This is me....

Selasa, September 30, 2014

The Jengkol Heirs (Part 2: Pak’e.. Bu’e.. Mbak’e..)

Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..

Esok paginya, Suparno siap-siap berangkat pagi sekali jam 4 subuh untuk pergi bawa gerobak jengkolnya ke rumah juragan jengkol-Paijo- mengambil berkarung-karung jengkol yang sudah dikubur supaya tidak bau dan siap dijual. Tapi dia pesan pada isterinya, Juminah supaya hati-hati menjaga Minho, yang mereka belum tahu siapa nama aslinya.
iki ono gelang nang tangannya, Pak’e.. opo iki jeneng ya??,” tanya Juminah keheranan.
Dilihat mereka ada dua jenis tulisan, satu huruf keriting yang gak mereka tahu artinya dan satu lagi huruf alfabet. Suparno membacanya: “Minho Lee,Seoul,South Korea”. Dia membaca dengan bahasa jawanya yang kental.
“Seoul iku nang ndi, Bu’e??,” tanya Suparno keheranan, ketika dia diberikan gelang itu oleh isterinya dan dibacanya, gelang yang berasal dari plastik dan disegel plastik untuk nama Minho. Seperti gelang untuk anak kecil yang ada di rumah sakit. Sebenarnya itu gelang pertanda supaya ketika anak kecil hilang, bisa tahu namanya siapa dan apa nasionaliti nya.
ora weru...mengko takon si sri.. dia anak sekolah,” jawab isterinya. Mereka memang tidak sekolah sampai tinggi, mungkin hanya sampai sekolah dasar saja.
bocah’e masih turu??,” tanya Suparno ke isterinya, apa Minho masih tidur atau tidak. Juminah mengangguk.
aku arep tuku susu, Pak’e.. takutnya dia mau nginum susu,” kata Juminah, dia meminta uang lebih pada suaminya.
“tuku nang Pakde Slamet wae.. asli sapi,” jawab Suparno, dia lalu membuka dompet dan memberikan uang lima ribuan pada isterinya. Slamet tetangga mereka yang suka jual susu murni dari sapi yang dia punya.
Juminah mengangguk dan berterima kasih.
Suparno lalu pergi pamit dan dia berpesan supaya tidak lupa tanyakan Sri soal gelang itu pada gurunya dan juga bahasa yang diucap Minho.


dodolan jenengan apik tenanan e,” kata Paijo sang juragan yang umurnya sudah 70 tahun lebih pada Suparno di tempatnya. Pagi itu Suparno harus sampai jam 5 di pasar tradisional supaya nanti dagangannya laku. Dia percaya kalau rajin cari rejeki pagi-pagi, rejeki itu gak akan lari.
“alhamdulillah, Pakde.. Gusti Allah pemurah,” senyum Suparno pada juragannya itu.
Paijo lalu duduk dan memerintahkan anak buahnya membawa berkarung-karung jengkol ke gerobak Suparno, termasuk ke dalam gerobaknya untuk cadangan besok.
aku asline arep ngobrol karo pean.. tapi sesuk wae lah,” kata Paijo sambil menghirup kretek jagung.
“mengko sore, Pakde kalau tidak keberatan...ono opo toh??,” tanya Suparno balik. Dia memang orang yang termasuk dipercaya Paijo untuk urusan dagang.
arep ngomongke dodolan ki..opo meneh? Yo wes, tak tunggu dina sore wae.. ono sing penting dibahas,” balas Paijo.
“Inggih.. kepareng, Pakde.. ,” Suparno pamit dengan mencium tangan Paijo, lalu dia mendorong gerobak jengkolnya. Perjalanan cukup jauh, sekitar 5 kilo lebih ke pasar, jadi Suparno harus rela membawa gerobak dagangannya dengan jalan kaki dan naik turun pula jalan yang dilaluinya.
Dia lalu berfikir,”kenapa bisa kok anak kecil itu ikut dia jalan sejauh itu??” dan tidak habis pikir, kenapa dia dikasih kejadian oleh Tuhan kemarin itu dengan Minho mengikutinya dari belakang. Dia mendorong gerobaknya dengan semangat, hari itu dia harus dapat uang lebih supaya nanti dia bisa belikan Yudi, anaknya, mobil-mobilan tamiya.

Sampai dipasar, sudah ramai kebanyakan para ibu pada belanja. Pasar itu memang aneh, banyak juga turis asing belanja karena bersebelahan dengan komplek pasar oleh-oleh murah dekat candi.
Dilihatnya pada saat dia sedang melayani pembeli, ada beberapa polisi sedang bertanya pada beberapa pedagang.
“Mbok..pean ndeleng bocah cilik, umure rong taun..putih ngganteng..ora?? wong korea selatan..iki potone.. ilang wingi sore,” kata seorang polisi dengan logat jawanya pada seorang ibu pedagang kue serabi menunjukkan foto anak kecil putih cakep yang ternyata Minho.
ora weru, Pak,” jawab bu penjual serabi yang memang sedang kosong pembeli.
nuwun sanget, Mbok,” senyum polisi itu dan berlalu.
Setelah itu, para polisi itu terus bertanya kepada para penjual yang sedang tidak ramai pembeli dan Suparno terlewat, karena mereka lihat dia sedang asik melayani para pembeli ibu-ibu yang pagi itu memang sedang penuh mengelilingi dia.
Salah seorang polisi yang melihat itu malah senyum pada Suparno dan teriak,”laku dodolan jengkol ne, Pakde... joss!”
Suparno balas teriakan Polisi muda itu,”alhamdulillah, Pak.. Gusti Allah Pemurah”, katanya dengan senyum. Para polisi itu melewatkan Suparno, yang sebenarnya justru Minho bersama keluarganya hari itu!

Juminah membeli susu sapi murni dan segar dari tetangga beberapa rumah darinya, Pak Slamet.
“tumbenan kowe tuku susu, Jum.. kanggo sopo??,” Slamet agak heran kenapa Juminah beli susu. Sedang kedua anaknya sudah pada sekolah dan seingat dia, Juminah hanya beli susu ketika anak-anaknya masih kecil saja.
kanggo ponakan, Pakde.. sore wingi teko,” Juminah berbohong, padahal itu untuk Minho. Dia takut anak kecil 2 tahunan itu lapar dan haus sehingga dia beli susu.
Slamet hanya berkata,”ooo..” saja pada tetangganya itu
ki.. aku kasih lebihan.. bocah biasane suka karo susune si ireng,” Slamet menyebut nama salahsatu sapi belanda nya yang belangnya kebanyakan hitam daripada putih. Dia memberi bonus lebih satu bungkus buat tetangganya itu. Setelah mendapat kembalian, tak disangka Sri berlari dengan menggendong Minho.
“aduh.. piye ki?? Nanti tetangga tahu,” kata hatinya Juminah, tapi dia tidak bisa memarahi Sri begitu saja ketika anaknya itu datang dengan membawa Minho yang sedang menangis tersedu-sedu.

Slamet heran lihat anak kecil secakep itu, kulitnya mulus. Seperti bukan anak orang kebanyakan.
ngganteng tenan ponakan mu ki, Jum.. saka sing sopo??,” Slamet bertanya, dari keponakan yang mana Minho ini, dia belum pernah lihat para keponakan Juminah putih semua, hampir semuanya berkulit coklat dan sawo matang.
“saka Jakarta, Pakde,” Juminah berbohong lagi, mengaku Minho dari Jakarta.
nangis meneh, Bu’e.. aku ra iso diemin,” keluh Sri. Juminah lalu menggendong Minho.
Minho teriak teriak nangis dengan menyebut “Appa dan Eomma” (ayah dan Ibu) nya.
Slamet bingung,”ngomong opo toh?? Kowe ngarti, Jum??,”
Juminah cuma cengengesan, dia enggak mau tetangganya tahu kalau Minho bukan anak indonesia, tapi anak hilang yang ikut suaminya dari belakang ketika pulang dagang.
Bapak’e wong manca, Pakde,” Juminah bohong lagi, mengaku kalau keponakannya itu dari keponakan yang ayahnya orang asing.
Slamet lalu malah bantu gendong Minho dan dia mengajak anak kecil itu melihat sapi sapi peliharaannya, supaya Minho tidak menangis lagi.

Sri ikutan di belakang Slamet, dia berbisik pada Juminah, ibunya,”Bu’e wes ngapusi Pakde Slamet,”
Juminah gantian bisikin anaknya itu,”ssst.. tetangga jangan sampai tahu.. ben repot
Sri mengangguk saja menuruti apa kata ibunya itu. Dia tidak ingin ibunya susah dikemudian hari.
Mereka masuk ke kandang sapi. Minho yang tadinya nangis menjerit-jerit begitu melihat para sapi yang beberapa sedang diambil susunya, malah diam.. lalu tertawa-tawa senang. Slamet mengijinkannya pegang seekor sapi yang namanya Ireng (hitam-red).
ki jenenge ireng.. beda karo pean sing putih tenan kulitne,” canda Slamet pada Minho. Minho melihat wajah setengah tua bapak itu dan bingung, dia tidak mengerti apa yang diucapkan orangtua itu.
ora iso ngarti boso jowo, Pakde,” ujar Juminah pada Slamet. Tapi Slamet bercanda kalau Minho tinggal saja di kampung mereka pasti satu tahun kurang sudah pandai bahasa jawa. Sri cekikikan dengan candaan tetangganya itu.
Minho memukul mukul badan si Ireng dengan tangannya yang mungil, lalu dia jadi tertawa-tawa lihat si Ireng bersuara.
“moooo,” suara si Ireng diantara suara pada sapi peliharaan Slamet. Minho malah tertawa.
weh.. seneng tenanan ki bocah ngganteng.. dolan ning kene,” Slamet suka Minho yang akhirnya tidak menangis dan tenang dengan para sapi peliharaannya.
wes Lek.. netep ning kene wae.. karo Bude Jum,” katanya lagi pada Minho. Minho cuek saja, dia mengulurkan tangannya, masih memukul badan Ireng dan tertawa-tawa kegirangan.
“yen nangis maneh, njupuk ning kene wae, Sri... dolan karo kowe,” kata Slamet. Dia tidak masalah kalau misalnya Sri mengajak Minho main melihat para sapi peliharaannya daripada anak kecil itu menangis kencang.
“inggih, Pakde,” jawab Sri singkat.
“aku arep sekolah, Bu’e.. wedi telat,” lanjut Sri pada Ibunya. Sementara Minho masih digendong Slamet. Sri cium tangan ibunya dan pamit.
“ojo lali takon boso ne,” bisik ibunya sambil mengantungi uang jajan pada Sri. Meminta anaknya menanyakan bahasa yang diucapkan Minho pada gurunya. Sri mengangguk lalu pamit pada Juminah dan Slamet.

Pulang membeli susu, Minho kembali digendong Juminah.
kowe anake sopo toh, Lek?? Coba kowe iso boso indonesia,” ujar Juminah di dalam rumahnya, dia sedang memperhatikan Minho yang duduk dilantai yang dingin dari semen dan minum susu di gelas.
Bapak arep tuku mobil-mobilan ora??,” tanya Yudi, anak kedua Juminah, menghampiri ibunya itu dan sarapan tempe dengan sayur.
Bapake wes janji.. pastine dibeliin,” jawab Juminah dengan senyum
ki anak sopo toh, Bu’e??,” ternyata yudi akhirnya bertanya juga siapa Minho.
“Bapake nemu.. ngikut ning mburi waktu Bapake mulih,” jawab Juminah jujur. Memang Minho ikut dibelakang suaminya.
anak ilang toh??,” tanya Yudi. Ibunya mengangguk saja.
Nanti Bu’e karo Bapak’e bakalan angkat dia dadi adek ku??,” tanya Yudi lagi.
“masih belum tahu, Lek.. kasian kalau dibiarin aja.. Bapake ora weru.. ki anak sopo..,” jawab Juminah, kalem. Minho dilihatnya masih konsentrasi minum susu sambil main kincir angin kecil yang kemarin dia dapat.
“wes lah, Bu’e.. sing penting Bapake tuku mobilan buat aku.. isin aku karo konco konco ku.. aku ra duwe mainan.. nyilih terus-terusan..,” kata Yudi mengeluh. Dia memang wataknya beda dari Sri. Sri anak pertama Suparno dan Juminah yang penurut, sedang Yudi agak bandel dan manja.
Bu’e... aku arep mangkat,” kata Yudi lagi di depan pintu mengeluarkan sepeda.
ati ati yo, Lek.. ojo ngebut nempak sepeda ne,” nasehat Juminah, supaya Yudi tidak ngebut naik sepeda ke sekolah
Ketika kedua anaknya sudah pergi sekolah, Juminah memandikan Minho. Dia bingung, tidak punya baju anak-anak ukuran dua tahun lebih. Dilihatnya Minho memang termasuk anak bongsor. Lalu dia pakaikan saja baju lama Yudi waktu kecil.
mengko sore kita ke pasar malam yo, Lek.. tuku bajumu,” katanya dengan senyum pada Minho yang sedang dia pakaikan baju lama anaknya.

“Bu guru.. aku mau tanya sesuatu,” kata Sri agak malu berdiri di depan guru bahasa Inggrisnya.
“ada apa, Sri? Ada yang bisa ibu bantu??,” kata Bu Guru itu dengan ramah. Lalu dia mempersilahkan Sri duduk di depan nya, di ruangan guru.
Sri lalu menyerahkan sebuah gelang plastik yang dipakai Minho. Bu Guru heran dan bertanya, apa itu? Sri lalu cerita pada gurunya kalau ada anak kecil nyasar ikut bapaknya dan ada gelang itu ditangan kirinya.
“ini namanya bahasa Korea, Sri.. ini namanya Minho Lee.. dari Seoul. Itu nama ibu kota negara Korea selatan,” senyum gurunya menjelaskan.
dadi.. bocah iku jenenge Minho, Bu?,” tanya Sri. Bu Guru mengangguk.
“kenapa ada anak kecil ikut bapakmu, Sri??,” tanya gurunya penasaran.
“aku ndak tahu, Bu... kata bapak.. pas bapak pulang.. dia sudah dibelakang bapak,” jawab Sri polos.
Gurunya tidak tahu peristiwa seorang anak hilang di pasar. Tapi dia menasehati Sri agar kedua orangtuanya melaporkan ke kantor polisi supaya nanti siapa tahu bisa bertemu orangtuanya Minho. Sri hanya mengangguk saja dan berterima kasih karena gurunya sudah membantu mengartikan gelang itu.

Sri pulang sekolah dengan masih membawa gelang itu kembali ke rumahnya. Dia lalu melihat ibunya di dalam, diruang tamu sedang bermain bersama Minho. Setelah mengucap salam, dia lalu ganti baju dan kembali ke ruang makan.
“aku tadi bilang bu guru.. katanya bu guru.. jenenge cah cilik ki Minho,”
Juminah hanya mengucap kata, “Minho??”, tiba-tiba Minho yang sedang duduk dilantai dan bermain gangsing punya Yudi, menoleh.
“o iyo.. sepertine emang jenege Minho, Sri,” kata Juminah senang.
“jeneng pean Minho.. cah bagus,” senyum Juminah pada Minho.
Minho bukan takut atau cemas, tapi ternyata dia malah membalas senyuman Juminah, berdiri menghampiri lalu memeluk wanita itu.
“Eomma,” katanya dengan suaranya yang kecil dan lembut. Dia memegang-megang rambut Juminah.
Eomma ki opo artine??,” balas Juminah kebingungan
“mbuh, Bu’e.. aku ora ngarti.. tadi ora takon bu guru,” jawab Sri masih sambil makan di kursi makan.
“mengko malam ba’da magrib.. tolong anterin Bu’e ke pasar malam yo, nduk... Bu’e arep tuku baju,” Juminah menggendong Minho.
kanggo Minho??,” tanya Sri. Juminah mengangguk.

Sore itu, Suparno memenuhi janjinya untuk tidak langsung pulang. Sehabis dia membelikan Yudi sebuah tamiya, dia kembali ke rumah Paijo, juragan jengkol. Paijo sudah menunggunya di teras depan rumah jawa yang besar.
“duduk, No..,” kata Paijo memerintahkan dia duduk disampingnya.
Setelah Suparno duduk, Paijo pun bercerita,”aku arep ngebagi hasil ku karo pean, lewih akeh,” langsung dia bicara tujuan obrolan sore itu
maksudne opo, Pakde??,” Suparno masih belum mengerti. Dia malah menyerahkan hasil uang penjualannya hari itu dan dia bilang, uangnya dipakai Rp 20ribu untuk membeli tamiya buat anak lelakinya.
aku wes sepuh, No.. ra ono anak, putu.. ,” kata Paijo. Memang Paijo hanya tinggal berdua dengan isterinya saja, mereka tidak dikaruniai anak, tapi kaya. Lahan jengkolnya berhektar-hektar dan rasanya tidak ada habis-habisnya hasil panennya. Dia lalu berminat untuk membiarkan Suparno mengolahnya dengan baik
ojo ngono, Pakde.. aku ki dudu sopo sopone Pean,” jawab Suparno. Dia gak enak hati dengan orangtua itu karena Paijo lah yang membantu mengangkat dia dari kemiskinan. Mulai dari sebagai orang baru pindahan di daerah itu, tidak punya rumah dipinjamkan rumah sampai jualan pun dibantu oleh keluarga Paijo.
“yo aku cuma percaya karo Pean.. pean ni wong jujur..,” ujar Paijo lagi.
“saiki aku arep dodolan jengkol wae, Pakde.. ben Pakde butuh bantuan.. yo tetep tak bantu,” kata Suparno. Asli dia gak enak dengan kebaikan hati Paijo yang sudah sangat super baginya.
kowe keras kepala, No.. No.. sekarang bagi nya cukup aku 20 persen wae dari dodolan mu,” kata Paijo lagi.
Suparno berterima kasih. Hari itu dia membawa dua bungkusan: tamiya mobil mobilan buat anaknya Yudi dan baju kecil kecil buat Minho.
Paijo kaget kenapa Suparno beli baju anak-anak,”bocah sopo??”
Suparno berkilah kalau dia membelikan keponakannya baju baju kecil di pasar. Baju itu memang terlihat harganya murah sekali dan sederhana. Dia hanya berfikir kasihan Minho dari kemarin tidak punya baju ganti, masih memakai baju yang kemarin dia temukan. Suparno lalu pulang dan pamit dengan hati senang.

“dimana Minho sekarang, Nampyeon??,” isterinya Lee menangis lagi di depan para polisi. Hari itu para polisi muda yang juga salah satunya bertemu Suparno memberikan laporan sama sekali mereka tidak menemukan orang yang mengaku melihat Minho kemarin di seputar pasar itu. Lee dan isterinya langsung stress. Bahkan isterinya pingsan lagi.
“Jika memang Anda  ingin kembali, maka kasus ini akan dibantu dengan kedutaan besar Korea, Tuan Lee,” kata kepala polisi dibantu penterjemah.
Lee sangat galau, dia tidak pernah membayangkan liburannya menjadi neraka... anaknya hilang.
“kami akan tetap disini sampai satu bulan, Pak.. jika satu bulan tidak bisa juga di dapatkan, maka kami akan menyerahkan urusannya dengan kedubes,” jawab Lee. Dia berusaha menyikapi kejadian ini dengan tenang, walau hatinya sangat tidak karuan dan sedih.
Isterinya Lee sudah bingung, setiap detik dia hanya melamun, tidak mau makan, hanya membicarakan pada suaminya dimana anak mereka. Lee lalu akhirnya memberanikan diri berbicara dengan kedua orangtuanya di Seoul kalau cucu mereka hilang.
Terang saja mereka sangat sedih, menangis mendengar itu semua.
“kamu harus cari Minho.. kita harus dapatkan Minho kembali.. Minho cucu kesayanganku... huhuhu,” kata ibunya Lee, nenek Minho. Dia juga menangis mengingat cucu nya itu sangat lucu, pintar dan menggemaskan.
“aku akan berusaha, Eomma.. isteriku sudah stress dengan kejadian ini.. bagaimana aku bisa pulang kalau Minho belum ditemukan juga? Aku hanya punya kesempatan 2 minggu lagi di negeri ini,” keluh Lee. Dia akhirnya menangis juga di depan ibunya saat menelepon mereka.
Semua keluarga bersedih. Kepolisian daerah itu tetap akan membuat kasus Minho sebagai kasus yang akan lama diselesaikan. Jadi setiap ada laporan tentang Minho kecil yang suatu hari akan ditemukan, akan tetap di proses dan dipulangkan ke negaranya.

Suparno pulang dengan senang hati sore itu. Dia memperlihatkan kotak mainan tamiya pada Yudi.
weh.. aku duwe mobil mobilan... matur nuwun. Pak’e,” kata Yudi kegirangan, dia memeluk tamiya yang berwarna merah hitam itu
iya, Lek.. ojo dirusak yo.. iku mahal tenan,” jawab Suparno. Yudi termasuk anak yang tidak bisa menjaga barang mainan. Kadang kalau dia bosan, ditinggalkan saja mainan itu atau cepat rusak.
“ora, Pak’e.. aku janji,” balas Yudi dengan wajah berbinar,”aku saiki ora malu maneh..,” dia langsung berlari dan berteriak teriak dijalan, ke rumah teman-teman mainnya kalau dia akhirnya punya tamiya juga.
Suparno senang anaknya bisa bahagia punya mainan yang diimpikan. Lalu dia menghampiri Juminah yang sedang bersama Sri yang bermain dengan Minho.
Minho senang dengan Sri, tampaknya dia kurang ingat lagi dengan orangtuanya. Setiap kali Sri bernyanyi untuk Minho, dia ikut menggerakkan tangannya dan bertepuk tangan.
“ki..aku tuku kelambi cilik,” kata Suparno memberikan bungkusan yang isinya 3 set baju pada Juminah.
“kurang, Pak’e.. mengko wingi arep tuku maneh.. nang pasar malam,” jawab isterinya.
“ono duitne??,” tanya Suparno. Juminah jawab uang yang diberikan tadi kurang, hanya cukup untuk membeli susu dan Pak Slamet memberikan tambahan bonus 1 bungkus hari itu.

“tadi Sri bawa dia nang omahe Pakde Slamet... kaget aku, Pak’e,” kata Juminah.
“Minho ne nangis e, Pak’e.. ,” Sri membela dirinya sendiri, takut dimarahi ayahnya.
“Minho..?? jeneng ki bocah.. Minho??,” tanya Suparno pada isteri dan anaknya.
“iyo, Pak.. aku kan takon bu guru.. artine ki opo.. bu guru bilang ki gelang bocah sing saka manca.. ben ilang bisa ditemuin.. jenenge Minho dari korea, Pak’e... adoh tenan,” jawab Sri
Minho hanya memperhatikan mereka bicara. Tampaknya dia faham kalau yang mereka bicarakan adalah dirinya.
nang ndi korea ki, Sri??,” Suparno penasaran. Ternyata Sri membawa peta yang dia pelajari disekolahnya lalu ditunjukkan pada kedua orangtuanya.
ki, Pak’e... Bu’e.. Korea iki.. adoh kan??,” katanya menunjukkan peta Korea pada mereka.
“Minho dari sini.. ki kota ne,” lalu dia menunjukkan Seoul.
“adoh tenan.. piye kalau orangtua ne ndak nemu dia, Pak’e?? Kasian,” tanya Juminah. Dia menatap Minho dengan lembut. Minho hanya melihatnya saja sambil dia masih memegang mainan kincirnya.
ora ngarti aku begini begini, Bu’e.. yen ora ono wong ngaku orangtuane.. yo kita ambil dadi anak,” kata Suparno.

“apa gak takut nanti polisi nangkep kita, Pak??,” Juminah dari kemarin memang takut dianggap penculik jika Minho ditemukan polisi.
kan kita ora dodol dia toh, Bu’e.. kita kasih mangan, kelambi,” jawab Suparno. Dia lalu mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar 20 ribuan pada isterinya.
ki.. tuku kelambi anyar kanggo Minho,” senyumnya pada Juminah.
dadi.. Minho bakalan dadi adekku, Pak’e??,” senyum Sri, dia senang. Dia memang ingin punya adik lagi, katanya pada ibunya, Juminah, dia tidak suka Yudi karena anak cowok itu nakal, tidak suka main dengannya dan malas membantu orangtua mereka.
“tapi.. nanti tetangga-tetangga.. piye??,” Juminah khawatir lagi.
“atau.. lapor polisi saja, Bu’e??,” kata Suparno
Ojo dilaporken, Pak’e.. Bu’e.. dadi adikku wae,” kata Sri memelas. Sepertinya dia jatuh cinta pada Minho dari pertama kali, tetap minta cowok kecil itu jadi adiknya.
“Bapak wedi karo polisi, Nduk.. mengko kamu karo yudi arep mangan opo ben bapak ditangkep??,” tanya Suparno.
Omah kita kan adoh dari kantor polisi, Pak’e.. Kantor polisi nang kota,” Sri cemberut. Baru kali ini dia bisa memaksa kedua orangtuanya, padahal aslinya dia anak yang penurut dan hampir tidak pernah meminta ini-itu kalau orangtuanya tidak sanggup.
Suparno jadi berfikir. Dia juga sebenarnya ingin punya anak satu lagi. Tapi bagi dia tidak mungkin kalau mengambil anak orang, pasti orangtua Minho akan mencarinya. Bisa dibayangkan kalau salahsatu anaknya hilang, dia juga pasti akan sedih dan mencari-cari.

ojo ngono, Sri.. kasian nanti orangtuane,” kata Suparno
aku ora sudi ben Minho dikembaliken nang orangtuane!,” Sri marah pada kedua orangtuanya
aku arep duwe adik maneh!,” katanya lagi, teriak. Dia ingin punya adik lagi supaya bisa bermain dengannya.
ealah, nduk... ora iso.. Minho ki dudu anak Pak’e, Bu’e.. anake wong korea,” kata Juminah, berusaha menenangkan anaknya.
Sri jadi malah menggendong Minho,”dolan karo aku yo, dek.. mengko wingi kita pergi nang pasar malam...tuku kelambi mu,” katanya manis sama Minho. Lalu dia bawa Minho keluar rumah sambil membawa mainan kincir dan mainan bekas punya Yudi. Dia bilang pada Minho, nanti malam mereka akan pergi ke pasar malam beli baju baru buat Minho.
Minho tertawa-tawa saja diajak main Sri yang memang kecil-kecil keibuan dan senang dengan anak-anak juga. Sepertinya Minho juga sudah nyaman dengan Sri.
piye toh, Pak’e?? Aku suka gak enakan karo Sri.. ,” kata Juminah. Juminah orangnya memang tidak enakan dengan anak sendiri. Apalagi Sri mereka anggap anak baik yang tidak pernah macam-macam.
Suparno juga bilang hari ini tidak ada polisi atau siapapun dipasar mencari-cari Minho.
Padahal Suparno kelewatan, para polisi itu tidak bertanya padanya karena melihat dia sibuk melayani pada ibu yang ramai belanja jengkol enak hasil kebun Paijo.

Diluar, diteras yang sangat adem dan sejuk semilir angin, Minho diajak main dengan Sri.
ucapken ki: Bapak’e,” kata Sri pada Minho. Ternyata Sri mengajarkan Minho cara memanggil kedua orangtuanya.
Minho bingung.
Sri bicara lagi padanya,”Minho.. Pak’e
Minho bingung dan diam lagi. Sri membantunya lagi bilang kata-kata itu, yang tertuju pada ayahnya.
Lalu tiba-tiba Minho mengucapkannya,”Pak..e”, dengan nada anak-anak ceria.
Sri senang sekali,”ayo sekali lagi.. Pak’e”, katanya lagi
Pak.. e!,” kata Minho sambil tertawa
Sri lalu masuk lagi ke rumahnya, teriak senang pada Suparno.
Pak’e.. Minho iso ngomong... celuk Pak’e!,”
“mosok iyo??,” tanya Suparno dengan penasaran.
mriki, Pak’e,” Sri meminta ayahnya mengikuti dan menghampiri ke teras.

Pak’e...Minho.. ayo bilang.. Pak’e,” kata Sri dengan semangat mengajarkan Minho
Minho lalu mengikuti apa kata Sri,”Pak..e!”
Suparno tertawa mendengar Minho mengucapkan kata itu.
“iyo, Lek.. aku Pak’e mu,” katanya mengelus rambut Minho yang tebal.
“iyo, Pak’e.. Minho dadi adekku wae.. yo??,” Sri menagih lagi permintaannya.
ora iso, Sri.. mengko ditunggi wae kabare.. opo ono wong cari dia atau ora,” senyum Suparno. Dia lalu mengatakan pada Sri, kalau Sri atau Yudi hilang, pasti dia dan isterinya juga akan sedih.. begitu juga kalau misalnya Minho hilang, orangtuanya pasti juga sedih.
aku arep ngajarin maneh.. ,” kata Sri lagi.
mriki Bu’e.. Minho kudu iso celuk Bu’e,” katanya pada ibunya. Juminah menghampiri mereka.
“Minho.. ki.. Bu’e,” Sri menunjuk Juminah, supaya Minho tahu kalau Juminah ibunya.
Minho bingung lagi, lalu Sri mengarahkan lagi.
“Bu... e,” kata Sri,”ayo ngikut”
sabar, Nduk,” senyum Juminah.
Mereka menunggu agak lama Minho mengucapkan kata,”Bu’e”, sampai akhirnya...
Bu..e,” kata Minho dengan senyum
Sri mencubit pipinya Minho,”pinter e’, Bu.. aku suka,”
Juminah senyum saja. Sri membantu Minho mengenalkan kedua orangtuanya.
Pak’e..,” kata Sri dengan menunjuk Suparno
Bu..e,” katanya lagi dengan menunjuk Juminah
Mbak.. e,” katanya lagi dengan menunjuk dirinya.
Minho memperhatikan apa yang Sri bicarakan dengannya. Walau dia bingung dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah dia dengar sebelumnya. Sri terus mengajarkan kata-kata itu sambil menunjukkan Minho siapa ayahnya, ibunya dan dirinya. Minho mengulang berkali-kali. Sri senang sekali. Dia ingin Minho tetap jadi adiknya dan tidak mau Minho pulang ke Korea kalau memang ditemukan orangtuanya.
Dan, malam itu, dipasar malam juga, mereka membelikan baju baru untuk Minho juga bermain mainan di seputar pasar malam dan jajan makanan tradisional. Minho tinggal dalam keluarga baru sekarang..

Bersambung ke part 3...