This is me....

Sabtu, Oktober 04, 2014

Pernikahan ½ (Part 29 : Ah..)

“Minho kun sama sekali tidak bicara padaku tadi malam, okaasan.. aku tidak tahu dimana dia,” keluh Aiko pagi itu pada ibunya.
Belum saja ibu nya bicara, Kumiko sudah angkat bicara,”kalian ini.. keterlaluan sekali.. tidak ada dewasanya sama sekali.. bagaimana nanti anak kalian kalau kalian sendiri seperti ini kelakuannya??”
“yamete kudasai, Kumiko,” kata ibunya mereka, mencegah bicara lebih panjang lagi.
“kalian semua sudah dewasa..tidak seharusnya mengecewakan dan memberatkan lagi pada orangtua,” lanjut ibunya mereka.
Aiko dan Kumiko diam saja, mendengar ibu mereka menasehati.
“aku akan berusaha mencari dan menghubungi Minho kun, okaasan,” kata Aiko, dia sungguh menyesal bersikap tidak dewasa pada pasangannya itu.
“aku tidak ingin ayah kalian tahu masalah ini. Hari ini beliau pulang, jadi.. selesaikan sendiri,” kata ibunya.
Aiko menuruti dan menunduk hormat pada ibunya.


“kalian ini benar-benar pasangan yang belum dewasa.. aku takut keponakanku jadi stress di dalam situ,” kata Kumiko ketika memeriksa tekanan darah Aiko di kamarnya.
gomen ne, Ane.. aku benar-benar bersalah pada Minho kun,” balas Aiko. Mukanya memelas, dia sungguh sedih kemarin malam Minho sama sekali tidak mau bicara, hanya mengangkat telepon saja.
“nah.. tekanan darahmu turun.. kasian anak kalian,” kata Kumiko.
Aiko duduk, lalu dia mencoba menghubungi Minho lagi. Tapi kali ini sama sekali beberapa kali telepon tidak diangkat juga. Aiko akhirnya jadi menangis di depan kakaknya itu.
“oi.. Minho kun... telepon dari Aiko chan!,” teriak Makoto dari dalam kamarnya. Minho ternyata mandi ketika Aiko berusaha meneleponnya berkali-kali.
Minho menjawab teriak dari dalam kamar mandi,”biar aja deh.. malas”
“weh.. kalian ini..,” kata Makoto, hanya melihat Hp Minho yang terus berdering dan di diamkannya.
“kamu jangan terlalu sensitif juga, Minho kun... bahaya buat anak kalian,” teriak Makoto. Mereka harus pagi-pagi ke studio talenta lagi.
Minho keluar dari kamar mandi, dia sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk,”aku sudah menuruti kemauannya supaya kemarin kerja.. lagipula, aku bilang sama dia.. kalau ciumanku itu sama sekali tidak kurasakan dengan Mayu kun.. dia malah membentakku,”
“kalian sama sensitifnya,” keluh Makoto.
“kalau Aiko chan pusing cari kamu.. anak kalian bisa ikutan stress.. kamu tahu kan..akibatnya apa??,” ujar Makoto lagi.
Minho malah santai saja tidak terlalu menanggapi perkataan Makoto. Dia siap siap saja mau pergi ke studio dengan temannya itu. Dia tidak mau berfikir keras hari itu, capek, hanya ingin bekerja saja.

“dua hari lagi kan kita masuk kuliah...jadi..gak mau mikirin itu dulu..biarin,” kata Minho cuek ketika mereka mulai masuk ruangan foto.
“wah...dasar cowok sensi,” kata hatinya Makoto. Mereka lalu bertemu Yuu lagi.
Mereka lalu foto-foto. 4 jam selesai sampai lewat makan siang. Yuu lalu menghampiri Minho yang ingin pulang.
“hai..kamu kurang banget deh ekspresinya hari ini.. lagi bete ya??,” tanya Yuu tanpa basa basi.
Minho diam, Yuu bertanya lagi.
“soal kemarin itu kan??,”
Akhirnya Minho mengangguk juga. Lantas dia curhat, mengeluh kalau kemarin malam akhirnya dia tidak pulang ke rumah orangtua Aiko dan lebih memilih menginap di rumah Makoto.
“aku faham kok yang seperti itu,” ujar Yuu dengan ekspresi santai sambil sedikit mengutak-atik kamera canggihnya.

“kalau kalian begitu terus.. sebentar lagi rumahtangga bubar.. itu sebabnya aku pilih jadi single mom,” lanjut Yuu lagi, dia mengeker-ngeker kamera nya.
Minho diam, dia lalu mengetuk-ketuk meja,”hoshikunai (enggak mau-red).. aku gak mau pisah dari Aiko chan,”
“yaaa.. aku tahu karakter mu yang bergantung itu,” sindir Yuu
Minho menggaruk kepalanya, dia gak sangka bisa ditebak Yuu,”sonna koto nai wa, Yuu san..”, kilahnya.
“nani mo hoka ni naru no ka?? (trus..apa lagi?-red),” balas Yuu
“aku bingung.. ,” balas Minho,”cemburu yang enggak masuk akal dan aku kebingungan harus bagaimana.. jadi..aku diamkan dia.. supaya berfikir”
“dan.. yang lebih membingungkan ketika dalam diri kalian nanti bisa saling putus pembicaraan,” timpal Yuu dalam waktu cepat sebelum Minho melanjutkan pembicaraannya.
“Ah..,” keluh Minho. Dia hanya menunduk hormat, lalu pamit pada Yuu.
Ketika Minho melangkah keluar pintu, Yuu teriak,”jangan sampai kalian sepertiku ya! Ingat itu, Minho kun!”
Makoto yang tadi tidak nimbrung dengan pembicaraan mereka bertanya pada Minho,”ada apa sih? Kamu dinasehati Yuu san ya??”
Minho mengangguk saja,”aku harus pergi ke rumah Aiko chan dulu.. baru ke rumah susun ku.. aku harus kerjakan tugas dari Tachibana san”
“jadi.. kamu sekarang kerja lagi jadi editor komik Tachibana san??,” tanya Makoto dan Minho hanya mengangguk. Dia harus kembali ke rumah Aiko tetapi dia bilang dia tidak akan bicara dan langsung mau ke rumah susun mereka saja, bekerja di sana.

Aiko senang ketika tahu Minho tiba-tiba pulang dan kebetulan dia sendiri yang membukakan pintu untuk cowok itu. Dia langsung memeluk Minho, kegirangan. Tapi ekspresi Minho datar saja, dingin, sama sekali tidak senang menanggapi pelukannya.
“gomennasai, Otto,” kata Aiko masih berjingkat memeluk Minho.
Minho diam, dia malas bicara. Tak berapa lama, lalu,”aku harus kerja lagi.. hanya mengambil baju disini”. Dia minta Aiko melepaskan pelukannya, lalu dia menuju kamar Aiko, sibuk mengatur baju dan pergi lagi.
Aiko duduk saja di atas tempat tidur kamarnya, dia menangis. Ibunya lalu masuk ke kamarnya lagi.
“aku mau cerai saja, Okaasan.. aku sudah tidak tahan lagi,” keluhnya pada ibunya.
Ibunya hanya mengelus-elus rambut anaknya, lalu,”besok kita pulang ke rumah susunmu.. jangan biarkan Minho kun sendirian.. walau kamu kesal dan kamu anggap dia sudah menyakiti mu.. kamu tetap pendampingnya”
Aiko menyandarkan kepalanya di pundak ibunya,”aku sudah tidak tahan lagi, Okaasan.. aku enggak mau dipermainkan emosi”
Ibunya mencoba menghiburnya.

Di rumah susun, walaupun Minho kerja mengedit komik, pada dasarnya dia galau dengan kejadian tadi ketika pulang Aiko langsung memeluknya. Dia bingung sendiri dengan emosinya, apakah mau menerima permohonan maaf pasangannya itu atau tetap mempertahankan egoisme nya. Dia bekerja dengan sangat lambat, sulit konsentrasi. Lalu keluar masuk kamar kerja, mondar mandir kamar kerja-ruang depan, tanpa arah juntrungan.
Dia repot sendiri, garuk-garuk kepalanya, kepusingan,”Shit! Ah.. nyebelin!!”, dia mengomel sendiri, menggerutu, memaki-maki sendiri.
“kenapa sih harus berantem? Kenapa sih sensi banget kamu? Kenapa sih kamu gak ngerti kalau aku beneran gak punya perasaan soal foto kemarin itu?? Kenapa sih?? AH! SUCKS!,” dia malah menendang meja rendah yang kosong diatasnya tidak ada isi apa-apa. Lalu duduk dan cemberut sendiri.
“nyebelin.. kalau begini aku gak bisa melakukan apapun,” gerutunya lagi.
Dia lalu menelepon ibunya,”Eomma.. aku pusing”, dan dia langsung cerita panjang lebar pada ibunya tentang pertengkarannya dengan Aiko kemarin.

“haaaahhh.. kenapa juga kamu memberikan uang sebanyak itu pada Eun Ha, Minho?? Jelas saja dia cemburu,” ujar ibunya ketika di telepon
“aduh Eomma kok malah dukung Aiko chan sih??,” Minho jadi merasa terpojok. Dia memang salah besar dengan memberikan uangnya, tapi dia telepon ibunya untuk minta dukungan emosi supaya dia bisa kerja lancar.
“Aiko chan yang kemarin salah itu, Eomma... jadinya aku begini,” keluh Minho.
aigoo.. kalau sampai begini.. sampai berapa lama kamu mau kesal dengannya, Minho?? Kamu sebentar lagi mau jadi seorang Appa,” jawab ibunya
Minho cemberut, dia memang sedang serba salah perasaan. Satu sisi ingin mengajarkan Aiko supaya gak cemburu buta, satu sisi sebel dan kangen juga dengan cewek itu.
“padahal aku gak bisa kalau sehari aja gak lihat dia, Eomma.. tapi menyebalkan,” keluh Minho lagi,”masak sih kalau kerja harus dicemburui gitu?? Trus nanti kalau aku kemana-mana dan memang kerja dengan banyak orang.. gimana?? Kan memang kerja ku akan begitu, Eomma”
Dia terus saja panjang lebar cerita, menggerutu dan mengeluh pada ibunya. Ibunya cuma senyum senyum dengan anak lelakinya yang memang masih kecil dan kekanak-kanakan.

“kamu sebaiknya sudah bersikap dewasa,” kata ibunya.
“Aiko chan juga harus dewasa,” gerutu Minho sambil cemberut.
Ibunya bukan marah tapi malah senyum lagi,”tidak perlu Appa kamu yang selesaikan masalah ini kan?? Kalian saja.. kalian harus belajar dewasa”
“Aiko chan sekarang ada di rumahnya.. aku sendirian di sini,” kata Minho lagi dengan nada sedikit jutek.
“kamu..pasti sebenarnya kesepian juga kan.. enggak ada dia??,” tanya ibunya
Minho diam, aslinya memang dia kesepian, tapi dia masih kesal.
“kok tidak jawab??,” tanya ibunya lagi
“iya,” balas Minho singkat dengan cepat dan masih mulutnya cemberut.
“biar Appa tahu bagaimana sikap anak lelaki paling besarnya,” kata ibunya lagi.
“Eomma jangan cerita dong.. nanti Appa marah lagi,” Minho jadi takut.
“ini bukan sebuah ancaman, Minho.. Eomma hanya ingin bicara dengan Appa mu soal sikap kalian yang masih belum dewasa juga.. padahal sudah mau punya anak,”
“ya..aku mengerti,” ujar Minho menunduk lemas,”aku akan jemput lagi Aiko chan kalau begitu, Eomma”
Ibunya senyum saja. Dia lalu menasehati Minho supaya jangan cepat sensitif kalau memang tidak suka.

Minho kembali lagi ke rumah keluarga Kohashi. Ibunya Aiko tidak mengeluarkan marahnya. Sikapnya biasa saja.
“aku boleh tidak.. bawa Aiko chan ke rumah??,” tanya Minho pada ibu mertuanya.
“siapa yang melarang?,” ibu mertuanya tanya balik
“kalian sudah baikan bukan??,” lanjutnya lagi
Minho mengangguk mengiyakan saja, dia sembunyikan emosi aslinya. Aiko pulang hari itu bersamanya dan bersama kedua orangtuanya yang ingin berkunjung ke rumah susun mereka.
Ketika sampai di rumah susun, orangtua Aiko masuk dan mereka langsung melihat ruangan depan yang berantakan. Minho belum membereskannya bekas dia kemarin malam bete karena tidur sendirian.
“kenapa meja nya terbalik begini?? Rasanya Tokyo tidak ada gempa tadi malam,” kata Kohashi santai, dia membalikkan meja rendah sehingga posisinya biasa lagi.
Aiko langsung menarik Minho masuk kamar mereka.

“tadi malam.. marah ya??,” tanya dia pada Minho.
Minho diam saja, lalu dia malah jawab yang enggak nyambung,”aku lapar..”, katanya keluar kamar mereka lagi.
Aiko mengintip Minho yang justru ramah sekali dengan kedua mertuanya itu. Dia kembali sedih. Dia duduk saja di atas tempat tidur, lalu berbaring dan menangis.
“apa Aiko chan tidak mau masak??,” tanya ibunya pada Minho.
Minho agak malas ingin masuk kamar lagi dan bertanya pada Aiko, tapi dia malah menjawab ibu mertuanya dengan perkataan berbeda,”ah... nanti aku tanya..”, dan dia pun masuk ke kamarnya lagi.
Dia lihat Aiko sedang tidur, sama sekali dia tidak mendekat, lalu menutup pintu lagi,”sedang tidur, Okaasan..biar aku saja yang masak”
Ibunya kaget,”ini kan masih sore...hieeehhh.. kenapa sih???,”
Minho langsung pergi ke dapur, membuka kulkas dan mencari bahan-bahan untuk dimasak. Sedang ibunya Aiko ternyata masuk kamar Minho. Minho ingin mencegahnya, tapi itu tidak baik. Sementara ayah mertuanya, Kohashi santai saja melihat majalah dan membuka-bukanya.
“aduh..nanti dia bangun ...ngadu lagi,” keluh Minho dalam hatinya, sempat menoleh pada ibu mertuanya yang masuk kamar.

Di dalam kamar, ibunya Aiko memergoki anaknya berbaring...tapi dia tahu kalau anaknya itu tidak tidur.
“kamu tidak masak?? Masak iya Minho kun yang masak??,” tanya ibunya, duduk disamping tempat tidur.
“wah...nangis lagi??,” lanjut ibunya.
Aiko hanya diam. Dia menahan-nahan tangisnya.
“ayo bangun...tidak baik bertengkar terlalu lama, walau pasti ada perbedaan...,” kata ibunya lagi.
Tak berapa lama, Aiko menoleh pada ibunya dan bangun,”aku malas, Okaasan”
Ibunya hanya senyum,”sonna koto dewa arimasen, Aiko chan.. hadapi semuanya dengan sungguh-sungguh.. walau kalian bertengkar.. sebaiknya kamu yang mengalah dan memberikan dia jawaban”
“tapi...aku stress, Okaasan.. aku merasa Minho kun sama sekali tidak memperhatikanku,” keluhnya lagi.
Ibunya senyum dan menyuruhnya keluar kamar, membantu Minho yang sedang masak. Akhirnya Aiko keluar kamar juga dan ke dapur membantu Minho.

Minho diam saja disana, Aiko hanya bilang kalau dia mau membantu Minho masak dan sebaiknya cowok itu duduk saja bersama dengan kedua orangtua mereka.
Tapi Minho hanya menggeleng, tidak berkata apapun walau dia tidak mau pergi ke ruang depan. Mereka masak berdua dengan diam-diaman.
Ibunya Aiko memperhatikan dari ruang depan, sementara ayahnya Aiko malah santai sekali, tapi menyindir.
“kalian memang begini terus setiap hari ya?? Diam-diaman??ini rumah sudah seperti dalam kuburan,”
Minho jadi tersindir juga, dia akhirnya buka suara juga,”tidak, Otoosan.. tapi memang aku sedang sibuk kerja”
Kohashi lalu berdiri dan masuk ke ruang kerja Minho, dia main masuk saja tanpa ijin, melihat apa yang sudah Minho lakukan. Lalu kembali lagi dan duduk.
“Kamu pasti mau bekerja jadi editor komik, Minho kun??,”
Minho hanya singkat menjawab iya. Lalu Kohashi bilang itu bagus dan sepertinya akan membuat anaknya tenang daripada jadi model yang bikin anaknya ditinggal kemana-mana.

Aiko selesai membantu Minho dan mempersiapkan semua peralatan makan.
“kamu sendiri tidak masalah kalau Minho kun bekerja jadi editor komik, kan??,” tanya Kohashi pada anaknya sendiri yang sedang mengatur piring diatas meja rendah.
Iie.. sore wa daijyoubu desu, Otoosan,” jawab Aiko kalem. Justru dia sama sekali tidak mempermasalahkan pasangannya itu menjadi editor komik.
Minho duduk di depan Kohashi dan sedikit menunduk hormat,”tapi..gajinya tidak sebesar dibanding jadi model, Otoosan.. jadi.. aku ingin tetap jadi model.. ke depannya.. aku akan serius lagi pilih kontrak,”
“lalu..apa bisa jamin kalian tidak akan bertengkar lagi??,” tanya Kohashi. Dia tahu bahwa anak dan menantunya itu sedang ribut, walau isterinya tidak memberitahu.
“sepertinya pernikahan kalian masih sangat jauh dari harapan dewasa,” lanjut Kohashi lagi.
“masih belum ada yang bisa kontrol emosi, masih egois dan masih diluar tanggung jawab sebagai pasangan,”
Minho dan Aiko menunduk hormat saja, mendengar Kohashi panjang lebar menasehati mereka.
“apa ibu dan ayahmu sudah tahu ribut ribut kalian kali ini, Minho kun??,”tanya Kohashi lagi.
Minho sedikit kaget, darimana mertuanya bisa tahu kalau dia pasti ngadu ke ibunya.
Wajah kagetnya dibaca Kohashi biarpun Minho mencoba menyembunyikannya.
“lupa ya.. aku ini tentara?? Aku harus jeli lihat situasi.. termasuk kehidupan anak-anakku sendiri,”
Minho menunduk hormat lagi lebih dalam,”sumimasen, Otoosan.. bukan maksud ku mengadu pada orangtua.. tetapi..”

“jujur saja.. aku gak semudah itu marah walau kesannya galak,” potong Kohashi
Minho menunduk hormat lagi dan melanjutkan kata-katanya,”aku tidak bisa hidup dengan perempuan terlalu pencemburu.. walau aku posesif”
“kamu curang,” potong Aiko, Minho langsung menoleh.
“diam dulu,” ujar Kohashi,”lalu??”
Minho melanjutkan lagi ceritanya, kalau dia menelepon kedua orangtuanya pada dasarnya kesal dengan Aiko yang menurutnya juga masih ke kanak-kanakan, padahal dia sudah berusaha kerja keras dan menghasilkan uang untuknya, tapi malah dimarahi dan cemburu buta. Ketika menelepon ibunya pun, dia berkata kalau sebenarnya bukan maksud hatinya benci dengan Aiko.
“ya.. kalian memang belum dewasa.. ini percepatan kalian supaya bisa dewasa,” kata Kohashi.
“aku tidak mau makananku dingin,” lanjutnya lagi. Isterinya mengerti lalu menyediakan makan untuknya.

“memang kalian tidak terpikir harus jalani semua nanti demi anak??,” tanya ibunya Aiko.
Minho sempat diam, lalu dia menjawab,”aku berfikir, okaasan..buatku.. mencari uang yang utama..,”
“kamu harus pikirkan yang lain, Aiko chan.. jangan cuma pikirkan emosi diri sendiri,” kata Kohashi.
Dalam hatinya Aiko mengeluh sekali, dia ada perasaan menyesal menikah muda. Belum lagi pasti nanti dia akan disibukkan dengan urusan perkuliahan yang hanya tinggal 2 hari lagi masuk. Dia tidak membantah ketika kedua orangtuanya menasehati dia dan Minho. Dia memang harus terima segala konsekuensinya ketika memutuskan itu.

“kalian sudah dewasa.. jangan bertengkar lagi.. pikirkan masa depan,” kata Kohashi. Mereka akan pulang kembali dan meninggalkan Aiko dan Minho dalam rumah susun itu.
Minho dan Aiko hanya menunduk hormat saja. Mereka pun pergi.
Hanya tinggal mereka berdua sekarang. Aiko membereskan bekas makan, Minho ternyata ikut-ikutan dan membantu mencuci piring.
Minho senyum padanya. Lama Aiko tidak membalas senyumannya.. tapi akhirnya senyum juga.
Aiko mencolek sabun cair ke hidung Minho.
“aigoooo..mulai deh,” keluh Minho, dia memang kadang suka kesal dengan sikap iseng pasangannya itu yang belum berubah. Aiko hanya tertawa, lalu dia berjingkat memeluk Minho.
“aku gak bisa kalau tadi seperti itu terus.. bisa bisa aku mau bunuh diri,” katanya pada Minho.
“aku mengeluh pada Eomma.. Eomma bilang..aku masih seperti anak-anak.. kalau begini lagi.. pasti akan diadukan ke Appa,” jawab Minho, dia juga memeluk Aiko.
“habis deh nanti kita diomelin.. Appa ku galak,” lanjutnya lagi.
“sama.. otoosan juga galak,” tambah Aiko.
“kalau begitu.. kita harus buat janji loh..,” pinta Minho. Lalu dia mengusulkan bagaimana kalau mereka membuat semacam perjanjian yang sangat terikat.

Aiko kaget juga Minho bisa sampai seperti itu, karena dia malah berfikir Minho sangat cuek dan seperti tidak perduli dengannya akhir-akhir ini.
“perjanjian seperti apa?,” tanya Aiko dengan wajah polosnya.
Minho juga berfikir, dia memutar-mutar bola matanya, Aiko hanya melihat wajahnya dengan serius.
“bukannya kita sudah punya perjanjian?? Bukannya Otto sudah janji pada orangtuaku kalau akan biayai semuanya??”
Minho mengangguk mengiyakan,”tapi..kita tidak punya perjanjian perasaan... kemarin aku kesal .. kamu terlalu cemburu dan aku pusing.. aku belajar untuk dewasa, mengatakan sesuatu tanpa dipendam.. ternyata semua itu malah membuat kita semakin salah paham”
Aiko menghela nafasnya,”mungkin aku salah lagi.. tetapi memang itu yang aku rasakan,”
Minho yang duduk dengan posisi biasa jadi merubah kakinya. Kakinya yang panjang itu dia tekuk bersila dan dia mulai garuk garuk kepala, mencoba memecahkan masalah mereka.

Aiko menoleh padanya,”masak iya.. dalam perasaan harus ada perjanjian?? Apa enggak aneh??”
Minho lalu memandangnya dengan tajam,”kalau tidak begitu.. kamu terlalu cemburu..keterlaluan.. menyebalkan.. bikin kepala ku pusing”
“itu semua aku lakukan karena aku khawatir sama kamu,” balas Aiko. Matanya memandang Minho antara memelas dengan penuh cinta.
Minho malah memeluk dan menciumnya,”aku gak mau lagi berantem...aku tahu aku masih sangat sensi dan rasanya mau marah...seharusnya kamu bisa faham aku”
“tapi...perjanjian apa yang kamu inginkan??,” tanya Aiko.
Lalu Minho menyebutkannya...ternyata jika memang semua tidak bisa diatasi lagi, cepat marah, cepat ngamuk, cepat berantem, maka lebih baik mereka berpisah dulu sementara waktu. Aiko kaget dengan apa yang Minho pikirkan.
“berpisah katamu... kenapa??,”
“supaya kita tidak bercerai,” jawab Minho
“ber....cerai??kenapa punya pikiran seperti itu, Otto??,” Aiko tidak menyangka Minho akan bicara kata cerai, dia pikir dialah yang paling emosi menginginkan cerai itu, ternyata Minho juga mengarah kesana.
“aku tidak mau,” lanjut Aiko lagi
“aku juga..tetapi kalau memang pertengkaran kita sudah tidak jelas apa hasilnya dan semuanya cuma dipikirkan dengan egois masing masing, lebih baik kita pisah saja,” jawab Minho.
Aiko jelas jadi tambah curiga Minho berkata seperti itu, dalam hatinya dia berfikir,”akankah suatu hari nanti mereka bercerai??”
Dia hanya memandang Minho dengan tatapan yang sedikit kosong...tidak menyangka apa yang dia pikirkan, keinginan untuk pisah dan cerai dari Minho yang dia ceritakan pada ibunya, ternyata ditangkap pula oleh Minho. Rasanya dia sudah turun emosinya dan berharap semua tidak akan terjadi....


Bersambung ke part 30...........