This is me....

Kamis, November 27, 2014

The Jengkol Heirs (Part 6: Aku Sayang Kakak Sri)



Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..

Suparno malam itu masih mencari Yudi. Anak itu baru pulang jam 23.00 malam dan mengkhawatirkan kedua orangtuanya. Tanpa bicara lagi dan tanpa salam, dia main masuk saja rumah besar itu. Tuminah menggeleng kepalanya.
“Lek.. duduk sini karo mbah,” kata Tuminah memanggil Yudi
“aku wes ngantuk, Mbah...sesuk wae.,” balas Yudi malas, dia sudah merasa mengantuk dan harus tidur.
Tuminah yang akhirnya menghampiri Yudi yang masih berdiri di depan pintu.
“Bapak mu masih ono di luar.. dia cari kamu dari magrib ndak ketemu juga.. main di mana kamu, Lek??”
Yudi diam saja, dia main PS sampai lupa waktu.
“kenapa ndak mau jawab?,” tanya Tuminah lagi,” kasian bapak mu cari-cari kamu.. belum pulang juga sampai sekarang”
Tuminah lalu menasehati Yudi supaya tidak menyusahkan kedua orangtuanya dan tidak main terlalu lama. Boleh anak itu bermain tapi jangan sampai lupa waktu.
yo wes, mbah... aku arep sare,” jawabnya dengan wajah tidak enak hati.
Tuminah mempersilahkannya tidur.
Suparno tak berapa lama kembali lagi ke rumah dan masih menemukan Tuminah duduk di ruang tamu yang besar dan sudah mulai cuacanya dingin itu.
“Yudi wes teko (sudah datang),” kata Tuminah santai,”tapi sudah tidur dikamarnya”
Aku durung iso didik dia, Bude,” kata Suparno, duduk di depan ibu angkatnya itu, merasa bersalah dia belum bisa mendidik anaknya sendiri, sampai anak itu pulang malam dan tidak merasa bersalah, seperti apa yang diceritakan Tuminah.
“sesuk minggu.. ajak jalan-jalan semua ke kota,” balas Tuminah, hal itu bisa jadi pendekatan Suparno untuk anak-anaknya.
Suparno mengangguk saja dan besok akan bawa mereka jalan-jalan.


Suparno memberikan kejutan pada kedua anaknya, termasuk Minho.
“kita jalan-jalan hari ini... makanya Bapak bangunin kalian pagi-pagi,” senyumnya pada Sri. Yudi masih merasa ngantuk karena dia tidur malam. Dia cemberut saja duduk di kursi makan, wajahnya masih kusut.
Sri teriak kegirangan dan dia menggendong Minho yang masih mengantuk,” HOREEE.. KITA JALAN-JALAN NANG KOTA, DEK!”
Suparno senyum saja lihat kelakuan anak sulungnya itu.
“Masak segera, Bu’e.. buat makan sama bekel,” kata Suparno pada isterinya.
Tuminah lalu mengajak Juminah pergi ke kebun supaya bisa mengambil sayur. Minho menarik-narik tangan Juminah
“ikut??,” tanya Sri padanya. Minho diam saja.
Sri lalu menggandeng tangan Minho,” arep ngikut mungkin, Bu’e.. lihat sayuran”
Juminah menggendong Minho, lalu mengajaknya ikut ke kebun.
“aku juga ikut, Bu’e!,” teriak Sri, menghampiri ibu dan nenek tirinya, lalu mereka pergi ke kebun.

“Kamu kenapa, Lek.. pulang malam ndak bilang-bilang dari mana... main??,” tanya Suparno pada Yudi yang masih duduk dan mengantuk.
main karo amat dan liane, Pak’e,” jawab Yudi singkat, dia malah bangkit dari duduk dan ingin pergi
“kamu lagi ngomong karo Bapak mu... ndak sopan kalau pergi-pergi begitu aja, Lek,” kata Suparno.
Yudi menoleh,” aku ndak mau Pak’e curiga karo aku.. tapi giliran karo Minho.. Pak’e sayang,”
Ternyata memang Yudi iri dengan sikap Suparno yang dalam pandangannya beda terhadap dia dan Minho sedari awal anak kecil itu tinggal dengan mereka.
“Bapak’e ndak pilih kasih, Lek.. kamu sudah dikasih mainan mahal, tapi Minho kui mainannya hasil tabungan dari Mbak mu, Sri,” kata Suparno.
“kurang , Pak’e.. uang jajan ku juga sedikit,” Yudi malah berbalik arah melihat ayahnya lagi, minta yang lain
“Mbak mu saja jajannya masih sama, malah dia bisa nabung, Lek,” kata Suparno
“biarpun Bapak mu kie sudah banyak uang.. tapi kan bukan uang Bapak, Lek.. uangnya mbah Tum,” lanjutnya lagi
“Pak’e pelit,” kata Yudi, tanpa ragu pada ayahnya itu, lalu meninggalkannya lagi.
“Mau ikut Bapak ke keraton kan??,” tanya Suparno
“iya,” jawab Yudi singkat, dia malah masuk kamar lagi
Suparno mikir, dia harus apalagi pada anaknya itu. Padahal mainan sudah dikasih.

“Ini bayam,” kata Minho pada Sri dengan senyum manisnya.
“heeehh.. Minho pintar,” balas Sri. Dia meminta Minho menaruh cabutan bayam di keranjang sayur.
“eeeh.. ojo dicabut sakabehe,” Sri melarang Minho mencabut semua bayam yang sedang ditanam.
“cabut?,” tanya Minho heran. Sri lalu mengajarkan lagi bahasa padanya.
Sementara Tuminah dan Juminah sedang bicara juga sambil memetik sayuran yang lain.
“si No harus bisa tegas karo anakmu kui,” kata Tuminah. Dia khawatir kalau Suparno tidak tegas pada Yudi, anak itu bisa semakin nakal dan tidak terkendali.
“Main terus karo konco-koncone.. lupa belajar,” keluh Juminah.
“dilarang.. ojo (jangan) dibiarin,” jawab Tuminah
wes.. kesel-kesel iso aku cubit,” lanjutnya lagi. Mungkin orangtua itu sudah kesal juga dengan tingkah laku cucu tirinya.
Tuminah lalu menoleh pada Sri dan Minho yang berjarak beberapa puluh meter dari mereka berdua.
cah pungut mu malah bagus,” kata Tuminah lagi.
Minho tahu dia dilihat Tuminah, dia malah berdiri lalu berteriak pada orangtua itu,”MBAH.. INI.. BAYAM!”. Dia ingat diajarkan oleh Tuminah nama sayuran itu.
Tuminah cuma senyum saja dengan tingkah Minho.
ben dia nakal.. kamu ojo ragu juga didik dia,” kata Tuminah lagi pada Juminah.
“belum kelihatan nakalnya, Bude..,” balas Juminah, sambil dia mengambil sayur daun ubi.
ojo didoakaken nakal.. didoakaken dadi cah bagus.. apik laku ne (jangan didoakan jadi anak nakal.. didoakan jadi anak baik, perilaku baik),” ujar Tuminah.
sing penting urus dulu Yudi.. jangan kalian berlarut-larut biarin dia nakal”
injih, Bude,” jawab Juminah.
Minho dan Sri menghampiri mereka berdua. Anak kecil itu minta lagi digendong Juminah, tapi Sri mengajaknya jalan dan lomba lari di kebun.
“pelan-pelan lari nya, Minho.. nanti jatuh,” kata Sri teriak pada adik angkatnya itu. Dia biarkan Minho lari duluan.
Sri tertawa-tawa lihat Minho yang larinya cepat.
“awas nanti jatuh, Sri!,” teriak Juminah.
Ternyata Suparno jalan menuju mereka. Melihat lelaki itu, Minho malah larinya makin kencang menuju ayah angkatnya itu.
“bapak!,” katanya sambil berlari, Suparno berjongkok dan menangkap tubuh Minho yang sudah ada di depannya
“cabut apaan tadi, Lek?? Seneng banget,” senyum Suparno.
“cabut??,” kata Minho bingung, dia memang baru dengar kata itu tadi dari Sri.
Sri menghampiri ayahnya,” Minho belajar cabut bayam tadi, Pak’e”
“lekas pulang... mandiin dia.. nanti kalau Bu’e mu sudah selesai masak.. kita cepetan pergi, biar ndak kesiangan,” ujar Suparno.
Sri langsung menggendong Minho membawa dia balik ke rumah untuk dimandikan.

Yudi yang melihat mereka berdua masuk rumah langsung cemberut. Terang saja Sri heran dengan sikap adiknya itu, salah apa dia??
“kenapa kamu cemberut?,” tanya Sri masih menggendong Minho.
“abang.. ayo main,” kata Minho pada Yudi
maen dewek.. ra sudi (main sendiri, tidak sudi),” jawab Yudi ketus.
“kenapa sih.. kamu benci sekali sama Minho??,” tanya Sri keheranan.
kamu kie.. opo-opo digai karo Pak’e (apapun dikasih sama Ayah).. kamu mau mainan, dikasih karo Pak’e.. Minho ndak.. Minho mainannya dari uang aku,” lanjut Sri lagi
“Iyo jelas.. dia dudu (bukan) anak Pak’e,” balas Yudi ketus.
“Minho kui adek kita,” ujar Sri, dia sudah mulai panas kalau Yudi menyinggung-nyinggung lagi status Minho.
Minho mau merebut mainan Yudi dari tangannya, Yudi langsung menepis,”Ojo! Dasar cah pungut! (jangan, dasar anak pungut)”, bentaknya.
“Biarin.. nanti aku bilang karo Pak’e.. kamu kasar karo Minho,” Sri mengancam adiknya sendiri
“sana bilang.. aku ndak takut!,” balas Yudi sengit. Dia mau menonjok Minho lagi yang masih digendong Sri, Sri langsung menepis tangan Yudi.
Ta’ bilang beneran karo Pak’e!,” Sri langsung berjalan keluar rumah lagi masih sambil menggendong Minho, mau mengadu pada Suparno kalau Yudi kasar dengan adik angkatnya itu.

Belum dia keluar, ternyata Tuminah sudah di depan pintu bersama Juminah.
ono opo?? (ada apa),” tanya dia pada Sri
Yudi masih berdiri dan menatap mata mereka seperti tatapan marah
iku, Mbah... Yudi arep tonjok Minho,” jawab Sri, polos
Tuminah langsung menghampiri Yudi,”pean mau dadi preman, Lek?? Karo adikmu dewek benci,”
“siapa bilang dia adikku, Mbah? Dia itu cuma anak pungut dari pasar,” jawab Yudi dengan berani pada Tuminah
Juminah jadi mengelus dada, anak lelakinya tanpa perasaan ragu sama sekali mengucapkan kata itu barusan. Dia lalu menyuruh Sri membawa Minho ke kamar mandi. Sri menuruti saja perkataan ibunya.
Begitu Sri lewat di samping Yudi, Yudi langsung meledek, menjulurkan lidahnya,”pengaduan.. resek tenan
“laku mu, Lek.. kamu belajar sama siapa??”, tanya Tuminah.
Yudi diam dibilang seperti itu oleh nenek angkatnya itu.
“jangan begitu, Lek.. semuanya sama.. Bu’e juga sayang kamu.. kamu anak Bu’e.. Minho juga anak Bu’e,” kata Juminah.
sopo sing bilang kui?? Minho kui selamane anak pungut Pak’e karo Bu’e.. aku sing anak asli (siapa yang berkata begitu? Minho selamanya jadi anak pungut ayah dan ibu, aku anak kandung),” jawab Yudi dengan tegas, tidak mau disamakan statusnya.
pean ndak boleh begitu sama siapapun, Yud.. mau itu anak pungut, anak kandung.. ,” balas Tuminah dengan bahasa yang tegas.
wes, Bude,” kata Juminah berusaha ingin melerai
Tapi Tuminah menyuruh Juminah tidak memotongnya menasehati Yudi.

Tuminah keras padanya,”duduk, pean”, memerintahkan Yudi supaya duduk.
Yudi menolak, dia tidak mau menuruti perintah orangtua itu.
“duduk, Lek.. sebentar aja,” kata Juminah
Lama Yudi berdiri sedang Tuminah memerintahkannya untuk duduk. Suparno masuk ke rumah itu.
Yudi akhirnya duduk juga, sebab Tuminah tetap bersikeras menyuruhnya duduk.
ono opo, Bude??,” tanya Suparno heran
“aku cuma nyuruh anak mu kui duduk,” jawab Tuminah.
“duduk, Lek.. sebentar... Mbah mu mau ngomong,” kata Suparno.
Dengan wajah dan pandangan mata seperti dendam, Yudi akhirnya duduk.
“aku ndak suka kamu kasar karo Minho.. dia kui adikmu.. ,” kata Tuminah mulai menasehati.
Yudi sama sekali tidak menundukkan kepalanya, santai saja dia bersikap seperti biasa.
“Sri juga mbak mu... ojo kamu kasari,” lanjutnya lagi.
ora (tidak),” jawab Yudi singkat.
“kita ini harus akur.. sesama saudara harus akur,” kata Tuminah lagi
“Bapakmu beliken Minho itu baju.. itu karena dia butuh baju.. kamu ndak mau kan.. lihat adikmu main ndak pake baju?,”
“Bu’e mu kasih Minho susu.. itu memang dia butuh susu.. dudu dia sing minta dewek,”
sakabeh (semua) bela si Minho kui,” jawab Yudi.
“Ora.. aku ndak akan bela Minho, Lek.. ben dia nakal, aku marahi,” balas Tuminah. Dia tidak ingin Yudi merasa pilih kasih lalu seenaknya membenci antar saudara.
“duwe sikap iri kui jelek, Lek... ndak baik. Nanti hati pean sakit,” kata Tuminah lagi.
Bapak karo ibu pean sebenarnya baik.. coba kalau pean sing dadi Minho.. nyasar ngilang ndak tahu apa-apa.. dadi Bapak lan Ibu pean kui nolong Minho,”
“woohh.. opo?? Bapak’e karo Bu’e pilih kasih.. aku wes ngarep mainan meneh ora digai (aku mau mainan baru tidak diberi),” balas Yudi. Dia jadi melawan.
“mainan kamu sudah banyak kan, Lek?? Jadi wong kudu sabar.. jangan sedikit-sedikit minta harus ada,” ujar Tuminah lagi
Yudi asli sebel dengan Tuminah, walau dia anggap juga perempuan berumur itu sebagai neneknya.
“kalau Mbah mu sedang menasehati, mbok yo didenger, Lek,” kata Suparno.
aku denger, Pak’e.. aku cuma ndak mau dibedain karo Minho kui.. anak sopo cah kui?,” balas Yudi, ternyata kecil-kecil dia sudah punya sikap membangkang.
Tuminah jadi khawatir sikap pembangkangnya itu suatu saat akan menyusahkan Suparno dan isteri.
semua podho.. ndak anak sopo-sopo.. pean, Sri, Minho.. sakabehe anak Suparno.. sakabehe putu ku (semuanya sama, cucuku, baik kamu, Sri dan Minho),” balas Tuminah dengan suara tegas.
yo wes lah, Mbah.. aku arep adus (aku mau mandi),” kata Yudi, cuek dia berdiri dan berlalu dari mereka
Pean mesti hati-hati sama sifatnya, No.. aku wedi (takut) suatu hari bakalan dia karo Minho habis-habisan berantem,” kata Tuminah pada Suparno.
Suparno sebenarnya sudah merasakan itu sejak pertama kali Minho mereka ambil. Hanya saja, Suparno juga ingin membahagiakan Sri yang memang ingin sekali punya adik seperti Minho.
ndak tega aku, Bude.. ben Minho dibalikaken nang kantor polisi,” kata Suparno
Tuminah tersenyum tapi seperti agak sinis dengan sikap Suparno yang naive,”No.. No.. pean ki.. daridulu.. wes, jagain loro-loro ne.. supaya ndak gelut,” kata Tuminah berdiri, lalu dia ke dapur jalan, membantu Juminah yang memasak pagi itu.

“Mbak.. mau kemana??,” tanya Minho dikamar Sri. Dia dipakaikan kemeja dan celana pendek baru.
“kita mau ke keraton.. lihat kerajaan,” kata Sri.
Minho memang masih bingung dengan bahasa Sri. Sri lalu bercerita pada Minho nanti mereka akan juga ke kebun binatang melihat banyak hewan supaya Minho senang dan bisa foto-foto dengan binatang jinak.
Sri lalu juga ganti baju dan mereka keluar.
Mereka lalu menyiapkan segala keperluan, mulai dari makanan, minuman sampai botol dan susu nya Minho. Lalu, menuju sebuah kompleks kerajaan yang memakan waktu 3 jam lebih dari tempat tinggal mereka.

Di kompleks kerajaan...
“Jagain Minho, Sri.. takut nanti dia main-main jauh,” kata Suparno, mereka sedang melihat sebuah pagelaran seni tari.
Alat musik terus mengalun, bersamaan dengan para penari yang lemah gemulai. Minho duduk dipangku Sri. Dia melamun saja melihat tarian itu, sepertinya dia pernah melihatnya, hanya, ingatannya masih terlalu dini.
“Appa..,” katanya tiba-tiba mengucap sebuah kata yang artinya Ayah.
Sri tidak tahu sama sekali kalau Minho sedang mencoba mengingat keberadaannya pernah ada disini sebelumnya dengan kedua orangtua aslinya.
“Apa, dek?? Kamu suka ya??,” tanya Sri padanya
Minho malah menggeleng saja. Sri tetap memangkunya supaya dia tidak jalan-jalan
“aku tidak mau, Mbak,” katanya singkat
Sri bingung, apa maksud adik angkatnya itu dengan berkata tidak mau.
Mereka lalu keliling terus seputaran kerajaan sampai capek dan selesai. Lalu makan di alun-alun yang cukup ramai dengan menggelar tikar serta makanan komplit yang tadi sudah dimasak oleh Juminah.

Juminah menawarkan makanan pada Yudi.
Yudi bilang kalau dia tidak mau makan, dia sibuk bawa mainannya sendiri. Minho masih melihat mainan itu. Sekali lagi, dia ingin sekali bermain dengan kakak angkatnya itu. Sama sekali dia tidak berfikir jahat atau negatif tentang kakak angkatnya itu.
opo liat aku??,” kata Yudi dengan tatapan mata tajam
Minho cuek saja, tidak mengerti ekspresi Yudi yang judes,”Main.. abang.. aku pinjam”
ora olih (gak boleh),” balas Yudi, dia malah lalu berdiri dan pergi
ora mangan tah, Lek?? (tidak makan, nak?),” tanya Juminah
ora.. males aku,” jawab Yudi cuek, dia malah ke banyak tempat duduk dan main disana sendirian dengan mobil-mobilannya yang dia bawa.
“besok beli mobilan ya?,” kata Suparno pada Minho
“aku mau itu,” Minho merengek pada semuanya. Dia hentak-hentakkan kakinya lalu menangis.
“jangan nangis disini, Dek.. nanti Bapak sama Ibu malu,” kata Sri mencoba mendiamkan.
Tuminah pasang wajah dan kata-kata tegas pada Minho,”diam.. ayo diam”
Semuanya jadi melihat Tuminah yang tegas mendiamkan anak kecil itu.
Minho langsung diam tanpa suara lagi. Tangisnya langsung berenti dan hentakan kakinya berhenti.
“besok mbah belikan mobilan.. sekarang diam,” kata Tuminah lagi.
Minho benar-benar diam, dia hanya menyeka air matanya.
Tuminah malah langsung menggeser duduknya dan gendong dia,”ya sudah.. kamu jangan nangis.. besok kan mbah belikan yang lebih bagus”
“aku mau, Mbah,” katanya masih bersuara dan terisak.

Juminah menghampiri Yudi yang masih bermain diantara jejeran tempat duduk dari semen.
“ayo,Lek.. makan.. nanti kamu lapar,” katanya, duduk disamping anaknya
ora gelem (tidak mau),” jawab Yudi masih santai bermain
“nanti kamu sakit,” kata Juminah lagi
“aku kan wes bilang.. aku ora gelem!,” Yudi malah membentak Juminah.
“Gusti.. kamu kenapa sih, Lek?? Kenapa jadi suka marah-marah??,” Juminah mengelus dadanya
“aku ndak bakalan marah kalau Minho ndak ada lagi di rumah kita,” jawab Yudi ketus.
“enggak boleh gitu, Lek.. itu namanya jahat.. Minho kan ndak salah apa-apa sama kamu toh??,” suara Juminah masih lembut pada anaknya.
Yudi diam saja, dia tidak mau makan sama sekali.
“Bu’e suapin,” senyum Juminah.
ora gelem,” jawab Yudi, masih menolak tawaran ibunya sendiri.
“nanti sakit.. Bu’e sing repot,” kata Juminah lagi. Dia terus bujuk anaknya supaya mau makan.
“Tapi Bu’e janji.. besok uang jajan ku ditambah.. uangnya kurang,” kata Yudi.
“kamu sudah bilang Bapak mu??,”
Yudi mengangguk,” Tapi Bapak ndak jawab,”
“Bu’e harus ngomong sama Bapak mu dulu, Lek.. ndak bisa berikan begitu aja,”
Yudi cemberut kemauannya tidak dituruti,” apa-apa selalu Minho yang dituruti”
“Ndak gitu, Lek.. Minho pernah minta apa sama Bapak dan Ibu kamu?? Mainan saja dia tidak punya,” jawab Juminah
Yudi masih ngambek dan meminta ibunya memaksa bicarakan soal uang jajan yang harus naik. Juminah lalu bilang akan dibicarakan dengan ayahnya dan akhirnya Yudi baru mau makan.

deleng anak mu kui, No.. iso pean ngedein nanti koyo ngono?? (lihat anakmu itu, No.. bisa kamu membesarkan anak seperti itu?),” tanya Tuminah pada Suparno yang sedang makan
“kamu mesti keras, No.. keras bukan berarti galak.. tapi didik,” katanya lagi
“iyo, Bude..,” jawab Suparno singkat.
Mereka lalu melanjutkan liburannya ke kebun binatang..

“Singa,” ajar Sri pada Minho sewaktu mereka sedang melihat singa yang sedang asik duduk diatas gundukan tanah.
“Sing..a..,” balas Minho.
Sri mengulang berkali-kali sampai Minho bisa jelas mengucapkan Singa.
“anak mu kui, Sri suka tenanan sama bocah kie.. kasian juga memang kalau kita pulangin anak itu,” kata Tuminah pada Suparno
“itulah, Bude.. aku bingung,” jawab Suparno
“kamu beneran siap asuh anak yang berlawanan sikap, No??,”
Suparno bingung ditanya begitu sama Tuminah. Dilihat memang sudah jelas bedanya antara Yudi dengan Minho.
ini masih pada cah cilik, No.. ndak tahu kalau nanti wes pada gede (ini masih kecil, tidak tahu kalau besar nanti),” kata Tuminah
“dah terlanjur, Bude... aku tetep anggap Minho anak ku,” jawab Suparno.

“Pak’e.. Minho sama aku fotoan sama anak harimau dong!,” pinta Sri pada Suparno
Yudi lagi-lagi menatap mereka, Juminah langsung menghampirinya,”arep foto juga karo macan, Lek??”, menawarkan anaknya apa mau berfoto dengan anak macan.
Suparno melihat Yudi, langsung juga menghampiri,”fotoan karo anak macan, Lek.. ayo”, menggandeng Yudi. Dia tidak ingin merasa anaknya mengira dia pilih kasih.
Mereka lalu foto dengan anak harimau.
di deleng, Pak’e.. Minho ngganteng tenanan kalau fotoan,” kata Sri senang, dia puji adik angkatnya itu yang cakep kalau difoto
Iki cah model ben gede ne,” tawa Tuminah
Yudi iri dengan pujian Sri. Suparno langsung merasa
Yudi podho ngganteng, Sri.. pean sing rodo ora senyum (yudi juga ganteng, kamu malah yang tidak senyum),” kata Suparno. Sri tidak marah, dia cuma tertawa renyah dengan sindiran ayahnya sendiri.

ono kemedi puter, Pak’e.. aku arep nempak itu karo Minho (ada carrousel, aku mau naik itu dengan Minho),” kata Sri lagi ketika mereka sampai di arena bermain anak.
“Yudi ajak juga, Sri,” kata Juminah
Sri langsung menggandeng tangan Yudi, satunya lagi menggandeng tangan mungil Minho.
ra usah.. aku iso jalan dewek (tidak perlu..aku bisa jalan sendiri),” tepis Yudi pada tangan Sri
Sri akhirnya cuek dan dia malah mengajak Minho jalan bersamanya. Yudi jalan belakangan.
“Laku nya, No.. No,” kata Tuminah, tidak habis pikir dengan tingkahlaku Yudi yang terlihat benci pada adik angkatnya, Minho itu.
Mereka bertiga naik komedi putar...
Minho tertawa-tawa duduk bersama disamping Sri, mereka naik komedi putar seperti kursi duduk biasa, sampai selesai.
“Aku mau itu,” kata Minho ketika sudah selesai, dia menunjuk-nunjuk pada permainan yang sama. Ternyata dia masih mau main lagi.
Suparno menghampiri mereka dan menyuruh Sri dan Minho main lagi kalau masih suka. Yudi langsung pergi entah kemana, dia main ke tempat permainan lain tanpa terlihat Suparno dan yang lain.

Yudi beralih ke permainan ambil bola seperti basket masuk keranjang. Dia lalu memasang koin...selesai main, dia pergi ke tempat banyak pedagang berjualan mainan.
Suparno lalu tidak melihatnya dan langsung mencari, berkeliling.
“kemana ini Yudi, Pak?,” tanya Juminah jadi panik.
“kesana,” tiba-tiba Minho menunjuk sebuah arah, memang berlawanan dengan arah mereka mau pulang. Masih di area permainan.
“ke sana??,” tanya Sri. Minho mengangguk.
“iya kali, Pak’e.. memang kesana,” kata Sri pada bapaknya. Suparno lalu bergegas jalan dan tetap menyuruh mereka tinggal disitu supaya tidak terpecah pagi. Hari sudah menjelang sore dan gelap, seperti mau hujan.
Dia pun mencari-cari Yudi kesana kemari... tiba-tiba..
Kowe bocah-bocah maling! (kamu kecil-kecil mencuri),” salahseorang pedagang mainan teriak. Ada kerumunan beberapa orang dewasa dan anak-anak disana
“Digawa wae nang kantor polisi, ben kapok (bawa saja ke kantor polisi biar kapok),” kata salah seorang yang berkerumun disana
“Iya.. iya!!,” teriak banyak orang dikerumunan itu
“ampun, Pak.. aku enggak nyolong,” kata anak itu jongkok berharap-harap diampuni pedagang mainan yang mainannya dia curi
Suparno heran dengan kerumunan itu, lalu dia menghampiri.. dia kaget.. ternyata itu Yudi!
“Yud.. kamu kenapa??,” katanya heran, kaget, shocked.
“Pak’e.. tolong,” kata Yudi memelas.
“dadi pean bapak’e?? Ora iso didik anak.. anak pean curi mainan dodolan ku!,” marah si pedagang pada Suparno, karena Yudi sudah mencuri salahsatu mainan dagangannya
Suparno berjongkok di depan Yudi yang sedang ketakutan,”Gusti.. kamu kenapa, Lek?? Kenapa ndak bilang Bapakmu kalau mau mainan?? Ndak perlu nyolong begini.. bapak’e malu tenan
“Bapak ajarin tuh anaknya.. jangan nyuri gitu,” kata pedagang itu lagi, judes
“iya, pak.. nyuwun pangapunten sanget (minta maaf sekali),” jawab Suparno
“biar saya ganti berapa tadi,” lanjutnya lagi
Ada beberapa dikerumunan yang berbisik,”kecil-kecil sudah jago mencuri.. apalagi nanti gede?? Parah,”
Suparno mendengar itu, sebenarnya dia sedih, sedang Yudi masih ketakutan karena ketahuan mencuri mobil-mobilan plastik.
Pedagang lalu menyebut harganya, Suparno membayar. Dia lalu menarik tangan Yudi dan meminta maaf.
Beberapa orang seperti setengah berteriak dan mengejek Suparno dan Yudi,” Huuuu...ajarin tuh anaknya..biar enggak jadi pencuri”, dan kerumunan langsung bubar. Suparno masih memegang tangan Yudi kembali ke tempat awal tadi mereka berkumpul.



Juminah menghampiri mereka,” Kenapa nangis, Lek??”
Yudi diam saja, tidak menjawab apa kata ibunya.
wes.. kita pulang aja,” kata Suparno. Hari memang sudah mulai sore dan gelap dan kebun binatang sudah mau tutup.
Diperjalanan Suparno lebih banyak diam. Sementara Sri malah asik mengajarkan Minho banyak kata-kata, termasuk melihat foto polaroid tadi. Yudi malah ketiduran.
Juminah bertanya sebenarnya ada apa, tapi Suparno hanya bilang lebih baik di bahas dirumah, tidak didepan Sri dan Minho yang masih melek.

“Mbak Sri.. ini sayang,” kata Minho mengeluarkan suaranya.
Tuminah kaget dengan perkataan Minho tadi, tidak tahu darimana kata itu dia dengar. Tuminah memang duduk disebelah Sri.
“Minho sayang mbak Sri begitu??,” tanya Sri
“love,” kata Sri. Kelas lima memang dia sudah belajar bahasa inggris.
Minho mengangguk.
Sri malah tertawa terkekeh dengan pengakuan adik angkatnya itu.
“Minho.. sayang Mbah?”, tanya Sri
Minho mengangguk,”sayang..mbah”, kata suara mungilnya
Sri tertawa lagi,”Pak’e.. tahun depan.. Minho sekolah yo??”
“Sekolah umur telu taun iso ora??,” tanya Suparno pada Sri, memang bisa.. anak umur tiga tahun sekolah?
Iso, Pak’e.. adek nya si Nur wes sekolah,” jawab Sri yang bilang bisa sekolah umur 3 tahun.
Yo wes.. ta’ urusi sekolahne,” jawab Suparno, dia melihat kedua anak itu dari kaca tetap menyetir.
“Horee.. Minho tahun depan sekolah.. nanti kamu aku antar pakai sepeda tiap pagi ya, dek.. kita berangkat sekolah sama-sama,” kata Sri dengan wajah senang.
“sekarang Minho nyanyi sama aku,” katanya lagi
Sri lalu bernyanyi bintang kecil dan menyuruh Minho mengikutinya.
Mereka berdua bikin suasana mobil jadi ramai sepanjang perjalanan. Sementara Yudi yang tadi menangis tetap tertidur.

Sampai di rumah.. Suparno mengajak Tuminah dan Juminah bicara.. Dia menceritakan kejadian tadi sebelum mereka pulang.
“No.. No... ini cobaan pean,” ujar Tuminah
“Aku ndak nyangka Yudi bisa begini,” kata Juminah. Lalu dia teringat akan uang Rp 20.000,- yang hilang di lemari nya dan dia cerita pada mereka.
“tapi aku ndak mau nyangka itu anak kita sing ngelakoni,” lanjut Juminah dalam curhatnya itu. Memang ada banyak pekerja disana mulai selepas magrib sampai dini hari, tapi kebanyakan mereka tidak sampai masuk ke rumah, sebab biasanya daridulu Tuminah akan menyediakan kopi dan gorengan untuk mereka diteras depan dan ada kamar mandi di belakang rumah yang terpisah dari rumah besar mereka.
“Anak itu kalau tidak dituruti kemauannya malah ngamuk,” kata Tuminah
“Tadi dia ndak mau makan.. pengen minta tambahan uang jajan,” kata Juminah,”pean wes ngasih janji ora?,” dia tanya Suparno apa memang kasih janji ke Yudi untuk menambah uang jajan dan juga minta dibelikan mainan
“Kalian harus tegas pada anak-anak.. jangan semua dituruti.. aku cuma mikir.. tadi sore Minho takut kalau aku tegas.. tapi sepertinya Yudi ndak,” kata Tuminah.
“Tapi.. bukan berarti Yudi ndak bisa berubah dan Minho dadi nakal,” lanjutnya lagi
Ndak mungkin aku balikin Minho, Bude,” kata Suparno, dia sekali lagi merasa bersalah dengan Sri
“Aku wes ndak nyuruh pean balikin dia kok.. tapi pean harus jaga mereka supaya nanti pas mereka besar.. mereka ndak berantem terus,” jawab Tuminah.
Iyo, Bude.. aku rodo sensitif,” balas Suparno.
“wes... aku arep sare,” Tuminah berdiri lalu pamit pergi ke kamarnya untuk tidur
Suparno jadi mikir, begitu juga Juminah dengan kejadian tadi. Mereka tidak sangka kalau Yudi bisa seperti itu. Padahal, dikesehariannya mereka cukupi jajan dan mainannya. Dan sebenarnya mereka tidak tahu juga, kalau Yudi beberapa kali memalak anak-anak yang lemah dan penakut.

Bersambung ke part 7...