Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..
“kamu yakin Nampyeon.. kita akan menikmati liburan indah di Indonesia??,” kata
salah seorang isteri lelaki korea di rumahnya di Seoul
Suaminya mengangguk,”aku sudah siapkan
visa dan passport kita bertiga.. Minho harus ikut kita.. kasihan dong dia kalau
hanya di jaga Eomma dan Appa.. jangan merepotkan mereka.. lagipula.. Minho anak
manis.. dia gak rewel kalau kita bawa jalan kemana-mana,”
“tapi Minho baru dua tahun.. berapa lama
kita akan liburan disana?? Apa nanti dia tidak mabuk perjalanan??,” tanya
isterinya lagi, khawatir anak mereka satu-satunya yang masih kecil itu sakit
diperjalanan antar negara yang jauh dan butuh sekitar 10 jam lebih.
“aku rasa tidak.. dia termasuk anak yang
kuat.. iya kan, Minho??,” suaminya mencubit pipi anak kecil yang cakep dan
manis, yang sedang bermain mobil mobilan remote di ruangan itu
Anak kecil yang dipanggil Minho itu
tertawa-tawa,”kita pergi??”, katanya pada ayahnya.
Lee mengangguk lalu menggendong Minho
dipangkuannya,”Appa ada waktu liburan kerja.. masak kamu gak ikut Appa?? Appa
kan sayang Minho”, lalu mencium anaknya itu.
Minho kegelian,”aku pergi... dengan Appa
dan Eomma”, katanya dengan tawa ceria.
Lee memeluk anaknya yang manis itu.
Suara pengumuman kedatangan pesawat dari
Seoul ke Jakarta sudah ada. Lee, isteri dan anaknya, Minho lalu melanjutkan
perjalanan ke Bali. Mereka menikmati jalan-jalan di daerah itu sampai hampir
seminggu, lalu meneruskan ke Yogyakarta.
“ini sebuah candi yang besar.. jangan
sampai dilewatkan dikunjungi.. teman-temanku bilang.. ini sangat berkesan...
masuk tempat yang harus kita kunjungi,” kata Lee menunjukkan pada isterinya
foto candi Borobudur ketika mereka masih ada di bali, bersiap ingin terbang ke
Yogya.
Isterinya malah khawatir,”tempatnya besar
sekali.. banyak patungnya??”
“ah.. kamu jangan terlalu khawatir.. kita
akan dipandu tour guide disana
nanti,” balas Lee dengan pede.
Isterinya menurut saja apa kata suaminya
itu. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Kota Jogjakarta. Disana mereka juga
melihat beberapa objek wisata yang sangat membuat Lee dan isteri kagum.
Minho yang masih kecil lebih banyak
berlari-lari main tidak tentu arah.
“Minho.. jangan jauh-jauh, nak.. nanti
kamu capek lari-lari terus,” ibunya berusaha mengejar anaknya yang sedang
berlari di kompleks candi borobudur.
“tolong awasi anak kita.. Minho senang
sekali ya??,” kata ayahnya mengelus kepala anaknya itu
Minho menikmati pemandangan candi yang besar
sekali itu. Dia memegang megang replika dengan tangannya yang mungil dan
lembut.
“patung,” katanya, tertawa ceria pada
ibunya. Ibunya mengangguk dan senyum, lalu menggendongnya.
“kata orang.. jikalau kita bisa menyentuh
patung yang ada di dalam itu.. keinginan kita akan dikabulkan.. Tuan dan Nyonya
Lee,” kata tour guide dalam bahasa korea.
“boleh coba.. mudah-mudahan usaha ku
bagus,” kata Lee penasaran pada isterinya dan tour guide itu. Dia lalu
memasukkan tangannya dalam patung itu.
Ternyata tangannya tidak sampai, dia masih
penasaran. Lalu dia gendong Minho.
“tolong bantu Appa ya.. supaya rejeki kita
bagus,” kata Lee penasaran.
Dia memasukkan tangan Minho pada yang
memang mau menggapai patung yang ada dalam stupa itu. Minho tertawa-tawa saja
ketika tangannya dimasukkan.
“hey.. dia bisa loh!,” kata Lee senang. Tour
guide mengintip tangan Minho yang memang sampai menyentuh patung dalam stupa
itu.
“wah.. anak Tuan Lee akan banyak
rejekinya!,” kata tour guide pada mereka.
“hananim
gambsahabnida.. aku memang ingin usaha maju supaya Minho bisa jadi
pengusaha”, kata Lee pada tour guide.
Minho tertawa,”aku bisa, Appa”, katanya
dengan ceria.
“anak pintar,” puji tour guide padanya.
Minho masih tertawa senang. Ibunya lalu mengambil foto suami dan anaknya yang
sedang menggapai patung stupa itu.
“padahal tanganku panjang.. tapi malah
Minho yang bisa,” kata Lee penasaran.
“artinya rejeki anak Tuan Lee akan besar
suatu saat nanti,” senyum tour guide itu.
“semoga... semoga.. sebab aku memang
menaruh harapan anakku akan jadi pengusaha sukses suatu hari nanti,” kata Lee
dengan wajah ceria.
Minho dicubit-cubit pipinya, kedua
orangtuanya gemas. Mereka setelah puas berkeliling candi lalu pergi ke pasar
tradisional dekat situ yang ramai dan menjual banyak oleh-oleh.
“ramai sekali.. hati-hati jangan sampai
Minho lepas,” kata Lee memperingatkan isterinya. Ya, suasana pasar tradisional
sore itu sangat ramai. Minho malah senang sekali, karena ternyata disana banyak
mainan tradisional yang dia lihat.
Dia memegang-pegang sebuah mainan kinciran
angin kecil yang dijual seorang pedagang.
“dangsin
eun geugeos-eul wonhaneunga??,” senyum sang tour guide, menawarkan mainan
kincir kecil itu pada Minho.
Minho mengangguk senang,”Ye.. gomawo, samchon”, dengan suara
mungil dan cerianya, dia mengambil mainan itu
“aku
tuku iki, pak le.. piro??,”
tanya tour guide pada penjual kincir kecil itu
“sijine rong
sewu,” jawab penjual itu dan mereka pun melangkah lagi.
Minho senang, dia meniup-niup kincir kecil
itu dengan mulutnya yang kecil dan melihat kincir itu berputar-putar, dia pun
tertawa.
Dia terus saja meniup-niup, kedua
orangtuanya asik saja berkeliling berbelanja. Mereka senang borong banyak
oleh-oleh murah buat tetangga.
Tapi mereka lupa... ternyata Minho yang
juga asik dengan mainan kincirnya terpisah dari mereka!
Pasangan Lee panik, begitu juga tour guide
yang bersama mereka.
“ya Tuhan.. kemana Minho? Anakku...,”
Nyonya Lee sangat panik
“kita ada di negara orang, nampyeon.. Minho tidak boleh hilang,”
katanya menangis tersedu sedu pada suaminya. Lee berusaha untuk tenang agar
mereka tidak panik dan Minho tetap bisa dicari.
Tour guide berusaha menenangkan mereka dan
mereka langsung mencari-cari Minho ke berbagai sudut pasar tradisional itu.
“jenenge
sampeyan sopo, lek?? Napa njaluk ilang?? Ing ngendi biyunge pean??,” kata salah seorang bapak berusia empat
puluh tahun yang ternyata bicara pada Minho dengan bahasa jawa dengan nada yang
lembut
“Appaneun
eodi isseubnikka??,” Minho merengek, dia mencari ayahnya, bicara bahasa
korea pada bapak itu. Dilemparkannya mainan kincir kecilnya yang daritadi dia
bawa-bawa dan tiup-tiup.
“Eomma,”
katanya teriak.. dia lalu menangis duduk dan guling-gulingan di tanah,
ketakutan karena pisah dari orang tuanya yang juga masih mencarinya diluar
rumah itu.
Isteri bapak itu lalu keluar rumah, dia
menemukan suaminya di teras rumah sedang berusaha menenangkan Minho yang nangis
berguling-guling ditanah.
Isterinya bapak itu kaget,”ealaaah.. iki bocah sopo toh, pak’e??”,
katanya heran melihat suaminya membawa anak kecil yang putih bersih
“aku
ora weru, bu’e.. ki anak sopo.. kasian.. ilang .. kesasar kang saka tuwane”,
jawab lelaki itu, mengatakan kalau dia juga tidak tahu anak siapa yang
mengikutinya dan tidak tahu siapa orangtua Minho.
“aduh
pak’e.. bahaya iki.. awake dewe iso dipuncekel karo polisi yen nguripake metu
wong manca”, keluh isterinya itu, dia mencoba menggendong Minho yang
menangis di lantai dan mencoba mendiamkannya. Isterinya bilang kalau dia takut
nanti ada orang lapor polisi kehilangan anak dan suaminya bisa dihukum karena
bisa dituduh menculik anak orang.
“aku
ora weru, bu’e.. ki bocah padha derek aku saka mburine nalika aku mulih
sakdurungne... tak takon sopo orangtuane.. eh sesambat mlipir”, lelaki itu menjelaskan kalau Minho ikut
di belakangnya ketika pulang dan kaget sudah ada anak itu dibelakangnya dan
ketika ditanya, Minho malah nangis guling-gulingan dilantai.
“aduh..
puyeng sirahku,” keluh isterinya. Dia tetap mencoba menenangkan Minho.
“lek... jangan nangis ya.. diam diam..,” kata
isterinya lelaki itu pada Minho dengan lembut.
Minho yang tadinya nangis berguling-guling
mendadak diam.
“Eomma??
Eommaneun eodi isseubnikka??,” dia masih ingat dan bertanya dimana ibunya,
air matanya masih keluar, Minho masih ketakutan.
“iki
ngomong opo toh, Pak’e?? Aku ora ngarti,” kata perempuan itu yang bernama Juminah.
“podho
bae aku, Bu’e.. boso opo ki..aku ra ngarti,” kata suaminya yang bernama
Suparno.
Mereka sungguh bingung dengan bahasa korea
yang diucapkan Minho.
“ojo
nangis toh, Lek.. ayo masuk nang omah.. Bu’e ono panganan sing enak,”
senyum Juminah pada Minho yang masih terisak.
Minho tidak mengerti apa yang dibilang
perempuan itu, dan dia diam saja ketika Juminah mengelus kepalanya dengan
lembut.
“Eomma...,” katanya menangis terisak mencari
ibunya.
“piye??
Aku bingung iki bocah lanang sopo,” Suparno tidak habis pikir hari itu dia
dapat masalah, dia memang tidak tahu kalau ada anak kecil ikut dibelakangnya
jalan sementara dia membawa gerobak jengkolnya pulang karena hari sudah sore.
“apik..
cah bagus..ganteng tenanan,” kata Juminah. Dia lalu menggendong Minho dan mencoba mendiamkannya.
Sepertinya Minho sudah capek menangis daritadi.
“anake
wong sugih kali, Bu’e,” jawab Suparno. Mereka mengira Minho anak indonesia
orang kaya.
“kita lapor polisi aja, Bu’e..,” kata Suparno,
dia ketakutan, takut disangka penculik.
“kasih makan dulu, Pak’e.. kasian..
mungkin anak ini lapar,” Juminah menggendong Minho dan mengusap air matanya.
“besok kita cari orangtuamu, ya.. jangan
nangis,” senyum wanita itu lagi.
Mereka masuk ke dalam rumah dengan membawa
Minho ke dalamnya.
“Tuhan.. kemana Minho, Nampyeon?,”
isterinya Lee menangis di kantor polisi. Mereka sedang menunggu kabar pencarian
Minho melalui para polisi yang berkeliling kota itu.
Lee sangat stress dan pusing anak
satu-satunya itu hilang, sementara visa mereka liburan sudah habis besok dan
harus diperpanjang atau mereka akan diusir keimigrasian.
Isterinya Lee terus saja menangis.
Menyesal kenapa Minho bisa hilang hari itu dan belum ditemukan juga.
“kita harus urus dulu visa dan passport,
baru kita cari lagi Minho,” kata Lee pada isterinya.
Isterinya teriak histeris, dia tidak
terima, sebab kalau harus mengurus surat tinggal sementara dulu, bisa-bisa anak
mereka sudah diculik orang entah kemana.
Polisi terus mencari Minho dengan foto
yang sudah disebarkan dan beberapa polisi berkeliling kota.
“kemana Minho, nampyeon??,” isak isterinya
Lee. Dia beberapa kali pingsan, sedih anaknya belum ditemukan juga sampai
malam.
“besok sebaiknya Tuan dan Nyonya tetap
mengurus perpanjangan tinggal, supaya juga tidak berat mencari Minho,” kata
kepala polisi resort yang dibantu diterjemahkan oleh tour guide.
Lee berusaha tabah dengan kenyataan yang
mereka terima hari itu. Besok dia harus kembali ke Jakarta atau semarang untuk
mengurus keimigrasian dan kembali lagi ke kota kecil itu supaya bisa mencari
informasi dimana Minho sebenarnya.
Sementara
Minho masih tinggal dirumah Suparno. Dia masih menangis saja walau sudah diberi
makan Juminah.
“bagaimana ini nanti, Pak’e... kita enggak
tahu orangtua anak ini,” Juminah melihat Minho yang masih bengong dengan mainan
kincir yang dikasih dari tour guide siang itu, lalu dengar Minho berkata lagi
pada mereka mencari ayah dan ibunya yang tidak dimengerti mereka.
“anak darimana.. aku ndak tahu, Bu’e.. ,”
kata Suparno.
“mungkin anak turis, Pak,” kata salah
seorang anak perempuan yang kira-kira kelas 5 Sekolah dasar.
“kamu tahu dia ngomong bahasa opo, nduk??,” tanya Suparno pada anak
kandungnya itu.
“gak tahu aku, Pak.. mengko tak takon guruku,” kata Sri, nama anak itu. Dia janji akan
tanya gurunya bahasa apa yang diucapkan Minho.
“cakep e, Pak.. aku suka deh,” lanjut Sri
lagi. Dia senyum pada Minho. Minho hanya memandang wajah Sri.
“umure piro kira kira anak ini ya, Pak??,”
tanya Juminah
“mungkin 2 tahunan, Bu’e.. dia sudah bisa
ngomong lancar..,” jawab Suparno.
“sesuk kamu tanya guru mu ya, nduk.. kamu
catat dia ngomong opo,” kata Suparno pada Sri.
Sri mengangguk, dia senyum pada Minho.
“Eonni,” kata Minho senyum, membalas senyuman Sri.
Dia merasa Sri perempuan kecil yang ramah. Eonni itu kakak perempuan dalam
bahasa korea.
“tapi kenapa bapak ndak lapor polisi
toh??,” tanya Sri
“aku ndak tahu dia asale dari mana, nduk,”
jawab Suparno
“mungkin ikut bapak dari pasar tadi,” kata
Juminah.
Minho memandang mereka dengan aneh. Dia
tidak mengerti apa pembicaraan mereka dan dia nangis lagi.
“Eomma..
,” dia merengek lagi panggil-panggil ibunya
“kasian banget, Pak,” kata Sri. Dia lalu
malah coba gendong Minho. Minho digendong dan diangkat-angkatnya, walau tubuh
Sri tidak terlalu tinggi.
“ati-ati..
mengko tiba,” Suparno
memperingatkan Sri supaya hati-hati menggendong Minho agar tidak jatuh.
Sri senang dengan Minho. Dia malah
mengajak Minho ngobrol walaupun anak itu menangis.
“kasian e,Pak.. aku mau deh.. dadi mbaknya,” kata Sri
“ojo
ngono, nduk.. pasti ono orangtuane,” kata ibunya, Juminah.
“buat temani aku karo yudi,” jawab Sri.
Yudi adalah anak kedua pasangan Suparno dan Juminah.
“nanti bapak mu bisa bermasalah sama
polisi, nduk.. kalau dia ada orangtuanya.. besok ada yang cari.. ya kita kasih
ke orangtuanya,” kata Juminah lagi.
Minho malah mencium pipi Sri, lalu dia
tertawa,”Eonni.. yeppeun,” ternyata
dia suka dengan Sri yang menggendongnya dan dia pikir Sri anak kecil yang baik
dan cantik.
Sri malah asik gendong Minho, dia malah
menyanyikan Minho lagu anak-anak dan dia gendong seperti adiknya sendiri.
“kasian ya, Bu’e.. anak sopo iki.. ,” kata Suparno ketika melihat Sri berhasil membuat
Minho tenang.
“ben
engko wengi nangis lagi... repot kita,
Pak’e.. ono tetangga takon.. iki anak sopo,” kata Juminah. Ya, sore itu ada
tetangga tanya, kenapa ada suara anak kecil nangis dan Juminah berbohong kalau
Minho itu keponakannya yang dititipkan di rumahnya.
“sare, Bu,” kata Sri. Ternyata Minho tidur
dalam gendongannya.
“kasian,” lanjut Sri lagi. Juminah minta
tolong anaknya itu membawa Minho ke kamarnya, supaya tidur dikamar saja.
Sri lalu kembali dari kamar kedua
orangtuanya itu. Dia lalu mengerjakan PR didepan kedua orangtuanya. Tak berapa
lama, Yudi, adiknya masuk rumah sepulang dari pergi bermain. Dia cium tangan
kedua orangtuanya.
“darimana, Lek??,” tanya Suparno pada anaknya itu, tapi Yudi malah cemberut.
“Pak’e ndak belikan aku mobil-mobilan.. yo aku main karo konco ku.. nang omahe si
amat,” jawab Yudi.
“sesuk
bapak tuku mobil-mobilan.. sana sekarang belajar dulu,” kata Suparno lagi.
Suparno seorang pedagang Jengkol
kecil-kecilan. Dia mendapatkan jengkol dari dengan berjualan hasil kebun
seorang juragan jengkol di desa tetangga, lalu dia jual dan keuntungannya lalu
akan diberikan dan dibagi dengan sang juragan. Penghasilannya tidak seberapa,
tapi dia cukup bersyukur masih bisa makan dan menyekolahkan kedua anaknya.
“janji
karo aku yo, Pak.. aku malu tenan ora duwe mobil-mobilan,” kata Yudi lagi. Dia memang
ingin punya sebuah mainan mobil balap yang sekarang lagi ngetren di desa dan
mungkin nasional: tamiya.
“iyo.. bapak janji...sesuk tuku mobil-mobilan nang
pasar,” kata Suparno lagi.
Yudi langsung masuk kamar dia dan kembali
dengan buku mengerjakan PR nya, ikut kakaknya, Sri.
“mikir aku, Bu’e.. kalau nanti ndak ada
orang ngaku anak itu... piye??,”
tanya Suparno pada Juminah.
Juminah melihat kedua anaknya, lalu
melihat suaminya,”ora opo-opo Pak’e..
anggap aja amal toh.. kasian.. masak harus kita kasih lagi ke wong liane?”. Juminah punya rasa kasihan
yang tinggi pada orang lain.
“lagian.. sepertinya si Sri suka sama
dia,” lanjutnya lagi
“liat besok, Bu’e.. mudah-mudahan
orangtuane masih ono,” kata Suparno.
Hari semakin larut. Lee dan isterinya
kembali ke hotel. Isterinya sangat marah, sedih, karena hari itu Minho belum
juga ditemukan. Dia memarahi suaminya kenapa tidak memegang Minho ketika tadi
di pasar.
“sudah bukan lagi kita berkelahi karena
Minho hilang... besok aku harus pergi ke semarang urus surat perpanjangan
imigrasi kita.. kamu tetap dikantor polisi,” kata Lee dengan nada antara marah
dan tidak tahu lagi harus apa. Visa libuan mereka sudah habis waktunya besok,
harus segera diperpanjang, sementara mereka tetap harus temukan Minho.
“jangan bilang Appa dan Eomma kamu dulu,”
kata Lee pada isterinya,”takut mereka sakit jantung”. Minho termasuk cucu
kesayangan mereka. Apa jadinya kalau kedua orangtua mereka tahu cucu nya hilang
dinegara orang.
“POKOKNYA KITA HARUS TEMUKAN MINHO!! HARUS!!,”
teriak isterinya sudah panik.
“IBDAGCHYEO!
Aku juga stress!,” teriak Lee. Dia marah juga akhirnya pada isterinya sendiri,
hampir menggamparnya, tapi dibatalkan.
Isterinya menangis,”Minho... jigeum eodiya??”, dia menangis,
bertanya-tanya, dimana anaknya sekarang berada.
Isterinya terus saja memanggil-manggil
Minho. Polisi berkata bahwa mereka sudah menyebarkan selebaran yang disebar
dijalanan soal Minho yang hilang. Kepala polisi bilang, anak buahnya tetap
berkeliling dan menginformasikan ke beberapa kantor supaya bisa cepat menemukan
Minho kalau ada yang melihatnya.
“kita tidak bisa lama disini juga.. aku
harus kerja.. bagaimana ini??,” Lee sudah benar-benar stress, dia bingung
antara harus kembaliliburan bekerja atau tetap mencai anaknya. Dia lalu mencoba
mencari kontak kedutaan besar untuk membantunya.
Dia pun menelepon salahsatu staff yang
berurusan dengan imigrasi pusat.
“andaipun kita harus pulang.. kedubes
tetap akan membantu mencari Minho,” kata Lee dengan suara yang lemas. Dia sudah
mulai merasa putus asa, takut anaknya celaka. Akhirnya dia menangis juga. Anak
yang tadi siang sangat dibanggakannya karena sanggup menyentuh patung dalam
stupa, sekarang belum ditemukan.
Isterinya makin keras menangis. Dia tidak
sanggup membayangkan pulang kembali ke Korea tanpa anaknya yang disayangnya.
“Tidak! Minho harus kita temukan dulu, Nampyeon... kita harus temukan Minho!,” teriaknya
pada suaminya
“AKU BERUSAHA... KITA AKAN TETAP MENCARI
MINHO!,” Lee balas teriakan isterinya dengan teriakan. Diapun menonjok tembok
hingga tangannya berdarah, lalu menangis
“Minho.. cepat ketemu kami, nak... kamu
apa gak kangen dengan Appa dan Eomma??,”
Mereka berdua menangis, tidak kuat
membayangkan kalau nanti mereka akan pergi meninggalkan Indonesia tanpa anak
kesayangan mereka.
Malam semakin larut, keluarga Suparno satu
persatu masuk kamarnya masing-masing dan tidur. Minho tertidur lelap dikamar
Juminah dan Suparno. Dia belum terlalu ingat kalau dia sudah terpisah dengan
orangtuanya.. hanya tidur lelap karena capek bermain dan menangis mengingat
kedua orangtuanya..
Bersambung ke part 2...