Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..
“habis sudah harapan kita.. Minho sama
sekali tidak ditemukan,” keluh Lee di telepon kedua orangtuanya. Dia dan
isterinya masih di kota itu.
Kedua orangtua Lee yang kakek dan neneknya
Minho menangis, mereka tidak bisa membayangkan cucu kesayangan mereka hilang di
negara yang tidak mereka kenal.
“lalu.. bagaimana lagi kita temukan
Minho??,” tanya ibunya Lee, neneknya Minho kepada anaknya itu.
Lee juga bingung dengan nasib anaknya
sendiri,”mian habnida.. Appa..
Eomma.. kepolisian di sini sudah menyatakan Minho hilang.. tetapi bukan berarti
kasus ini tidak diteruskan.. kedutaan akan tetap membantu kita”
Ibunya Lee shock berat.. dia pingsan..
Ayahnya Lee-kakek Minho- juga hanya terduduk, stress dan sedih dengan berita
itu.
“aku minta maaf.. aku lalai menjaga anakku
sendiri,” Lee juga akhirnya menangis tersedu-sedu. Dia membayangkan jika dia
dan isterinya kembali lagi ke Korea, bagaimana Minho nanti di indonesia?? Apa
dia bisa bertahan? Atau akan menjadi korban penculikan dan human
traficking/perdagangan manusia?? Dia tidak bisa bayangkan.. rasanya ingin bunuh
diri dengan kegagalannya.
Seluruh keluarga Lee sangat sedih, tetapi
Lee dan isterinya tetap harus pulang.
Hari-hari berlalu.. semenjak akhirnya Lee
dan isterinya pulang.. Suparno sama sekali tidak lagi menemukan beberapa polisi
muda yang mengobrol dengannya yang ternyata mencari Minho waktu itu. Akhirnya,
sudah berminggu-minggu tidak ada sama sekali laporan, keluarga Suparno pun resmi
menganggap Minho bagian dari mereka.
“Bu’e
kudu jaga Minho yo.. aku arep mangkat sekolah sik..,” kata Sri dengan wajah
cerianya. Dia senang Minho sudah kenal dirinya dan bisa memanggil,”mbak’e”
padanya.
Sri cium tangan ibunya, lalu dia mengelus
pipi Minho,”mbak’e mangkat sik.. mengko
siang kita main nang omahe si Nur,” katanya dengan wajah ceria pada Minho.
“mbak’e,” jawab Minho hanya seperti itu.
Bahasanya masih bersisa korea dan dia terkadang masih suka menangis, terutama
kalau makanan dan minuman yang dia makan tidak enak dilidahnya dan dia tidur
kepanasan.
“ojo
diajake boso jowo terus toh, Sri.. dia ora ngarti,” kata ibunya.
“aku
ra iso boso korea, Bu’e.. boso indonesia wae yo??,” kata Sri lagi, senyum pada Minho.
“wes, Bu.. aku pamit,” lanjutnya pada ibu
nya. Lalu dia pergi ke sekolah. Suparno sudah jalan duluan sedari pagi
berdagang jengkol. Begitu juga dengan Yudi yang anak lelaki bungsu, sudah pergi
ke sekolah yang biasanya main dulu sebelum masuk sekolah.
“Lek..kita jalan-jalan lihat sapi yuk?,” tanya
Juminah pada Minho, dia lalu menggendong anak itu.
“abot
tenan, Lek.. piro berat mu yo??,” canda Juminah yang merasa berat menggendong Minho. Badannya memang
termasuk bongsor. Mereka lalu jalan ke rumah pak Slamet yang punya peternakan
beberapa ekor sapi.
Slamet sampai sana kaget dengan apa yang
dia lihat, dia pikir Minho sudah pulang kembali ke Jakarta, sebab dulu Juminah
bilang kalau Minho keponakannya.
“durung
mulih nang jakarta Minho ki??,” tanya Slamet pada Juminah
“dereng,
Pakde,” jawab Juminah, yang artinya memang Minho belum kembali ke Jakarta.
Slamet membiarkan Juminah menggendong
Minho dan Minho bermain dengan sapi-sapinya. Tak berapa lama, Slamet pun
bertanya lagi,”ono waktu, Jum?? Arep
ngobrol,” katanya meminta bicara dengan Juminah.
Juminah sudah curiga duluan, ada apakah
gerangan kok dari ekspresi muka tetangganya itu jadi seperti mencurigai??
Mereka duduk di ruang tamu. Slamet meminta
isterinya menyediakan teh untuk ngobrol pagi.
Slamet lalu mengeluarkan sebuah koran,
dengan santai dia ngobrol dengan Juminah,”ini loh, Jum.. aku beli koran.. ini
ada berita kehilangan.. kok rai ne mirip
karo Minho??”, lalu Slamet mendekatkan koran itu pada Juminah dan dia
menunjukkan iklan anak hilang itu, yang memang ternyata Minho yang ada di koran
itu.
Juminah agak sedikit kaget, tapi dia malah
berbohong lagi pada Slamet seperti waktu itu,”ah.. bukan sepertinya Pak de.. “
Slamet diam sejenak, lalu dia bilang,”ojo ngapusi aku, Jum.. “, katanya, dia
tidak suka Juminah membohonginya.
Minho hanya memperhatikan mereka bicara.
Dia sama sekali tidak mengerti kalau yang dibicarakan tentang dirinya.
“ngapunten,
Pakde.. ,” jawab Juminah singkat.
“trus.. kamu apa gak kasian..orangtua nya
pasti cari bocah iki?,” tanya Slamet
lagi.
“aku ndak
tahu lagi, Pakde.. orangtua dia dimana,” jawab Juminah. Dia berharap Slamet
tidak menyalahkan dia untuk kasus ini.
“anak ini memang menarik, ngganteng,” ujar Slamet,”tapi tetap dia dudu anak mu, Jum.. kasian awake,”
“ini korannya yang hari apa, Pakde??,”
“seminggu yang lalu,” jawab Slamet
singkat.
Juminah memperhatikan pengumuman anak
hilang itu “Telah hilang seorang anak kecil berumur 2 tahun, bernama Lee Minho,
dstnya...”
“memang mirip Minho sekali,” kata hatinya
Juminah. Dia jadi bimbang apakah akan memberikan Minho ke kantor polisi atau
tetap dia pertahankan supaya Sri, anaknya, tidak marah dengan mereka. Dia
melihat Sri sangat sayang dengan Minho. Setiap kali pulang sekolah selalu
diajak main, dibantu disuapi makan, dimandikan sampai ditemani tidur.. serasa
Minho sudah menjadi adiknya sendiri. Juminah membayangkan bagaimana sedihnya
Sri kalau nanti Minho dikembalikan lagi ke kedua orangtuanya, tetapi sebagai
seorang ibu juga dia bisa merasakan kalau dia jadi ibunya Minho, pasti akan
sangat kehilangan anaknya.
“ojo
kasian karo si Sri, Jum.. pean itu ibu.. piye rasane kalau anak kowe diambil
wong,” Slamet berusaha mengingatkan bagaimana rasanya kalau Juminah punya
anakyang kemudian diambil orang lain, tentunya dia akan sangat kehilangan dan tidak
bisa berbuat apa-apa selain sedih.
Juminah menyadari akan hal itu, lalu dia
menceritakan pada Slamet kalau sebenarnya dia juga ingin Minho kembali ke kedua
orangtuanya. Hanya saja, dia sebagai ibu juga merasakan keinginan Sri yang
ingin dia penuhi.
“keinginan itu ndak selalu harus kita
penuhi dan dapati, Jum... aku hanya memberi nasehat aja karo pean...semua terserah
pean..iku keluarga pean..dudu keluarga ku,” ujar Slamet. Dia tidak ingin
tetangganya kekusahan suatu hari nanti hanya karena menuruti keinginan anaknya.
Juminah jadi berfikir serius, yang dia takutkan bukan dirinya, tapi suaminya,
Suparno.
“aku cuma kasian karo bocah ki... cah
ngganteng ki pasti dicari orangtuanya... sudah jauh orangtuanya
kesini..ternyata anak kesayangan mereka hilang...perasaan pasti ketakutan,
sedih.. bisa jadi mereka mikir.. anakku jadi gelandangan..atau sudah mati,” kata
Slamet lagi, sama sekali dia tidak menunjukkan wajah marahnya, bagaimanapun dia
hanya tetangga Juminah, bukan siapa-siapa mereka, hanya sebatas memberikan
pertimbangan.
Juminah jadi sangat berfikir, dari awal
juga dia berfikir harus mengembalikan Minho. Dia hanya menjawab pada Slamet,
kalau dia akan bicarakan lagi dengan Suparno dan juga Sri.
“aku ngerti Sri pasti bakalan sedih...
anak itu ingin Minho jadi adiknya.. dia ndak temukan Yudi, adeknya jadi adek
yang baik.. aku juga wes duwe
perasaan sendiri.. kalau cah ngganteng
ini bakalan jadi baik,” kata Slamet lagi
“aku pertimbangkan, Pakde.. aku juga
kasian karo cah cilik ki..,” jawab
Juminah. Dia melihat Minho yang justru santai di pangkuan Slamet. Tampaknya
memang hanya di awal awal saja Minho sangat cerewet, teriak apa yang mereka
tidak mengerti seperti mencari kedua orangtuanya. Tetapi ketika dia menemukan
Sri, malah seperti tidak lagi menangis kencang dan bahkan terkesan nyaman
dengan anak perempuan itu.
Slamet tidak berkata banyak lagi. Dia lalu
mengajak Minho ke kandang para sapinya dan membiarkan anak itu bermain dengan mereka,
terutama si Ireng yang memang sangat disukai Minho.
“cah
ngganteng... ben pean pergi maneh nang korea... ojo lali karo aku.. karo
ireng.. itu kalau si Jum kasian karo orangtua pean,” ujar Slamet pada Minho
yang mengulurkan tangannya pada Ireng.
“kenapa bisa gitu, Jum?? Kasian cah iku...,” kata Ngatinem isteri Slamet
“aku
ora weru, Bude.. Sri suka tenan karo Minho...aku ora enak hati karo Sri,”
jawab Juminah. Dia makin bingung saja dengan perasannya. Ternyata sudah 2 minggu
Minho ada bersama mereka, Jum juga sudah mulai kasihan dan sayang pada anak
kecil itu.
Pulang dia jadi mikirin banget soal
pembicaraan antara dia dengan keluarga Slamet.
Sore itu, Suparno baru pulang dari
jualannya.
Dia duduk di teras depan lalu Juminah
menyiapkan teh manis hangat untuk Suparno. Sedang Sri sedang main sama Minho ke
rumah Nur, salahsatu teman sekolah Sri yang dekat rumah mereka.
Sambil mengipas-kipas, Suparno ngobrol
dengan Juminah,”mana si Minho?? Dolan
karo Sri??”
“iya, Pak’e.. ,” jawab Juminah singkat.
Suparno meminum teh manis yang dihidangkan
isterinya dan juga memakan pisang rebus.
“hari ini Alhamdulillah jengkolnya laku
sampai 5 karung, Bu’e.. mengko wingi
Pakde Paijo arep ngobrol karo aku maneh,”
Ternyata lagi-lagi Paijo nanti malam akan
mengajaknya mengobrol, entah karena urusan dan obrolan apa lagi.
“tentang
opo toh??,” tanya Juminah
“ora
weru aku.. kemarin waktu bahas soal aku harus bantu Pakde urus semua
lahannya dia, aku belum sanggup, Bu’e.. berat harus mengolah lahan ber hertak
hektar itu,” jawab Suparno dengan memandang lurus pada lahan depan rumahnya.
“kasian Pakde Paijo.. orang duwe anak,
putu.. ,” ujar Juminah.
“Takdir Gusti Allah, Bu’e.. ora iso dilawan,” jawab Suparno. Lalu
dia menoleh pada Juminah,”kamu setuju ndak.. kalau aku bantu Pakde Paijo untuk
ngolah lahan jengkolnya itu?? Jadi mungkin aku bisa ndak dagang.. tapi duit nya
dari bantu ngolah lahan,”
“terserah dirimu saja, Pak’e.. sing penting halal,” jawab Juminah. Dia
ingin sekali menyampaikan apa yang tadi siang dibicarakan antara dia dan
Slamet, tapi diurungkan niatnya itu.
Suparno lalu ternyata mengeluarkan
dompetnya dan memberikan uang kepada Juminah beberapa lembar 20 ribuan.
“ki
buat tuku kelambine Minho..,” kata Suparno serius.
Juminah jadi cuma memandang saja Suparno
memberikan uang itu, terang saja Suparno bingung.
“ono
opo?? Masih kurang?,” tanya
Suparno.
“ora..
aku kelingan tadi ngobrol karo Pakde Slamet,” jawab Juminah. Dia jadi ingin cerita soal tadi
dengan Slamet. Akhirnya dia pun cerita kalau pagi menjelang siang dihari ini
dia ngobrol dengan Slamet dan isterinya dan ternyata mereka sangat penasaran
dengan Minho. Dia panjang lebar menceritakan kalau Slamet selama ini sebenarnya
berfikir kalau Minho itu bukan keponakan mereka baik dari Suparno atau Juminah
dan pada akhirnya dia menemukan sebuah iklan anak hilang yang mirip sekali
wajahnya di foto koran itu dengan Minho. Lalu Juminah pun cerita kalau dia
mengakui bahwa Minho memang anak hilang tersebut. Slamet memberikannya saran
untuk tetap mengembalikan Minho pada kedua orangtuanya di Seoul.
“si Sri bisa marah besar karo kita nanti, Bu’e.. tiap dino dia dolan karo Minho.. diajak nang
omahe konco koncone.. wes.. aku ra kebayang,” jawab Suparno. Mereka memang
sangat sayang dengan Sri yang bertipe pengasuh, tidak nakal dan penurut.
“Aku
ora iso ngomong opo opo maneh, Pak’e..ben si Sri ora misuh karo kita..
kembalikan aja Minho ke sana.. aku ikhlas, biarpun kita sudah beli baju, beli
susu yang banyak untuk dia,” jawab Juminah.
“tak bujuk Sri,” balas Suparno. Dia juga
bercerita kalau dia merasa salah besar dengan menahan Minho untuk tidak dilaporkan
ke polisi sebagai anak hilang. Dari awal dia sudah bingung dengan kejadian ini.
Tetapi anehnya tidak ada yang bertanya padanya tentang anak hilang di pasar sehingga
dalam pikiran nya hanya ada “ya sudah, pelihara saja anak itu sebaik-baiknya”
“bisa bisa kita ditangkep polisi, Pak’e..
sudah berminggu-minggu Minho disini,” Juminah cemas juga.
“aku juga inginnya begitu, Bu’e.. tapi apa
nanti kita ndak juga ditangkap karena kita sudah buat Minho tinggal disini
lama??,” tanya Suparno balik.
Juminah dan Suparno lama berfikir tentang
ini, sementara Sri dan Minho masih main di rumah Nur.
“Andai
aku laporken.. aku juga wedi ditangkep,” kata Suparno lagi.
“wes
lah, Pak’e.. aku juga wedi.. Minho nya di openi wae.. lagian si Sri suka
karo Minho.. dia anggap wes dadi adek nya dewek,” jawab Juminah. Sebenarnya
mereka sama-sama ketakutan, takut ada tetangganya yang lapor pada polisi
sehingga mereka akan disidangkan. Jadi, mereka hanya termenung saja di depan
teras sampai Sri dan Minho yang dituntun jalan kaki dengannya menghampiri
mereka.
“Pak’e sama Bu’e kok bingung.. kenapa??,”
tanya Sri.
“duduk, nduk,” kata Suparno, mempersilahkan Sri duduk disampingnya, dan
anak itu pun duduk.
“ono
opo, Pak’e?? Opo urusan Minho maneh??,” tanya Sri pada ayahnya, tampaknya dia sudah tahu siapa yang akan
dibahas. Suparno mengangguk mengiyakan.
“jujur
wae, Sri.. Bapak’e karo Bu’e ketakutan Minho tinggal disini.. takut ono polisi
nangkep kita,” kata
Suparno jujur dan terbuka pada anaknya sendiri. Dia berharap Sri dapat mengerti
kalau Minho sebenarnya bukan adiknya dan dikembalikan saja ke Korea sana.
Sri mendengar bujukan Suparno supaya dia
tidak ngambek lagi kalau Minho nanti diketahui polisi dan kemudian dipulangkan
suatu hari nanti. Sri malah matanya berkaca-kaca dan menangis.
“aku
ora sudi, Pak’e.. ben Minho dipulangken nang korea maneh.. Minho kan wes dadi
adekku, huhuhu,” katanya menangis, menutupi wajah kecilnya, berharap kedua
orangtuanya tidak memulangkan anak kecil manis itu yang sudah dia anggap
sebagai adiknya sendiri.
Sri setiap detik asal sepulang sekolah
tidak melewatkan waktunya untuk tidak bersama Minho. Dia sibuk sekali mengasuh
anak itu, walau dia sendiri juga sedang mengerjakan PR tetapi tetap diajaknya
Minho bermain sambil belajar. Sri mengatakan berkali-kali kalau dia tidak suka
adiknya sendiri, Yudi, yang menurutnya nakal dan tidak bisa bermain dengannya
serta susah diatur, sementara kadang dia merasa kesepian serasa tidak punya
adik.
“pokok’e
aku ora sudi.. mendingan
aku kabur bareng Minho,” katanya masih menangis lalu berlari masuk rumah.
Suparno hanya geleng-geleng kepala melihat anaknya bertingkah seperti itu.
“Nduk..nduk...
pean ki.. keibuan tenan,” kata Suparno yang masih melihat anaknya menangis
masuk kamar.
“trus... gimana lagi dong, Pak??,” tanya
Juminah.
Suparno menarik nafas,”aku kasian karo Sri sebener’e, Bu.. dia itu baik.. kelihatan toh.. caranya ngasuh Minho
tulus tenanan,”
“aku yo lihatnya juga gitu, Pak’e,” jawab
Juminah singkat.
Minho memain-mainkan jari tangan Juminah
yang sedang duduk di depannya, sementara dia berdiri menatap halaman rumah.
“Eomma,”
senyum Minho pada Juminah, dia sudah mulai berfikir Juminah adalah ibunya.
“opo,
Lek??,” sapa Juminah dengan ramah pada Minho yang menoleh padanya.
“Mbak’e..,” jawab Minho enggak nyambung.
Suparno bicara pada Minho dengan bahasa
indonesia logat jawa kental,”Iyo, Lek...
Mbak mu nangis.. ora sudi ben pean dipulangken nang korea sana”
Minho diam saja ketika Suparno bicara
padanya. Suparno berharap orangtua Minho masih mencarinya sehingga dia akan
rela jika suatu hari anak itu ditemukan orangtuanya, diambil kembali dan dibawa
ke negaranya.
Dia mengelus-elus kepala Minho,”Pak’e
ikhlas, cah bagus.. kalau kamu pulang
nanti ke sana.. kalau sudah besar pun ternyata kamu ditemukan orang tua mu..
Pak’e ikhlas”
Minho cuma senyum-senyum lalu tertawa
dengan apa yang dikatakan Suparno padanya. Dia memang tidak mengerti bahasa
Suparno, dia hanya pikir bapak hampir 40 tahun-an itu memanjakannya dengan
mengelus rambutnya.
Magrib itu mereka masuk dan Yudi belum
pulang. Suparno menggendong Minho dan mengetuk pintu kamar Sri.
“Nduk..
buka pintunya.. Bapak’e arep ngobrol
sama kamu,” kata Suparno dengan ramah.
Sri membuka pintu kamar, ternyata matanya
merah karena menangis.
“Mbak’e,” kata Minho padanya, dia minta digendong
oleh Sri padahal masih digendong Suparno
“Ojo
njaluk digendong karo mbak mu, Lek.. abot,” kata Suparno, tidak mengijinkan Minho minta
digendong anaknya itu. Badan Minho bongsor dan berat, takut anaknya, Sri tidak
kuat.
“masih sedih, Nduk??,” tanya Suparno pada Sri.
Sri diam di depan pintu kamarnya, lalu,”iyo,Pak e.. aku tetep ndak mau Minho
dipulangken,”. Sri benar-benar tidak ingin Minho dipulangkan. Sepertinya
dia sudah keras hati anak kecil itu harus jadi adiknya.
Suparno senyum pada anaknya,”durung weru, Sri.. Minho masih boleh
disini..”
“Mbak’e??,” kata Minho lagi pada Sri, dia malah
ngotot minta digendong dan tangannya menuju tangan Sri.
“ayo
tak gendong,” Sri senyum padanya lalu mengendongnya.
“sembahyang dulu, Nduk..wes magrib.. mengko gampang dolan meneh,” kata Suparno
“Inggeh,
Pak’e,” Sri mengiyakan dan menurut apa kata ayahnya, tapi dia tetap
menggendong Minho lalu masuk kamarnya
Suparno masuk ke kamarnya sendiri untuk
ibadah.
Setelah selesai, Suparno duduk lagi di
depan, Juminah kembali menghampirinya, tapi Suparno malah berdiri.
“aku
arep mengan nang omahe Pakde Paijo,” kata Suparno. Ternyata dia harus datang lagi ke rumah Paijo.
“ono
opo meneh??,” tanya Juminah, dia ingin tahu ada urusan apa antara suaminya
dengan juragan jengkol itu.
Suparno menjawab tidak tahu apa urusannya tapi
dia harus datang segera, katanya penting. Maka dia pun pamit pada isterinya.
Ketika tiba di ruang depan, dia temukan
Yudi baru pulang.
“kemana saja toh, Lek?? Kok ndak magriban dulu?,” katanya ramah pada anak lelakinya
itu, sama sekali tidak ada ekspresi marahnya.
“dolan
nang omahe si Amat, Pak’e,” kata Yudi cuek, dia habis main mobil-mobilan di
rumah temannya Amat, dia lalu jalan masuk ke kamarnya.
“ojo
lali sembahyang,” ujar
Suparno lagi
“iyo,”
balas Yudi singkat.
Juminah geleng kepala. Yudi memang keras
kepala. Harusnya sehabis magrib mereka pergi ke masjid supaya bisa mengaji.
“pean harus keras karo Yudi, Pak’e..
sehabis dia dibelikan mainan... ngaji nya susah,” keluh Juminah
Suparno janji setelah selesai urusan
dengan Paijo, dia akan ngobrol dengan Yudi.
Sri keluar kamar dengan memakai kerudung
bersama Minho yang dia gendong.
“ojo
digawa adek mu nang masjid..mengko ribut,” kata Juminah. Dia meminta pada Sri supaya Minho
dirumah saja, tidak ikut kegiatannya, supaya tidak bikin ribut. Takutnya ketika
ribut dan Minho mengeluarkan kata-kata aneh yang mereka tidak mengerti, mereka
makin curiga Minho bukan bagian dari keluarga itu.
Sri bilang tidak apa-apa, dia sudah
membawa mainan untuk Minho supaya dia anteng
dan juga botol susu.
Sri pamit lalu menumpang sepeda bersama
ayahnya karena masjid dan rumah Paijo satu jalur.
“Permisi, Pakde...,” kata Suparno mengetuk
rumah Paijo.
Paijo pun keluar membuka pintu. Suparno
sedikit membungkukkan badannya menunduk hormat dengan Paijo dan juga isterinya
yang dia lihat sedang berdiri tak jauh dari Paijo.
“masuk, No.. duduk,” kata Paijo singkat
dan seperti biasa, dia meminta tolong isterinya membuatkan minuman teh hangat.
Mereka lalu duduk di ruang tamu yang besar
dan khas jawa itu.
“aku
arep ngomongken jengkol ki,” kata Paijo memulai pembicaraan. Ternyata yang
akan dibahas adalah usaha jengkol Paijo.
“Inggih,
Pakde,” jawab Suparno
singkat.
“kemarin aku bilang kalau aku mau bagi
usaha sama kamu.. kamu olah mengko
kamu sendiri nikmatin hasilne.. tapi kesannya kamu ndak sudi kalau aku baik tenanan ,” kata Paijo menyindir.
“bukan begitu, Pakde.. aku ora enak karo panjenengan.. panjenengan
ki baik tenan karo aku,” jawab Suparno. Paijo menurutnya memang terlalu
baik pada keluarganya, itu sebab dia sebenarnya anggap orangtua itu sebagai
orangtuanya walau dia panggil paman. Terbayang saja dimatanya dulu ketika dia
dan isterinya kesusahan, Paijo tanpa pamrih menolongnya. Rumahnya sekarang
hasil dari dia menyicil tanah kepada orangtua itu lalu begitu juga bangunannya,
tapi Paijo sikapnya sama sekali tidak pernah menyinggung segala bantuannya
kepada keluarga Suparno, begitu juga soal usaha jengkol.
Paijo lalu ijin masuk kamar dan dia
kembali dengan membawa sepucuk surat.
“ki..
moco nang omah wae,” kata
Paijo. Dia memberikan surat itu pada Suparno tetapi disuruhnya saja supaya
membaca dirumahnya, jangan dibuka disini.
“opo
ki, Pakde??,” tanya
Suparno penasaran.
“mengko
wae dibuka nang omah,”
kata Paijo.
Suparno berterima kasih dan dia janji akan
buka surat itu segera di rumah.
“Ndak
usah lah kamu jualan jengkol lagi, No.. bantu aku wae nang kebon,” kata Paijo. Suparno merasa tidak enak hati lagi,
tentu memang uang hasil mengolah kebun jengkol yang sangat luas itu akan lebih
banyak dibanding ketika dia hanya berjualan.
“Ndak
enak karo sing liane, Pakde,” jawab Suparno jujur. Dia memang tidak enak
dengan yang lainnya, walau Paijo memang bilang pada para karyawan yang bekerja
dengannya kalau Suparno ini adalah keponakannya, padahal bukan siapa-siapa.
“ojo
nolak rejeki, No..aku ki nasibne podho karo pean.. sama sama sebatang kara..
wes ngarti urip kui kayak opo angel’e,” jawab Paijo. Paijo sebenarnya
dulunya orang miskin. Dia benar-benar sebatang kara hanya dengan ibunya
tinggal. Dulu daerah itu masih hutan kemudian dia tinggal dipinggiran hutan itu
dengan gubuk reot bersama ibunya. Pemerintah lalu memberikan keluasan dia
tinggal dipinggir hujan dan guna lahan. Dia pun tanam jengkol ditanah
pemerintah dan tahu cara mengolah jengkol yang tidak jadi bau ketika dimakan.
Usahanya pun maju dan dia berhasil membeli tanah berhektar-herktar untuk
ditanami Jengkol dan akhirnya, jadilah dia juragan jengkol. Ketika bertemu
Suparno di sebuah warung makan kecil yang sedang kebingungan mencari kerja
untuk keluarganya dan sama sekali tidak punya rumah, dia sadar seperti melihat
dirinya sendiri yang berangkat dari bawah dan dia tidak bisa memiliki anak
karena isterinya mandul, tapi juga tidak ingin dia kawin lagi.
“dadi
pean arep dodolan jengkol??,” tanya Paijo saat itu pada Suparno di warung
makan yang memang suka langganan membeli jengkolnya.
“ora
isin??,” Paijo bertanya
lagi takutnya Suparno malu karena jualan.
“isin
opo, Pakde?? Ben halal ra usah isin,” jawab Suparno,”kasian bojo ku ben
aku ora tanggung jawab tenan dadi kepala keluarga”
Paijo mengangguk saja dengan jawaban
Suparno yang ingin berjualan. Dia tanya kenapa Suparno mau jualan. Suparno
jawab kalau dia harus tanggung jawab dengan isterinya dalam mencari nafkah.
Lalu, dibawalah Suparno ke rumahnya,
esoknya, mulailah dia berjualan jengkol. Setiap kali datang, pertama kali
Suparno lah yang paling rajin dini hari datang, ikut membantunya membawa
berkarung-karung jengkol yang dibagi-bagikan pada pedagang upahan lain. Paijo
lihat Suparno juga jujur dengan dirinya, menyerahkan semua uang hasil kerjanya
saat sore, tidak mengutip satu sen pun dan dia suka dengan orang jujur.
Itu sebabnya Paijo sangat terkesan dengan
sikap dan karakter Suparno yang menurutnya pantas dia percaya, termasuk dalam
hal keuangan. Suparno juga jadi sering membantu mengatur keuangan dan mengecek
keuangan usaha Paijo dan memang dia percaya pada Suparno.
“denger denger..pean pungut bocah nyasar,” kata Paijo
Suparno agak kaget dengan apa kata Paijo
barusan, tapi dia jawab santai,”iyo, Pakde.. ono bocah ngikut karo aku”
“ajak main ke sini.. sepi disini..,” jawab
Paijo.
“inggih,
Pakde.. masih cilik.. rong taun,”
balas Suparno lagi.
“bawa aja ke sini.. bikin rame ini rumah,”
kata Paijo lagi.
“Masih bingung sama suasana sini, Pakde..
kadang masih nangis ndak karuan,” kata Suparno.
Ya, rumah besar itu kelihatan sepi sekali,
hanya mereka sepasang suami isteri yang tinggal. Kalaupun ada yang membantu,
para pembantu itu pulang sore. Rumah besar berbentuk jawa (joglo) itu memang
punya arti bagi Suparno. Hari pertama dia kerja jadi tukang jualan jengkol, dia
sudah mendapatkan kepercayaan untuk bisa membantu Paijo dilain waktu ketika
sudah pulang. Dia berterima kasih pada Paijo karena dengan diberikan pekerjaan,
dia tidak jadi orang yang terlalu miskin, masih bisa makan dan tidur. Paijo
mempersilahkan Suparno dan keluarga sering-sering main ke rumahnya supaya
mereka juga bisa ngobrol dengan isterinya yang kesepian.
Suparno pulang kembali dengan dia membawa
surat tersebut. Lalu dia duduk di depan Juminah dan memperlihatkan surat itu.
“opo
iku??,” tanya Juminah penasaran
“surat dari Pakde Paijo,” jawab Suparno.
Dia lalu membukanya, ternyata ada sebuah surat lagi di dalamnya. Suparno dan
Juminah membaca isinya.
“No.. aku tulis surat ini sebenerne
kepengen kamu iku bantu aku tanganin usaha.. supaya kamu bisa belajar jadi
lebih besar. Wes lah.. iki ono surat siji
maneh.. ojo dibuka sampai tepat waktune.. pokoke ojo dibuka,” kata tulisan
Paijo singkat.
“maksudne
opo ojo dibuka??,” tanya
Suparno keheranan pada Juminah
“yo wes...
ojo dibuka,” jawab Juminah. Mereka lalu sepakat tidak membuka surat satu
lagi yang bersampul coklat agak tebal.
Waktu berlalu sampai dengan 3 hari.
Suparno kaget ketika tiba-tiba ada seorang lelaki bertamu ke rumahnya tengah
malam dengan mengetuk ketuk pintu tergesa-gesa. Suparno langsung mengambil
golok, curiga, takutnya ada rampok. Ketika pintu dibuka, dia kaget, ternyata
temannya sesama penjual jengkol.
“ono opo, Min??,” tanya Suparno, dia
bingung ketika melihat wajah Parmin pucat.
“berita duka, No... Pakde Paijo,” kata
Parmin masih dengan wajag pucat
“kenapa Pakde??,” Suparno jadi ikutan
panik
“Pakde baru saja gak ono lagi, No.. Pakde
meninggal,” kata Parmin dengan muka sedih.
Suparno termenung di depan pintu, dia jadi
sedih dan keluar air matanya. Juminah yang tadi dikamar keluar, dia heran
melihat wajah Parmin dan juga suaminya sedih.
“Pakde Paijo meninggal.. barusan,” kata
Suparno sedih.
“Gusti... ,” kata Juminah sedih, lalu
mereka pun segera kesana.
Dilihat, di rumah Paijo sudah ramai banyak
orang, walau tengah malam, berkumpul dan mengaji. Isteri Paijo sedih suaminya
meninggal mendadak dan terkesan cepat karena sama sekali seperti tidak ada
sakitnya.
“aku
sendirian kini, Jum.. ra ono wong meneh,” kata isterinya Paijo yang dipeluk
Juminah
“aku kan anak mu, Bu’e.. ojo sedih..,” jawab Juminah, menghibur
isterinya Paijo.
“suami ku kasih ini sama kalian.. aku ndak
buka-buka.. anehnya.. dua jam sebelum pergi..dia kasih ini.. katanya buat
kalian,” kata isterinya Paijo.
Suparno lalu berani membuka apa isi surat
itu, dia membacanya,”No.. 3 hari ini aku merasa urip ku ndak lama lagi.. ora
weru kenapa ono perasaan ki.. ki sebab’e aku nulis surat buat pean.. aku
kemarin kan tulis dua surat, yang satu lagi tolong dibuka.. itu khusus buat
keluarga pean.. No.. tolong jaga bojo
ku.. anggap dia orangtua mu yo..ajak Sri
karo anak pungutmu kui dolan.. biar
bojo ku ra sedih.. rasane aku beneran ndak urip lama... Paijo”
Suparno sedih dengan isi surat itu,”ini
seperti surat firasatnya Pakde.. aku disuruh jaga Bude,” katanya pada isterinya
Paijo.
Isterinya Paijo menangis sedih, dia tidak
menyangka hidupnya akan sendirian.
“ora
usah sedih, Bude.. aku wes anggap Bude ibu ku sendiri.. Bude bisa tinggal di
rumah ku..atau disini.. mengko Sri karo Minho bakalan sering dolan,” kata
Suparno menghibur isterinya almarhum Paijo.
Besok paginya, mereka memakamkan Paijo.
Siangnya, Suparno baru berfikir apa isi
surat yang masih disampul coklat dan belum dia buka, akhirnya, dia buka di
depan isterinya dan membacanya dengan bersuara, supaya isterinya dengar.
“No..
kowe ki keras kepala.. aku wes kasih wewenang supaya kowe bisa atur usaha ku tapi
ora sudi.. sekarang kowe moco ini surat ... aku arep bilang kalau aku warisin
semua kebun jengkol ku ke kowe.. ojo nolak meneh.. aku wes buat suratne nang
kantor kuasa hukum nang kota.. ki alamatne.. nang kop surat ki... bilang kalau
kamu ki anak ku.. tunjukin katepe mu.. aku wes bilang sama pengacara ku.. kalau
kamu yang bakalan ambil semua usaha jengkol ku.. aku rasane arep mulih balik
nang Gusti Allah... Jaga bojoku..anggap ibumu dewek.. ojo dibuat sedih ben aku
mangkat.. aku pengen kamu jadi pengusaha, No.. ndak ono jalan liane gantiken
aku usaha...inget ya,No.. jangan rakus jadi menungso.. tetep jujur, ojo dumeh
ben mengko duwe semua usahaku...Paijo”
“Jadi.. maksudnya.. Pakde Paijo mewarisi
semua usaha jengkolnya sama pean, Pak’e??,” tanya Juminah keheranan
“begitulah, Bu’e.. waduh.. bingung aku ki.. piye??,” Suparno bukan senang malah galau,
dia takut gak bisa menjalankan amanat itu.
“Pakde baik tenan karo kita, Pak’e....
dadi sedih aku,” Juminah malah terharu
“tapi ki berat, Bu’e.. kita harus jujur
usaha.. kita juga harus tetep jaga Bude.. kasian Bude.. Pakde Paijo baik bener
karo kita,” kata Suparno lagi
Juminah mengangguk.
“aku arep pergi nang kota... nang alamat
ki..tak paranin nanti,” kata Suparno. Dia akan pergi ke alamat yang dituju
supaya nanti bisa tahu apa maksud Paijo yang sebenarnya.
Sementara ternyata mereka dengar Minho
menangis dari kamar tidur mereka. Sri belum pulang sekolah siang itu.
Juminah menghampiri Minho dan Minho
berlari dari kamar menuju mereka.
Juminah berjongkok dan memeluk Minho yang
nangis,”ono opo, Lek?? Mimpi yo? Bangun
langsung nangis”
Minho tidak faham apa perkataan Juminah,
dia hanya menangis, lalu Juminah memangkunya dan duduk lagi di kursi.
“ojo
nangis.. wes.. cup cup,” katanya menenangkan Minho. Suparno mengelus-elus
kepala Minho, mengajak Minho diam.
“Bu’e..,”
kata Minho masih menangis. Dia masih hanya bisa bilang,”Pak’e.. Bu’e.. dan
Mbak’e”. Juminah lalu mengambil susu yang dihangatkan di magic jar untuknya.
Suparno berdiri lalu menggendong Minho
yang sedang minum susu di botol.
“wuih..
cah bagus abot tenan,”
katanya mengguncang-guncang Minho supaya diam.
“Bu’e.. aku ngerasa.. pas Minho tinggal
sama kita.. rasane rejeki ku lancar,”
kata Suparno lagi.
“jualan
ku lancar.. laku terus dodolan.. ono wae duit tambahan buat kelambine, susune..enteng
rasane rejeki nambah anak satu lagi.. rejekine Minho apik kui, Bu’e,”
“Kemurahan Gusti Allah, Pak’e..,” jawab Juminah
“mungkin
itu juga.. makanya Sri ora sudi Minho dibalikken.. piye?? Aku dadi tresno asih karo
cah bagus ki,” jawab Suparno. Dia senyum sama Minho
“Pak’e,” kata Minho ketika dia dilihat
Suparno, dia melepas botol susunya yang sudah kosong lalu diberikannya pada
Suparno.
Suparno bukan marah malah tertawa,”piye, Lek?? Kowe wong korea tapi bakalan
dadi wong jowo... ora opo opo toh, Lek?? Kita semua stresno karo pean, Lek..
rejekine Pak’e duwe pean dadi anak,”
Suparno malah yang tadinya galau ingin sekali melaporkan Minho ke
kantor polisi supaya bisa bertemu dengan orang tuanya, malah akhirnya jatuh
cinta pada anak kecil itu dan ingin jadi anaknya sendiri.
“mulai sekarang.. kita anggap aja Minho
anak kita, Bu’e.. wes lah.. tutup
buku.. mesti didaftarin kartu keluarga ki,” kata Suparno. Juminah mengangguk
saja.
Bersambung ke part 4....