Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..
Suparno malam itu masih mencari Yudi. Anak
itu baru pulang jam 23.00 malam dan mengkhawatirkan kedua orangtuanya. Tanpa
bicara lagi dan tanpa salam, dia main masuk saja rumah besar itu. Tuminah
menggeleng kepalanya.
“Lek.. duduk sini karo mbah,” kata Tuminah memanggil Yudi
“aku wes
ngantuk, Mbah...sesuk wae.,” balas
Yudi malas, dia sudah merasa mengantuk dan harus tidur.
Tuminah yang akhirnya menghampiri Yudi
yang masih berdiri di depan pintu.
“Bapak mu masih ono di luar.. dia cari
kamu dari magrib ndak ketemu juga.. main di mana kamu, Lek??”
Yudi diam saja, dia main PS sampai lupa
waktu.
“kenapa ndak mau jawab?,” tanya Tuminah
lagi,” kasian bapak mu cari-cari kamu.. belum pulang juga sampai sekarang”
Tuminah lalu menasehati Yudi supaya tidak
menyusahkan kedua orangtuanya dan tidak main terlalu lama. Boleh anak itu
bermain tapi jangan sampai lupa waktu.
“yo
wes, mbah... aku arep sare,” jawabnya dengan wajah tidak enak hati.
Suparno tak berapa lama kembali lagi ke
rumah dan masih menemukan Tuminah duduk di ruang tamu yang besar dan sudah
mulai cuacanya dingin itu.
“Yudi wes
teko (sudah datang),” kata Tuminah santai,”tapi sudah tidur dikamarnya”
“Aku
durung iso didik dia, Bude,” kata Suparno, duduk di depan ibu angkatnya
itu, merasa bersalah dia belum bisa mendidik anaknya sendiri, sampai anak itu
pulang malam dan tidak merasa bersalah, seperti apa yang diceritakan Tuminah.
“sesuk minggu.. ajak jalan-jalan semua ke
kota,” balas Tuminah, hal itu bisa jadi pendekatan Suparno untuk anak-anaknya.
Suparno mengangguk saja dan besok akan
bawa mereka jalan-jalan.
Suparno memberikan kejutan pada kedua
anaknya, termasuk Minho.
“kita jalan-jalan hari ini... makanya
Bapak bangunin kalian pagi-pagi,” senyumnya pada Sri. Yudi masih merasa ngantuk
karena dia tidur malam. Dia cemberut saja duduk di kursi makan, wajahnya masih
kusut.
Sri teriak kegirangan dan dia menggendong
Minho yang masih mengantuk,” HOREEE.. KITA JALAN-JALAN NANG KOTA, DEK!”
Suparno senyum saja lihat kelakuan anak
sulungnya itu.
“Masak segera, Bu’e.. buat makan sama
bekel,” kata Suparno pada isterinya.
Tuminah lalu mengajak Juminah pergi ke
kebun supaya bisa mengambil sayur. Minho menarik-narik tangan Juminah
“ikut??,” tanya Sri padanya. Minho diam
saja.
Sri lalu menggandeng tangan Minho,” arep ngikut mungkin, Bu’e.. lihat
sayuran”
Juminah menggendong Minho, lalu
mengajaknya ikut ke kebun.
“aku juga ikut, Bu’e!,” teriak Sri,
menghampiri ibu dan nenek tirinya, lalu mereka pergi ke kebun.
“Kamu kenapa, Lek.. pulang malam ndak bilang-bilang dari mana... main??,”
tanya Suparno pada Yudi yang masih duduk dan mengantuk.
“main
karo amat dan liane, Pak’e,” jawab Yudi singkat, dia malah bangkit dari
duduk dan ingin pergi
“kamu lagi ngomong karo Bapak mu... ndak
sopan kalau pergi-pergi begitu aja, Lek,” kata Suparno.
Yudi menoleh,” aku ndak mau Pak’e curiga
karo aku.. tapi giliran karo Minho.. Pak’e sayang,”
Ternyata memang Yudi iri dengan sikap
Suparno yang dalam pandangannya beda terhadap dia dan Minho sedari awal anak
kecil itu tinggal dengan mereka.
“Bapak’e ndak pilih kasih, Lek.. kamu
sudah dikasih mainan mahal, tapi Minho kui mainannya hasil tabungan dari Mbak mu,
Sri,” kata Suparno.
“kurang , Pak’e.. uang jajan ku juga
sedikit,” Yudi malah berbalik arah melihat ayahnya lagi, minta yang lain
“Mbak mu saja jajannya masih sama, malah
dia bisa nabung, Lek,” kata Suparno
“biarpun Bapak mu kie sudah banyak uang..
tapi kan bukan uang Bapak, Lek.. uangnya mbah Tum,” lanjutnya lagi
“Pak’e pelit,” kata Yudi, tanpa ragu pada
ayahnya itu, lalu meninggalkannya lagi.
“Mau ikut Bapak ke keraton kan??,” tanya
Suparno
“iya,” jawab Yudi singkat, dia malah masuk
kamar lagi
Suparno mikir, dia harus apalagi pada
anaknya itu. Padahal mainan sudah dikasih.
“Ini bayam,” kata Minho pada Sri dengan
senyum manisnya.
“heeehh.. Minho pintar,” balas Sri. Dia
meminta Minho menaruh cabutan bayam di keranjang sayur.
“eeeh.. ojo dicabut sakabehe,” Sri melarang Minho mencabut semua bayam yang
sedang ditanam.
“cabut?,” tanya Minho heran. Sri lalu
mengajarkan lagi bahasa padanya.
Sementara Tuminah dan Juminah sedang
bicara juga sambil memetik sayuran yang lain.
“si No harus bisa tegas karo anakmu kui,” kata Tuminah. Dia khawatir kalau Suparno tidak tegas pada
Yudi, anak itu bisa semakin nakal dan tidak terkendali.
“Main terus karo konco-koncone.. lupa belajar,” keluh Juminah.
“dilarang.. ojo (jangan) dibiarin,” jawab Tuminah
“wes..
kesel-kesel iso aku cubit,” lanjutnya lagi. Mungkin orangtua itu sudah
kesal juga dengan tingkah laku cucu tirinya.
Tuminah lalu menoleh pada Sri dan Minho
yang berjarak beberapa puluh meter dari mereka berdua.
“cah
pungut mu malah bagus,” kata Tuminah lagi.
Minho tahu dia dilihat Tuminah, dia malah
berdiri lalu berteriak pada orangtua itu,”MBAH.. INI.. BAYAM!”. Dia ingat
diajarkan oleh Tuminah nama sayuran itu.
Tuminah cuma senyum saja dengan tingkah
Minho.
“ben
dia nakal.. kamu ojo ragu juga didik
dia,” kata Tuminah lagi pada Juminah.
“belum kelihatan nakalnya, Bude..,” balas
Juminah, sambil dia mengambil sayur daun ubi.
“ojo
didoakaken nakal.. didoakaken dadi cah bagus.. apik laku ne (jangan
didoakan jadi anak nakal.. didoakan jadi anak baik, perilaku baik),” ujar Tuminah.
“sing
penting urus dulu Yudi.. jangan kalian berlarut-larut biarin dia nakal”
“injih,
Bude,” jawab Juminah.
Minho dan Sri menghampiri mereka berdua.
Anak kecil itu minta lagi digendong Juminah, tapi Sri mengajaknya jalan dan
lomba lari di kebun.
“pelan-pelan lari nya, Minho.. nanti
jatuh,” kata Sri teriak pada adik angkatnya itu. Dia biarkan Minho lari duluan.
Sri tertawa-tawa lihat Minho yang larinya
cepat.
“awas nanti jatuh, Sri!,” teriak Juminah.
Ternyata Suparno jalan menuju mereka.
Melihat lelaki itu, Minho malah larinya makin kencang menuju ayah angkatnya
itu.
“bapak!,” katanya sambil berlari, Suparno
berjongkok dan menangkap tubuh Minho yang sudah ada di depannya
“cabut apaan tadi, Lek?? Seneng banget,”
senyum Suparno.
“cabut??,” kata Minho bingung, dia memang
baru dengar kata itu tadi dari Sri.
Sri menghampiri ayahnya,” Minho belajar
cabut bayam tadi, Pak’e”
“lekas pulang... mandiin dia.. nanti kalau
Bu’e mu sudah selesai masak.. kita cepetan pergi, biar ndak kesiangan,” ujar
Suparno.
Sri langsung menggendong Minho membawa dia
balik ke rumah untuk dimandikan.
Yudi yang melihat mereka berdua masuk
rumah langsung cemberut. Terang saja Sri heran dengan sikap adiknya itu, salah
apa dia??
“kenapa kamu cemberut?,” tanya Sri masih
menggendong Minho.
“abang.. ayo main,” kata Minho pada Yudi
“maen
dewek.. ra sudi (main sendiri, tidak sudi),” jawab Yudi ketus.
“kenapa sih.. kamu benci sekali sama
Minho??,” tanya Sri keheranan.
“kamu
kie.. opo-opo digai karo Pak’e (apapun dikasih sama Ayah).. kamu mau mainan,
dikasih karo Pak’e.. Minho ndak..
Minho mainannya dari uang aku,” lanjut Sri lagi
“Iyo
jelas.. dia dudu (bukan) anak Pak’e,” balas Yudi
ketus.
“Minho kui
adek kita,” ujar Sri, dia sudah mulai panas kalau Yudi menyinggung-nyinggung
lagi status Minho.
Minho mau merebut mainan Yudi dari
tangannya, Yudi langsung menepis,”Ojo!
Dasar cah pungut! (jangan, dasar anak pungut)”, bentaknya.
“Biarin.. nanti aku bilang karo Pak’e..
kamu kasar karo Minho,” Sri mengancam
adiknya sendiri
“sana bilang.. aku ndak takut!,” balas Yudi sengit. Dia mau menonjok Minho lagi yang
masih digendong Sri, Sri langsung menepis tangan Yudi.
“Ta’
bilang beneran karo Pak’e!,” Sri langsung berjalan keluar rumah lagi masih
sambil menggendong Minho, mau mengadu pada Suparno kalau Yudi kasar dengan adik
angkatnya itu.
Belum dia keluar, ternyata Tuminah sudah
di depan pintu bersama Juminah.
“ono
opo?? (ada apa),” tanya dia pada Sri
Yudi masih berdiri dan menatap mata mereka
seperti tatapan marah
“iku,
Mbah... Yudi arep tonjok Minho,”
jawab Sri, polos
Tuminah langsung menghampiri Yudi,”pean mau dadi preman, Lek?? Karo adikmu dewek benci,”
“siapa bilang dia adikku, Mbah? Dia itu
cuma anak pungut dari pasar,” jawab Yudi dengan berani pada Tuminah
Juminah jadi mengelus dada, anak lelakinya
tanpa perasaan ragu sama sekali mengucapkan kata itu barusan. Dia lalu menyuruh
Sri membawa Minho ke kamar mandi. Sri menuruti saja perkataan ibunya.
Begitu Sri lewat di samping Yudi, Yudi
langsung meledek, menjulurkan lidahnya,”pengaduan.. resek tenan”
“laku mu, Lek.. kamu belajar sama
siapa??”, tanya Tuminah.
Yudi diam dibilang seperti itu oleh nenek
angkatnya itu.
“jangan begitu, Lek.. semuanya sama.. Bu’e
juga sayang kamu.. kamu anak Bu’e.. Minho juga anak Bu’e,” kata Juminah.
“sopo
sing bilang kui?? Minho kui selamane anak pungut Pak’e karo Bu’e.. aku sing
anak asli (siapa yang berkata begitu? Minho selamanya jadi anak pungut ayah
dan ibu, aku anak kandung),” jawab Yudi dengan tegas, tidak mau disamakan
statusnya.
“pean
ndak boleh begitu sama siapapun, Yud.. mau itu anak pungut, anak kandung.. ,”
balas Tuminah dengan bahasa yang tegas.
“wes,
Bude,” kata Juminah berusaha ingin melerai
Tapi Tuminah menyuruh Juminah tidak
memotongnya menasehati Yudi.
Tuminah keras padanya,”duduk, pean”, memerintahkan Yudi supaya duduk.
Yudi menolak, dia tidak mau menuruti
perintah orangtua itu.
“duduk, Lek.. sebentar aja,” kata Juminah
Lama Yudi berdiri sedang Tuminah
memerintahkannya untuk duduk. Suparno masuk ke rumah itu.
Yudi akhirnya duduk juga, sebab Tuminah
tetap bersikeras menyuruhnya duduk.
“ono
opo, Bude??,” tanya Suparno heran
“aku cuma nyuruh anak mu kui duduk,” jawab Tuminah.
“duduk, Lek.. sebentar... Mbah mu mau
ngomong,” kata Suparno.
Dengan wajah dan pandangan mata seperti
dendam, Yudi akhirnya duduk.
“aku ndak suka kamu kasar karo Minho.. dia kui adikmu.. ,” kata Tuminah mulai menasehati.
Yudi sama sekali tidak menundukkan
kepalanya, santai saja dia bersikap seperti biasa.
“Sri juga mbak mu... ojo kamu kasari,” lanjutnya lagi.
“ora
(tidak),” jawab Yudi singkat.
“kita ini harus akur.. sesama saudara
harus akur,” kata Tuminah lagi
“Bapakmu beliken Minho itu baju.. itu
karena dia butuh baju.. kamu ndak mau kan.. lihat adikmu main ndak pake baju?,”
“Bu’e mu kasih Minho susu.. itu memang dia
butuh susu.. dudu dia sing minta dewek,”
“sakabeh
(semua) bela si Minho kui,” jawab
Yudi.
“Ora..
aku ndak akan bela Minho, Lek.. ben dia nakal, aku marahi,” balas Tuminah. Dia tidak ingin Yudi
merasa pilih kasih lalu seenaknya membenci antar saudara.
“duwe
sikap iri kui jelek, Lek... ndak baik. Nanti hati pean sakit,” kata Tuminah lagi.
“Bapak
karo ibu pean sebenarnya baik.. coba kalau pean sing dadi Minho.. nyasar
ngilang ndak tahu apa-apa.. dadi Bapak lan Ibu pean kui nolong Minho,”
“woohh.. opo?? Bapak’e karo Bu’e pilih
kasih.. aku wes ngarep mainan meneh ora digai (aku mau mainan baru tidak
diberi),” balas Yudi. Dia jadi melawan.
“mainan kamu sudah banyak kan, Lek?? Jadi
wong kudu sabar.. jangan sedikit-sedikit minta harus ada,” ujar Tuminah lagi
Yudi asli sebel dengan Tuminah, walau dia
anggap juga perempuan berumur itu sebagai neneknya.
“kalau Mbah mu sedang menasehati, mbok yo
didenger, Lek,” kata Suparno.
“aku
denger, Pak’e.. aku cuma ndak mau dibedain karo Minho kui.. anak sopo cah kui?,”
balas Yudi, ternyata kecil-kecil dia sudah punya sikap membangkang.
Tuminah jadi khawatir sikap pembangkangnya
itu suatu saat akan menyusahkan Suparno dan isteri.
“semua
podho.. ndak anak sopo-sopo.. pean, Sri, Minho.. sakabehe anak Suparno..
sakabehe putu ku (semuanya sama, cucuku, baik kamu, Sri dan Minho),” balas
Tuminah dengan suara tegas.
“yo
wes lah, Mbah.. aku arep adus (aku mau mandi),” kata Yudi, cuek dia berdiri
dan berlalu dari mereka
“Pean
mesti hati-hati sama sifatnya, No.. aku wedi
(takut) suatu hari bakalan dia karo
Minho habis-habisan berantem,” kata Tuminah pada Suparno.
Suparno sebenarnya sudah merasakan itu
sejak pertama kali Minho mereka ambil. Hanya saja, Suparno juga ingin
membahagiakan Sri yang memang ingin sekali punya adik seperti Minho.
“ndak
tega aku, Bude.. ben Minho dibalikaken nang kantor polisi,” kata Suparno
Tuminah tersenyum tapi seperti agak sinis
dengan sikap Suparno yang naive,”No..
No.. pean ki.. daridulu.. wes, jagain loro-loro ne.. supaya ndak gelut,”
kata Tuminah berdiri, lalu dia ke dapur jalan, membantu Juminah yang memasak
pagi itu.
“Mbak.. mau kemana??,” tanya Minho dikamar
Sri. Dia dipakaikan kemeja dan celana pendek baru.
“kita mau ke keraton.. lihat kerajaan,”
kata Sri.
Minho memang masih bingung dengan bahasa
Sri. Sri lalu bercerita pada Minho nanti mereka akan juga ke kebun binatang
melihat banyak hewan supaya Minho senang dan bisa foto-foto dengan binatang
jinak.
Sri lalu juga ganti baju dan mereka
keluar.
Mereka lalu menyiapkan segala keperluan,
mulai dari makanan, minuman sampai botol dan susu nya Minho. Lalu, menuju
sebuah kompleks kerajaan yang memakan waktu 3 jam lebih dari tempat tinggal
mereka.
Di kompleks kerajaan...
“Jagain Minho, Sri.. takut nanti dia
main-main jauh,” kata Suparno, mereka sedang melihat sebuah pagelaran seni
tari.
Alat musik terus mengalun, bersamaan
dengan para penari yang lemah gemulai. Minho duduk dipangku Sri. Dia melamun
saja melihat tarian itu, sepertinya dia pernah melihatnya, hanya, ingatannya
masih terlalu dini.
“Appa..,” katanya tiba-tiba mengucap
sebuah kata yang artinya Ayah.
Sri tidak tahu sama sekali kalau Minho
sedang mencoba mengingat keberadaannya pernah ada disini sebelumnya dengan
kedua orangtua aslinya.
“Apa, dek?? Kamu suka ya??,” tanya Sri
padanya
Minho malah menggeleng saja. Sri tetap
memangkunya supaya dia tidak jalan-jalan
“aku tidak mau, Mbak,” katanya singkat
Sri bingung, apa maksud adik angkatnya itu
dengan berkata tidak mau.
Mereka lalu keliling terus seputaran
kerajaan sampai capek dan selesai. Lalu makan di alun-alun yang cukup ramai
dengan menggelar tikar serta makanan komplit yang tadi sudah dimasak oleh
Juminah.
Juminah menawarkan makanan pada Yudi.
Yudi bilang kalau dia tidak mau makan, dia
sibuk bawa mainannya sendiri. Minho masih melihat mainan itu. Sekali lagi, dia
ingin sekali bermain dengan kakak angkatnya itu. Sama sekali dia tidak berfikir
jahat atau negatif tentang kakak angkatnya itu.
“opo
liat aku??,” kata Yudi dengan tatapan mata tajam
Minho cuek saja, tidak mengerti ekspresi
Yudi yang judes,”Main.. abang.. aku pinjam”
“ora
olih (gak boleh),” balas Yudi, dia malah lalu berdiri dan pergi
“ora
mangan tah, Lek?? (tidak makan, nak?),” tanya Juminah
“ora..
males aku,” jawab Yudi cuek, dia malah ke banyak tempat duduk dan main disana
sendirian dengan mobil-mobilannya yang dia bawa.
“besok beli mobilan ya?,” kata Suparno
pada Minho
“aku mau itu,” Minho merengek pada
semuanya. Dia hentak-hentakkan kakinya lalu menangis.
“jangan nangis disini, Dek.. nanti Bapak
sama Ibu malu,” kata Sri mencoba mendiamkan.
Tuminah pasang wajah dan kata-kata tegas
pada Minho,”diam.. ayo diam”
Semuanya jadi melihat Tuminah yang tegas
mendiamkan anak kecil itu.
Minho langsung diam tanpa suara lagi.
Tangisnya langsung berenti dan hentakan kakinya berhenti.
“besok mbah belikan mobilan.. sekarang
diam,” kata Tuminah lagi.
Minho benar-benar diam, dia hanya menyeka
air matanya.
Tuminah malah langsung menggeser duduknya
dan gendong dia,”ya sudah.. kamu jangan nangis.. besok kan mbah belikan yang
lebih bagus”
“aku mau, Mbah,” katanya masih bersuara
dan terisak.
Juminah menghampiri Yudi yang masih
bermain diantara jejeran tempat duduk dari semen.
“ayo,Lek.. makan.. nanti kamu lapar,”
katanya, duduk disamping anaknya
“ora
gelem (tidak mau),” jawab Yudi masih santai bermain
“nanti kamu sakit,” kata Juminah lagi
“aku kan wes bilang.. aku ora gelem!,” Yudi malah membentak
Juminah.
“Gusti.. kamu kenapa sih, Lek?? Kenapa
jadi suka marah-marah??,” Juminah mengelus dadanya
“aku ndak
bakalan marah kalau Minho ndak ada
lagi di rumah kita,” jawab Yudi ketus.
“enggak boleh gitu, Lek.. itu namanya
jahat.. Minho kan ndak salah apa-apa sama kamu toh??,” suara Juminah masih
lembut pada anaknya.
Yudi diam saja, dia tidak mau makan sama
sekali.
“Bu’e suapin,” senyum Juminah.
“ora
gelem,” jawab Yudi, masih menolak tawaran ibunya sendiri.
“nanti sakit.. Bu’e sing repot,” kata
Juminah lagi. Dia terus bujuk anaknya supaya mau makan.
“Tapi Bu’e janji.. besok uang jajan ku
ditambah.. uangnya kurang,” kata Yudi.
“kamu sudah bilang Bapak mu??,”
Yudi mengangguk,” Tapi Bapak ndak jawab,”
“Bu’e harus ngomong sama Bapak mu dulu,
Lek.. ndak bisa berikan begitu aja,”
Yudi cemberut kemauannya tidak dituruti,”
apa-apa selalu Minho yang dituruti”
“Ndak gitu, Lek.. Minho pernah minta apa
sama Bapak dan Ibu kamu?? Mainan saja dia tidak punya,” jawab Juminah
Yudi masih ngambek dan meminta ibunya
memaksa bicarakan soal uang jajan yang harus naik. Juminah lalu bilang akan
dibicarakan dengan ayahnya dan akhirnya Yudi baru mau makan.
“deleng
anak mu kui, No.. iso pean ngedein nanti koyo ngono?? (lihat anakmu itu,
No.. bisa kamu membesarkan anak seperti itu?),” tanya Tuminah pada Suparno yang
sedang makan
“kamu mesti keras, No.. keras bukan
berarti galak.. tapi didik,” katanya lagi
“iyo, Bude..,” jawab Suparno singkat.
Mereka lalu melanjutkan liburannya ke kebun
binatang..
“Singa,” ajar Sri pada Minho sewaktu
mereka sedang melihat singa yang sedang asik duduk diatas gundukan tanah.
“Sing..a..,” balas Minho.
Sri mengulang berkali-kali sampai Minho
bisa jelas mengucapkan Singa.
“anak mu kui, Sri suka tenanan sama bocah
kie.. kasian juga memang kalau kita pulangin anak itu,” kata Tuminah pada
Suparno
“itulah, Bude.. aku bingung,” jawab
Suparno
“kamu beneran siap asuh anak yang
berlawanan sikap, No??,”
Suparno bingung ditanya begitu sama
Tuminah. Dilihat memang sudah jelas bedanya antara Yudi dengan Minho.
“ini
masih pada cah cilik, No.. ndak tahu kalau nanti wes pada gede (ini masih
kecil, tidak tahu kalau besar nanti),” kata Tuminah
“dah terlanjur, Bude... aku tetep anggap
Minho anak ku,” jawab Suparno.
“Pak’e.. Minho sama aku fotoan sama anak
harimau dong!,” pinta Sri pada Suparno
Yudi lagi-lagi menatap mereka, Juminah
langsung menghampirinya,”arep foto juga
karo macan, Lek??”, menawarkan anaknya apa mau berfoto dengan anak macan.
Suparno melihat Yudi, langsung juga
menghampiri,”fotoan karo anak macan, Lek.. ayo”, menggandeng Yudi. Dia tidak
ingin merasa anaknya mengira dia pilih kasih.
Mereka lalu foto dengan anak harimau.
“di
deleng, Pak’e.. Minho ngganteng tenanan kalau fotoan,” kata Sri senang, dia
puji adik angkatnya itu yang cakep kalau difoto
“Iki
cah model ben gede ne,” tawa Tuminah
Yudi iri dengan pujian Sri. Suparno
langsung merasa
“Yudi
podho ngganteng, Sri.. pean sing rodo ora senyum (yudi juga ganteng, kamu
malah yang tidak senyum),” kata Suparno. Sri tidak marah, dia cuma tertawa
renyah dengan sindiran ayahnya sendiri.
“ono
kemedi puter, Pak’e.. aku arep nempak itu karo Minho (ada carrousel, aku
mau naik itu dengan Minho),” kata Sri lagi ketika mereka sampai di arena
bermain anak.
“Yudi ajak juga, Sri,” kata Juminah
Sri langsung menggandeng tangan Yudi,
satunya lagi menggandeng tangan mungil Minho.
“ra
usah.. aku iso jalan dewek (tidak perlu..aku bisa jalan sendiri),” tepis
Yudi pada tangan Sri
Sri akhirnya cuek dan dia malah mengajak
Minho jalan bersamanya. Yudi jalan belakangan.
“Laku nya, No.. No,” kata Tuminah, tidak
habis pikir dengan tingkahlaku Yudi yang terlihat benci pada adik angkatnya,
Minho itu.
Mereka bertiga naik komedi putar...
Minho tertawa-tawa duduk bersama disamping
Sri, mereka naik komedi putar seperti kursi duduk biasa, sampai selesai.
“Aku mau itu,” kata Minho ketika sudah
selesai, dia menunjuk-nunjuk pada permainan yang sama. Ternyata dia masih mau
main lagi.
Suparno menghampiri mereka dan menyuruh
Sri dan Minho main lagi kalau masih suka. Yudi langsung pergi entah kemana, dia
main ke tempat permainan lain tanpa terlihat Suparno dan yang lain.
Yudi beralih ke permainan ambil bola
seperti basket masuk keranjang. Dia lalu memasang koin...selesai main, dia
pergi ke tempat banyak pedagang berjualan mainan.
Suparno lalu tidak melihatnya dan langsung
mencari, berkeliling.
“kemana ini Yudi, Pak?,” tanya Juminah
jadi panik.
“kesana,” tiba-tiba Minho menunjuk sebuah
arah, memang berlawanan dengan arah mereka mau pulang. Masih di area permainan.
“ke sana??,” tanya Sri. Minho mengangguk.
“iya kali, Pak’e.. memang kesana,” kata
Sri pada bapaknya. Suparno lalu bergegas jalan dan tetap menyuruh mereka
tinggal disitu supaya tidak terpecah pagi. Hari sudah menjelang sore dan gelap,
seperti mau hujan.
Dia pun mencari-cari Yudi kesana kemari...
tiba-tiba..
“Kowe
bocah-bocah maling! (kamu kecil-kecil mencuri),” salahseorang pedagang
mainan teriak. Ada kerumunan beberapa orang dewasa dan anak-anak disana
“Digawa
wae nang kantor polisi, ben kapok (bawa saja ke kantor polisi biar kapok),” kata salah seorang yang
berkerumun disana
“Iya.. iya!!,” teriak banyak orang
dikerumunan itu
“ampun, Pak.. aku enggak nyolong,” kata
anak itu jongkok berharap-harap diampuni pedagang mainan yang mainannya dia
curi
Suparno heran dengan kerumunan itu, lalu
dia menghampiri.. dia kaget.. ternyata itu Yudi!
“Yud.. kamu kenapa??,” katanya heran,
kaget, shocked.
“Pak’e.. tolong,” kata Yudi memelas.
“dadi
pean bapak’e?? Ora iso didik anak.. anak pean curi mainan dodolan ku!,”
marah si pedagang pada Suparno, karena Yudi sudah mencuri salahsatu mainan
dagangannya
Suparno berjongkok di depan Yudi yang
sedang ketakutan,”Gusti.. kamu kenapa, Lek?? Kenapa ndak bilang Bapakmu kalau
mau mainan?? Ndak perlu nyolong begini.. bapak’e malu tenan”
“Bapak ajarin tuh anaknya.. jangan nyuri
gitu,” kata pedagang itu lagi, judes
“iya, pak.. nyuwun pangapunten sanget
(minta maaf sekali),” jawab Suparno
“biar saya ganti berapa tadi,” lanjutnya
lagi
Ada beberapa dikerumunan yang
berbisik,”kecil-kecil sudah jago mencuri.. apalagi nanti gede?? Parah,”
Suparno mendengar itu, sebenarnya dia
sedih, sedang Yudi masih ketakutan karena ketahuan mencuri mobil-mobilan
plastik.
Pedagang lalu menyebut harganya, Suparno
membayar. Dia lalu menarik tangan Yudi dan meminta maaf.
Beberapa orang seperti setengah berteriak
dan mengejek Suparno dan Yudi,” Huuuu...ajarin tuh anaknya..biar enggak jadi
pencuri”, dan kerumunan langsung bubar. Suparno masih memegang tangan Yudi
kembali ke tempat awal tadi mereka berkumpul.
Juminah menghampiri mereka,” Kenapa
nangis, Lek??”
Yudi diam saja, tidak menjawab apa kata
ibunya.
“wes..
kita pulang aja,” kata Suparno. Hari memang sudah mulai sore dan gelap dan
kebun binatang sudah mau tutup.
Diperjalanan Suparno lebih banyak diam.
Sementara Sri malah asik mengajarkan Minho banyak kata-kata, termasuk melihat
foto polaroid tadi. Yudi malah ketiduran.
Juminah bertanya sebenarnya ada apa, tapi
Suparno hanya bilang lebih baik di bahas dirumah, tidak didepan Sri dan Minho
yang masih melek.
“Mbak Sri.. ini sayang,” kata Minho
mengeluarkan suaranya.
Tuminah kaget dengan perkataan Minho tadi,
tidak tahu darimana kata itu dia dengar. Tuminah memang duduk disebelah Sri.
“Minho sayang mbak Sri begitu??,” tanya
Sri
“love,” kata Sri. Kelas lima memang dia sudah
belajar bahasa inggris.
Minho mengangguk.
Sri malah tertawa terkekeh dengan
pengakuan adik angkatnya itu.
“Minho.. sayang Mbah?”, tanya Sri
Minho mengangguk,”sayang..mbah”, kata
suara mungilnya
Sri tertawa lagi,”Pak’e.. tahun depan..
Minho sekolah yo??”
“Sekolah umur telu taun iso ora??,” tanya Suparno pada Sri, memang bisa..
anak umur tiga tahun sekolah?
“Iso,
Pak’e.. adek nya si Nur wes sekolah,”
jawab Sri yang bilang bisa sekolah umur 3 tahun.
“Yo
wes.. ta’ urusi sekolahne,” jawab Suparno, dia melihat kedua anak itu dari
kaca tetap menyetir.
“Horee.. Minho tahun depan sekolah.. nanti
kamu aku antar pakai sepeda tiap pagi ya, dek.. kita berangkat sekolah
sama-sama,” kata Sri dengan wajah senang.
“sekarang Minho nyanyi sama aku,” katanya
lagi
Sri lalu bernyanyi bintang kecil dan
menyuruh Minho mengikutinya.
Mereka berdua bikin suasana mobil jadi
ramai sepanjang perjalanan. Sementara Yudi yang tadi menangis tetap tertidur.
Sampai di rumah.. Suparno mengajak Tuminah
dan Juminah bicara.. Dia menceritakan kejadian tadi sebelum mereka pulang.
“No.. No... ini cobaan pean,” ujar Tuminah
“Aku ndak nyangka Yudi bisa begini,” kata
Juminah. Lalu dia teringat akan uang Rp 20.000,- yang hilang di lemari nya dan
dia cerita pada mereka.
“tapi aku ndak mau nyangka itu anak kita sing
ngelakoni,” lanjut Juminah dalam curhatnya itu. Memang ada banyak pekerja
disana mulai selepas magrib sampai dini hari, tapi kebanyakan mereka tidak
sampai masuk ke rumah, sebab biasanya daridulu Tuminah akan menyediakan kopi
dan gorengan untuk mereka diteras depan dan ada kamar mandi di belakang rumah
yang terpisah dari rumah besar mereka.
“Anak itu kalau tidak dituruti kemauannya
malah ngamuk,” kata Tuminah
“Tadi dia ndak mau makan.. pengen minta
tambahan uang jajan,” kata Juminah,”pean
wes ngasih janji ora?,” dia tanya Suparno apa memang kasih janji ke Yudi
untuk menambah uang jajan dan juga minta dibelikan mainan
“Kalian harus tegas pada anak-anak..
jangan semua dituruti.. aku cuma mikir.. tadi sore Minho takut kalau aku
tegas.. tapi sepertinya Yudi ndak,”
kata Tuminah.
“Tapi.. bukan berarti Yudi ndak bisa berubah dan Minho dadi nakal,” lanjutnya lagi
“Ndak
mungkin aku balikin Minho, Bude,” kata Suparno, dia sekali lagi merasa bersalah
dengan Sri
“Aku wes
ndak nyuruh pean balikin dia
kok.. tapi pean harus jaga mereka
supaya nanti pas mereka besar.. mereka ndak
berantem terus,” jawab Tuminah.
“Iyo,
Bude.. aku rodo sensitif,” balas
Suparno.
“wes... aku arep sare,” Tuminah berdiri
lalu pamit pergi ke kamarnya untuk tidur
Suparno jadi mikir, begitu juga Juminah
dengan kejadian tadi. Mereka tidak sangka kalau Yudi bisa seperti itu. Padahal,
dikesehariannya mereka cukupi jajan dan mainannya. Dan sebenarnya mereka tidak
tahu juga, kalau Yudi beberapa kali memalak anak-anak yang lemah dan penakut.
Bersambung ke part 7...