This is me....

Selasa, Mei 24, 2016

Everybody’s Darling (Part 9: Langit dan Bumi Hanya Dapat Saling Melihat..)

Cerita ini hanya imajinasi saja kok.. jangan dimasukkan ke hati banget...

Minho melanjutkan pekerjaannya setelah 3 hari perayaan pesta kecil kesuksesannya dalam sebuah drama. Drama itu selama diputar disebuah stasiun tv menjadi nomor satu di negeri ini. Memang hal itulah yang ia idam-idamkan.. menjadi seorang aktor ternama, bekerja keras terus menjadi aktor terbaik. Dia semakin memiliki banyak kontrak, bahkan sebelum drama yang lalu selesai ditayangkan.
“benar- benar kamu menjadi seorang aktor nomor satu sekarang, Minho!,” kata sahabatnya sesama aktor, Jong Seol, dengan nada gembira.
“ah.. ini semua juga berkat kamu, chingu..,” balas Minho.

Mereka berdua sangat akrab sejak selepas kuliah. Jong Seol kuliah di jurusan seni dan dia justru melihat Minho waktu itu sebagai temannya juga berbakat di seni peran, walau bukan di jurusan yang sama. Bahkan Minho pernah membuat lagu untuk drama yang diperankan Seol. Akhirnya, dia berani membawa Minho ke dalam dunia entertainment dan berhasil. Sampai detik ini, mereka masih menjadi sahabat.
Di acara pesta kecil lalu, Seol hanya sebentar datang karena dia masih harus menyelesaikan pekerjaannya, dan hanya sempat sebentar berbicara dengan Sun Hyo Rin.

“Jadi.. kamu beneran ke rumahnya yang kumuh itu??,” Seol benar-benar heran.
Minho mengangguk mengiyakan. Dia menceritakan bagaimana kondisi keluarga kecil itu.
“Gila.. aku sih..enggak nyangka banget...,” lanjut Seol lagi.
“dia memang pasti cewek yang kuat,”
“begitulah.. hanya.. memang yang pasti..tidak akan pernah masuk ke dalam dunia ku,” kata Minho. Nada bicaranya biasa saja, namun Seol menangkap perasaan berbeda.
“aku yakin.. perasaanmu terhadapnya sudah dalam.. dibanding terhadap Min Jung,” kata Seol.
“kamu tidak bisa mengelak dari hal itu, Minho..,”
“Mungkin dengan menjauh darinya...aku bisa melupakannya,” kata Minho, pelan. Dia menyandarkan badannya dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Seol tersenyum miris. Mereka harus berfikir realistis: demi kehidupan harian, demi karir.. harus ada yang dikorbankan.
Dia lalu menepuk-nepuk pundak Minho.
“sudahlah, chingu.. semua pasti akan berlalu dan kamu akan lupakan dia... “
“enggak sekarang sih... setidaknya.. berusaha saja,”

Ya... melepas hatinya untuk Sun Hyo Rin, adalah hal yang harus dilakukannya. Kemarin malam, selepas dia mengantarkan cewek itu kembali ke rumahnya, Minho tidak bisa tidur sampai pagi. Pikirannya gelisah. Sepertinya dia memang harus menerima pacaran setting-an dengan Roh Min Jung.
Bangun pagi, wajahnya terlihat kusut, padahal hari itu, dia harus mengambil pemotretan sebuah iklan otomotif. Sang ibu yang melihat anaknya berwajah kusut jadi panik.
“akhir akhir ini..aku memang banyak target, eomma..mungkin fisikku lelah,” jawab Minho. Dia mendadak tidak ingin diketahui persoalan hatinya, yang biasanya sangat dekat dengan ibunya. Minho lalu bercerita kegiatannya hari ini apa saja di bawah jadwal Byung Ho.
“Bagaimana hubunganmu dengan temanmu itu.. Sun Hyo Rin, Minho??,” mendadak ibunya malah bertanya hal itu.
Minho menghabiskan roti di mulutnya dengan santai, mencoba mencari jawaban yang pas.
“kami hanya masih sebagai teman, Eomma.. tapi dia memang cewek yang baik.. ,”
“Eomma ingin sekali mengenal keluarganya... kamu tahu kan.. tempat tinggalnya??,” tanya ibunya.
Minho menelan roti nya dengan merasa pahit. Sifat ibunya memang, jika mengetahui anak-anaknya mulai berhubungan serius, akan berusaha mendekati pasangan anak-anaknya itu, sama seperti dahulu dilakukan pada pasangan kakak perempuannya.
“Ah... Hyo Rin itu masih kaku sekali, Eomma.. lihat deh.. waktu pesta kemarin,” Minho ngeles, supaya ibunya tidak banyak bicara soal bermain ke rumah cewek yang disukainya itu.
“Oh.. kalau begitu.. biar nanti dia kita undang makan ke sebuah restaurant langganan ayah mu saja... atau ke rumah ini.. bersama orangtuanya,” balas Hanh.
Minho makin gusar saja. Bagaimana bisa cewek nya itu mengundang orangtuanya? Mereka sudah meninggal dunia, bunuh diri pula, hal yang dianggap memalukan.
Tapi Minho bersikap manja kepada ibunya,” Ah.. nanti saja deh, Eomma.. aku sibuk banget.. takut semua jadwal terbengkalai”.
Ibunya menuruti saja perkataan anak kesayangannya itu.
                                    ---------------------------------------------------
Sepanjang jalan menuju lokasi syuting, Minho berusaha untuk mengalihkan semua perasaannya terhadap Hyo Rin menjadi cuma untuk bekerja. Jadwalnya memang padat. Byung Ho sempat memperhatikan tingkahnya yang melamun memandang jendela luar mobil dalam perjalanan. Pikiran manager Minho itu menebak-nebak.. apa benar aktor yang di sampingnya ini sedang berpikir urusan asmara?
“aku rasa sih... nanti syuting enggak sesulit yang kamu bayangkan, Hyeong,” kata Byung, membuka pembicaraan.
Minho hanya bergumam,”umm..semoga... karena aku enggak mau gagal.. ini iklan perusahaan besar”. Matanya masih menatap luar jendela mobil.
“jadwal mu semakin sibuk saja.. jadi.. jangan terlalu banyak pikiran,” ujar Byung Ho, sok tahu.
“enggak,” balas Minho, singkat. Lalu dia iseng mengeluarkan sebundel kertas yang ternyata sebuah script.
“memang belum dihafalkan juga?,” tanya Byung, heran. Minho biasanya suka menyiapkan kerjanya dari jauh hari sebelum syuting dimulai.
Minho menggeleng, dia katakan hanya mau mengulang sejenak, takut tidak hafal. Dia anggap, kali ini syutingnya seperti berat dan menantang. Dia harus bisa fokus dengan segala kerjanya.
“satu satunya cara untuk melupakannya.. mungkin dengan bekerja,” katanya dalam hati.
Byung Ho tidak menaruh curiga sama sekali, dia menganggap apa yang baru saja diucapkan untuk Minho, sebagai sebuah gurauan.

“Untukmu.. semua ini adalah yang terbaik,”
“CUT! OK!,” teriak sutradara iklan.
“ah... akhirnya beres juga,” kata hatinya Minho
“terima kasih semuanya!,” katanya menunduk hormat pada semua crew iklan.
Byung pertepuk tangan, senang aktor besutannya itu makin banyak mendapatkan pekerjaan.
Sementara mereka sedang beristirahat utuk melihat apakah ada yang kurang dari hasil syuting mereka hari itu, Minho duduk saja sendirian, melihat-lihat handphonenya. Ternyata, sudah lama dia menunggu kabar dari Hyo Rin.
“sudah satu minggu lebih, tidak ada kabar sama sekali dari dia,” renung Minho.
Yang ada, hanya pesan dari Roh Min Jung, yang mengajaknya makan bersama, tapi Minho menjawab,” kerjaanku banyak sekali minggu ini, Min Jung.. mian, enggak dapat memenuhi undanganmu.”
Lebih baik alasan itu yang dia sampaikan daripada dia pusing memikirkan nasib pacaran settingannya.
Min Jung belum banyak mengganggunya, karena mereka memang sama-sama sibuk. Hal itu masih membuat Minho bisa bernafas, mencari ruang lain untuk memikirkan Sun Hyo Rin.
                                                ------------------------------------
Halmeoni Na Ri bertanya pada Hyo Rin, siapa sebenarnya teman dia beberapa hari lalu yang mampir ke rumah kecil mereka. Nenek Na Ri tidak tahu, kalau saat itu cucu tertuanya itu memakai gaun yang sangat indah pemberian Minho.
“temanku, Nek... ,” jawab Hyo Rin, singkat.
“sepertinya bukan teman sekolahmu.. setahu nenek, kamu tidak pernah suka teman-teman sekolahmu tahu dimana rumahmu..,” balas sang nenek, dengan suara lembutnya.
Rasanya Hyo Rin ingin menangis. Kemiskinan di negeri ini dianggap tabu, memalukan dan hina. Tapi, secara standar negeri ini, memang mereka miskin.
“sepertinya.. dia lelaki yang baik.. Nenek berharap..dia tidak akan cerita pada orang-orang.. bagaimana kondisi kita,” lanjutnya lagi.
“Minho memang orang yang baik, Nek..,” kata Hyo Rin, mencoba tersenyum.
“tapi.. kamu tidak bersedih kan.. dia tahu rumah kita??,” tanya neneknya itu.
Dulu, setiap kali cucu tertuanya itu dibully teman-teman sekolah karena kemiskinan mereka, Hyo Rin selalu pulang dengan menangis tersedu-sedu.. dan saat itu pula, nenek Na Ri membantu mengusap air matanya.

“Nenek selalu hidup karena kalian,” itu yang selalu nenek Na Ri katakan untuk menyemangati kehidupan ketiga cucunya.
Hyo Rin sebagai yang tertua haruslah kuat menghadapi hidup mereka yang keras. Suka tidak suka, tidak bisa dia ikut bunuh diri bersama kedua orangtuanya, sementara dia masih memiliki kedua adik yang harus juga dia jaga.
“kenapa Appa dan Eomma malah meninggalkan kita dalam kemiskinan??,” begitu tanya dia pada neneknya itu.
Semua tidak bisa dijawab. Hyo Rin tidak pernah tahu, siapa-siapa yang membuat ayahnya jadi bangkrut usahanya dan akhirnya dia bersama isterinya memilih jalan bunuh diri karena tidak sanggup menanggung semua beban hutang usaha. Dengan cara itu, maka anak-anak mereka diharapkan terbebas hukum. Namun, hal itu malah menjadi beban psikologis berat bagi anak tertua mereka.

“Nenek jadi merasa.. kalau Minho lah lelaki yang terakhir ini kamu coba bicarakan dengan nenek..,”
Hyo Rin tertawa. Dia bilang, dia akan berjanji memulangkan baju yang dipinjamkan lelaki itu, kalau nanti urusan pesanan kue nya dari seorang nyonya sudah selesai.
“aku memang belum mengirimkan pesan pada dia, Nek.. mungkin dia juga sibuk bekerja.. namanya orang kaya..”
“tapi aku janji akan kembalikan bajunya.. aku tidak enak hati dengan orangtuanya.”
Nenek Na Ri bertanya, siapa nama orangtua Minho. Dan.. Hyo Rin pun menyebutkan nama ibunya lelaki itu.
Wajah orangtua itu jadi berubah murung. Hyo Rin membacanya.
“Halmeoni.. kenapa?? Apa pusing??? sakit??,” katanya, cemas, lalu mengusap-usap punggung neneknya dan meminta dia tidur.
“Bagaimana bisa??,” tanya nenek Na Ri dalam hatinya.
“kenapa dengan halmeoni?? Kenapa begitu pucatnya mendengar nama Nyonya Han??,” tanya hatinya Hyo Rin, keheranan.
“ah.. nenek jangan khawatir ya.. aku dan Minho cuma teman biasa.. aku merasa.. aku harus hidup realistis saja.. Ha Neul dan Ho Seung kan... masih harus sekolah.. aku pikir.. buat apa aku pacaran dengan Minho itu.. iya kan??”.
“pasti nenek jadi pucat tadi... membayangkan ... apa aku pacaran dengan Minho atau tidak?? Aku kan sudah janji dengan diriku sendiri dan juga nenek.. kalau semua urusan pribadiku, akan aku singkirkan demi Ha Neul dan Ho Seung,” katanya, mencoba menghibur neneknya itu.
Tentu saja, nenek Na Ri sebenarnya bukan pucat karena urusan janji pribadi cucu tertuanya itu, tapi karena mendengar nama Nyonya Han.
Hyo Rin hanya duduk disamping neneknya yang tertidur, sambil masih mengelus-elus tangan orangtua itu, menenangkannya, tanpa dia berpikir jauh, kenapa neneknya cemas.
                                    -------------------------------------------
Sore itu, Minho mencoba berolahraga, menelusuri paving di pinggiran sungai besar yang indah. Saat istirahat dan minum, dia duduk dan melihat-lihat sekeliling. Di tempat itu dia dulu bertemu dengan Hyo Rin. Myong masih setia menemaninya berolahraga.
“sepertinya dia enggak ada lagi deh... mungkin enggak pernah lagi lewat disini,” keluhnya.
Myong hanya melihat wajah tuannya yang berharap banget orang yang disukainya lewat dan mereka bisa bertemu lagi.
Minho masih santai, duduk dan meneguk minuman dinginnya.
Dia melipat saja kedua tangannya, termenung.
Mendadak, Byung Ho mengirimkan pesan, ternyata soal Min Jung.
“Manajemen Min Jung bilang, kamu menolak jalan dengannya”.
Minho tidak suka hal seperti itu hanya jadi pesan, lantas dia langsung menelepon managernya itu.
“hei.. kemarin kan kamu tahu.. kalau aku sibuk banget dan hari ini malah baru bisa berolahraga.. ya, begitu deh.. aku sibuk.. tolong jelaskan pada manajemennya... jangan sensitif,”
Byung Ho memahami itu. Minho memang kalau bekerja tidak ingin diganggu, totalitas membuatnya bisa bertahan dalam persaingan dunia artis.
“ya.. ya.. nanti aku bilang padanya,” jawab Byung, singkat.
“nah, begitu dong.. lagipula.. urusan drama yang lalu kan.. hanya tinggal 1x lagi pertemuan bersama,” balas Minho.
“itu juga masih minggu depan...,” lanjutnya.
Byung mengangguk-angguk saja dari kejauhan.
Minho lalu duduk lagi, merasa bete menjawab soal Min Jung. Dia cemberut saja memikirkan apa yang kemungkinan bisa saja terjadi.
Dia lalu memberikan tanda pada Myong supaya naik ke kursi taman dan duduk disampingnya. Anjing itu menurut saja kemauan tuannya.
“hey, Myong.. menurutmu.. apa dalam minggu-minggu ini.. aku bisa ketemu lagi dengan Sun Hyo Rin??,” katanya, berbicara dengan anjingnya.
Myong hanya menjawab dengan,”nguik,” sepertinya tidak tahu, apa yang akan terjadi pada tuannya dan cewek yang disukainya itu.
“kasian banget loh.. kehidupan Hyo Rin.. berat sekali, Myong... rumahnya kumuh sekali.. neneknya pun buta.. enggak kebayang,” celoteh Minho sendirian pada anjingnya itu.
“mungkin juga dia enggak mau bertemu aku lagi.. walau baju pemberianku masih ditangannya.”
Myong meletakkan kepala dan rahangnya diatas tangan Minho. Tampaknya dia mencoba mengerti perasaan tuannya yang galau.
“aku enggak macam-macam kok sama dia.. ,” keluh Minho lagi.
“nguik,” balas Myong, sambil menatap wajah tuannya.

Minho masih istirahat, duduk. Masih berharap bisa bertemu dengan Hyo Rin di sore itu. Dahulu pertama kali bertemu, dia masih ingat pada waktu dan jam yang sama.
Sudah dua jam dia mencoba untuk menunggu, akhirnya dia merasa putus asa, dan berdiri, ingin pulang. Dia duluan berjalan di depan Myong.
Namun... Myong menggonggong keras sekali... meminta tuannya menoleh.
Minho pun akhirnya menoleh. Dia melihat seorang cewek sedang membawa sepedanya.. khas sekali.. sepeda tua itu, gaya jalan itu, keranjang di depan dan belakang.. semua milik Sun Hyo Rin!
Minho langsung berlari menghampirinya. Myong pun ikut menyusul tuannya sambil menggonggong.
Hyo Rin sadar kalau di depannya Minho sedang berlari. Dia ingin sekali lagi, lari dari kenyataan, menghindar dari cowok itu, namun ketika dia ceritakan semuanya pada neneknya, sang nenek hanya menjawab,” hadapi saja semua dengan perasaan lega”, termasuk juga pada cowok bernama Lee Minho itu.

Minho berhasil menghampirinya dan berwajah ceria, walau penuh keringat.
olenmanieyo!,” katanya dengan penuh semangat.
“ah iya... 2 minggu kita enggak ketemuan.. aku minta maaf, Minho.. aku belum kembalikan gaun yang kamu pinjamkan,” jawab Hyo Rin, malah menunduk hormat pada Minho, kaku sekali.
Minho jadi tambah heran dengan sikap cewek itu.
“aku kan sudah janji..akan berikan kamu gaun itu.. jadi..tidak perlu dikembalikan,” senyumnya pada Hyo Rin.
“aku akan berhutang budi padamu kalau enggak dikembalikan, Minho...aku minta maaf,”
“buat apa? Aku merasa kamu sama sekali tidak berhutang budi padamu..,” balas Minho dengan suara tegas.
“hei..aku enggak mau membicarakan itu lagi..kalau tidak dikembalikan juga..tidak mengapa,” lanjutnya.
Myong menggonggong pada Hyo Rin, seperti dia mendukung perkataan tuannya.
Hyo Rin masih ingat saja perkataan terakhirnya pada Minho.
Mereka jalan menelusuri rimbunan pepohonan dan sesekali, beberapa helai daun berjatuhan diantara kaki-kaki mereka.

Minho menghentikan langkahnya. Hyo Rin pun melakukan hal yang sama.
“tidak perlu malu berteman denganku... aku pikir, kita semua sama saja,” kata Minho.
“memang... angin yang kita hirup..memilih-milih..dengan siapa dia akan dihirup??,”
Hyo Rin menggeleng.
“semestinya aku tahu jawabanmu sudah sedari tadi..,” kata Minho.
Dia memasukkan kedua tangannya dalam saku celana panjang trainingnya.
“Umm.. aku tidak mau...kamu menganggap aku lebih diatasmu,” katanya lagi.
“tapi.. memang seperti itulah kehidupan, Minho...,” balas Hyo Rin, pelan.
“aku hanya berpegang pada realita, keadaanku saat ini,” lanjutnya lagi.
Minho menghela nafasnya.
“ah.. ya...baiklah.. lantas kamu akan kembali berkata “aku dan kamu bagai langit dan bumi..keduanya hanya bisa memandang saja”....,”
“dan memang seperti itu,” balas Hyo Rin, singkat, sebelum Minho melanjutkan perkataannya.

Minho diam, dalam hatinya, sebenarnya dia marah dan tersinggung dengan pembicaraan mereka dalam pesta kecilnya yang lalu.
“aku tidak bisa mengatakan itu lagi...,” balas Hyo Rin.
“kalau kamu mau marah padaku..silahkan saja,” lanjutnya lagi.
Minho mengeluarkan kedua telapak tangannya dari saku celana trainingnya, lalu menggaruk kepalanya.
ish.... so stupid!,” katanya, kesal menggerutu. Sikap kekanak-kanakannya mendadak muncul.
“si bodoh.. kalau kamu merasa miskin.. mestinya kamu juga tidak perlu malu padaku, tahu,” lanjutnya, dengan nada kesal.
“aku berterima kasih kamu telah memberikan ku baju pesta yang indah... tapi aku bersalah karena enggak bisa menebusnya, Minho,” Hyo Rin berani menatap wajah Minho.
“lupakan masalah baju...aku tidak singgung itu,” balas Minho, kesal.
Myong menggonggong pada keduanya, dia seperti merasakan juga kekesalan tuannya.
“aku harap...semua ini bisa ku lupakan....,” kata Hyo Rin.
“kamu...masih ingat perkataanku kan?? Bahwa langit dan bumi..dua hal berbeda..tidak bisa menyatu.. aku berpegang pada kenyataan itu,”
Minho diam. Dia memang tidak bisa memaksa perasaan. Hyo Rin bukan tipe cewek aji mumpung seperti banyak cewek di luar sana, yang akan sangat bangga ketika berhasil mendapatkan cinta cowok keren, mapan dan cakep.
“apa..kamu tidak mengerti perasaanku sama sekali??,”
“aku bukan tidak mengerti, Minho.. aku lelah dengan jurang yang dalam,” balas Hyo Rin, suaranya jadi tidak bersemangat lagi.
Jurang mereka memang terlalu dalam dan Minho terkesan memaksakan diri untuk menjadi lebih dangkal dan tidak lebar. Dia harus berpegang pada kenyataan, seperti apa yang dikatakan oleh sahabatnya.
“kamu pasti mengerti apa maksudku...,” masih kata Hyo Rin.

Minho menggenggam tangan Hyo Rin yang sedang memegang stang sepeda, lalu dengan keras mendorong sepeda tua itu dan memeluk cewek itu.
“payah.. hidupku payah sekali,” keluhnya. Dia berharap memang Hyo Rin akan mencintainya dengan tulus.
“kalau kehidupan berbeda.. aku tidak bisa apa-apa,” Hyo Rin mencoba tabah dan tersenyum.
Minho masih memeluknya. Dia diam saja.
“aku harus sadar..siapa diriku...,” lanjutnya lagi.
“tidak bisakah..kita mengabaikan keadaan??,” tanya Minho, seperti suara orang yang sedikit putus asa.
Hyo Rin meminta Minho melepas pelukannya. Dia lalu kembali mengambil sepedanya yang tadi jatuh.
Dia tertawa kecil pada Minho.
“aku tidak melawan takdirku, Minho... dengan inilah aku berusaha menghadapi takdirku,”
Minho diam dengan perkataan itu. Ya, mereka seperti melawan takdir jika tetap memaksakan hubungan itu.
“aku tetap harus berpijak pada tempatku..yang sudah aku hujamkan..,” lanjutnya lagi.
“ah..aku berjanji akan kembalikan gaunnya.. “,
“selamat malam...,” Hyo Rin menunduk hormat pada Minho, dia tersenyum, lalu meninggalkan cowok itu.
Minho terus diam, hanya memandangnya, diselingi jatuhnya dedaunan yang tertiup angin malam itu.
Hyo Rin mencoba kuat. Dia tidak ingin melawan takdirnya... dia ingat apa yang sudah diceritakan neneknya.
Sementara, Minho masih memandangnya pergi....angin makin bertiup kencang.. dedaunan pepohonan makin bersuara, seperti alunan musik sendu..
Myong menjilati tangan tuannya, berusaha menghibur hatinya Minho yang sedih memandang tubuh Sun Hyo Rin mulai menghilang di kejauhan.....


Bersambung ke part 10....