“Minho kun sama sekali tidak bicara padaku
tadi malam, okaasan.. aku tidak tahu dimana dia,” keluh Aiko pagi itu pada
ibunya.
Belum saja ibu nya bicara, Kumiko sudah
angkat bicara,”kalian ini.. keterlaluan sekali.. tidak ada dewasanya sama
sekali.. bagaimana nanti anak kalian kalau kalian sendiri seperti ini
kelakuannya??”
“yamete
kudasai, Kumiko,” kata
ibunya mereka, mencegah bicara lebih panjang lagi.
“kalian semua sudah dewasa..tidak
seharusnya mengecewakan dan memberatkan lagi pada orangtua,” lanjut ibunya
mereka.
Aiko dan Kumiko diam saja, mendengar ibu
mereka menasehati.
“aku akan berusaha mencari dan menghubungi
Minho kun, okaasan,” kata Aiko, dia sungguh menyesal bersikap tidak dewasa pada
pasangannya itu.
“aku tidak ingin ayah kalian tahu masalah
ini. Hari ini beliau pulang, jadi.. selesaikan sendiri,” kata ibunya.
Aiko menuruti dan menunduk hormat pada
ibunya.
“kalian ini benar-benar pasangan yang
belum dewasa.. aku takut keponakanku jadi stress di dalam situ,” kata Kumiko
ketika memeriksa tekanan darah Aiko di kamarnya.
“gomen
ne, Ane.. aku benar-benar bersalah pada Minho kun,” balas Aiko. Mukanya
memelas, dia sungguh sedih kemarin malam Minho sama sekali tidak mau bicara,
hanya mengangkat telepon saja.
“nah.. tekanan darahmu turun.. kasian anak
kalian,” kata Kumiko.
Aiko duduk, lalu dia mencoba menghubungi
Minho lagi. Tapi kali ini sama sekali beberapa kali telepon tidak diangkat
juga. Aiko akhirnya jadi menangis di depan kakaknya itu.
“oi.. Minho kun... telepon dari Aiko
chan!,” teriak Makoto dari dalam kamarnya. Minho ternyata mandi ketika Aiko
berusaha meneleponnya berkali-kali.
Minho menjawab teriak dari dalam kamar
mandi,”biar aja deh.. malas”
“weh.. kalian ini..,” kata Makoto, hanya
melihat Hp Minho yang terus berdering dan di diamkannya.
“kamu jangan terlalu sensitif juga, Minho
kun... bahaya buat anak kalian,” teriak Makoto. Mereka harus pagi-pagi ke
studio talenta lagi.
Minho keluar dari kamar mandi, dia sibuk
mengeringkan rambutnya dengan handuk,”aku sudah menuruti kemauannya supaya
kemarin kerja.. lagipula, aku bilang sama dia.. kalau ciumanku itu sama sekali
tidak kurasakan dengan Mayu kun.. dia malah membentakku,”
“kalian sama sensitifnya,” keluh Makoto.
“kalau Aiko chan pusing cari kamu.. anak
kalian bisa ikutan stress.. kamu tahu kan..akibatnya apa??,” ujar Makoto lagi.
Minho malah santai saja tidak terlalu
menanggapi perkataan Makoto. Dia siap siap saja mau pergi ke studio dengan
temannya itu. Dia tidak mau berfikir keras hari itu, capek, hanya ingin bekerja
saja.
“dua hari lagi kan kita masuk
kuliah...jadi..gak mau mikirin itu dulu..biarin,” kata Minho cuek ketika mereka
mulai masuk ruangan foto.
“wah...dasar cowok sensi,” kata hatinya
Makoto. Mereka lalu bertemu Yuu lagi.
Mereka lalu foto-foto. 4 jam selesai
sampai lewat makan siang. Yuu lalu menghampiri Minho yang ingin pulang.
“hai..kamu kurang banget deh ekspresinya
hari ini.. lagi bete ya??,” tanya Yuu
tanpa basa basi.
Minho diam, Yuu bertanya lagi.
“soal kemarin itu kan??,”
Akhirnya Minho mengangguk juga. Lantas dia
curhat, mengeluh kalau kemarin malam akhirnya dia tidak pulang ke rumah
orangtua Aiko dan lebih memilih menginap di rumah Makoto.
“aku faham kok yang seperti itu,” ujar Yuu
dengan ekspresi santai sambil sedikit mengutak-atik kamera canggihnya.
“kalau kalian begitu terus.. sebentar lagi
rumahtangga bubar.. itu sebabnya aku pilih jadi single mom,” lanjut Yuu lagi, dia mengeker-ngeker kamera nya.
Minho diam, dia lalu mengetuk-ketuk meja,”hoshikunai (enggak mau-red).. aku gak
mau pisah dari Aiko chan,”
“yaaa.. aku tahu karakter mu yang
bergantung itu,” sindir Yuu
Minho menggaruk kepalanya, dia gak sangka
bisa ditebak Yuu,”sonna koto nai wa,
Yuu san..”, kilahnya.
“nani
mo hoka ni naru no ka??
(trus..apa lagi?-red),” balas Yuu
“aku bingung.. ,” balas Minho,”cemburu
yang enggak masuk akal dan aku kebingungan harus bagaimana.. jadi..aku diamkan
dia.. supaya berfikir”
“dan.. yang lebih membingungkan ketika
dalam diri kalian nanti bisa saling putus pembicaraan,” timpal Yuu dalam waktu
cepat sebelum Minho melanjutkan pembicaraannya.
“Ah..,” keluh Minho. Dia hanya menunduk
hormat, lalu pamit pada Yuu.
Ketika Minho melangkah keluar pintu, Yuu
teriak,”jangan sampai kalian sepertiku ya! Ingat itu, Minho kun!”
Makoto yang tadi tidak nimbrung dengan
pembicaraan mereka bertanya pada Minho,”ada apa sih? Kamu dinasehati Yuu san
ya??”
Minho mengangguk saja,”aku harus pergi ke
rumah Aiko chan dulu.. baru ke rumah susun ku.. aku harus kerjakan tugas dari
Tachibana san”
“jadi.. kamu sekarang kerja lagi jadi
editor komik Tachibana san??,” tanya Makoto dan Minho hanya mengangguk. Dia
harus kembali ke rumah Aiko tetapi dia bilang dia tidak akan bicara dan
langsung mau ke rumah susun mereka saja, bekerja di sana.
Aiko senang ketika tahu Minho tiba-tiba
pulang dan kebetulan dia sendiri yang membukakan pintu untuk cowok itu. Dia
langsung memeluk Minho, kegirangan. Tapi ekspresi Minho datar saja, dingin,
sama sekali tidak senang menanggapi pelukannya.
“gomennasai,
Otto,” kata Aiko masih
berjingkat memeluk Minho.
Minho diam, dia malas bicara. Tak berapa
lama, lalu,”aku harus kerja lagi.. hanya mengambil baju disini”. Dia minta Aiko
melepaskan pelukannya, lalu dia menuju kamar Aiko, sibuk mengatur baju dan
pergi lagi.
Aiko duduk saja di atas tempat tidur
kamarnya, dia menangis. Ibunya lalu masuk ke kamarnya lagi.
“aku mau cerai saja, Okaasan.. aku sudah
tidak tahan lagi,” keluhnya pada ibunya.
Ibunya hanya mengelus-elus rambut anaknya,
lalu,”besok kita pulang ke rumah susunmu.. jangan biarkan Minho kun sendirian..
walau kamu kesal dan kamu anggap dia sudah menyakiti mu.. kamu tetap
pendampingnya”
Aiko menyandarkan kepalanya di pundak
ibunya,”aku sudah tidak tahan lagi, Okaasan.. aku enggak mau dipermainkan
emosi”
Ibunya mencoba menghiburnya.
Di rumah susun, walaupun Minho kerja
mengedit komik, pada dasarnya dia galau
dengan kejadian tadi ketika pulang Aiko langsung memeluknya. Dia bingung
sendiri dengan emosinya, apakah mau menerima permohonan maaf pasangannya itu
atau tetap mempertahankan egoisme nya. Dia bekerja dengan sangat lambat, sulit
konsentrasi. Lalu keluar masuk kamar kerja, mondar mandir kamar kerja-ruang
depan, tanpa arah juntrungan.
Dia repot sendiri, garuk-garuk kepalanya,
kepusingan,”Shit! Ah.. nyebelin!!”,
dia mengomel sendiri, menggerutu, memaki-maki sendiri.
“kenapa sih harus berantem? Kenapa sih
sensi banget kamu? Kenapa sih kamu gak ngerti kalau aku beneran gak punya
perasaan soal foto kemarin itu?? Kenapa sih?? AH! SUCKS!,” dia malah menendang meja rendah yang kosong diatasnya
tidak ada isi apa-apa. Lalu duduk dan cemberut sendiri.
“nyebelin.. kalau begini aku gak bisa
melakukan apapun,” gerutunya lagi.
Dia lalu menelepon ibunya,”Eomma.. aku
pusing”, dan dia langsung cerita panjang lebar pada ibunya tentang
pertengkarannya dengan Aiko kemarin.
“haaaahhh.. kenapa juga kamu memberikan
uang sebanyak itu pada Eun Ha, Minho?? Jelas saja dia cemburu,” ujar ibunya
ketika di telepon
“aduh Eomma kok malah dukung Aiko chan
sih??,” Minho jadi merasa terpojok. Dia memang salah besar dengan memberikan
uangnya, tapi dia telepon ibunya untuk minta dukungan emosi supaya dia bisa
kerja lancar.
“Aiko chan yang kemarin salah itu,
Eomma... jadinya aku begini,” keluh Minho.
“aigoo..
kalau sampai begini.. sampai berapa lama kamu mau kesal dengannya, Minho?? Kamu
sebentar lagi mau jadi seorang Appa,” jawab ibunya
Minho cemberut, dia memang sedang serba
salah perasaan. Satu sisi ingin mengajarkan Aiko supaya gak cemburu buta, satu
sisi sebel dan kangen juga dengan cewek itu.
“padahal aku gak bisa kalau sehari aja gak
lihat dia, Eomma.. tapi menyebalkan,” keluh Minho lagi,”masak sih kalau kerja
harus dicemburui gitu?? Trus nanti kalau aku kemana-mana dan memang kerja
dengan banyak orang.. gimana?? Kan memang kerja ku akan begitu, Eomma”
Dia terus saja panjang lebar cerita,
menggerutu dan mengeluh pada ibunya. Ibunya cuma senyum senyum dengan anak
lelakinya yang memang masih kecil dan kekanak-kanakan.
“kamu sebaiknya sudah bersikap dewasa,”
kata ibunya.
“Aiko chan juga harus dewasa,” gerutu
Minho sambil cemberut.
Ibunya bukan marah tapi malah senyum
lagi,”tidak perlu Appa kamu yang selesaikan masalah ini kan?? Kalian saja..
kalian harus belajar dewasa”
“Aiko chan sekarang ada di rumahnya.. aku
sendirian di sini,” kata Minho lagi dengan nada sedikit jutek.
“kamu..pasti sebenarnya kesepian juga
kan.. enggak ada dia??,” tanya ibunya
Minho diam, aslinya memang dia kesepian,
tapi dia masih kesal.
“kok tidak jawab??,” tanya ibunya lagi
“iya,” balas Minho singkat dengan cepat
dan masih mulutnya cemberut.
“biar Appa tahu bagaimana sikap anak lelaki
paling besarnya,” kata ibunya lagi.
“Eomma jangan cerita dong.. nanti Appa
marah lagi,” Minho jadi takut.
“ini bukan sebuah ancaman, Minho.. Eomma
hanya ingin bicara dengan Appa mu soal sikap kalian yang masih belum dewasa
juga.. padahal sudah mau punya anak,”
“ya..aku mengerti,” ujar Minho menunduk
lemas,”aku akan jemput lagi Aiko chan kalau begitu, Eomma”
Ibunya senyum saja. Dia lalu menasehati
Minho supaya jangan cepat sensitif kalau memang tidak suka.
Minho kembali lagi ke rumah keluarga
Kohashi. Ibunya Aiko tidak mengeluarkan marahnya. Sikapnya biasa saja.
“aku boleh tidak.. bawa Aiko chan ke
rumah??,” tanya Minho pada ibu mertuanya.
“siapa yang melarang?,” ibu mertuanya
tanya balik
“kalian sudah baikan bukan??,” lanjutnya
lagi
Minho mengangguk mengiyakan saja, dia
sembunyikan emosi aslinya. Aiko pulang hari itu bersamanya dan bersama kedua
orangtuanya yang ingin berkunjung ke rumah susun mereka.
Ketika sampai di rumah susun, orangtua
Aiko masuk dan mereka langsung melihat ruangan depan yang berantakan. Minho
belum membereskannya bekas dia kemarin malam bete karena tidur sendirian.
“kenapa meja nya terbalik begini?? Rasanya
Tokyo tidak ada gempa tadi malam,” kata Kohashi santai, dia membalikkan meja
rendah sehingga posisinya biasa lagi.
Aiko langsung menarik Minho masuk kamar
mereka.
“tadi malam.. marah ya??,” tanya dia pada
Minho.
Minho diam saja, lalu dia malah jawab yang
enggak nyambung,”aku lapar..”, katanya keluar kamar mereka lagi.
Aiko mengintip Minho yang justru ramah
sekali dengan kedua mertuanya itu. Dia kembali sedih. Dia duduk saja di atas
tempat tidur, lalu berbaring dan menangis.
“apa Aiko chan tidak mau masak??,” tanya
ibunya pada Minho.
Minho agak malas ingin masuk kamar lagi
dan bertanya pada Aiko, tapi dia malah menjawab ibu mertuanya dengan perkataan
berbeda,”ah... nanti aku tanya..”, dan dia pun masuk ke kamarnya lagi.
Dia lihat Aiko sedang tidur, sama sekali
dia tidak mendekat, lalu menutup pintu lagi,”sedang tidur, Okaasan..biar aku
saja yang masak”
Ibunya kaget,”ini kan masih
sore...hieeehhh.. kenapa sih???,”
Minho langsung pergi ke dapur, membuka
kulkas dan mencari bahan-bahan untuk dimasak. Sedang ibunya Aiko ternyata masuk
kamar Minho. Minho ingin mencegahnya, tapi itu tidak baik. Sementara ayah
mertuanya, Kohashi santai saja melihat majalah dan membuka-bukanya.
“aduh..nanti dia bangun ...ngadu lagi,”
keluh Minho dalam hatinya, sempat menoleh pada ibu mertuanya yang masuk kamar.
Di dalam kamar, ibunya Aiko memergoki
anaknya berbaring...tapi dia tahu kalau anaknya itu tidak tidur.
“kamu tidak masak?? Masak iya Minho kun
yang masak??,” tanya ibunya, duduk disamping tempat tidur.
“wah...nangis lagi??,” lanjut ibunya.
Aiko hanya diam. Dia menahan-nahan
tangisnya.
“ayo bangun...tidak baik bertengkar
terlalu lama, walau pasti ada perbedaan...,” kata ibunya lagi.
Tak berapa lama, Aiko menoleh pada ibunya
dan bangun,”aku malas, Okaasan”
Ibunya hanya senyum,”sonna koto dewa
arimasen, Aiko chan.. hadapi semuanya dengan sungguh-sungguh.. walau kalian
bertengkar.. sebaiknya kamu yang mengalah dan memberikan dia jawaban”
“tapi...aku stress, Okaasan.. aku merasa
Minho kun sama sekali tidak memperhatikanku,” keluhnya lagi.
Ibunya senyum dan menyuruhnya keluar
kamar, membantu Minho yang sedang masak. Akhirnya Aiko keluar kamar juga dan ke
dapur membantu Minho.
Minho diam saja disana, Aiko hanya bilang
kalau dia mau membantu Minho masak dan sebaiknya cowok itu duduk saja bersama
dengan kedua orangtua mereka.
Tapi Minho hanya menggeleng, tidak berkata
apapun walau dia tidak mau pergi ke ruang depan. Mereka masak berdua dengan
diam-diaman.
Ibunya Aiko memperhatikan dari ruang
depan, sementara ayahnya Aiko malah santai sekali, tapi menyindir.
“kalian memang begini terus setiap hari
ya?? Diam-diaman??ini rumah sudah seperti dalam kuburan,”
Minho jadi tersindir juga, dia akhirnya
buka suara juga,”tidak, Otoosan.. tapi memang aku sedang sibuk kerja”
Kohashi lalu berdiri dan masuk ke ruang
kerja Minho, dia main masuk saja tanpa ijin, melihat apa yang sudah Minho
lakukan. Lalu kembali lagi dan duduk.
“Kamu pasti mau bekerja jadi editor komik,
Minho kun??,”
Minho hanya singkat menjawab iya. Lalu
Kohashi bilang itu bagus dan sepertinya akan membuat anaknya tenang daripada
jadi model yang bikin anaknya ditinggal kemana-mana.
Aiko selesai membantu Minho dan
mempersiapkan semua peralatan makan.
“kamu sendiri tidak masalah kalau Minho
kun bekerja jadi editor komik, kan??,” tanya Kohashi pada anaknya sendiri yang
sedang mengatur piring diatas meja rendah.
“Iie..
sore wa daijyoubu desu, Otoosan,” jawab Aiko kalem. Justru dia sama sekali
tidak mempermasalahkan pasangannya itu menjadi editor komik.
Minho duduk di depan Kohashi dan sedikit
menunduk hormat,”tapi..gajinya tidak sebesar dibanding jadi model, Otoosan..
jadi.. aku ingin tetap jadi model.. ke depannya.. aku akan serius lagi pilih
kontrak,”
“lalu..apa bisa jamin kalian tidak akan
bertengkar lagi??,” tanya Kohashi. Dia tahu bahwa anak dan menantunya itu
sedang ribut, walau isterinya tidak memberitahu.
“sepertinya pernikahan kalian masih sangat
jauh dari harapan dewasa,” lanjut Kohashi lagi.
“masih belum ada yang bisa kontrol emosi,
masih egois dan masih diluar tanggung jawab sebagai pasangan,”
Minho dan Aiko menunduk hormat saja,
mendengar Kohashi panjang lebar menasehati mereka.
“apa ibu dan ayahmu sudah tahu ribut ribut
kalian kali ini, Minho kun??,”tanya Kohashi lagi.
Minho sedikit kaget, darimana mertuanya
bisa tahu kalau dia pasti ngadu ke ibunya.
Wajah kagetnya dibaca Kohashi biarpun
Minho mencoba menyembunyikannya.
“lupa ya.. aku ini tentara?? Aku harus
jeli lihat situasi.. termasuk kehidupan anak-anakku sendiri,”
Minho menunduk hormat lagi lebih
dalam,”sumimasen, Otoosan.. bukan maksud ku mengadu pada orangtua.. tetapi..”
“jujur saja.. aku gak semudah itu marah
walau kesannya galak,” potong Kohashi
Minho menunduk hormat lagi dan melanjutkan
kata-katanya,”aku tidak bisa hidup dengan perempuan terlalu pencemburu.. walau
aku posesif”
“kamu curang,” potong Aiko, Minho langsung
menoleh.
“diam dulu,” ujar Kohashi,”lalu??”
Minho melanjutkan lagi ceritanya, kalau
dia menelepon kedua orangtuanya pada dasarnya kesal dengan Aiko yang menurutnya
juga masih ke kanak-kanakan, padahal dia sudah berusaha kerja keras dan
menghasilkan uang untuknya, tapi malah dimarahi dan cemburu buta. Ketika
menelepon ibunya pun, dia berkata kalau sebenarnya bukan maksud hatinya benci
dengan Aiko.
“ya.. kalian memang belum dewasa.. ini
percepatan kalian supaya bisa dewasa,” kata Kohashi.
“aku tidak mau makananku dingin,”
lanjutnya lagi. Isterinya mengerti lalu menyediakan makan untuknya.
“memang kalian tidak terpikir harus jalani
semua nanti demi anak??,” tanya ibunya Aiko.
Minho sempat diam, lalu dia menjawab,”aku
berfikir, okaasan..buatku.. mencari uang yang utama..,”
“kamu harus pikirkan yang lain, Aiko
chan.. jangan cuma pikirkan emosi diri sendiri,” kata Kohashi.
Dalam hatinya Aiko mengeluh sekali, dia
ada perasaan menyesal menikah muda. Belum lagi pasti nanti dia akan disibukkan
dengan urusan perkuliahan yang hanya tinggal 2 hari lagi masuk. Dia tidak
membantah ketika kedua orangtuanya menasehati dia dan Minho. Dia memang harus
terima segala konsekuensinya ketika memutuskan itu.
“kalian sudah dewasa.. jangan bertengkar
lagi.. pikirkan masa depan,” kata Kohashi. Mereka akan pulang kembali dan
meninggalkan Aiko dan Minho dalam rumah susun itu.
Minho dan Aiko hanya menunduk hormat saja.
Mereka pun pergi.
Hanya tinggal mereka berdua sekarang. Aiko
membereskan bekas makan, Minho ternyata ikut-ikutan dan membantu mencuci
piring.
Minho senyum padanya. Lama Aiko tidak
membalas senyumannya.. tapi akhirnya senyum juga.
Aiko mencolek sabun cair ke hidung Minho.
“aigoooo..mulai deh,” keluh Minho, dia
memang kadang suka kesal dengan sikap iseng pasangannya itu yang belum berubah.
Aiko hanya tertawa, lalu dia berjingkat memeluk Minho.
“aku gak bisa kalau tadi seperti itu
terus.. bisa bisa aku mau bunuh diri,” katanya pada Minho.
“aku mengeluh pada Eomma.. Eomma
bilang..aku masih seperti anak-anak.. kalau begini lagi.. pasti akan diadukan
ke Appa,” jawab Minho, dia juga memeluk Aiko.
“habis deh nanti kita diomelin.. Appa ku
galak,” lanjutnya lagi.
“sama.. otoosan juga galak,” tambah Aiko.
“kalau begitu.. kita harus buat janji
loh..,” pinta Minho. Lalu dia mengusulkan bagaimana kalau mereka membuat
semacam perjanjian yang sangat terikat.
Aiko kaget juga Minho bisa sampai seperti
itu, karena dia malah berfikir Minho sangat cuek dan seperti tidak perduli
dengannya akhir-akhir ini.
“perjanjian seperti apa?,” tanya Aiko
dengan wajah polosnya.
Minho juga berfikir, dia memutar-mutar
bola matanya, Aiko hanya melihat wajahnya dengan serius.
“bukannya kita sudah punya perjanjian??
Bukannya Otto sudah janji pada orangtuaku kalau akan biayai semuanya??”
Minho mengangguk mengiyakan,”tapi..kita
tidak punya perjanjian perasaan... kemarin aku kesal .. kamu terlalu cemburu
dan aku pusing.. aku belajar untuk dewasa, mengatakan sesuatu tanpa dipendam..
ternyata semua itu malah membuat kita semakin salah paham”
Aiko menghela nafasnya,”mungkin aku salah
lagi.. tetapi memang itu yang aku rasakan,”
Minho yang duduk dengan posisi biasa jadi
merubah kakinya. Kakinya yang panjang itu dia tekuk bersila dan dia mulai garuk
garuk kepala, mencoba memecahkan masalah mereka.
Aiko menoleh padanya,”masak iya.. dalam
perasaan harus ada perjanjian?? Apa enggak aneh??”
Minho lalu memandangnya dengan
tajam,”kalau tidak begitu.. kamu terlalu cemburu..keterlaluan.. menyebalkan..
bikin kepala ku pusing”
“itu semua aku lakukan karena aku khawatir
sama kamu,” balas Aiko. Matanya memandang Minho antara memelas dengan penuh
cinta.
Minho malah memeluk dan menciumnya,”aku
gak mau lagi berantem...aku tahu aku masih sangat sensi dan rasanya mau
marah...seharusnya kamu bisa faham aku”
“tapi...perjanjian apa yang kamu
inginkan??,” tanya Aiko.
Lalu Minho menyebutkannya...ternyata jika
memang semua tidak bisa diatasi lagi, cepat marah, cepat ngamuk, cepat
berantem, maka lebih baik mereka berpisah dulu sementara waktu. Aiko kaget
dengan apa yang Minho pikirkan.
“berpisah katamu... kenapa??,”
“supaya kita tidak bercerai,” jawab Minho
“ber....cerai??kenapa punya pikiran
seperti itu, Otto??,” Aiko tidak menyangka Minho akan bicara kata cerai, dia
pikir dialah yang paling emosi menginginkan cerai itu, ternyata Minho juga
mengarah kesana.
“aku tidak mau,” lanjut Aiko lagi
“aku juga..tetapi kalau memang pertengkaran
kita sudah tidak jelas apa hasilnya dan semuanya cuma dipikirkan dengan egois
masing masing, lebih baik kita pisah saja,” jawab Minho.
Aiko jelas jadi tambah curiga Minho
berkata seperti itu, dalam hatinya dia berfikir,”akankah suatu hari nanti mereka
bercerai??”
Dia hanya memandang Minho dengan tatapan
yang sedikit kosong...tidak menyangka apa yang dia pikirkan, keinginan untuk
pisah dan cerai dari Minho yang dia ceritakan pada ibunya, ternyata ditangkap
pula oleh Minho. Rasanya dia sudah turun emosinya dan berharap semua tidak akan
terjadi....
Bersambung ke part 30...........