Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..
Esok paginya, Suparno siap-siap berangkat
pagi sekali jam 4 subuh untuk pergi bawa gerobak jengkolnya ke rumah juragan
jengkol-Paijo- mengambil berkarung-karung jengkol yang sudah dikubur supaya
tidak bau dan siap dijual. Tapi dia pesan pada isterinya, Juminah supaya
hati-hati menjaga Minho, yang mereka belum tahu siapa nama aslinya.
“iki
ono gelang nang tangannya, Pak’e.. opo
iki jeneng ya??,” tanya Juminah keheranan.
Dilihat mereka ada dua jenis tulisan, satu
huruf keriting yang gak mereka tahu artinya dan satu lagi huruf alfabet.
Suparno membacanya: “Minho Lee,Seoul,South Korea”. Dia membaca dengan bahasa
jawanya yang kental.
“Seoul iku
nang ndi, Bu’e??,” tanya Suparno keheranan, ketika dia diberikan gelang itu
oleh isterinya dan dibacanya, gelang yang berasal dari plastik dan disegel
plastik untuk nama Minho. Seperti gelang untuk anak kecil yang ada di rumah
sakit. Sebenarnya itu gelang pertanda supaya ketika anak kecil hilang, bisa
tahu namanya siapa dan apa nasionaliti nya.
“ora
weru...mengko takon si sri.. dia
anak sekolah,” jawab isterinya. Mereka memang tidak sekolah sampai tinggi,
mungkin hanya sampai sekolah dasar saja.
“bocah’e
masih turu??,” tanya Suparno ke isterinya, apa Minho masih tidur atau
tidak. Juminah mengangguk.
“aku
arep tuku susu, Pak’e.. takutnya dia mau nginum susu,” kata Juminah, dia meminta uang lebih pada suaminya.
“tuku
nang Pakde Slamet wae..
asli sapi,” jawab Suparno, dia lalu membuka dompet dan memberikan uang lima
ribuan pada isterinya. Slamet tetangga mereka yang suka jual susu murni dari
sapi yang dia punya.
Juminah mengangguk dan berterima kasih.
Suparno lalu pergi pamit dan dia berpesan
supaya tidak lupa tanyakan Sri soal gelang itu pada gurunya dan juga bahasa
yang diucap Minho.
“dodolan
jenengan apik tenanan e,” kata Paijo sang juragan yang umurnya sudah 70
tahun lebih pada Suparno di tempatnya. Pagi itu Suparno harus sampai jam 5 di
pasar tradisional supaya nanti dagangannya laku. Dia percaya kalau rajin cari
rejeki pagi-pagi, rejeki itu gak akan lari.
“alhamdulillah, Pakde.. Gusti Allah
pemurah,” senyum Suparno pada juragannya itu.
Paijo lalu duduk dan memerintahkan anak
buahnya membawa berkarung-karung jengkol ke gerobak Suparno, termasuk ke dalam
gerobaknya untuk cadangan besok.
“aku
asline arep ngobrol karo pean.. tapi sesuk wae lah,” kata Paijo sambil
menghirup kretek jagung.
“mengko
sore, Pakde kalau tidak
keberatan...ono opo toh??,” tanya
Suparno balik. Dia memang orang yang termasuk dipercaya Paijo untuk urusan
dagang.
“arep
ngomongke dodolan ki..opo meneh? Yo wes, tak tunggu dina sore wae.. ono sing
penting dibahas,” balas Paijo.
“Inggih..
kepareng, Pakde.. ,”
Suparno pamit dengan mencium tangan Paijo, lalu dia mendorong gerobak
jengkolnya. Perjalanan cukup jauh, sekitar 5 kilo lebih ke pasar, jadi Suparno
harus rela membawa gerobak dagangannya dengan jalan kaki dan naik turun pula
jalan yang dilaluinya.
Dia lalu berfikir,”kenapa bisa kok anak kecil
itu ikut dia jalan sejauh itu??” dan tidak habis pikir, kenapa dia dikasih
kejadian oleh Tuhan kemarin itu dengan Minho mengikutinya dari belakang. Dia
mendorong gerobaknya dengan semangat, hari itu dia harus dapat uang lebih
supaya nanti dia bisa belikan Yudi, anaknya, mobil-mobilan tamiya.
Sampai dipasar, sudah ramai kebanyakan
para ibu pada belanja. Pasar itu memang aneh, banyak juga turis asing belanja
karena bersebelahan dengan komplek pasar oleh-oleh murah dekat candi.
Dilihatnya pada saat dia sedang melayani
pembeli, ada beberapa polisi sedang bertanya pada beberapa pedagang.
“Mbok..pean
ndeleng bocah cilik, umure rong taun..putih ngganteng..ora?? wong korea
selatan..iki potone.. ilang wingi sore,” kata seorang polisi dengan logat jawanya pada seorang
ibu pedagang kue serabi menunjukkan foto anak kecil putih cakep yang ternyata
Minho.
“ora
weru, Pak,” jawab bu penjual serabi yang memang sedang kosong pembeli.
“nuwun
sanget, Mbok,” senyum polisi itu dan berlalu.
Setelah itu, para polisi itu terus
bertanya kepada para penjual yang sedang tidak ramai pembeli dan Suparno
terlewat, karena mereka lihat dia sedang asik melayani para pembeli ibu-ibu
yang pagi itu memang sedang penuh mengelilingi dia.
Salah seorang polisi yang melihat itu
malah senyum pada Suparno dan teriak,”laku
dodolan jengkol ne, Pakde... joss!”
Suparno balas teriakan Polisi muda
itu,”alhamdulillah, Pak.. Gusti Allah Pemurah”, katanya dengan senyum. Para
polisi itu melewatkan Suparno, yang sebenarnya justru Minho bersama keluarganya
hari itu!
Juminah membeli susu sapi murni dan segar
dari tetangga beberapa rumah darinya, Pak Slamet.
“tumbenan
kowe tuku susu, Jum.. kanggo sopo??,” Slamet agak heran kenapa Juminah beli susu. Sedang kedua anaknya sudah
pada sekolah dan seingat dia, Juminah hanya beli susu ketika anak-anaknya masih
kecil saja.
“kanggo
ponakan, Pakde.. sore wingi teko,” Juminah berbohong, padahal itu untuk
Minho. Dia takut anak kecil 2 tahunan itu lapar dan haus sehingga dia beli
susu.
Slamet hanya berkata,”ooo..” saja pada
tetangganya itu
“ki..
aku kasih lebihan.. bocah biasane suka karo susune si ireng,” Slamet
menyebut nama salahsatu sapi belanda nya yang belangnya kebanyakan hitam
daripada putih. Dia memberi bonus lebih satu bungkus buat tetangganya itu.
Setelah mendapat kembalian, tak disangka Sri berlari dengan menggendong Minho.
“aduh..
piye ki?? Nanti tetangga
tahu,” kata hatinya Juminah, tapi dia tidak bisa memarahi Sri begitu saja
ketika anaknya itu datang dengan membawa Minho yang sedang menangis
tersedu-sedu.
Slamet heran lihat anak kecil secakep itu,
kulitnya mulus. Seperti bukan anak orang kebanyakan.
“ngganteng
tenan ponakan mu ki, Jum.. saka sing sopo??,” Slamet bertanya, dari
keponakan yang mana Minho ini, dia belum pernah lihat para keponakan Juminah
putih semua, hampir semuanya berkulit coklat dan sawo matang.
“saka
Jakarta, Pakde,” Juminah
berbohong lagi, mengaku Minho dari Jakarta.
“nangis
meneh, Bu’e.. aku ra iso diemin,” keluh Sri. Juminah lalu menggendong
Minho.
Minho teriak teriak nangis dengan menyebut
“Appa dan Eomma” (ayah dan Ibu) nya.
Slamet bingung,”ngomong opo toh?? Kowe ngarti, Jum??,”
Juminah cuma cengengesan, dia enggak mau
tetangganya tahu kalau Minho bukan anak indonesia, tapi anak hilang yang ikut
suaminya dari belakang ketika pulang dagang.
“Bapak’e
wong manca, Pakde,” Juminah bohong lagi, mengaku kalau keponakannya itu
dari keponakan yang ayahnya orang asing.
Slamet lalu malah bantu gendong Minho dan
dia mengajak anak kecil itu melihat sapi sapi peliharaannya, supaya Minho tidak
menangis lagi.
Sri ikutan di belakang Slamet, dia
berbisik pada Juminah, ibunya,”Bu’e wes
ngapusi Pakde Slamet,”
Juminah gantian bisikin anaknya
itu,”ssst.. tetangga jangan sampai tahu.. ben
repot”
Sri mengangguk saja menuruti apa kata
ibunya itu. Dia tidak ingin ibunya susah dikemudian hari.
Mereka masuk ke kandang sapi. Minho yang
tadinya nangis menjerit-jerit begitu melihat para sapi yang beberapa sedang
diambil susunya, malah diam.. lalu tertawa-tawa senang. Slamet mengijinkannya
pegang seekor sapi yang namanya Ireng
(hitam-red).
“ki jenenge
ireng.. beda karo pean sing putih tenan kulitne,” canda Slamet pada Minho.
Minho melihat wajah setengah tua bapak itu dan bingung, dia tidak mengerti apa
yang diucapkan orangtua itu.
“ora
iso ngarti boso jowo, Pakde,” ujar Juminah pada Slamet. Tapi Slamet
bercanda kalau Minho tinggal saja di kampung mereka pasti satu tahun kurang
sudah pandai bahasa jawa. Sri cekikikan dengan candaan tetangganya itu.
Minho memukul mukul badan si Ireng dengan
tangannya yang mungil, lalu dia jadi tertawa-tawa lihat si Ireng bersuara.
“moooo,” suara si Ireng diantara suara
pada sapi peliharaan Slamet. Minho malah tertawa.
“weh..
seneng tenanan ki bocah ngganteng.. dolan ning kene,” Slamet suka Minho
yang akhirnya tidak menangis dan tenang dengan para sapi peliharaannya.
“wes
Lek.. netep ning kene wae.. karo Bude Jum,” katanya lagi pada Minho. Minho
cuek saja, dia mengulurkan tangannya, masih memukul badan Ireng dan
tertawa-tawa kegirangan.
“yen
nangis maneh, njupuk ning kene wae, Sri... dolan karo kowe,” kata Slamet. Dia tidak masalah kalau
misalnya Sri mengajak Minho main melihat para sapi peliharaannya daripada anak
kecil itu menangis kencang.
“inggih,
Pakde,” jawab Sri
singkat.
“aku
arep sekolah, Bu’e.. wedi telat,” lanjut Sri pada Ibunya. Sementara Minho masih digendong Slamet. Sri cium
tangan ibunya dan pamit.
“ojo
lali takon boso ne,”
bisik ibunya sambil mengantungi uang jajan pada Sri. Meminta anaknya menanyakan
bahasa yang diucapkan Minho pada gurunya. Sri mengangguk lalu pamit pada Juminah
dan Slamet.
Pulang membeli susu, Minho kembali
digendong Juminah.
“kowe
anake sopo toh, Lek?? Coba kowe iso boso indonesia,” ujar Juminah di dalam
rumahnya, dia sedang memperhatikan Minho yang duduk dilantai yang dingin dari
semen dan minum susu di gelas.
“Bapak
arep tuku mobil-mobilan ora??,” tanya Yudi, anak kedua Juminah, menghampiri
ibunya itu dan sarapan tempe dengan sayur.
“Bapake
wes janji.. pastine dibeliin,” jawab Juminah dengan senyum
“ki
anak sopo toh, Bu’e??,” ternyata yudi akhirnya bertanya juga siapa Minho.
“Bapake
nemu.. ngikut ning mburi waktu Bapake mulih,” jawab Juminah jujur. Memang Minho ikut
dibelakang suaminya.
“anak
ilang toh??,” tanya Yudi. Ibunya mengangguk saja.
“Nanti
Bu’e karo Bapak’e bakalan angkat dia dadi adek ku??,” tanya Yudi lagi.
“masih belum tahu, Lek.. kasian kalau
dibiarin aja.. Bapake ora weru.. ki anak
sopo..,” jawab Juminah, kalem. Minho dilihatnya masih konsentrasi minum
susu sambil main kincir angin kecil yang kemarin dia dapat.
“wes
lah, Bu’e.. sing penting Bapake tuku mobilan buat aku.. isin aku karo konco
konco ku.. aku ra duwe mainan.. nyilih terus-terusan..,” kata Yudi mengeluh. Dia memang wataknya beda
dari Sri. Sri anak pertama Suparno dan Juminah yang penurut, sedang Yudi agak
bandel dan manja.
“Bu’e...
aku arep mangkat,” kata Yudi lagi di depan pintu mengeluarkan sepeda.
“ati
ati yo, Lek.. ojo ngebut nempak sepeda ne,” nasehat Juminah, supaya Yudi
tidak ngebut naik sepeda ke sekolah
Ketika kedua anaknya sudah pergi sekolah,
Juminah memandikan Minho. Dia bingung, tidak punya baju anak-anak ukuran dua
tahun lebih. Dilihatnya Minho memang termasuk anak bongsor. Lalu dia pakaikan
saja baju lama Yudi waktu kecil.
“mengko
sore kita ke pasar malam yo, Lek.. tuku bajumu,” katanya dengan senyum pada
Minho yang sedang dia pakaikan baju lama anaknya.
“Bu guru.. aku mau tanya sesuatu,” kata
Sri agak malu berdiri di depan guru bahasa Inggrisnya.
“ada apa, Sri? Ada yang bisa ibu bantu??,”
kata Bu Guru itu dengan ramah. Lalu dia mempersilahkan Sri duduk di depan nya,
di ruangan guru.
Sri lalu menyerahkan sebuah gelang plastik
yang dipakai Minho. Bu Guru heran dan bertanya, apa itu? Sri lalu cerita pada
gurunya kalau ada anak kecil nyasar ikut bapaknya dan ada gelang itu ditangan
kirinya.
“ini namanya bahasa Korea, Sri.. ini
namanya Minho Lee.. dari Seoul. Itu nama ibu kota negara Korea selatan,” senyum
gurunya menjelaskan.
“dadi..
bocah iku jenenge Minho, Bu?,” tanya Sri. Bu Guru mengangguk.
“kenapa ada anak kecil ikut bapakmu,
Sri??,” tanya gurunya penasaran.
“aku ndak
tahu, Bu... kata bapak.. pas bapak pulang.. dia sudah dibelakang bapak,” jawab
Sri polos.
Gurunya tidak tahu peristiwa seorang anak
hilang di pasar. Tapi dia menasehati Sri agar kedua orangtuanya melaporkan ke
kantor polisi supaya nanti siapa tahu bisa bertemu orangtuanya Minho. Sri hanya
mengangguk saja dan berterima kasih karena gurunya sudah membantu mengartikan
gelang itu.
Sri pulang sekolah dengan masih membawa
gelang itu kembali ke rumahnya. Dia lalu melihat ibunya di dalam, diruang tamu
sedang bermain bersama Minho. Setelah mengucap salam, dia lalu ganti baju dan
kembali ke ruang makan.
“aku tadi bilang bu guru.. katanya bu guru.. jenenge cah cilik ki Minho,”
Juminah hanya mengucap kata, “Minho??”,
tiba-tiba Minho yang sedang duduk dilantai dan bermain gangsing punya Yudi,
menoleh.
“o
iyo.. sepertine emang jenege Minho, Sri,” kata Juminah senang.
“jeneng
pean Minho.. cah bagus,”
senyum Juminah pada Minho.
Minho bukan takut atau cemas, tapi
ternyata dia malah membalas senyuman Juminah, berdiri menghampiri lalu memeluk
wanita itu.
“Eomma,” katanya dengan suaranya yang kecil dan
lembut. Dia memegang-megang rambut Juminah.
“Eomma
ki opo artine??,” balas Juminah kebingungan
“mbuh,
Bu’e.. aku ora ngarti.. tadi ora takon bu guru,” jawab Sri masih sambil makan di kursi makan.
“mengko
malam ba’da magrib.. tolong anterin Bu’e ke pasar malam yo, nduk... Bu’e arep
tuku baju,” Juminah
menggendong Minho.
“kanggo
Minho??,” tanya Sri. Juminah mengangguk.
Sore itu, Suparno memenuhi janjinya untuk
tidak langsung pulang. Sehabis dia membelikan Yudi sebuah tamiya, dia kembali
ke rumah Paijo, juragan jengkol. Paijo sudah menunggunya di teras depan rumah
jawa yang besar.
“duduk, No..,” kata Paijo memerintahkan
dia duduk disampingnya.
Setelah Suparno duduk, Paijo pun bercerita,”aku arep ngebagi hasil ku karo pean, lewih
akeh,” langsung dia bicara tujuan obrolan sore itu
“maksudne
opo, Pakde??,” Suparno masih belum mengerti. Dia malah menyerahkan hasil
uang penjualannya hari itu dan dia bilang, uangnya dipakai Rp 20ribu untuk
membeli tamiya buat anak lelakinya.
“aku
wes sepuh, No.. ra ono anak, putu.. ,” kata Paijo. Memang Paijo hanya
tinggal berdua dengan isterinya saja, mereka tidak dikaruniai anak, tapi kaya.
Lahan jengkolnya berhektar-hektar dan rasanya tidak ada habis-habisnya hasil
panennya. Dia lalu berminat untuk membiarkan Suparno mengolahnya dengan baik
“ojo
ngono, Pakde.. aku ki dudu sopo sopone Pean,” jawab Suparno. Dia gak enak
hati dengan orangtua itu karena Paijo lah yang membantu mengangkat dia dari
kemiskinan. Mulai dari sebagai orang baru pindahan di daerah itu, tidak punya
rumah dipinjamkan rumah sampai jualan pun dibantu oleh keluarga Paijo.
“yo
aku cuma percaya karo Pean.. pean ni wong jujur..,” ujar Paijo lagi.
“saiki
aku arep dodolan jengkol wae, Pakde.. ben Pakde butuh bantuan.. yo tetep tak
bantu,” kata Suparno.
Asli dia gak enak dengan kebaikan hati Paijo yang sudah sangat super baginya.
“kowe
keras kepala, No.. No.. sekarang bagi nya cukup aku 20 persen wae dari dodolan
mu,” kata Paijo lagi.
Suparno berterima kasih. Hari itu dia
membawa dua bungkusan: tamiya mobil mobilan buat anaknya Yudi dan baju kecil
kecil buat Minho.
Paijo kaget kenapa Suparno beli baju
anak-anak,”bocah sopo??”
Suparno berkilah kalau dia membelikan
keponakannya baju baju kecil di pasar. Baju itu memang terlihat harganya murah
sekali dan sederhana. Dia hanya berfikir kasihan Minho dari kemarin tidak punya
baju ganti, masih memakai baju yang kemarin dia temukan. Suparno lalu pulang
dan pamit dengan hati senang.
“dimana Minho sekarang, Nampyeon??,” isterinya Lee menangis lagi
di depan para polisi. Hari itu para polisi muda yang juga salah satunya bertemu
Suparno memberikan laporan sama sekali mereka tidak menemukan orang yang
mengaku melihat Minho kemarin di seputar pasar itu. Lee dan isterinya langsung
stress. Bahkan isterinya pingsan lagi.
“Jika memang Anda ingin kembali, maka kasus ini akan dibantu
dengan kedutaan besar Korea, Tuan Lee,” kata kepala polisi dibantu penterjemah.
Lee sangat galau, dia tidak pernah membayangkan liburannya menjadi neraka...
anaknya hilang.
“kami akan tetap disini sampai satu bulan,
Pak.. jika satu bulan tidak bisa juga di dapatkan, maka kami akan menyerahkan
urusannya dengan kedubes,” jawab Lee. Dia berusaha menyikapi kejadian ini
dengan tenang, walau hatinya sangat tidak karuan dan sedih.
Isterinya Lee sudah bingung, setiap detik
dia hanya melamun, tidak mau makan, hanya membicarakan pada suaminya dimana
anak mereka. Lee lalu akhirnya memberanikan diri berbicara dengan kedua
orangtuanya di Seoul kalau cucu mereka hilang.
Terang saja mereka sangat sedih, menangis
mendengar itu semua.
“kamu harus cari Minho.. kita harus
dapatkan Minho kembali.. Minho cucu kesayanganku... huhuhu,” kata ibunya Lee,
nenek Minho. Dia juga menangis mengingat cucu nya itu sangat lucu, pintar dan
menggemaskan.
“aku akan berusaha, Eomma.. isteriku sudah
stress dengan kejadian ini.. bagaimana aku bisa pulang kalau Minho belum
ditemukan juga? Aku hanya punya kesempatan 2 minggu lagi di negeri ini,” keluh
Lee. Dia akhirnya menangis juga di depan ibunya saat menelepon mereka.
Semua keluarga bersedih. Kepolisian daerah
itu tetap akan membuat kasus Minho sebagai kasus yang akan lama diselesaikan.
Jadi setiap ada laporan tentang Minho kecil yang suatu hari akan ditemukan,
akan tetap di proses dan dipulangkan ke negaranya.
Suparno pulang dengan senang hati sore
itu. Dia memperlihatkan kotak mainan tamiya pada Yudi.
“weh..
aku duwe mobil mobilan... matur nuwun. Pak’e,” kata Yudi kegirangan, dia
memeluk tamiya yang berwarna merah hitam itu
“iya,
Lek.. ojo dirusak yo.. iku mahal tenan,” jawab Suparno. Yudi termasuk anak
yang tidak bisa menjaga barang mainan. Kadang kalau dia bosan, ditinggalkan
saja mainan itu atau cepat rusak.
“ora,
Pak’e.. aku janji,” balas
Yudi dengan wajah berbinar,”aku saiki ora
malu maneh..,” dia langsung berlari dan berteriak teriak dijalan, ke rumah
teman-teman mainnya kalau dia akhirnya punya tamiya juga.
Suparno senang anaknya bisa bahagia punya
mainan yang diimpikan. Lalu dia menghampiri Juminah yang sedang bersama Sri
yang bermain dengan Minho.
Minho senang dengan Sri, tampaknya dia
kurang ingat lagi dengan orangtuanya. Setiap kali Sri bernyanyi untuk Minho,
dia ikut menggerakkan tangannya dan bertepuk tangan.
“ki..aku tuku kelambi cilik,” kata Suparno
memberikan bungkusan yang isinya 3 set baju pada Juminah.
“kurang, Pak’e.. mengko wingi arep tuku
maneh.. nang pasar malam,” jawab isterinya.
“ono duitne??,” tanya Suparno. Juminah
jawab uang yang diberikan tadi kurang, hanya cukup untuk membeli susu dan Pak
Slamet memberikan tambahan bonus 1 bungkus hari itu.
“tadi Sri bawa dia nang omahe Pakde
Slamet... kaget aku, Pak’e,” kata Juminah.
“Minho ne
nangis e, Pak’e.. ,” Sri membela dirinya sendiri, takut dimarahi ayahnya.
“Minho..??
jeneng ki bocah.. Minho??,” tanya Suparno pada isteri dan anaknya.
“iyo, Pak.. aku kan takon bu guru.. artine ki opo.. bu guru bilang ki gelang bocah sing saka manca.. ben ilang bisa
ditemuin.. jenenge Minho dari korea, Pak’e... adoh tenan,” jawab Sri
Minho hanya memperhatikan mereka bicara. Tampaknya
dia faham kalau yang mereka bicarakan adalah dirinya.
“nang
ndi korea ki, Sri??,” Suparno penasaran. Ternyata Sri membawa peta yang dia
pelajari disekolahnya lalu ditunjukkan pada kedua orangtuanya.
“ki,
Pak’e... Bu’e.. Korea iki.. adoh kan??,” katanya menunjukkan peta Korea
pada mereka.
“Minho dari sini.. ki kota ne,” lalu dia menunjukkan Seoul.
“adoh
tenan.. piye kalau orangtua ne ndak nemu dia, Pak’e?? Kasian,” tanya Juminah. Dia menatap Minho dengan
lembut. Minho hanya melihatnya saja sambil dia masih memegang mainan kincirnya.
“ora
ngarti aku begini begini, Bu’e.. yen ora ono wong ngaku orangtuane.. yo kita
ambil dadi anak,” kata Suparno.
“apa gak takut nanti polisi nangkep kita,
Pak??,” Juminah dari kemarin memang takut dianggap penculik jika Minho
ditemukan polisi.
“kan
kita ora dodol dia toh, Bu’e.. kita kasih mangan, kelambi,” jawab Suparno.
Dia lalu mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar 20 ribuan pada
isterinya.
“ki..
tuku kelambi anyar kanggo Minho,” senyumnya pada Juminah.
“dadi..
Minho bakalan dadi adekku, Pak’e??,” senyum Sri, dia senang. Dia memang
ingin punya adik lagi, katanya pada ibunya, Juminah, dia tidak suka Yudi karena
anak cowok itu nakal, tidak suka main dengannya dan malas membantu orangtua
mereka.
“tapi.. nanti tetangga-tetangga.. piye??,” Juminah khawatir lagi.
“atau.. lapor polisi saja, Bu’e??,” kata
Suparno
“Ojo
dilaporken, Pak’e.. Bu’e.. dadi adikku wae,” kata Sri memelas. Sepertinya
dia jatuh cinta pada Minho dari pertama kali, tetap minta cowok kecil itu jadi
adiknya.
“Bapak
wedi karo polisi, Nduk.. mengko kamu karo yudi arep mangan opo ben bapak
ditangkep??,” tanya
Suparno.
“Omah
kita kan adoh dari kantor polisi, Pak’e..
Kantor polisi nang kota,” Sri cemberut. Baru kali ini dia bisa memaksa
kedua orangtuanya, padahal aslinya dia anak yang penurut dan hampir tidak
pernah meminta ini-itu kalau orangtuanya tidak sanggup.
Suparno jadi berfikir. Dia juga sebenarnya
ingin punya anak satu lagi. Tapi bagi dia tidak mungkin kalau mengambil anak
orang, pasti orangtua Minho akan mencarinya. Bisa dibayangkan kalau salahsatu
anaknya hilang, dia juga pasti akan sedih dan mencari-cari.
“ojo
ngono, Sri.. kasian nanti orangtuane,” kata Suparno
“aku
ora sudi ben Minho dikembaliken nang orangtuane!,” Sri marah pada kedua orangtuanya
“aku
arep duwe adik maneh!,” katanya lagi, teriak. Dia ingin punya adik lagi
supaya bisa bermain dengannya.
“ealah,
nduk... ora iso.. Minho ki dudu anak Pak’e, Bu’e.. anake wong korea,” kata
Juminah, berusaha menenangkan anaknya.
Sri jadi malah menggendong Minho,”dolan karo aku yo, dek.. mengko wingi kita
pergi nang pasar malam...tuku kelambi mu,” katanya manis sama Minho. Lalu
dia bawa Minho keluar rumah sambil membawa mainan kincir dan mainan bekas punya
Yudi. Dia bilang pada Minho, nanti malam mereka akan pergi ke pasar malam beli
baju baru buat Minho.
Minho tertawa-tawa saja diajak main Sri
yang memang kecil-kecil keibuan dan senang dengan anak-anak juga. Sepertinya
Minho juga sudah nyaman dengan Sri.
“piye
toh, Pak’e?? Aku suka gak enakan karo Sri.. ,” kata Juminah. Juminah
orangnya memang tidak enakan dengan anak sendiri. Apalagi Sri mereka anggap
anak baik yang tidak pernah macam-macam.
Suparno juga bilang hari ini tidak ada
polisi atau siapapun dipasar mencari-cari Minho.
Padahal Suparno kelewatan, para polisi itu
tidak bertanya padanya karena melihat dia sibuk melayani pada ibu yang ramai
belanja jengkol enak hasil kebun Paijo.
Diluar, diteras yang sangat adem dan sejuk
semilir angin, Minho diajak main dengan Sri.
“ucapken
ki: Bapak’e,” kata Sri pada Minho. Ternyata Sri mengajarkan Minho cara
memanggil kedua orangtuanya.
Minho bingung.
Sri bicara lagi padanya,”Minho.. Pak’e”
Minho bingung dan diam lagi. Sri
membantunya lagi bilang kata-kata itu, yang tertuju pada ayahnya.
Lalu tiba-tiba Minho mengucapkannya,”Pak..e”, dengan nada anak-anak ceria.
Sri senang sekali,”ayo sekali lagi.. Pak’e”, katanya lagi
“Pak..
e!,” kata Minho sambil tertawa
Sri lalu masuk lagi ke rumahnya, teriak
senang pada Suparno.
“Pak’e..
Minho iso ngomong... celuk Pak’e!,”
“mosok
iyo??,” tanya Suparno
dengan penasaran.
“mriki,
Pak’e,” Sri meminta ayahnya mengikuti dan menghampiri ke teras.
“Pak’e...Minho..
ayo bilang.. Pak’e,” kata Sri dengan semangat mengajarkan Minho
Minho lalu mengikuti apa kata Sri,”Pak..e!”
Suparno tertawa mendengar Minho
mengucapkan kata itu.
“iyo,
Lek.. aku Pak’e mu,”
katanya mengelus rambut Minho yang tebal.
“iyo,
Pak’e.. Minho dadi adekku wae.. yo??,” Sri menagih lagi permintaannya.
“ora
iso, Sri.. mengko ditunggi wae kabare.. opo ono wong cari dia atau ora,”
senyum Suparno. Dia lalu mengatakan pada Sri, kalau Sri atau Yudi hilang, pasti
dia dan isterinya juga akan sedih.. begitu juga kalau misalnya Minho hilang,
orangtuanya pasti juga sedih.
“aku
arep ngajarin maneh.. ,” kata Sri lagi.
“mriki
Bu’e.. Minho kudu iso celuk Bu’e,” katanya pada ibunya. Juminah menghampiri
mereka.
“Minho.. ki.. Bu’e,” Sri menunjuk Juminah, supaya Minho tahu kalau Juminah
ibunya.
Minho bingung lagi, lalu Sri mengarahkan
lagi.
“Bu... e,” kata Sri,”ayo ngikut”
“sabar,
Nduk,” senyum Juminah.
Mereka menunggu agak lama Minho
mengucapkan kata,”Bu’e”, sampai akhirnya...
“Bu..e,”
kata Minho dengan senyum
Sri mencubit pipinya Minho,”pinter e’, Bu.. aku suka,”
Juminah senyum saja. Sri membantu Minho
mengenalkan kedua orangtuanya.
“Pak’e..,”
kata Sri dengan menunjuk Suparno
“Bu..e,”
katanya lagi dengan menunjuk Juminah
“Mbak..
e,” katanya lagi dengan menunjuk dirinya.
Minho memperhatikan apa yang Sri bicarakan
dengannya. Walau dia bingung dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah dia
dengar sebelumnya. Sri terus mengajarkan kata-kata itu sambil menunjukkan Minho
siapa ayahnya, ibunya dan dirinya. Minho mengulang berkali-kali. Sri senang
sekali. Dia ingin Minho tetap jadi adiknya dan tidak mau Minho pulang ke Korea
kalau memang ditemukan orangtuanya.
Dan, malam itu, dipasar malam juga, mereka
membelikan baju baru untuk Minho juga bermain mainan di seputar pasar malam dan
jajan makanan tradisional. Minho tinggal dalam keluarga baru sekarang..
Bersambung ke part 3...