ayahnya.
Minho melihat wajah ibunya yang tersenyum padanya.
Ibunya berbasa-basi, apa anaknya kurang makan atau tidak. Minho menjawab, dia senang semua keluarga beh Hamid memperhatikannya, tanpa kecuali. Dia juga menjelaskan pada kedua orangtuanya, kalau ini adalah keputusan final bersama antara dia dengan kedua pamannya.
“ini adalah keputusan terbaik.. aku pulang dan memberikan kesempatan padanya untuk memecahkan masalah ini,” ujar Minho, sikapnya masih dia bawa santai menghadapi percakapan yang bisa saja menguras emosinya.
“seluruh dewan meminta jawaban dalam waktu singkat... itu yang aku khawatirkan,” balas Hyeon.
“jangan khawatir, ayah.. semua bisa kami atasi,” balas Minho lagi.
“yang aku khawatirkan... kalian terlalu mengandalkan perempuan itu,” kata Hyeon.
Minho menaruh lap makan dari pangkuannya ke atas meja, lalu melipatnya dengan rapi. Sejenak dia berpikir sebelum kembali menatap wajah ayahnya.
“seperti yang pernah Appa lihat ketika dia mencoba menjelaskan semuanya disini... itulah Rima,”
“hari ini.. dia akan berusaha mencari tahu...siapa biang keladi dari peristiwa kecelakaan kemarin,”
“Ibunya Kwon..sangat kecewa pada kita... dia sangat terpukul... ,” kata ibunya Minho.
Minho menunduk hormat padanya walau duduk. Dia tahu, semua sudah sangat sedih kehilangan Kwon, apalagi dirinya yang sedari kecil akrab sekali dengan sepupunya satu itu. Keputusan hari ini pula, atau paling lambat esok, yang juga bisa berhubungan dengan kematian Kwon.
“kamu harus meminta maaf pada kedua orangtuanya,” ujar ibunya.
Minho mengangguk. Dia akan menyanggupi datang walau masih berjalan dengan kursi roda, serta pergi ke pemakaman sepupunya itu.
“ayah tidak menyangka...semua ini bisa terjadi.. sepertinya.. ayah tidak punya musuh,” kata Hyeon.
Minho menghela nafasnya. Jiwanya saja disana sudah tidak tenang, stress akibat kecelakaan itu. Hal ini masih menjadi misteri yang tidak dapat terpecahkan... apa hanya cukup karena rem blong... maka kecelakaan ini bermula?? Bagaimana dengan kematian Kwon?? Apakah juga ada hubungan rentetan penghancuran bisnis keluarga??
Hyeon meminta nanti malam, Rima menghubunginya, membahas tentang semua itu. Hati Minho sudah berdegup kencang... dia tidak ingin semuanya berantakan.
                                    --------------------------------------
Siang menjelang sore itu, Rima memanggil Imam. Mereka duduk saling berhadapan. Rima menginginkan dia menjabarkan secara logika kejadian kecelakaan yang diderita Minho.
“Tidak semestinya secepat itu jaraknya, bu.. Jika tidak ada pedal rem yang dikendorkan pelan-pelan,” ujar Imam, serius.
Lantas... bagaimana bisa hal itu terjadi?? Kapan??
“jika jarak antara perusahaan kita dengan dealer itu sekitar 50 km, maka kelonggaran bisa saja terjadi dalam waktu kurang dari 20 menit... itu yang saya pikirkan.. kalau dihitung.. 20 menit itu memang jarak yang tepat sekali ketika berada di jalan tol,”
Rima diam, lantas bergumam. Apa yang dipikirkan Imam, mirip dengan hasil sementara investigasi kepolisian. Pekerjanya ini tidak bodoh.
“pedal dapat kendur karena panas. Ketika kecepatan ditingkatkan, otomatis pedal juga menghasilkan panas....,”
“ah...,” keluh Rima.
Belum saja mereka berhasil memecahkan masalah kematian Kwon.. harus lagi menyelesaikan masalah pada Minho.
Tak sengaja, dia lalu menggeser sebuah smartphone milik Kwon, yang sudah tidak terpakai dan berada diatas meja... dan.. alat itupun jatuh... cover nya terlepas dari body nya.

Imam senyum saja, lalu bertanya, kenapa mereka masih menyimpan barang kepunyaan mendiang Kwon.
Rima tersenyum, dia menceritakan kalau suaminya sangat akrab dengan mendiang sepupu iparnya itu...sehingga masih menyimpan barang kenangan.
Namun...
“Maaf, Bu... boleh lihat sebentar smartphone mendiang??,” pinta Imam dengan sopannya.
Rima memberikan saja semuanya. Imam lalu memegang alat itu dengan hati-hati.
“Wah...,” katanya singkat.
“ada apa??,” tanya Rima..dengan ekspresi heran.
Imam juga keheranan dengan apa yang dia temukan, sebuah microchip yang benar-benar kecil seperti kumparan kecil, tidak lebih dari seujung kuku.
“Ini... alat penyadap, Bu...,” kata Imam, heran.
“Apa???,” spontan Rima sangat kaget dengan perkataan Imam baru saja. Bagaimana bisa.. alat penyadap masuk ke dalam smartphone itu???
“Ini benar-benar alat penyadap, Bu.. memang ada yang bentuknya kecil sekali,” kata Imam.
Rima benar-benar terkejut, dia langsung menelepon kedua pamannya Minho, dan menginginkan mereka membahas itu, segera.

“Gila.. siapa lagi yang melakukannya??? Pasti ini bagian dari rencana pembunuhan Kwon!,” ujar Sung, geram.
“apa lagi?? Sudah pasti..,” timpal Sam.
Sam lalu berpikir.. apa mungkin smartphone mereka juga disadap? Maka, mereka pun membuka satu-persatu dan meminta tolong Imam mengeceknya.
“Nihil.. tidak ada, Bu.. Mister.. hanya mendiang Mister Kwon yang disadap,” kata Imam.
“apa benar... ini ulah Tina??,” tanya hatinya Rima pada dirinya sendiri.
Kembali kepalanya merasakan sakit yang amat sangat, berusaha mengingat tentang perempuan itu. Dia jadi terduduk dan merasa kelelahan.
“ apa benar Tina?? Apa mungkin dia juga.. yang menyebabkan Minho kecelakaan??,”
Sam benar-benar mengutuk perbuatan penyadapan ini. Mereka memang tidak menyangka, polisipun tidak menyita smartphone milik Kwon sebagai barang bukti, tidak curiga sama sekali dengan semuanya ini.
Sung meminta Imam undur diri dari ruangan itu...namun juga berharap staff nya itu tidak menceritakan apapun soal chip ini kepada staff manapun. Imam berjanji, lalu dia menunduk hormat pada ketiga atasannya itu dan keluar dari pintu ruangan direktur utama.
Tina sempat berjingkat dan melihat lelaki itu keluar, tapi dia tidak melakukan apa-apa, hanya kembali duduk dan menyelesaikan pekerjaannya.

“Kepala ku makin pusing saja.. bukankah kita harus membuat keputusan..paling lambat esok pagi??,” tanya Rima pada kedua paman iparnya itu, sambil masih memegang kepalanya yang sakit.
“aku makin khawatir saja dengan kesehatanmu dan anak Minho,” kata Sung, iba pada keponakannya itu.
Minho memang dihadapkan dengan hal tak terduga, dan sifatnya kasus ini sudah sangat kriminal.
Rima mengangguk saja, sementara Sam menawarkan segelas air putih padanya.
“Kita bawa kembali bukti ini ke kepolisian.. jangan semua orang tahu, kecuali kita bertiga,” ujar Sung. Dia sendiri yang mengatakan, akan mengantarkan bukti itu.
Sam menyarankan, agar ruangan tiga direktur juga diperiksa. Selain mereka memang memasang monitor cctv disemua sudut.. jangan-jangan, mereka juga korban sadap??
“bisakah kita menuduh Tina???,” tanya Sam.
Sung menoleh pada adiknya itu. Mereka tidak bisa lakukan itu, walau Sam berkata, bisa saja perempuan itu yang melakukan, karena dia pernah tinggal bersama Kwon.
“Bukti apa lagi yang bisa menguatkan... kalau perempuan itu salah??,” gumam Sung.
“Untuk menangkap ikan yang besar... mungkin kita butuh kail kualitas bagus,” kata Sam.
dangsin-eun mueos eul uimihabnikka??”, Sung sedikit bingung dengan maksud adiknya itu.
“saya katakan... kalau mau memancing ikan besar.. kailnya harus berkualitas bagus.. kalau memang kita mencurigai Tina karena dia yang membunuh Kwon.. maka.. harus ada yang mau berkorban lagi,” papar Sam.
“maksudmu... harus tinggal bersama dia lagi, begitu??,” Sung mencoba menafsirkan perkataan Sam.
Sam mengangguk. Sung sangat tidak setuju. Dia tahu, adiknya itu melempar tugas untuknya. Dan itu karena Tina sudah pernah menjadi sekretarisnya.
“ingat perusahaan keluarga,” balas Sam.
Rima berfikir, bahwa hal itu tidak perlu dilakukan, dia tidak ingin peristiwa kemarin terulang lagi. Menurutnya, jika microchip ini sudah didapatkan, dan tidak ada hal lain diruangan ini yang aneh, selain benda itu, maka segalanya bisa berjalan mulus.
“bagaimana dalam waktu singkat.. bisa mengatakan pada Hyeon... kalau semua ini bukan salah kita??,” tanya Sung.
“dengan taktik seperti yang disebutkan paman berdua pun.. masalah tidak segera terpecahkan,” balas Rima.
Sung mengeluh. Memang benar, tidak akan dapat diselesaikan. Jadi lebih baik mereka pergi kembali ke kepolisian untuk penyelesaian ini.
                                               
Sementara itu, Tina benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, namun memang tidak dapat dia menembus ruangan itu karena kedap suara. Sehingga, dia hanya bisa sesekali meraba gerak mulut mereka, ketika mereka lengah.
“jangan-jangan mereka tahu.. apa yang sebenarnya terjadi??,” katanya dalam hati.
Dia lalu menelepon Imam, bertanya ini-itu, namun tidak ada jawaban memuaskan yang dia dapatkan. Imam memang tidak memberikan keterangan, terutama ketika ditanya masalah kecelakaan, yang sebenarnya mirip dengan masalah ditariknya ratusan mobil.
“sama aja.. pembahasannya mirip dengan yang tadi kita meeting kan,” balas Imam. Jelas, dia menyelamatkan dirinya dari pemecatan. Dengan dia membuka diri pada Tina, sama saja mencari mati.
“o.. ya udah,” balas Tina, singkat.
Namun, Tina menggerutu dalam hatinya, berburuk sangka pada Imam, mengira bahwa staff itu menyembunyikan sesuatu dan dia begitu berniat mencelakakan orang itu. Di otaknya sudah penuh rencana ingin mencelakai Imam.
“ah.. semua ini gara-gara si perempuan munafik itu.. susah banget matinya!,” gerutu Tina dalam hatinya, sambil meneruskan pekerjaannya.
                                    ---------------------------------------------

Minho merenung di kamarnya sendirian, walau di depannya terdapat laptop yang berisi segala laporan perusahaan yang dia bawa dari Indonesia. Ingatannya tentang pembicaraan tadi pagi dengan kedua orangtuanya, mengisyaratkan dia kangen sekali ingin bicara dengan belahan  jiwanya. Dia pun mencoba untuk menghubungi, namun sama sekali tidak diangkat oleh Rima, karena dia sibuk untuk memecahkan masalah ini.
“aku jadi kesepian,” katanya, memelas. Hp nya tanpa sengaja, lepas dari genggamannya dan terjatuh.
“apa yang sedang dia lakukan disana??,”
Tampilan laptop di depannya serasa buram, dia berharap Rima menghubunginya dengan segera.
Tak berapa lama, pintu diketuk, Minho mempersilahkan masuk orang diluar kamarnya. Ternyata ibunya yang datang. Perempuan setengah baya itu lalu duduk di depan kursi roda, dibantu oleh seorang asisten rumah tangga mereka.

Eomma mengerti perasaan mu saat ini.. mempertaruhkan perusahaan di depan para dewan,” senyum ibunya, sambil mengambil Hp anaknya yang terjatuh di lantai, lalu memberikan pada Minho.
Minho tersenyum. Sebagai seorang direktur utama, tanggung jawab semuanya ada ditangannya.
“esok akan jadi hari yang berat,” katanya, pada ibunya.
“dan aku belum menemukan jawaban dari semuanya,” lanjutnya lagi.
“tentang nomor mesin yang ditarik??,” tanya ibunya, berbasa basi.
Minho menjawab dengan anggukan saja.
Ibunya membalas dengan memegang tangan anaknya itu dengan lembut. Agak lama mereka terdiam, sampai akhirnya waktu terganggu dengan adanya tele confrens.
Mata Minho berubah berbinar.. dia berharap hal itu adalah berita baik dari kedua paman dan isterinya.

Nyoboseyo, Minho.. ini penting... tentang status kecelakaanmu,” ujar Sung, tanpa basa basi lagi.
“dan juga tentang Kwon,” kata Sam.
Rima hanya tersenyum saja, mengatakan apakah Minho baik-baik saja disana. Mata Minho yang berubah dari lesu jadi berbinar, menandakan harapan kalau semua akan lebih baik ke depannya.
“ada apa dengan status Kwon??,” tanya Minho, warna suaranya seperti orang sangat penasaran.
“seseorang meletakkan mikrochip dalam smartphonenya,” kata Sung.
Minho kaget.... siapa yang menyadap semua perkataan Kwon?? Apakah termasuk juga percakapan antara dia dan Kwon sudah tersadap??

Bersambung ke part 40....