Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget..
Minho belajar di kamarnya malam itu
selepas dia membantu Suparno mengolah buku keuangan usaha. Tetapi tak berapa
lama dia belajar, ayah angkatnya itu memanggilnya lagi. Dia pun menghampiri
lagi.
“Ada apa, Bapak??,” katanya lalu duduk di
samping Suparno, di teras luar di belakang.
Suparno senyum padanya,”Bantu aku ngitung
ini loh, Lek... bapak mu ini sudah
susah hitung-hitungan kalau angkanya banyak tenan
(sekali),”
Minho melihat kembali buku keuangan usaha
ayah angkatnya itu. Dilihatnya memang ada semacam bentuk tabel baru. Dia lalu
bertanya, dari siapa ayahnya tahu model mengatur keuangan tabel seperti itu.
“Dari mas mu, Rafa... ta’ tanyain, tapine dia belum mau ajarin aku,” kata Suparno,
tertawa,” Bapak mu ini kan cuma lulusan SD, Lek..
ora (tidak) ngerti yang
begini-begini”
“Aku lihat dulu deh, Pak.. ini sih
sebenarnya enggak susah.. tapi Bapak butuh dua buku.. yang satu buku tebal
besar.. yang satu buku tipis,” ujar Minho ketika Suparno menyerahkan lembar
cara membuat buku besar dan buku pengeluaran-pemasukan.
“Ora ngarti aku, Lek... Mas mu bilang,
kalau pakai buku ini.. nanti Pak’e mu ini bisa lebih gampang ngitung... begitu
katanya,”
Minho senyum pada orangtuanya itu,” Iya..
benar ini, Bapak.. Nanti aku bantu deh... tapi Bapak harus ingat-ingat... hari
ini sudah beli apa saja.. lalu uang masuk per tiap pekerja berapa saja.. jadi
Minho juga harus banyak tahu semuanya, trus bantu menghitung di sore hari”
“Kamu kan pinter, Lek.. kamu bantu Bapak trus kamu saja yang urus ini semua yo??”, ujar Suparno, melihat wajah Minho
“Abang Yudi nanti enggak iri denganku??,”
tanya Minho polos. Dia memang apa saja yang berhubungan dengan uang, barang,
berhati-hati dengan kakak angkatnya itu, sebab setiap kali ada urusan kedua hal
tersebut, siap-siap Yudi memusuhinya.
“Memang abang mu itu arep ngurusi sing abot (mau mengurusi yang berat) begini toh, Lek?? Pak’e percaya kamu,” jawab
Suparno, dengan mimik kalem.
“Aku tidak tahu, Pak... mungkin saja Abang
memang mau membantu juga.. tapi Bapak percaya aku,” balas Minho. Dia meneliti
point-point yang harusnya dimasukkan dalam debet, kredit, saldo, buku harian
dan sebagainya.
“Kamu ngerti ini toh?? Pokok’e Pak’e minta
bantuan kamu.. Mas Rafa bilang.. kalau Pak’e ndak pakai ini.. usaha kita bisa bangkrut”,
Minho mengangguk, dia bilang kalau ini
dipelajari di kelasnya, di pelajaran akuntansi dasar. Suparno senang anaknya ternyata
bisa memahami alur usahanya.
“Nanti kalau Pak’e sudah enggak ada..
sudah susah mau usaha.. kamu saja, Lek.. yang terusin... kamu pintar... Pak’e
bersyukur sama Gusti Pangeran.. punya anak kamu,” mendadak Suparno malah jadi
terkesan menerawang jauh. Dia sedari siang itu memang galau nya tinggi, mendengar Sri bicara soal rencana studi Minho ke
korea.
“Bapak jangan bicara begitu.. Minho jadi
sedih kalau begitu,” ujar Minho menanggapi omongan Suparno.
Suparno malah akhirnya tertawa melihat
wajah Minho yang jadi mau menangis melihat dia menerawang tadi. Dia lalu
mengelus kepala Minho.
“Ndak,
Lek.. Pak’e minta maaf.. Pak’e cuma mikir.. harus ada anak Pak’e yang bisa
bantu usaha ini... ini kan aslinya usaha Mbah puteri Tuminah.. Pak’e cuma
menjalankan amanat si mbah,”
Minho mengangguk, lalu dia bicara pada
Suparno kalau perhitungan ini sebenarnya mudah sekali. Dia bisa membantu asalkan
dikerjakan sore hari, sebab kalau siang hari, dia masih sekolah dan malah ada
ekstrakulikuler dari sekolah. Minho memang setiap hari baru pulang jam 15.00
sore dari sekolah karena aktif dan rajin ikut kegiatan ekstrakulikuler.
“Kamu kalau pergi belajar ke Korea
begitu... nanti lama ndak, Lek??,”
tanya Suparno.
“Aku enggak tahu, Pak.. kata bu Wati
kemungkinan bisa satu bulan.. tinggal bersama orang sana.. satu rumah dengan
mereka.. ,” jawab Minho santai, dia mulai mengutak atik kertas yang di berikan
ayahnya untuk membuat outline dan
point barang apa saja yang akan dimasukkan dalam buku besar itu nantinya. Suparno
memperhatikan saja dengan seksama yang dilakukan anak angkatnya itu.
“Pinter kamu, Lek.. cepat banget ngerjain
itu,” puji Suparno padanya.
“Ini gampang sekali, Bapak.. Pak’e juga
bisa kalau mau aku ajarkan..,” senyum Minho.
Minho bilang kalau misalnya dia tidak bisa
mengerjakan semuanya dibulan ini, dia bisa minta tolong bantuan dari salah seorang
pekerja ayahnya itu yang minimal lulusan SMA.
“Kamu bisa minta bantuan sama Pakde
Trisno,” jawab Suparno.
Trisno seorang pedagang jengkol yang
lulusan SMA. Sewaktu kecil, Minho sering bermain dengannya kalau orang itu ada
waktu kosong. Seingat Minho, dia sering sekali diajak jalan lalu
bernyanyi-nyanyi dengan Trisno yang dia sebut sebagai Pakde.
“Nah.. kalau begitu.. besok sore aku mau
bertemu Pakde Trisno.. atau.. aku pergi ke rumahnya saja, Pak’e.. ya??,”
Suparno mengangguk, mengijinkan Minho.
“Trus, Lek.. kata guru mu apa.. kalau
nanti ke Korea sana sampai satu bulan?? Lunga
nang (jalan ke) kota besar?? ,” mendadak Suparno mengungkit lagi topik yang
tadi sudah terpotong.
“Seoul itu kota besar, Pak’e.. kata bu
Guru sih begitu.. tapi aku tidak tahu juga.. disana nanti mau jalan ke mana??,”
jawab Minho polos.
Suparno malah jadi memandang anaknya,”
Kamu pantes jadi wong sana loh, Lek, hehe”
Minho jadi ikutan tertawa kecil dengan
candaan ayahnya itu.
“teman-temanku juga katakan seperti itu,
Pak... masak mereka bilang kalau aku lebih mirip orang Korea dibanding orang
Jawa.. hehe,”
Suparno ikutan tertawa lagi,”soalnya kamu
ini putih sekali, Lek.. beda karo (sama)
Bapak mu ini... ireng (hitam),”
“Tapi kan.. Bapak tetap orangtua ku... ,”
senyum Minho
Suparno jadi perasa sekali dengan
perkataan Minho baru saja, rasanya dia akan menangis membayangkan bagaimana
kalau nanti anak ini pergi ke Seoul dan ternyata tanpa sengaja dia menemukan
kedua orangtuanya dan tidak akan pernah kembali lagi?? Pikiran dan perasaannya
gundah gulana. Namun rasa gundahnya itu dia simpan, supaya Minho tidak tahu dan
tidak akan mencari tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi selama ini.
Suparno malah berubah sikapnya jadi
tertawa,”Lah iyo, Lek.. kamu ini putih... Bapak’e ireng... jadi wajar kalau orang pikirnya beda.. Tapi.. kamu ndak
apa-apa kan.. punya Bapak seperti aku ini??”
“Bapak sayang sama aku... aku gak peduli
orang lain pikir apa...,” senyum Minho.
Suparno memeluk anak angkatnya itu, dia
mendadak teringat pertama kali Minho mengikutinya dari belakang dan nangis
guling-guling ditanah karena pisah dari orangtua sebenarnya, dan dia bingung,
sebenarnya anak siapa itu..yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia.
Suparno sungguh ingin menangis antara haru
dan sedih. Pikirannya kalut Minho akan berpisah dan lebih memilih keluarga
aslinya nanti kalau bertemu disana.
“Bapak’e bersyukur sekali punya anak seperti
kamu, Minho... Bapak seneng banget... makanya kalau nanti kamu arep (mau) tinggal nang (di) sana... Bapak dan Ibu bakalan kangen.. ojo suwe suwe (jangan lama-lama)”
Minho tertawa setelah dia meminta ayahnya
melepas pelukannya,”Bapak bagaimana?? Kan aku belum tahu.. apa bisa dapat
beasiswanya ke sana atau tidak?? Bapak kok sedih duluan??”
“Ndak
tahu, kenapa kok mendadak Bapak’e ini sedih??,” ujar Suparno.
“kalau Bapak sedih.. aku juga ikut sedih,”
balas Minho
Suparno mengucek kepala Minho,” ya..
Bapak’e ndak akan sedih lagi...
Bapak’e suka kalau kamu nanti pergi ke sana... trus kamu bawa cerita banyak ke
sini.. jadi anak baik.... untuk besok... kamu pergi ke rumah Abang Rafa...
caritahu, gimana caranya buat ini.. nanti Bapak’e minta ajarin.. ya??,”
Minho mengangguk dan senyum. Suparno
membalas dengan senyuman. Para penjual jengkol dan sayuran sudah mulai satu persatu
berdatangan.
Trisno datang, lalu mengobrol dengan Minho
dan berjanji mau membantu Suparno supaya bisa mengatur pembukuan.
“Pean
harus bantu aku, Tris.... sing liane lulusan SD kabeh.. pean sing SMA.. pean
juga akrab karo Minho.. ndak masalah anakku arep belajar sama pean,” kata
Suparno pada Trisno. Berharap pekerja nya itu mau membantu Minho menyusun buku
harian usaha dan Trisno mendapatkan tambahan gaji karena kerja tambahan itu.
“Ora
opo-opo, Pakde.. aku bantu mengko Minho gawein laporan kui.. ,” balas
Trisno ramah, menyanggupi kerja tambahan dia dari Suparno.
“Nanti kalau Pakde bisa bantu aku... aku
janji tidak malas kok..,” ujar Minho pada Trisno.
Trisno malah bercanda pada Minho, kalau dia
malas, dia harus joged di depan para pekerja.
“Kamu
ingat ndak.. waktu kamu cilik segini, kamu itu ta’tanggapi joged.. kamu joged
make bahasa kita ndak ngerti?”
Trisno menggerakkan tangannya, menunjukkan
tingginya Minho waktu pertama kali mereka bertemu, berumur 2 tahun. Trisno dan
beberapa pekerja yang ada diseputar dipan itu jadi tertawa. Minho jadi malu
kalau diingat lagi soal itu.
“Iyo,
Lek.. pean joged joged.. basa ne kita ora ngarti,” kata salah satu pekerja,
mengaminkan apa kata Trisno, kalau waktu kecil, Minho pernah iseng joged di
depan mereka dengan bahasa Korea, bahasa yang tidak dimengerti mereka.
“Si
Sri biasane marah... takut pean keakehan joged dadi ngompol, hahaha!,” kata
pekerja yang lain. Waktu kecil, Sri memang suka ngambek kepada para pekerja, kalau mereka ngecengin dan nyuruh-nyuruh Minho terlalu banyak joged, adik
angkatnya itu bisa tidur ngompol.
Suparno jadi tertawa, walau dalam hati, sebenarnya
dia grogi, takut nanti Trisno dan yang lainnya keceplosan. Waktu itu Suparno
bilang kalau Minho anak dari keponakannya Juminah yang menikah dengan orang
korea, lalu orang itu meninggal dan Minho kemudian diasuh Suparno, lalu kemudian
di hari berikutnya, Suparno meminta pada mereka supaya tidak menceritakan siapa
Minho sebenarnya.
“ah.. Pakde Trisno ini malah jadi
ngeledekin aku,” keluh Minho. Yang lain ikutan tertawa.
“lah
iyo, Lek.. pean ini waktu kecil ngganteng tenanan.. aku ora sangka Pakde
Suparno punya anak ngganteng tenan.. (beneran, Nak.. waktu kecil kamu ini cakep sekali.. aku tidak sangka
Paman Suparno punya anak ganteng sekali),” kata pekerja yang lain, sambil
meminum kopi dan berdiri di depan Minho.
Minho sama sekali tidak curiga dengan
perkataan salahseorang pekerja itu.
“Kata ibu.. itu karena ibu suka lihat
orang-orang yang kulitnya putih dan matanya kecil itu.. makanya aku jadi
begini,” jawab Minho.
Trisno tertawa dengan perkataan polos
Minho baru saja, masak iya bisa hanya karena hanya modal melihat orang lain
yang kulitnya putih dan matanya sipit, lalu keluar Minho yang berbeda sekali
dengan Sri dan Yudi??
Mendengar itu, Suparno menoleh pada
Trisno. Trisno langsung sigap dengan melihat ekspresi wajah juragannya itu.
Tapi Minho malah menjelaskan pada Trisno
dan yang lain tentang biologi hukum Mendel. Bisa saja dalam satu keluarga, ada
istilah dominan dan resesif, ada yang mirip dengan orangtua/induk dan ada yang
berbeda karena yang resesif- paling beda- nya yang keluar. Trisno dan yang lain
manggut-manggut saja dengan penjelasan Minho.
“dadi
pean kui ceritane resesif ne Pakde Suparno karo bu Juminah, hehe (jadi kamu
ini ceritanya sifat resesifnya kedua orangtuamu),” canda Trisno lagi
Minho malah jadi tertawa,”iya, Pakde..
sampai aku di ledekin sama ibu Guru dan teman-teman di kelas, katanya aku bukan
seperti orang sini.. aku seperti orang jepang atau korea sana”, katanya dengan
polos.
Suparno deg-degan juga.. takut rahasianya
terbongkar. Ternyata Trisno bisa menjaga mulutnya.
Trisno tertawa saja dengan penjabaran
Minho yang polos. Dia lalu bilang, besok sore, dia menunggu Minho supaya bisa
mengerjakan contoh keuangan harian usaha itu. Suparno lega karena Trisno tidak
buka mulut. Minho lalu kembali lagi ke kamarnya, pergi tidur.
Yudi mengintip dari balik pintu kamarnya
ketika dia melihat Minho masuk lewat pintu belakang dan masuk kembali ke
kamarnya. Yudi lalu keluar kamar, dilihatnya masih banyak para pekerja ayahnya
mengobrol dengan ayahnya itu soal harga, jumlah barang dagangan yang mau dibawa
dan setoran kemarin. Otak liciknya langsung jalan. Dia berharap malam itu bisa
menceritakan sesuatu pada Trisno, pekerja yang dianggap paman oleh Minho dan
mereka dekat. Otaknya sudah berfikir seperti sinetron, bagaimana caranya
membuat para pekerja ayahnya percaya dengan perkataannya dan Minho harus segera
hengkang dari rumahnya.
“Pakde Trisno harus tahu kalau Minho itu cah pungut (anak adopsi),” katanya dalam
hati.
Lalu, dia keluar dari kamarnya dan menuju
pintu belakang, ke tempat ayahnya duduk.
“Loh... durung turu (belum tidur), Lek??,”
Suparno heran melihat Yudi keluar dan duduk.
“Durung
(belum), Pak’e... aku arep deleng
(aku mau melihat) mereka jualan,” jawab Yudi basa basi.
Trisno dan pekerja lainnya yang sedang ada
disana langsung menyapa Yudi dengan ramah.
“arep
dodolan (mau berjualan) juga, Yud? Hehe,” sapa Trisno sambil mengangkat
karung jengkol yang sudah matang.
“ta’
(di) bantu, Pakde,” kata Yudi, dia berdiri lalu membantu mengangkat karung
jengkol yang dibawa Trisno
“ora
usah, Yud.. ki enteng (tidak
perlu..ini ringan),” Jawab Trisno, sambil masih mengangkat.
Suparno lalu ke dalam rumah.
Yudi lalu mendekat pada Trisno yang sedang
membuka karung jengkol dan menuangkan pada atas gerobaknya, setelah dia
lirak-lirik kalau ayahnya sudah masuk ke dalam rumah.
“Pakde.. menurut Pakde.. kalau ada cah pungut cari perhatian.. harus diapakan?,”
Trisno yang tadinya sedang mengatur
jengkol diatas gerobaknya jadi berhenti sejenak.
“Baik
ora.. cah ne? (baik tidak, anaknya?),”
“Ndak
tahu aku... koyo nyo sih... ya.. gitu deh.. sok cari perhatian.. dadine
disayang semua wong (tidak tahu sih.. sepertinya sok cari perhatian,
jadinya disayang semua orang),” balas Yudi terkesan cuek.
“Yo...
kalau dia baik, walau cari perhatian.. menurutku ora opo opo, Yud... wajar kui
(itu),” kata Trisno, lalu dia mengulas-ulas tumpukan jengkol lagi.
“sopo
sing dimaksud wong’e? (siapa orang yang dimaksud?),” tanya Trisno
penasaran.
“ah.. bukan siapa-siapa, Pakde.. konco ku ning sekolah (teman
sekolahku),” Yudi berbohong, supaya tidak langsung ketahuan kalau yang dia
maksud siapa lagi selain Minho.
“oo... ditemani aja kalau ora nakal,” kata Trisno, santai.
“Justru
karena ora nakal dan kedelengane pendiem kui, Pakde... wong-wong dadi percoyo
karo cah kui.. padahal cah kui mulutne bahaya (justru karena kelihatannya
tidak nakal dan pendiam itu, makanya orang-orang jadi percaya anak itu, padahal
mulutnya berbahaya),” kompor Yudi mulai.
“bahaya kui kalau begitu,” jawab Trisno, sambil mengatur jengkol.
“Lah
iyo.. bahaya tenan (sekali)!”, ujar Yudi, setengah teriak.
Beberapa pekerja yang agak berjarak dengan
gerobak Trisno menoleh mendengar suara Yudi.
“ono
opo, Yud?? (ada apa),” tanya Bejo, salahseorang pedagang jengkol juga
“Konco
ne Yudi... mulutne asal,” balas Trisno.
“Dihabisi bae, haha!,” tawa dan balas Bejo. Bejo memang dulunya mantan preman
pasar, karena pernah mencopet dan dibekuk polisi, masuk tahanan, keluar dia
tobat dan belajar jualan.
Trisno tertawa dengan jawaban lelaki itu.
Mereka malah jadi ngobrolin orang yang Yudi ceritakan, yang sebenarnya adalah
Minho.
“kalau sampai cah kui bikin onar.. ya kamu iso
gebuki dia,” kata Bejo lagi.
“Digebuki ora enak, Pakde Bejo.. sing
enak diusir,” balas Yudi.
“Diusir?? Memangnya kenapa tah?,” Bejo jadi penasaran. Akhirnya
mereka berdua malah menggosip soal anak lelaki imajinasi Yudi itu.
“Iyo..
iku adekne konco ku (iya.. itu adiknya temanku),” kata Yudi berbohong. Dia
lalu cerita, kalau ceritanya ada salahseorang temannya yang punya adik adopsi
mulutnya manis sekali, tetapi hati sebenarnya berbisa. Lalu adiknya itu sempat
membuat fitnah tentang temannya dan temannya itu sempat diusir kedua
orangtuanya. Yudi menceritakan imajinasi berbohongnya itu dengan sangat serius,
sampai Bejo dan Trisno percaya dengan cerita itu.
“Apes
tenanan konco mu (malang benar temanmu itu),” kata Trisno
“Lah
iyo.. cah pungut wani wani ne fitnah kakang dewek (iya.. anak pungut aja
berani memfitnah kakaknya sendiri),” timpal Yudi.
“Pites
wae ndas’e (pukul saja kepalanya),” kata Bejo.
“Kalau dikeluargaku.. kalau Minho koyo ngono.. wes ta’ pites,” kata Yudi.
Trisno tidak heran dengan apa kata Yudi. Dia
kembali mengingat kalau Minho anak angkat Suparno, tapi Trisno memang orangnya
bisa jaga mulut, dia pikir Bejo orang baru dan tidak boleh sampai tahu, siapa
itu Minho. Jadi dia hanya tertawa dengan perkataan Yudi yang terakhir.
“Ono-ono
wae cerita mu, Yud... Keluarga Pak’e mu ini apik tenanan.. (ada ada saja
ceritamu.. keluarga ayah mu ini bagus sekali),” sanggah Trisno, mengalihkan
perhatian Yudi dan Bejo.
“Pakde Suparno ini contoh aku.. aku wes tobat karena Pakde,” kata Bejo, dia
iseng mengorek-korek sebuah jengkol milik Trisno
“pean
semestine bersyukur karo Gusti Allah..
duwe Pak’e seperti Pakde Suparno kui (seharusnya kamu bersyukur pada
Tuhan.. punya ayah seperti Suparno itu),” lanjut Bejo lagi.
“Pak’e sayang cuma karo si Minho kui,” balas
Yudi dengan gaya bicara yang nyinyir (mulut seperti cemberut) ketika dia
mengucapkan nama Minho.
Trisno mengelak apa yang dimaksud
Yudi,”ah.. kata sapa?? Sami mawon
(sama saja)... Pakde Suparno itu ndak pilih kasih..”
“Buktine.. Minho kui disuruh ngatur duitne Pak’e.. aku ndak,” balas Yudi, intonasi kalimatnya agak sedikit dia naikkan.
Trisno tidak mau cari masalah dengan anak
juragannya itu, sedikit banyak, dia tahu sifat Yudi yang tidak suka daridulu
memang dengan Minho.
“ah.. perasaan pean aja, Yud... Pak’e mu
itu sayang sama semuanya... sama si Sri, kamu, Minho... aku sing (yang) bantu Pak’e mu.. dudu (bukan) Minho.. “
“Wooh.. Pakde Trisno ini ora percoyo karo (tidak percaya dengan)
aku.. Minho kui nafsuan karo duitne Pak’e (Minho itu bernafsu sama uang ayahku)..,”
Yudi mulai lagi memfitnah.
Trisno diam, dia tidak mau ikut campur
urusan keluarga juragannya. Bejo juga begitu.
Yudi bercerita, kalau Minho sudah
melakukan apa saja untuk meminta uang pada ayahnya itu. Misalnya waktu kecil
pernah minta mobil-mobilan yang sama dengan miliknya, minta sepeda, minta uang
baju, dan sebagainya. Trisno cuma senyam-senyum saja dengan perkataan Yudi,
karena sebenarnya anak itu juga mendapatkan barang yang sama, bahkan lebih baik
dari Minho.
“wah... aku ndak tahu itu, Yud.. kamu gimana
merasani nya?,” tanya Trisno, mencoba memancing.
“Minho kui
(itu) suka minta macam-macam ke Pak’e.. terakhir minta pergi ke luar negeri,”
Trisno tertawa dengan perkataan Yudi,” ah,
masak sih, Yud?? Keren banget,”
Yudi makin merasa dia perlu memfitnah Minho
lewat kedua orang itu. Lalu dia mengarang cerita kalau Minho memang minta
sekolah di luar negeri karena selama ini dia merasa dibedakan dari Yudi dalam
soal apapun. Padahal sebenarnya, Minho pun baru memulai akan berkompetisi
dengan teman-temannya yang lain sesama kelas 11.
“wooh.. keren koyo ngono (keren yang begitu),” kata Bejo.
“Tapi Minho emang pinter tenan, dadi ne.. wajar lah.. kalau Pakde
mau sekolahken ke luar negeri,”
lanjutnya lagi
Yudi malah jadi panas juga dengan
perkataan Bejo barusan,” gak bisa begitu lah, Pakde Jo.. masak iya dia mau
buang-buang duitne Pak’e??? Bisa-bisa
Pak’e mengko (nanti) ndak bisa usaha... repot aku,”
“ealah.. ndak gitu, Yud... kalau Pak’e mu itu pikirnya bagus.. ndak bakalan
merasa Minho mintane akeh macemne (permintaannya macam-macam),”
balas Bejo lagi.
“Belagu Minho kui... usahane Pak’e
seberapa besar sih, Pakde Jo.. Pakde Tris?? Kalau mau sekolah kan.. bisa di
sini aja.. di jogya juga iso.. iya kan??,” kata Yudi lagi.
“sebentar lagi dia mau minta motor balap...
,” lanjutnya lagi.
Dia harus meminta anggukan dari kedua
orang itu sebagai bahan fitnah selanjutnya, supaya nanti Minho gampang dia
jatuhkan.
“Jahat tenan
(sekali) kalau memang Minho itu mau buat Pakde No bangkrut..,” kata Trisno
“Tapi ndak mungkin... sekolahne dia apik (sekolahnya baik)... Pakde No kan suka banggain
Minho,” kata Bejo
Trisno mengangguk,”Ndak mungkin lah, Yud..
aku yakin Pakde No itu..kalaupun Minho minta sekolah... ndak bakalan sampai ke
luar negeri... Minho kui sayang karo
ayah kalian”
“Wooh.. Pakde ki.. ora percoyo aku,” keluh
Yudi. Dia harus bisa meyakinkan keduanya yang nanti akan juga diputar balik
olehnya.
“Rasanya dulu Pakde Tris pernah tanya
Minho asalne dari mana?,” lanjut Yudi lagi, memancing yang lain.
“Kapan?,” Trisno tanya balik.
“waktu Minho isih cilik (waktu masih kecil),” jawab Yudi.
“Yud... Yud.. lali aku (lupa),” balas Trisno. Dia pura-pura lupa.
“Cah
iki... ketauan licik ne karo saudara dewek (anak ini.. kelihatannya licik
dengan saudaranya sendiri),” kata hatinya Trisno.
Untungnya, tadi Yudi tidak melihat candaan
Trisno baru saja pada Minho tentang Minho kecil yang suka bernyanyi berbahasa
korea. Kalau Yudi melihat, dia yakin, anak itu akan menggunakan perkataannya
untuk membalikkan kata-kata dirinya.
Tapi Bejo malah mengingatnya,”Tadi kui... (tadi itu)”
Belum sampai Bejo meneruskan perkataannya,
Trisno menginjak kakinya.
“Tadi
kui opo?? Tadi kui aku bilang Minho kalau aku arep ngajarken dia pelajaran
akuntansi, ngono toh (tadi itu apa? Tadi aku bilang Minho kalau akan mengajarkan
dia akuntansi, begitu loh),” kata Trisno pada Bejo.
Bejo mengeluh kesakitan jempolnya
diinjak,”nyeri tenan... sendalmu kui asu”,
katanya dengan bahasa kasar pada Trisno.
Trisno hanya tertawa dengan perkataan Bejo
yang dianggapnya tidak serius.
Yudi jadi curiga. Trisno merasa cukup
membereskan tumpukan jengkol yang akan dia jual dini hari itu dipasar, jadi dia
harus segera pergi. Sementara Bejo tetap tinggal dengan Yudi.
“Ngomong
opo tadi Pakde Tris karo Minho??,” tanya Yudi pada Bejo.
“Biasa
lah.. waktu Minho cilik.. joged karo Trisno pake basa sing ora dimengerti,”
jawab Bejo, mengingat kembali saat Minho kecil bernyanyi ditanggapi
Trisno.
“Lah
iyo.. Minho kui dudu anake Pak’e (emang benar.. Minho itu bukan anak
ayahku),” kata Yudi dengan sangat yakin.
Bejo mengangkat alisnya, keheranan, apa
benar begitu? Sebab dia memang penjual baru dan baru kenal Minho dalam beberapa
tahun saja.
“Ojo
ngapusi ah (jangan bohong),” kata Bejo
“ngapain
aku ngapusi Pakde Jo.. ora ono gawe (kenapa harus bohongi Paman
Bejo...enggak ada kerjaan),” jawab Yudi. Dia duduk disamping Bejo.
“Minho
kui cah pungut.. nyasar ning pasar Bringsewu (Minho itu anak pungut yang
tersasar dari pasar),” lanjutnya lagi
Bejo kaget. Yudi biasa saja, dia merasa,
umpan sudah mulai kena.
“wah.. serius kamu??,” tanya Bejo dengan
mimik heran.
“serius ki (ini), Pakde,” balas Yudi dengan wajah serius lagi.
Baru saja Yudi mau bercerita, mendadak
Juminah muncul dengan membuka pintu.
“Yud.. ini sudah malam.. kamu apa ndak mau
tidur?,” katanya dengan ramah.
Yudi menoleh, setengah kaget, takut
ketahuan.
“Ya, Bu’e...,”
Dia lalu berdiri dan pamit pada Bejo.
Juminah cuma tersenyum pada pekerjanya itu
lalu masuk rumah lagi. Malam semakin larut, tugas Bejo memang belum selesai dan
biasanya dia suka tidur di dipan sebelum nanti dini hari, dia mulai berjalan ke
pasar tujuan dagangnya.
......................................
Esok pagi di sekolah...
Jam pelajaran ke tiga, saatnya Minho
dipanggil ke aula. Teman-teman sekelasnya menyemangati dia.
“Kowe
kudu menang loh, Minho... kelas kita kudu juara... kowe harus lunga nang korea
sana! (kamu harus menang, kelas kita harus juara, kamu yang harus pergi ke
korea)”, tepuk Amir pada pundak Minho.
“sip..! ,” kata Minho mengangkat kedua
jempolnya
“doain aku ya, teman-teman.. !,” katanya,
teriak di depan kelas dan tersenyum.
“SEMANGAT, MINHO!!,” teriak teman-temannya
satu kelas.
Minho lalu keluar kelas bersama bu Wati,
wali kelas 11-A.
Sampai di aula sekolah, dilihatnya memang
perwakilan 7 kelas dari kelas 11 sudah berkumpul, ada sekitar 7 anak. Mereka
semua akan bersaing secara akademisi dan kemampuan.
Disana juga, dia melihat ada dua orang
yang kulitnya putih, matanya kecil dan tinggi. Mirip sekali tampilan fisiknya
dengan dirinya. Minho senyum pada mereka.
Lalu bu Susi wakil kepala sekolah
memberikan ucapan pendahuluan kepada mereka.
“Dengan senang hati, sekolah kita ini
mendapatkan kepercayaan untuk dikirimkan seorang murid kelas 11, karena ini
kelas tengah, ke Seoul, ibukota dari Korea Selatan. Disana, bagi seorang yang
nanti dipilih, wajib menceritakan tentang budaya Indonesia kepada murid-murid
kelas dan sekolah, lalu juga bertukar budaya dengan adat setempat”
Minho bersemangat sekali mendengarkan
pemaparan bu Susi dengan lengkap. Matanya berbinar-binar, dia sudah siap dan
dia yakin, dia bisa melalui serangkaian test yang akan dijalaninya.
“Kami perkenalkan disini Ketua pertukaran
pelajar, Bapak Kang Ji Hyun,” kata bu Susi. Murid-murid bertepuk tangan.
Orang yang bernama Kang Ji Hyun itu
menunduk hormat, berbicara dalam bahasa inggeris dan indonesia,”Good Morning.. I am Kang Ji Hyun.. You can
call me: Kang-ssi means Mr Kang.. dan saya senang berkenalan dengan Anda
semua”
“Lalu ini.. yang ibu cantik ini.. bernama
Geum Na Ra,” kata ibu Susi lagi
“Hi semua.. Annyeong haseyo.. saya Geum Na Ra.. senang berkenalan dengan
kalian,” kata perempuan itu, tersenyum dan menunduk hormat pada mereka yang ada
disitu.
Murid-murid bertepuk tangan kembali.
Minho melihat kedua orang tersebut dengan
mata berbinar. Namun tiba-tiba... dia merasa.. ada selintasan peristiwa ...
“Kalau nanti kamu ditanya orang kalau kita
pergi ke negeri itu.. kamu harus jawab,”Anyyeong
haseyo.. My name is Minho”...,”
dia mendengar seperti ada suara seorang wanita yang lembut berkata padanya.
Mata Minho jadi berkunang-kunang sedikit, “ada
apa ya??,” katanya dalam hati,”yang tadi itu apa??”
Tapi dia berusaha menghilangkan peristiwa
yang tadi dan kembali fokus mendengar penjelasan bu Susi.
Bu Susi menjelaskan, untuk tahap awal,
mereka harus berkenalan satu persatu dengan Kang dan Geum dalam bahasa
Inggeris. Lalu, mereka pun memulai acara perkenalan. Satu persatu sesuai dengan
urutan duduk mereka.
Tibalah giliran Minho.
“Good
Morning. My name is Minho Saputra.. I am in class of 11-A.. My aim for this
test is: i really want to see Korea.. how it’s looklike, how modern it is.. and
perhaps... i can show my ability too to friends in there about this country’s
culture”.
Dia memperkenalkan dirinya dalam bahasa
Inggris dan berkata kalau dia ingin sekali pergi ke Korea, melihat ke modern-an
kota itu dan menyebarkan kebudayaan negeri ini kesana.
Kang kaget dengan nama depan Minho. Dia
tersenyum.
“Pardon
me.. is your name really.. Minho??,” bertanya, apa nama Minho benar-benar
Minho
Minho menjawab, kalau itu memang nama asli
yang diberikan kedua orangtuanya.
Kang lalu menulis di buku kecil yang dia
bawa,”this is interesting,” katanya
hal itu menarik baginya.
“is
it like this (apakah seperti ini?),” Kang menunjukkan kata: M-I-N-H-O
Minho mengangguk mengiyakan.
“Dont
you know.. that.. Minho is a korean name??,” Kang jadi tertarik dengan nama
Minho. Geum juga memperhatikan.
“Ya.. benar... Minho itu nama orang
korea,” kata Geum
“This
is Korean letters to the name: Minho.. This is Min.. and this is Ho... the
meaning is: brightness and kindness,” kata Kang lagi, mengatakan kalau nama
Minho dapat ditulis dengan abjad Korea (hagul) dan artinya adalah Terang dan
Kebaikan. Dia menunjukkannya di hadapan semuanya, termasuk Minho melihatnya.
Geum juga jadi penasaran. Begitu juga
dengan bu Susi dan Guru wali kelas yang lainnya, termasuk bu Wati.
Tapi Minho berkata polos lagi, kalau
ibunya Juminah memberikan nama itu karena katanya, sewaktu mengidam dia,
melihat orang yang seperti mereka berdua itu. Sontak yang ada diruangan aula
itu tertawa semua.
Kang tertawa dengan penjelasan Minho yang
polos. Begitu juga dengan Geum.
“Tapi.. wajah kamu memang seperti kita,
orang Korea, Minho,” kata Geum, langsung ramah padanya.
Minho jadi malu. Bu Wati, sang wali kelas
mengiyakan perkataan Geum, kalau memang Minho suka diledek teman-temannya
dengan sebutan orang korea.
“Karena.. nama kamu juga memang nama
korea.. nama yang bagus.. ,” senyum Geum.
Tiba-tiba.. Minho teringat lagi sebuah
peristiwa..
“Namamu bagus sekali.. itu sebab, Eomma dan Appa memberi nama kamu Minho.. artinya: Terang dan Kebaikan..
semoga, kamu jadi anak yang baik dan membawa kebahagiaan, terang bagi semua,”
senyum seorang wanita.
Minho agak menggoyang kepalanya sedikit,
heran dan bingung, kenapa ada lintasan peristiwa yang dia tidak tahu, kapan dan
dimana.. tetapi, dia hanya melihat sesosok anak kecil yang mirip dengannya,
berdiri di hadapan seorang wanita lembut yang berjongkok, lalu dia dipeluk
wanita itu.
“Eomma??
Appa??,” tanpa sadar, Minho menyebut kata itu
Geum menyadari sedikit,”Oh.. kamu bisa
berbahasa korea??,”
Minho sadar,”oh.. Tidak kok.. tidak bisa..
aku baru saja pusing sedikit, minta maaf semuanya,”
“Oh,” kata Geum singkat.
Bu Wati lalu promosi tentang Minho. Minho
diantara juara kelas 11 yang lainnya, dia yang nilainya paling tinggi.
Minho lalu melanjutkan memperkenalkan
dirinya, apa saja prestasi yang sudah pernah dia dapat selama di sekolah kelas
10 dan 11.
Setelah perkenalan singkat itu, mereka
lalu mengerjakan test matematika, fisika, kimia, dalam bahasa inggeris. Setelah
selesai, Minho dan murid lainnya pun keluar ruangan aula itu.
“eh Minho.. kowe (kamu) dapat tanggapan sing
(yang) paling positif ,” kata Andri, anak kelas 11-C.
Minho cengengesan saja, baginya, itu
karena kebetulan namanya seperti yang tadi dibilang Bapak Kang dan Ibu Geum,
bernama korea.
“Bapakmu canggih berarti, Minho.. tahu
nama korea, hehe,” canda Rudi.
Minho hanya tertawa, dia juga tidak
mengerti, kenapa orangtuanya memberikannya nama itu.
Dikelas, dia agak termenung sedikit, walau
guru sedang menerangkan pelajaran kimia yang sulit.
“Kenapa tadi pikiranku begitu ya?,”
katanya dalam hati, tidak habis pikir.
Amir sedang memperhatikan guru
menerangkan, tapi tetap saja dia tidak bisa diam, menoleh sana sini. Dia pun
melihat Minho agak melamun. Lalu dia menepuk pundak Minho.
“Woi.. mengko
(nanti) Pak guru marah,” katanya pada Minho
Minho sadar dari lamunannya tentang siapa
sosok wanita lembut yang dia lihat sekilas dalam bayangan tadi di aula.
“Eh, iya..,” jawab Minho spontan. Dia lalu
membuka bukunya dan memperhatikan gurunya menerangkan di depan kelas, sampai
selesai...
Bersambung ke part 9....