This is me....

Rabu, Oktober 08, 2014

The Jengkol Heirs (Part 3: Minho Bawa Rejeki Yo, Bu’e)

Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..

“habis sudah harapan kita.. Minho sama sekali tidak ditemukan,” keluh Lee di telepon kedua orangtuanya. Dia dan isterinya masih di kota itu.
Kedua orangtua Lee yang kakek dan neneknya Minho menangis, mereka tidak bisa membayangkan cucu kesayangan mereka hilang di negara yang tidak mereka kenal.
“lalu.. bagaimana lagi kita temukan Minho??,” tanya ibunya Lee, neneknya Minho kepada anaknya itu.
Lee juga bingung dengan nasib anaknya sendiri,”mian habnida.. Appa.. Eomma.. kepolisian di sini sudah menyatakan Minho hilang.. tetapi bukan berarti kasus ini tidak diteruskan.. kedutaan akan tetap membantu kita”
Ibunya Lee shock berat.. dia pingsan.. Ayahnya Lee-kakek Minho- juga hanya terduduk, stress dan sedih dengan berita itu.
“aku minta maaf.. aku lalai menjaga anakku sendiri,” Lee juga akhirnya menangis tersedu-sedu. Dia membayangkan jika dia dan isterinya kembali lagi ke Korea, bagaimana Minho nanti di indonesia?? Apa dia bisa bertahan? Atau akan menjadi korban penculikan dan human traficking/perdagangan manusia?? Dia tidak bisa bayangkan.. rasanya ingin bunuh diri dengan kegagalannya.
Seluruh keluarga Lee sangat sedih, tetapi Lee dan isterinya tetap harus pulang.


Hari-hari berlalu.. semenjak akhirnya Lee dan isterinya pulang.. Suparno sama sekali tidak lagi menemukan beberapa polisi muda yang mengobrol dengannya yang ternyata mencari Minho waktu itu. Akhirnya, sudah berminggu-minggu tidak ada sama sekali laporan, keluarga Suparno pun resmi menganggap Minho bagian dari mereka.
Bu’e kudu jaga Minho yo.. aku arep mangkat sekolah sik..,” kata Sri dengan wajah cerianya. Dia senang Minho sudah kenal dirinya dan bisa memanggil,”mbak’e” padanya.
Sri cium tangan ibunya, lalu dia mengelus pipi Minho,”mbak’e mangkat sik.. mengko siang kita main nang omahe si Nur,” katanya dengan wajah ceria pada Minho.
“mbak’e,” jawab Minho hanya seperti itu. Bahasanya masih bersisa korea dan dia terkadang masih suka menangis, terutama kalau makanan dan minuman yang dia makan tidak enak dilidahnya dan dia tidur kepanasan.
ojo diajake boso jowo terus toh, Sri.. dia ora ngarti,” kata ibunya.
“aku ra iso boso korea, Bu’e.. boso indonesia wae yo??,” kata Sri lagi, senyum pada Minho.
“wes, Bu.. aku pamit,” lanjutnya pada ibu nya. Lalu dia pergi ke sekolah. Suparno sudah jalan duluan sedari pagi berdagang jengkol. Begitu juga dengan Yudi yang anak lelaki bungsu, sudah pergi ke sekolah yang biasanya main dulu sebelum masuk sekolah.

“Lek..kita jalan-jalan lihat sapi yuk?,” tanya Juminah pada Minho, dia lalu menggendong anak itu.
“abot tenan, Lek.. piro berat mu yo??,” canda Juminah yang merasa berat menggendong Minho. Badannya memang termasuk bongsor. Mereka lalu jalan ke rumah pak Slamet yang punya peternakan beberapa ekor sapi.
Slamet sampai sana kaget dengan apa yang dia lihat, dia pikir Minho sudah pulang kembali ke Jakarta, sebab dulu Juminah bilang kalau Minho keponakannya.
durung mulih nang jakarta Minho ki??,” tanya Slamet pada Juminah
dereng, Pakde,” jawab Juminah, yang artinya memang Minho belum kembali ke Jakarta.
Slamet membiarkan Juminah menggendong Minho dan Minho bermain dengan sapi-sapinya. Tak berapa lama, Slamet pun bertanya lagi,”ono waktu, Jum?? Arep ngobrol,” katanya meminta bicara dengan Juminah.
Juminah sudah curiga duluan, ada apakah gerangan kok dari ekspresi muka tetangganya itu jadi seperti mencurigai??
Mereka duduk di ruang tamu. Slamet meminta isterinya menyediakan teh untuk ngobrol pagi.
Slamet lalu mengeluarkan sebuah koran, dengan santai dia ngobrol dengan Juminah,”ini loh, Jum.. aku beli koran.. ini ada berita kehilangan.. kok rai ne mirip karo Minho??”, lalu Slamet mendekatkan koran itu pada Juminah dan dia menunjukkan iklan anak hilang itu, yang memang ternyata Minho yang ada di koran itu.
Juminah agak sedikit kaget, tapi dia malah berbohong lagi pada Slamet seperti waktu itu,”ah.. bukan sepertinya Pak de.. “

Slamet diam sejenak, lalu dia bilang,”ojo ngapusi aku, Jum.. “, katanya, dia tidak suka Juminah membohonginya.
Minho hanya memperhatikan mereka bicara. Dia sama sekali tidak mengerti kalau yang dibicarakan tentang dirinya.
ngapunten, Pakde.. ,” jawab Juminah singkat.
“trus.. kamu apa gak kasian..orangtua nya pasti cari bocah iki?,” tanya Slamet lagi.
“aku ndak tahu lagi, Pakde.. orangtua dia dimana,” jawab Juminah. Dia berharap Slamet tidak menyalahkan dia untuk kasus ini.
“anak ini memang menarik, ngganteng,” ujar Slamet,”tapi tetap dia dudu anak mu, Jum.. kasian awake,”
“ini korannya yang hari apa, Pakde??,”
“seminggu yang lalu,” jawab Slamet singkat.
Juminah memperhatikan pengumuman anak hilang itu “Telah hilang seorang anak kecil berumur 2 tahun, bernama Lee Minho, dstnya...”
“memang mirip Minho sekali,” kata hatinya Juminah. Dia jadi bimbang apakah akan memberikan Minho ke kantor polisi atau tetap dia pertahankan supaya Sri, anaknya, tidak marah dengan mereka. Dia melihat Sri sangat sayang dengan Minho. Setiap kali pulang sekolah selalu diajak main, dibantu disuapi makan, dimandikan sampai ditemani tidur.. serasa Minho sudah menjadi adiknya sendiri. Juminah membayangkan bagaimana sedihnya Sri kalau nanti Minho dikembalikan lagi ke kedua orangtuanya, tetapi sebagai seorang ibu juga dia bisa merasakan kalau dia jadi ibunya Minho, pasti akan sangat kehilangan anaknya.

ojo kasian karo si Sri, Jum.. pean itu ibu.. piye rasane kalau anak kowe diambil wong,” Slamet berusaha mengingatkan bagaimana rasanya kalau Juminah punya anakyang kemudian diambil orang lain, tentunya dia akan sangat kehilangan dan tidak bisa berbuat apa-apa selain sedih.
Juminah menyadari akan hal itu, lalu dia menceritakan pada Slamet kalau sebenarnya dia juga ingin Minho kembali ke kedua orangtuanya. Hanya saja, dia sebagai ibu juga merasakan keinginan Sri yang ingin dia penuhi.
“keinginan itu ndak selalu harus kita penuhi dan dapati, Jum... aku hanya memberi nasehat aja karo pean...semua terserah pean..iku keluarga pean..dudu keluarga ku,” ujar Slamet. Dia tidak ingin tetangganya kekusahan suatu hari nanti hanya karena menuruti keinginan anaknya. Juminah jadi berfikir serius, yang dia takutkan bukan dirinya, tapi suaminya, Suparno.
“aku cuma kasian karo bocah ki... cah ngganteng ki pasti dicari orangtuanya... sudah jauh orangtuanya kesini..ternyata anak kesayangan mereka hilang...perasaan pasti ketakutan, sedih.. bisa jadi mereka mikir.. anakku jadi gelandangan..atau sudah mati,” kata Slamet lagi, sama sekali dia tidak menunjukkan wajah marahnya, bagaimanapun dia hanya tetangga Juminah, bukan siapa-siapa mereka, hanya sebatas memberikan pertimbangan.

Juminah jadi sangat berfikir, dari awal juga dia berfikir harus mengembalikan Minho. Dia hanya menjawab pada Slamet, kalau dia akan bicarakan lagi dengan Suparno dan juga Sri.
“aku ngerti Sri pasti bakalan sedih... anak itu ingin Minho jadi adiknya.. dia ndak temukan Yudi, adeknya jadi adek yang baik.. aku juga wes duwe perasaan sendiri.. kalau cah ngganteng ini bakalan jadi baik,” kata Slamet lagi
“aku pertimbangkan, Pakde.. aku juga kasian karo cah cilik ki..,” jawab Juminah. Dia melihat Minho yang justru santai di pangkuan Slamet. Tampaknya memang hanya di awal awal saja Minho sangat cerewet, teriak apa yang mereka tidak mengerti seperti mencari kedua orangtuanya. Tetapi ketika dia menemukan Sri, malah seperti tidak lagi menangis kencang dan bahkan terkesan nyaman dengan anak perempuan itu.
Slamet tidak berkata banyak lagi. Dia lalu mengajak Minho ke kandang para sapinya dan membiarkan anak itu bermain dengan mereka, terutama si Ireng yang memang sangat disukai Minho.
cah ngganteng... ben pean pergi maneh nang korea... ojo lali karo aku.. karo ireng.. itu kalau si Jum kasian karo orangtua pean,” ujar Slamet pada Minho yang mengulurkan tangannya pada Ireng.

“kenapa bisa gitu, Jum?? Kasian cah iku...,” kata Ngatinem isteri Slamet
aku ora weru, Bude.. Sri suka tenan karo Minho...aku ora enak hati karo Sri,” jawab Juminah. Dia makin bingung saja dengan perasannya. Ternyata sudah 2 minggu Minho ada bersama mereka, Jum juga sudah mulai kasihan dan sayang pada anak kecil itu.
Pulang dia jadi mikirin banget soal pembicaraan antara dia dengan keluarga Slamet.
Sore itu, Suparno baru pulang dari jualannya.
Dia duduk di teras depan lalu Juminah menyiapkan teh manis hangat untuk Suparno. Sedang Sri sedang main sama Minho ke rumah Nur, salahsatu teman sekolah Sri yang dekat rumah mereka.
Sambil mengipas-kipas, Suparno ngobrol dengan Juminah,”mana si Minho?? Dolan karo Sri??”
“iya, Pak’e.. ,” jawab Juminah singkat.
Suparno meminum teh manis yang dihidangkan isterinya dan juga memakan pisang rebus.
“hari ini Alhamdulillah jengkolnya laku sampai 5 karung, Bu’e.. mengko wingi Pakde Paijo arep ngobrol karo aku maneh,”
Ternyata lagi-lagi Paijo nanti malam akan mengajaknya mengobrol, entah karena urusan dan obrolan apa lagi.
tentang opo toh??,” tanya Juminah
ora weru aku.. kemarin waktu bahas soal aku harus bantu Pakde urus semua lahannya dia, aku belum sanggup, Bu’e.. berat harus mengolah lahan ber hertak hektar itu,” jawab Suparno dengan memandang lurus pada lahan depan rumahnya.
“kasian Pakde Paijo.. orang duwe anak, putu.. ,” ujar Juminah.
“Takdir Gusti Allah, Bu’e.. ora iso dilawan,” jawab Suparno. Lalu dia menoleh pada Juminah,”kamu setuju ndak.. kalau aku bantu Pakde Paijo untuk ngolah lahan jengkolnya itu?? Jadi mungkin aku bisa ndak dagang.. tapi duit nya dari bantu ngolah lahan,”
“terserah dirimu saja, Pak’e.. sing penting halal,” jawab Juminah. Dia ingin sekali menyampaikan apa yang tadi siang dibicarakan antara dia dan Slamet, tapi diurungkan niatnya itu.
Suparno lalu ternyata mengeluarkan dompetnya dan memberikan uang kepada Juminah beberapa lembar 20 ribuan.
“ki buat tuku kelambine Minho..,” kata Suparno serius.
Juminah jadi cuma memandang saja Suparno memberikan uang itu, terang saja Suparno bingung.

“ono opo?? Masih kurang?,” tanya Suparno.
“ora.. aku kelingan tadi ngobrol karo Pakde Slamet,” jawab Juminah. Dia jadi ingin cerita soal tadi dengan Slamet. Akhirnya dia pun cerita kalau pagi menjelang siang dihari ini dia ngobrol dengan Slamet dan isterinya dan ternyata mereka sangat penasaran dengan Minho. Dia panjang lebar menceritakan kalau Slamet selama ini sebenarnya berfikir kalau Minho itu bukan keponakan mereka baik dari Suparno atau Juminah dan pada akhirnya dia menemukan sebuah iklan anak hilang yang mirip sekali wajahnya di foto koran itu dengan Minho. Lalu Juminah pun cerita kalau dia mengakui bahwa Minho memang anak hilang tersebut. Slamet memberikannya saran untuk tetap mengembalikan Minho pada kedua orangtuanya di Seoul.

“si Sri bisa marah besar karo kita nanti, Bu’e.. tiap dino dia dolan karo Minho.. diajak nang omahe konco koncone.. wes.. aku ra kebayang,” jawab Suparno. Mereka memang sangat sayang dengan Sri yang bertipe pengasuh, tidak nakal dan penurut.
Aku ora iso ngomong opo opo maneh, Pak’e..ben si Sri ora misuh karo kita.. kembalikan aja Minho ke sana.. aku ikhlas, biarpun kita sudah beli baju, beli susu yang banyak untuk dia,” jawab Juminah.
“tak bujuk Sri,” balas Suparno. Dia juga bercerita kalau dia merasa salah besar dengan menahan Minho untuk tidak dilaporkan ke polisi sebagai anak hilang. Dari awal dia sudah bingung dengan kejadian ini. Tetapi anehnya tidak ada yang bertanya padanya tentang anak hilang di pasar sehingga dalam pikiran nya hanya ada “ya sudah, pelihara saja anak itu sebaik-baiknya”
“bisa bisa kita ditangkep polisi, Pak’e.. sudah berminggu-minggu Minho disini,” Juminah cemas juga.
“aku juga inginnya begitu, Bu’e.. tapi apa nanti kita ndak juga ditangkap karena kita sudah buat Minho tinggal disini lama??,” tanya Suparno balik.
Juminah dan Suparno lama berfikir tentang ini, sementara Sri dan Minho masih main di rumah Nur.

Andai aku laporken.. aku juga wedi ditangkep,” kata Suparno lagi.
wes lah, Pak’e.. aku juga wedi.. Minho nya di openi wae.. lagian si Sri suka karo Minho.. dia anggap wes dadi adek nya dewek,” jawab Juminah. Sebenarnya mereka sama-sama ketakutan, takut ada tetangganya yang lapor pada polisi sehingga mereka akan disidangkan. Jadi, mereka hanya termenung saja di depan teras sampai Sri dan Minho yang dituntun jalan kaki dengannya menghampiri mereka.
“Pak’e sama Bu’e kok bingung.. kenapa??,” tanya Sri.
“duduk, nduk,” kata Suparno, mempersilahkan Sri duduk disampingnya, dan anak itu pun duduk.
“ono opo, Pak’e?? Opo urusan Minho maneh??,” tanya Sri pada ayahnya, tampaknya dia sudah tahu siapa yang akan dibahas. Suparno mengangguk mengiyakan.
“jujur wae, Sri.. Bapak’e karo Bu’e ketakutan Minho tinggal disini.. takut ono polisi nangkep kita,” kata Suparno jujur dan terbuka pada anaknya sendiri. Dia berharap Sri dapat mengerti kalau Minho sebenarnya bukan adiknya dan dikembalikan saja ke Korea sana.

Sri mendengar bujukan Suparno supaya dia tidak ngambek lagi kalau Minho nanti diketahui polisi dan kemudian dipulangkan suatu hari nanti. Sri malah matanya berkaca-kaca dan menangis.
aku ora sudi, Pak’e.. ben Minho dipulangken nang korea maneh.. Minho kan wes dadi adekku, huhuhu,” katanya menangis, menutupi wajah kecilnya, berharap kedua orangtuanya tidak memulangkan anak kecil manis itu yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.
Sri setiap detik asal sepulang sekolah tidak melewatkan waktunya untuk tidak bersama Minho. Dia sibuk sekali mengasuh anak itu, walau dia sendiri juga sedang mengerjakan PR tetapi tetap diajaknya Minho bermain sambil belajar. Sri mengatakan berkali-kali kalau dia tidak suka adiknya sendiri, Yudi, yang menurutnya nakal dan tidak bisa bermain dengannya serta susah diatur, sementara kadang dia merasa kesepian serasa tidak punya adik.
“pokok’e aku ora sudi.. mendingan aku kabur bareng Minho,” katanya masih menangis lalu berlari masuk rumah. Suparno hanya geleng-geleng kepala melihat anaknya bertingkah seperti itu.
Nduk..nduk... pean ki.. keibuan tenan,” kata Suparno yang masih melihat anaknya menangis masuk kamar.

“trus... gimana lagi dong, Pak??,” tanya Juminah.
Suparno menarik nafas,”aku kasian karo Sri sebener’e, Bu.. dia itu baik.. kelihatan toh.. caranya ngasuh Minho tulus tenanan,”
“aku yo lihatnya juga gitu, Pak’e,” jawab Juminah singkat.
Minho memain-mainkan jari tangan Juminah yang sedang duduk di depannya, sementara dia berdiri menatap halaman rumah.
Eomma,” senyum Minho pada Juminah, dia sudah mulai berfikir Juminah adalah ibunya.
opo, Lek??,” sapa Juminah dengan ramah pada Minho yang menoleh padanya.
“Mbak’e..,” jawab Minho enggak nyambung.
Suparno bicara pada Minho dengan bahasa indonesia logat jawa kental,”Iyo, Lek... Mbak mu nangis.. ora sudi ben pean dipulangken nang korea sana
Minho diam saja ketika Suparno bicara padanya. Suparno berharap orangtua Minho masih mencarinya sehingga dia akan rela jika suatu hari anak itu ditemukan orangtuanya, diambil kembali dan dibawa ke negaranya.
Dia mengelus-elus kepala Minho,”Pak’e ikhlas, cah bagus.. kalau kamu pulang nanti ke sana.. kalau sudah besar pun ternyata kamu ditemukan orang tua mu.. Pak’e ikhlas”
Minho cuma senyum-senyum lalu tertawa dengan apa yang dikatakan Suparno padanya. Dia memang tidak mengerti bahasa Suparno, dia hanya pikir bapak hampir 40 tahun-an itu memanjakannya dengan mengelus rambutnya.

Magrib itu mereka masuk dan Yudi belum pulang. Suparno menggendong Minho dan mengetuk pintu kamar Sri.
Nduk.. buka pintunya.. Bapak’e arep ngobrol sama kamu,” kata Suparno dengan ramah.
Sri membuka pintu kamar, ternyata matanya merah karena menangis.
“Mbak’e,” kata Minho padanya, dia minta digendong oleh Sri padahal masih digendong Suparno
“Ojo njaluk digendong karo mbak mu, Lek.. abot,” kata Suparno, tidak mengijinkan Minho minta digendong anaknya itu. Badan Minho bongsor dan berat, takut anaknya, Sri tidak kuat.
“masih sedih, Nduk??,” tanya Suparno pada Sri.
Sri diam di depan pintu kamarnya, lalu,”iyo,Pak e.. aku tetep ndak mau Minho dipulangken,”. Sri benar-benar tidak ingin Minho dipulangkan. Sepertinya dia sudah keras hati anak kecil itu harus jadi adiknya.
Suparno senyum pada anaknya,”durung weru, Sri.. Minho masih boleh disini..”
“Mbak’e??,” kata Minho lagi pada Sri, dia malah ngotot minta digendong dan tangannya menuju tangan Sri.
ayo tak gendong,” Sri senyum padanya lalu mengendongnya.
“sembahyang dulu, Nduk..wes magrib.. mengko gampang dolan meneh,” kata Suparno
Inggeh, Pak’e,” Sri mengiyakan dan menurut apa kata ayahnya, tapi dia tetap menggendong Minho lalu masuk kamarnya
Suparno masuk ke kamarnya sendiri untuk ibadah.

Setelah selesai, Suparno duduk lagi di depan, Juminah kembali menghampirinya, tapi Suparno malah berdiri.
“aku arep mengan nang omahe Pakde Paijo,” kata Suparno. Ternyata dia harus datang lagi ke rumah Paijo.
ono opo meneh??,” tanya Juminah, dia ingin tahu ada urusan apa antara suaminya dengan juragan jengkol itu.
Suparno menjawab tidak tahu apa urusannya tapi dia harus datang segera, katanya penting. Maka dia pun pamit pada isterinya.
Ketika tiba di ruang depan, dia temukan Yudi baru pulang.
“kemana saja toh, Lek?? Kok ndak magriban dulu?,” katanya ramah pada anak lelakinya itu, sama sekali tidak ada ekspresi marahnya.
dolan nang omahe si Amat, Pak’e,” kata Yudi cuek, dia habis main mobil-mobilan di rumah temannya Amat, dia lalu jalan masuk ke kamarnya.
“ojo lali sembahyang,” ujar Suparno lagi
iyo,” balas Yudi singkat.
Juminah geleng kepala. Yudi memang keras kepala. Harusnya sehabis magrib mereka pergi ke masjid supaya bisa mengaji.
“pean harus keras karo Yudi, Pak’e.. sehabis dia dibelikan mainan... ngaji nya susah,” keluh Juminah
Suparno janji setelah selesai urusan dengan Paijo, dia akan ngobrol dengan Yudi.
Sri keluar kamar dengan memakai kerudung bersama Minho yang dia gendong.
“ojo digawa adek mu nang masjid..mengko ribut,” kata Juminah. Dia meminta pada Sri supaya Minho dirumah saja, tidak ikut kegiatannya, supaya tidak bikin ribut. Takutnya ketika ribut dan Minho mengeluarkan kata-kata aneh yang mereka tidak mengerti, mereka makin curiga Minho bukan bagian dari keluarga itu.
Sri bilang tidak apa-apa, dia sudah membawa mainan untuk Minho supaya dia anteng dan juga botol susu.
Sri pamit lalu menumpang sepeda bersama ayahnya karena masjid dan rumah Paijo satu jalur.

“Permisi, Pakde...,” kata Suparno mengetuk rumah Paijo.
Paijo pun keluar membuka pintu. Suparno sedikit membungkukkan badannya menunduk hormat dengan Paijo dan juga isterinya yang dia lihat sedang berdiri tak jauh dari Paijo.
“masuk, No.. duduk,” kata Paijo singkat dan seperti biasa, dia meminta tolong isterinya membuatkan minuman teh hangat.
Mereka lalu duduk di ruang tamu yang besar dan khas jawa itu.
aku arep ngomongken jengkol ki,” kata Paijo memulai pembicaraan. Ternyata yang akan dibahas adalah usaha jengkol Paijo.
“Inggih, Pakde,” jawab Suparno singkat.
“kemarin aku bilang kalau aku mau bagi usaha sama kamu.. kamu olah mengko kamu sendiri nikmatin hasilne.. tapi kesannya kamu ndak sudi kalau aku baik tenanan ,” kata Paijo menyindir.
“bukan begitu, Pakde.. aku ora enak karo panjenengan.. panjenengan ki baik tenan karo aku,” jawab Suparno. Paijo menurutnya memang terlalu baik pada keluarganya, itu sebab dia sebenarnya anggap orangtua itu sebagai orangtuanya walau dia panggil paman. Terbayang saja dimatanya dulu ketika dia dan isterinya kesusahan, Paijo tanpa pamrih menolongnya. Rumahnya sekarang hasil dari dia menyicil tanah kepada orangtua itu lalu begitu juga bangunannya, tapi Paijo sikapnya sama sekali tidak pernah menyinggung segala bantuannya kepada keluarga Suparno, begitu juga soal usaha jengkol.

Paijo lalu ijin masuk kamar dan dia kembali dengan membawa sepucuk surat.
“ki.. moco nang omah wae,” kata Paijo. Dia memberikan surat itu pada Suparno tetapi disuruhnya saja supaya membaca dirumahnya, jangan dibuka disini.
“opo ki, Pakde??,” tanya Suparno penasaran.
“mengko wae dibuka nang omah,” kata Paijo.
Suparno berterima kasih dan dia janji akan buka surat itu segera di rumah.
Ndak usah lah kamu jualan jengkol lagi, No.. bantu aku wae nang kebon,” kata Paijo. Suparno merasa tidak enak hati lagi, tentu memang uang hasil mengolah kebun jengkol yang sangat luas itu akan lebih banyak dibanding ketika dia hanya berjualan.
Ndak enak karo sing liane, Pakde,” jawab Suparno jujur. Dia memang tidak enak dengan yang lainnya, walau Paijo memang bilang pada para karyawan yang bekerja dengannya kalau Suparno ini adalah keponakannya, padahal bukan siapa-siapa.
ojo nolak rejeki, No..aku ki nasibne podho karo pean.. sama sama sebatang kara.. wes ngarti urip kui kayak opo angel’e,” jawab Paijo. Paijo sebenarnya dulunya orang miskin. Dia benar-benar sebatang kara hanya dengan ibunya tinggal. Dulu daerah itu masih hutan kemudian dia tinggal dipinggiran hutan itu dengan gubuk reot bersama ibunya. Pemerintah lalu memberikan keluasan dia tinggal dipinggir hujan dan guna lahan. Dia pun tanam jengkol ditanah pemerintah dan tahu cara mengolah jengkol yang tidak jadi bau ketika dimakan. Usahanya pun maju dan dia berhasil membeli tanah berhektar-herktar untuk ditanami Jengkol dan akhirnya, jadilah dia juragan jengkol. Ketika bertemu Suparno di sebuah warung makan kecil yang sedang kebingungan mencari kerja untuk keluarganya dan sama sekali tidak punya rumah, dia sadar seperti melihat dirinya sendiri yang berangkat dari bawah dan dia tidak bisa memiliki anak karena isterinya mandul, tapi juga tidak ingin dia kawin lagi.

dadi pean arep dodolan jengkol??,” tanya Paijo saat itu pada Suparno di warung makan yang memang suka langganan membeli jengkolnya.
“ora isin??,” Paijo bertanya lagi takutnya Suparno malu karena jualan.
“isin opo, Pakde?? Ben halal ra usah isin,” jawab Suparno,”kasian bojo ku ben aku ora tanggung jawab tenan dadi kepala keluarga”
Paijo mengangguk saja dengan jawaban Suparno yang ingin berjualan. Dia tanya kenapa Suparno mau jualan. Suparno jawab kalau dia harus tanggung jawab dengan isterinya dalam mencari nafkah.
Lalu, dibawalah Suparno ke rumahnya, esoknya, mulailah dia berjualan jengkol. Setiap kali datang, pertama kali Suparno lah yang paling rajin dini hari datang, ikut membantunya membawa berkarung-karung jengkol yang dibagi-bagikan pada pedagang upahan lain. Paijo lihat Suparno juga jujur dengan dirinya, menyerahkan semua uang hasil kerjanya saat sore, tidak mengutip satu sen pun dan dia suka dengan orang jujur.
Itu sebabnya Paijo sangat terkesan dengan sikap dan karakter Suparno yang menurutnya pantas dia percaya, termasuk dalam hal keuangan. Suparno juga jadi sering membantu mengatur keuangan dan mengecek keuangan usaha Paijo dan memang dia percaya pada Suparno.

“denger denger..pean pungut bocah nyasar,” kata Paijo
Suparno agak kaget dengan apa kata Paijo barusan, tapi dia jawab santai,”iyo, Pakde.. ono bocah ngikut karo aku
“ajak main ke sini.. sepi disini..,” jawab Paijo.
inggih, Pakde.. masih cilik.. rong taun,” balas Suparno lagi.
“bawa aja ke sini.. bikin rame ini rumah,” kata Paijo lagi.
“Masih bingung sama suasana sini, Pakde.. kadang masih nangis ndak karuan,” kata Suparno.
Ya, rumah besar itu kelihatan sepi sekali, hanya mereka sepasang suami isteri yang tinggal. Kalaupun ada yang membantu, para pembantu itu pulang sore. Rumah besar berbentuk jawa (joglo) itu memang punya arti bagi Suparno. Hari pertama dia kerja jadi tukang jualan jengkol, dia sudah mendapatkan kepercayaan untuk bisa membantu Paijo dilain waktu ketika sudah pulang. Dia berterima kasih pada Paijo karena dengan diberikan pekerjaan, dia tidak jadi orang yang terlalu miskin, masih bisa makan dan tidur. Paijo mempersilahkan Suparno dan keluarga sering-sering main ke rumahnya supaya mereka juga bisa ngobrol dengan isterinya yang kesepian.

Suparno pulang kembali dengan dia membawa surat tersebut. Lalu dia duduk di depan Juminah dan memperlihatkan surat itu.
opo iku??,” tanya Juminah penasaran
“surat dari Pakde Paijo,” jawab Suparno. Dia lalu membukanya, ternyata ada sebuah surat lagi di dalamnya. Suparno dan Juminah membaca isinya.
“No.. aku tulis surat ini sebenerne kepengen kamu iku bantu aku tanganin usaha.. supaya kamu bisa belajar jadi lebih besar. Wes lah.. iki ono surat siji maneh.. ojo dibuka sampai tepat waktune.. pokoke ojo dibuka,” kata tulisan Paijo singkat.
“maksudne opo ojo dibuka??,” tanya Suparno keheranan pada Juminah
yo wes... ojo dibuka,” jawab Juminah. Mereka lalu sepakat tidak membuka surat satu lagi yang bersampul coklat agak tebal.

Waktu berlalu sampai dengan 3 hari. Suparno kaget ketika tiba-tiba ada seorang lelaki bertamu ke rumahnya tengah malam dengan mengetuk ketuk pintu tergesa-gesa. Suparno langsung mengambil golok, curiga, takutnya ada rampok. Ketika pintu dibuka, dia kaget, ternyata temannya sesama penjual jengkol.
“ono opo, Min??,” tanya Suparno, dia bingung ketika melihat wajah Parmin pucat.
“berita duka, No... Pakde Paijo,” kata Parmin masih dengan wajag pucat
“kenapa Pakde??,” Suparno jadi ikutan panik
“Pakde baru saja gak ono lagi, No.. Pakde meninggal,” kata Parmin dengan muka sedih.
Suparno termenung di depan pintu, dia jadi sedih dan keluar air matanya. Juminah yang tadi dikamar keluar, dia heran melihat wajah Parmin dan juga suaminya sedih.
“Pakde Paijo meninggal.. barusan,” kata Suparno sedih.
“Gusti... ,” kata Juminah sedih, lalu mereka pun segera kesana.

Dilihat, di rumah Paijo sudah ramai banyak orang, walau tengah malam, berkumpul dan mengaji. Isteri Paijo sedih suaminya meninggal mendadak dan terkesan cepat karena sama sekali seperti tidak ada sakitnya.
aku sendirian kini, Jum.. ra ono wong meneh,” kata isterinya Paijo yang dipeluk Juminah
“aku kan anak mu, Bu’e.. ojo sedih..,” jawab Juminah, menghibur isterinya Paijo.
“suami ku kasih ini sama kalian.. aku ndak buka-buka.. anehnya.. dua jam sebelum pergi..dia kasih ini.. katanya buat kalian,” kata isterinya Paijo.
Suparno lalu berani membuka apa isi surat itu, dia membacanya,”No.. 3 hari ini aku merasa urip ku ndak lama lagi.. ora weru kenapa ono perasaan ki.. ki sebab’e aku nulis surat buat pean.. aku kemarin kan tulis dua surat, yang satu lagi tolong dibuka.. itu khusus buat keluarga pean.. No.. tolong jaga bojo ku.. anggap dia orangtua mu yo..ajak Sri karo anak pungutmu kui dolan.. biar bojo ku ra sedih.. rasane aku beneran ndak urip lama... Paijo”
Suparno sedih dengan isi surat itu,”ini seperti surat firasatnya Pakde.. aku disuruh jaga Bude,” katanya pada isterinya Paijo.
Isterinya Paijo menangis sedih, dia tidak menyangka hidupnya akan sendirian.
ora usah sedih, Bude.. aku wes anggap Bude ibu ku sendiri.. Bude bisa tinggal di rumah ku..atau disini.. mengko Sri karo Minho bakalan sering dolan,” kata Suparno menghibur isterinya almarhum Paijo.
Besok paginya, mereka memakamkan Paijo.

Siangnya, Suparno baru berfikir apa isi surat yang masih disampul coklat dan belum dia buka, akhirnya, dia buka di depan isterinya dan membacanya dengan bersuara, supaya isterinya dengar.
“No.. kowe ki keras kepala.. aku wes kasih wewenang supaya kowe bisa atur usaha ku tapi ora sudi.. sekarang kowe moco ini surat ... aku arep bilang kalau aku warisin semua kebun jengkol ku ke kowe.. ojo nolak meneh.. aku wes buat suratne nang kantor kuasa hukum nang kota.. ki alamatne.. nang kop surat ki... bilang kalau kamu ki anak ku.. tunjukin katepe mu.. aku wes bilang sama pengacara ku.. kalau kamu yang bakalan ambil semua usaha jengkol ku.. aku rasane arep mulih balik nang Gusti Allah... Jaga bojoku..anggap ibumu dewek.. ojo dibuat sedih ben aku mangkat.. aku pengen kamu jadi pengusaha, No.. ndak ono jalan liane gantiken aku usaha...inget ya,No.. jangan rakus jadi menungso.. tetep jujur, ojo dumeh ben mengko duwe semua usahaku...Paijo”
“Jadi.. maksudnya.. Pakde Paijo mewarisi semua usaha jengkolnya sama pean, Pak’e??,” tanya Juminah keheranan
“begitulah, Bu’e.. waduh.. bingung aku ki.. piye??,” Suparno bukan senang malah galau, dia takut gak bisa menjalankan amanat itu.
“Pakde baik tenan karo kita, Pak’e.... dadi sedih aku,” Juminah malah terharu
“tapi ki berat, Bu’e.. kita harus jujur usaha.. kita juga harus tetep jaga Bude.. kasian Bude.. Pakde Paijo baik bener karo kita,” kata Suparno lagi
Juminah mengangguk.
“aku arep pergi nang kota... nang alamat ki..tak paranin nanti,” kata Suparno. Dia akan pergi ke alamat yang dituju supaya nanti bisa tahu apa maksud Paijo yang sebenarnya.

Sementara ternyata mereka dengar Minho menangis dari kamar tidur mereka. Sri belum pulang sekolah siang itu.
Juminah menghampiri Minho dan Minho berlari dari kamar menuju mereka.
Juminah berjongkok dan memeluk Minho yang nangis,”ono opo, Lek?? Mimpi yo? Bangun langsung nangis”
Minho tidak faham apa perkataan Juminah, dia hanya menangis, lalu Juminah memangkunya dan duduk lagi di kursi.
ojo nangis.. wes.. cup cup,” katanya menenangkan Minho. Suparno mengelus-elus kepala Minho, mengajak Minho diam.
Bu’e..,” kata Minho masih menangis. Dia masih hanya bisa bilang,”Pak’e.. Bu’e.. dan Mbak’e”. Juminah lalu mengambil susu yang dihangatkan di magic jar untuknya.
Suparno berdiri lalu menggendong Minho yang sedang minum susu di botol.
“wuih.. cah bagus abot tenan,” katanya mengguncang-guncang Minho supaya diam.
“Bu’e.. aku ngerasa.. pas Minho tinggal sama kita.. rasane rejeki ku lancar,” kata Suparno lagi.
jualan ku lancar.. laku terus dodolan.. ono wae duit tambahan buat kelambine, susune..enteng rasane rejeki nambah anak satu lagi.. rejekine Minho apik kui, Bu’e,
“Kemurahan Gusti Allah, Pak’e..,” jawab Juminah
mungkin itu juga.. makanya Sri ora sudi Minho dibalikken.. piye?? Aku dadi tresno asih karo cah bagus ki,” jawab Suparno. Dia senyum sama Minho
“Pak’e,” kata Minho ketika dia dilihat Suparno, dia melepas botol susunya yang sudah kosong lalu diberikannya pada Suparno.
Suparno bukan marah malah tertawa,”piye, Lek?? Kowe wong korea tapi bakalan dadi wong jowo... ora opo opo toh, Lek?? Kita semua stresno karo pean, Lek.. rejekine Pak’e duwe pean dadi anak,”
Suparno malah yang tadinya galau ingin sekali melaporkan Minho ke kantor polisi supaya bisa bertemu dengan orang tuanya, malah akhirnya jatuh cinta pada anak kecil itu dan ingin jadi anaknya sendiri.
“mulai sekarang.. kita anggap aja Minho anak kita, Bu’e.. wes lah.. tutup buku.. mesti didaftarin kartu keluarga ki,” kata Suparno. Juminah mengangguk saja.

Bersambung ke part 4....