This is me....

Senin, Februari 02, 2015

Heal Me, Doc II (Part 5: Sepertinya, Kamu Berbohong Padaku, Minho...)

Cerita ini cuma iseng saja, jangan dimasukin ke hati.. kalau masih serius juga.. tanggung sendiri deh..

“Masuk bulan ke 4,” kata Minho pagi itu pada Ken, diruang rawat inap anak. Minho melihat-lihat para anak yang sedang dirawat, dia mampir dan memang sudah lama juga tidak main ke tempat praktek Ken. Dulu ruangan mereka berdekatan, setelah Minho naik pangkat, jadi terpisah jauh.
Ken berdiri di depannya sambil memasukkan kedua tangannya ke saku,”tidak ada masalah lagi kan?”
“Kata siapa?? Dia masih kadang tergeletak parah dan muntah-muntah.. itu yang aku khawatirkan. Endo-sensei memang sudah memberinya dosis vitamin dan mineral yang berbeda dari sebelumnya... agak membantu..walau belum berarti sekali,” jawab Minho. Dia lalu iseng menoleh pada seorang bayi yang matanya terbuka, sehabis bangun tidur dan mengetuk-ketuk ringan kaca inkubator, mengajak bayi itu bercanda.
hyperprimigravida,” kata Ken. Minho mengangguk.
“sudah mencoba konsultasi dengan Suzuki-sensei? Dia mungkin bisa berikan konsultasi gizi yang cukup,” lanjut Ken lagi.
Minho menggeleng. Ken katakan, bahwa dia biasanya merekomendasikan para ibu yang masih memiliki bayi, tapi ternyata sudah hamil lagi, supaya gizi ibu dan anak bisa cukup.

“galau mu itu-itu terus, Minho-kun.. aku pikir tentang pekerjaan,” kata Ken lagi. Mereka jalan keluar dari ruangan itu, agar tidak mengganggu para bayi.
“Kamu tidak mau kan.. kalau dipisahkan dari anakmu??,” Minho menoleh pada Ken. Mereka berganti tempat, menuju ke kantin.
“Ya, aku mengerti,” jawab Ken, singkat.
“Lalu... semestinya kamu bisa pulang lagi ke hiroshima satu kali lagi dan ceritakan pada keluargamu... gimana sih sebenarnya yang terjadi? Agar ibumu tidak semudah itu menargetkan semuanya harus sesuai dengan keinginannya,”
Minho mengangguk, dia katakan kalau dia hanya belum mempunyai waktu yang tepat, dan tidak mungkin kalau dia tidak mengajak Chie.
“sebaiknya kamu sekarang bertemu dengan Suzuki-sensei..ceritakan apa yang terjadi, lalu semoga dia memberikan arahan,” kata Ken lagi.
Minho menyandarkan dirinya dikursi.
“eh.. jangan kamu mengeluh lagi, Mr koleris... kamu sendiri tahu bagaimana mengatasinya,” kata Ken, menegakkan duduknya
Minho senyum tipis. Harapannya dia memang punya kehidupan yang sempurna dibalik semua ketidaksempurnaan, ternyata itu bukanlah mudah. Dia merasa harus berusaha berkali-kali lipat dalam memahami dan menjalani kehidupan rumahtangganya.
Mereka mengalihkan topik pembicaraan. Mengobrol tentang Jerry yang dalam waktu dekat kembali ke RS ini, kembali bekerja dibawah Minho. Jerry memang sudah dua tahun pergi belajar ke Amerika dan dalam 3 minggu ke depan akan kembali lagi. Minho sudah mempersiapkan jadwalnya.

“Maaf nih, Minho-kun...dengan cewek “biasa” saja, kita jauh dari sempurna.. apalagi dengan cewek macam Chie-chan.. mestinya ibu kamu sadar akan hal itu,” kata Ken. Dia berekspresi dengan menggerakkan jarinya seperti tanda kutip di depan Minho.
“Aku sadar, kok... aku sempat menyesal,” jawab Minho
Ken kaget, bagaimana bisa cowok itu punya perasaan menyesal.. sementara dulu dia yang nguber-nguber Chie duluan? Mulai dari jadi bahan penelitian, sampai akhirnya jatuh cinta beneran.
“ah.. itu karena kamu lagi galau aja, Minho-kun.. nanti juga biasa lagi,” jawab Ken, santai.
“Ini bukan cuma sekedar galau, Ken-kun... aku merasa rumahtanggaku terancam bubar,” balas Minho, wajahnya memang menunjukkan ekspresi kekhawatiran dengan alis mata yang turun.
“wajahmu memang terlihat melelahkan sudah sekitar 5 bulan lebih ini, Minho-kun.. kalau Jerry-kun tahu.. dia bisa jadi menyalahkanmu sedari awal,” kata Ken.
Minho menundukkan wajahnya. Ya, memang.. sekitar beberapa bulan terakhir ini pikirannya kusut. Satu sisi dia sangat sayang dengan Chie, lalu dia nekat menikah, satu sisi, ternyata ibunya sendiri mengkhawatirkan dirinya... dan penyesalannya adalah: kenapa dia berani untuk mengadakan perjanjian yang lebih mirip judi daripada sebuah perjanjian?

“Kita tidak pernah bisa tahu 100% apa yang terjadi pada janin.. semestinya kita sebagai dokter tahu itu,” kata Ken lagi. Dia memainkan sedotan gelas minumannya.
“Kondisi hipoksia (kekurangan oksigen), mengecilnya tali pusat saja bisa membuat anakmu mewariskan autistik dari ibunya,” lanjutnya lagi.
Minho menundukkan wajahnya diatas meja, pikirannya kusut.
“itu sebabnya.. aku bilang pada Endo-sensei.. supaya dia membantu Chie... “
Ken senyum pada rekan sejawatnya itu,” Kalau membantu.. pasti Endo sensei akan membantu.. apa.. Chie-chan tahu perjanjian antara ibumu dan kamu??”
Minho menggeleng, hanya dia dan Matsuda yang tahu. Sisanya Ken.
“Astaga.. ayahmu juga bahkan tidak tahu?,” Ken kaget. Sebab yang dia ketahui, ayah Minho sangat mendukung pernikahan mereka dan tidak perduli dengan kondisi Chie yang sebenarnya. Itu karena mereka sama-sama belajar tentang psikologi, sehingga tidak terlalu khawatir jika kondisi masih bisa diperbaiki.
Minho mengangguk lagi.
“Fuh... gawat sekali... ,” keluh Ken.
Minho mengangguk lagi.
“Kecerobohan yang fatal.. saatnya kamu pergi lagi ke rumahmu.. katakan yang sebenarnya.. terutama pada ayahmu”, Ken menepuk dahinya sendiri.

“aku harus menunggu sampai Jerry-kun datang...harus menyusun ulang semuanya dengan dia.. karena berbenturan dengan jadwal lain,” kata Minho.
“kamu memang semakin sibuk saja... kabarnya pengasuh Chie-chan sendiri bagaimana??,” tanya Ken lagi
“dia memintaku untuk mengambil liburan, pulang kampung dan membicarakan itu lagi, tepat dengan usulanmu,”  jawab Minho
Ken bilang kalau Minho selekas mungkin melakukannya, jangan menunggu waktu.
Handphone Minho berbunyi. Dia ragu sebentar apakah ingin mengangkat atau tidak. Dilihatnya sebentar, ternyata dari Matsuda.
“Matsuda-san? Ada apa??,” tanya dia heran.
Ken bertanya, dari siapa. Minho menjawab, kalau itu dari Matsuda dan Ken menyuruh Minho menjawab panggilan itu.
“Lee-san... gawat...,” suara Matsuda bergetar
“Ada apa?,” tanya Minho keheranan, dia mendengar suara ambulance, dia pun bingung.
“Aku sedang dalam perjalanan... Maafkan aku, Lee-san... Nyonya... sedang menuju rumahsakit,” suara Matsuda masih bergetar
Minho kaget,”APA???!!!!???”
Ken jadi serius mendengar itu dan melihat ekspresi Minho yang panik dan bingung.
Minho lalu berdiri, dia hanya meletakkan uang diatas meja kantin.
“Aku harus pergi ke ruang IGD... Chie-chan.. masuk rumah sakit ini... ,” kata Minho pucat
“Kenapa?,” tanya Ken keheranan.
“Mendadak tekanan darahnya turun, tidak mau makan sama sekali dan muntah berat,” jawab Minho.
Dia dan Ken langsung menuju ruang IGD dengan berlari.
                                                .............................................
Dilihat Minho, Chie terbaring lemah, sama sekali tidak bangun. Dia langsung dipindahkan ke ruang rawat inap.
“Muntahnya terlalu berlebihan, Tuan.. aku minta maaf,” Matsuda menunduk hormat pada Minho dalam-dalam.
Minho senyum tipis. Itu bukan salahnya Matsuda dan tindakannya sudah tepat dengan cepat membawa isterinya itu ke Rumah sakit.
“Gawat sekali,” gumam Ken, melihat Chie.
Selang infus menusuk tangan kiri Chie. Dia memang kehabisan energi, sama sekali tidak bertenaga.
“Untung cepat sekali Matsuda san membawa isteri mu kesini, Lee-sensei,” kata dokter Nakajima.
Minho mengusap dahinya sendiri, keringatnya keluar,”Hah.. aku sendiri sama sekali tidak tahu... “
“terima kasih, Nakajima-sensei,” dia lalu menunduk hormat pada dokter itu
“aku akan rekomendasikan Suzuki-sensei untuk penanganan makannya... sebab aku hanya dokter IGD,” senyum Nakajima.
“tetapi hipoglikemia (turun kadar gula darah) nya parah.. jantungnya sampai aritmia (detak jantung tidak teratur).. ini harus cepat diberikan gizi yang lebih dan aku yakinkan.. Suzuki-sensei yang dapat membantu isteri Anda,”
Minho menunduk hormat sekali lagi padanya, mengucapkan terima kasih atas kecepatan tindakan Nakajima yang memberikan Chie pertolongan pertama.
Nakajima pamit. Lalu Ken juga pamit karena dia harus jaga lagi. Tinggallah Minho bersama dengan Matsuda.

“Matsuda-san... bisa pulang...aku disini saja menemani.. lagipula.. aku masih jam kerja,” kata Minho, memecah kesunyian selepas mereka menjaga Chie.
“Apa tuan mau laporkan ini pada ibunya Tuan??,” tanya Matsuda. Wajahnya masih terlihat lelah. Bagaimanapun juga, dia bertanggungjawab mengurusi anak asuhnya itu.
“Apa Nakamura-san sudah tahu??,” Minho malah bertanya soal mertuanya.
Matsuda mengangguk, tetapi katanya, sebentar lagi mungkin Nakamura Kenji akan datang. Mungkin juga dengan anaknya.
“Syukurlah kalau memang orangtuanya tahu,” senyum tipis Minho pada Matsuda.
Matsuda membalas senyumnya dengan kembali tersenyum,” Tuan Lee lelaki yang hebat.. saya tidak akan meninggalkan Tuan dan Nyonya, kecuali saya mati,”
Matsuda memang pengasuh Chie yang setia. Wanita itu jatuh cinta pertama kali dengan Chie dulu sewaktu pertama kali melihatnya, padahal Chie anak yang berkebutuhan khusus. Awalnya dia mengasuh Chie, memang anak itu sangat-sangat menyebalkan dan membuat kesal, jika bukan Matsuda yang mengasuhnya. Hal itu mungkin saja terjadi karena Chie memang sudah kehilangan ibunya dan perhatian ayah serta kakak-kakaknya. Bertahun-tahun Matsuda dengan sabar mengajarkan Chie banyak hal keterampilan hidup, sudah seperti dia mengurus anaknya sendiri. Gaji Matsuda saat itu sebagai pengasuh tidak kecil, ternyata bukan gaji yang dia cari, tetapi kecintaannya terhadap personaliti Chie yang menurutnya suatu saat bisa membahagiakan orangtua dan keluarganya. Pengorbanan Matsuda memang panjang sekali pada Chie.
Matsuda lalu minta ijin pulang, Minho kembali bekerja.
                                                ......................................
 Sorenya, Minho kembali lagi dengan beserta Kenji Nakamura, ayah Chie, dan juga kakak perempuannya, Misako. Kenji dengan ramah menyapa anaknya yang masih berbaring ditempat tidur.
“Kata Minho-kun.. aka-chan (bayi) ku tidak akan nakal lagi.. ternyata, dia masih nakal, Chichiue (ayah),” kata Chie, menyapa ayahnya.
Kenji duduk di samping tempat tidur, membelai kepala anaknya. Minho senyum saja dengan perkataan Chie.
“Aka-chan...sebenarnya ingin sekali Chie-chan makan banyak... tapi, semuanya tergantung kamu... aka-chan makan, kalau kamu makan,” kata Misako dengan suara lembutnya.
“Suzuki-sensei sudah memberikan makanan bergizi yang bisa mengurangi mualnya, Otoosan (ayah),” kata Minho kepada Kenji
“kalau nanti masih mual dan muntah terus, terpaksa terus diberikan melalui infus,”
Minho memperbaiki letak infus pada tangan kirinya Chie.
“Aku mau pulang, Minho kun.. aku tidak suka disini,” keluh Chie, manja.
Minho hanya tersenyum, menggerakkan jari telunjuknya, tanda masih belum boleh.

Kenji dan Minho lalu bicara di luar ruangan, mereka duduk di kantin dalam rumah sakit itu...
Sore itu, kantin terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang yang mungkin juga sesama pekerja medis dan non medis. Minho duduk di hadapan mertuanya itu. Dia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Suasana senyap sejenak, walau pelayan Cafe sudah menghadirkan minuman yang Minho pesan. Minho memakan waktu untuk memulai pembicaraannya. Dia mengambil nafas sebentar, lalu...
“Aku minta maaf, ayah... kalau aku membuat suatu hal yang sangat memungkinkan terjadi konflik,” kata Minho memulai pembicaraan. Dia duduk tetapi menunduk hormat pada mertuanya.
Kenji bingung dengan perkataan Minho, apa maksudnya semua ini? Kenapa tiba-tiba dia seperti mellow.
Minho masih menunduk hormat padanya,” aku rasa.. aku melakukan hal yang salah”
“Apa maksudmu??,” tanya Kenji.
“Ini semua karena kesalahanku sendiri,” kata Minho lagi
“ceritakan saja.. aku bingung ada apa yang sebenarnya,” ujar Kenji.
“Aku..mengadakan perjanjian dengan ibuku atas nama Chie,” Minho masih saja menunduk hormat, dia belum mau menaikkan wajahnya.
Kenji kaget, kenapa Minho begitu tega dengan anaknya sendiri. Minho pun menceritakan semuanya dengan detail. Alisnya naik, dia ingin marah dengan menantunya itu, hanya saja dia mencoba untuk bersabar, karena

“apa anakku sama sekali tidak bisa menyenangkan hati ibumu??,” tanya Kenji.
“aku minta maaf... sebab memang paling buruknya adalah, anak kami bisa saja mengalami hal yang sama dengan Chie chan dan.. ibuku membenci hal itu,” jawab Minho.
“aku sendiri sudah tahu sedari awal, Ayah.. sudah banyak yang terbukti.. hanya saja.. dahulu aku berfikir... apa cintaku bisa dipaksa untuk orang lain??,” lanjut Minho lagi.
Kenji diam sejenak, dia memegang gelas minumnya dengan kencang, berusaha menahan rasa kecewanya yang sangat dalam pada keluarga Minho.
“lalu.. apa kamu menyesal dan kecewa menikah dengan anakku?,” tanya Kenji, suaranya jadi bertambah berat.
Minho diam sejenak, lalu menjawab,”terbersit kemarin... tapi.. aku tidak bisa berfikir kekanak-kanakan begitu... aku akan berusaha yang terbaik”
“apa aku boleh berbicara dengan kedua besanku?? Aku akan atur waktu untuk semuanya,” kata Kenji, menaikkan bahunya sedikit, menegakkan badannya.
“aku sedang mencari waktu yang tepat.. aku sengaja membicarakan hal ini ... akhirnya... karena aku pikir... aku butuh pertolongan ayah,” kata Minho. Dia jujur mengatakan, kalau dirinya sudah mulai lelah dan membutuhkan bantuan pemikiran Kenji.
“aku kecewa dengan besanku kalau begitu,” kata Kenji, raut mukanya serius sekali.
“aku minta maaf.. ayahku sama sekali tidak mempermasalahkan semuanya.. tetapi ibuku pandangannya berbeda,” balas Minho
Kenji masih bersuara berat dan datar,” dan kamu tidak mengatakan padaku sedari awal sebelum memutuskan menikah dengan Chie-chan... kalau begini...sama sekali aku tidak ingin anakku hidup dalam kekhawatiran”

Minho menghela nafasnya. Siapapun, dalam kondisi apapun, pastinya semua ingin bahagia. Chie memang orang dengan kebutuhan khusus, tetapi bukan berarti dia sama sekali tidak memiliki perasaan pada orang-orang disekelilingnya. Dunia emosinya bisa jadi dianggap sempit bagi banyak orang, tetapi bagi Minho, itu merupakan hal yang dia sukai. Minho lalu bercerita, apa yang terjadi kemarin tentang perasaan Chie pada ibunya. Kenji hanya bisa ikutan menghela nafas dan berfikir.
“Tentu saja anakku tetap punya perasaan,” kata Kenji.
Minho menunduk hormat, mengiyakan.
“aku harus menyelesaikan ini segera,” lanjut Kenji lagi
“tentunya... tanpa Chie,”
“maksud ayah??,” tanya Minho, heran
“aku tidak ingin Chie-chan tahu soal aku akan ke rumah besan,” jawab Kenji.
Hal ini bertentangan dengan pikiran Minho. Dia ingin Chie pergi bersamanya, berbicara dihadapan ibunya, apa yang dia rasakan dan Minho ingin ibunya menarik kembali perjanjian itu, walau mungkin akan berakhir dengan ketidakpercayaan seorang ibu terhadap perjanjian dengan anaknya sendiri.

“Aku ingin perjanjian ini gagal.. aku tidak ingin memisahkan bayi kita dengan Chie-chan.. apapun yang terjadi,” kata Minho, suaranya pelan.
“aku mengerti,” Kenji menyandarkan badannya kembali ke kursi dan melipat kedua tangannya.
“dengan Chie-chan ikut bersama kita.. apa nanti tidak muncul kekhawatirannya?? Aku ingin masalah ini cepat selesai sebelum dia melahirkan,”
Minho mengangguk,” aku akan berusaha mencari waktu yang tepat, ayah... kesehatan Chie-chan bagiku adalah nomor satu.. aku khawatir sekali saat ini... bagaimana aku terlalu dibebani dengan banyak pengetahuan yang memang bisa saja mengarah kesana... aku berusaha.. supaya dia melahirkan anak normal.. hanya saja.. ketika dia sakit begini.. lalu aku banyak mengetahui kemungkinan apa saja perkembangan bayi nanti yang akan terjadi... aku berada diantara harapan dan putus asa,” Minho mengusap poninya sendiri. Dia berfikir keras. Lalu dia katakan, jika dia tidak membawa Chie ke Hiroshima.. ibunya tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaan isterinya itu.
“apa kamu pikir.. dengan membawa dia dalam keadaan seperti itu... urusan ini bisa selesai?? Ini bisa menyangkut antar orangtua,” ujar Kenji. Dia masih belum beranjak dari posisinya.
Bagi Kenji, Chie dianggap lemah kondisinya. Minho meyakinkan mertuanya itu agar dia berusaha membantu membuat Chie sehat dan dapat pergi ke rumahnya.
“aku tidak ingin mengambil resiko... aku tidak ingin memaksa anakku menjadi tambah sakit fisik dan mentalnya ketika dia khawatir ,”
Minho diam dengan perkataan Kenji barusan. Orang seperti Chie memang cenderung tidak dapat menguasai emosi ketika rasa kekecewaannya bertumpuk tetapi dia bingung harus berkata apa.. akhirnya semakin kacaulah kondisi psikologisnya.
Mereka saling diam. Kesunyian kembali merajai. Hari sudah menjelang gelap. Diam.. tetap diam... sampai kemudian..
“Baiklah, ayah... aku tidak akan menghadirkan Chie-chan .... tetapi... aku mohon bantuan ayah,” dia menunduk hormat lagi pada mertuanya.
Kenji senyum tipis. Dia berharap semua itu, rencana pemisahan mereka dari sang bayi nanti tidak akan pernah terjadi. Dia berharap, rumahtangga anaknya dapat hidup bahagia tanpa intervensi dari manapun, termasuk dari besannya.
                                                ....................................
Minho malam itu sama sekali tidak pulang. Dia meminta ijin untuk bisa menginap diseputar RS sehingga bisa menjaga Chie sampai larut malam.
Dia berbicara kembali dengan rekan sejawatnya, Suzuki, dokter gizi.
“Kondisi zat besinya memang parah.. sepertinya isteri anda memang mengalami masalah dengan metabolisme (pengaturan penggunaan) zat besinya,”
“hasil pemeriksaan.. jika kita terlalu tinggi saja memberikan zat besinya, justru akan menjadi racun bagi tubuhnya,” lanjut suzuki lagi sambil dia memberikan data  laboratorium Chie tadi siang.
“mengherankan..sebelumnya dia tidak ada masalah dengan hal itu,” heran Minho pada Suzuki. Dilihatnya, data itu memang tidak dibantah.
“Anemia??,” duga Minho.
Suzuki mengangguk,” itu sebab, saya sudah memberikan list makanan yang aman untuk kondisinya, juga aman untuk level besinya, agar bisa terbuang dengan baik”
“Ya.. aku mengerti, Sensei (dokter),” balas Minho.
Chie asik saja sendiri melukis dengan crayon nya yang Minho beli dari swalayan dekat rumah sakit itu.
“Hal ini tidak akan berlanjut sampai melahirkan bukan?? Apa perlu membuang sisa darahnya setiap minggu??,” tanya Minho.
Suzuki mengangguk. Dia mengatakan kalau kondisi ini hanya sementara karena kehamilannya. Minho mengeluh sedikit, dia hembuskan nafasnya.
“Tentunya Lee-sensei sudah tahu bagaimana efeknya jika tidak dibuang,” kata Suzuki.
Minho mengangguk. Ya, itu akan lebih berbahaya untuk Chie jika tidak dilakukan. Maka dia akan konsultasi dengan ahli darah.
                                    .............................................
Chie sama sekali tidak peduli dengan percakapan Minho dan Suzuki soal dirinya. Dia hanya melukis saja sampai dokter gizi itupun berlalu. Minho duduk di kursi disamping tempat tidur Chie, melamun memikirkan nasib kesehatan isterinya dan anak dalam kandungan. Perempuan itu menoleh padanya dan tersenyum.
“Minho-kun... lukisanku..sudah selesai,” katanya
Minho masih termenung, dia tidak mendengar apa kata Chie.
“Minho-kun... lukisanku...sudah selesai,” kata Chie lagi. Dia mengulang kata itu sampai beberapa kali.
Akhirnya Minho sadar dari lamunannya.
“ah... mian (maaf), Chie-chan... aku melamun... sudah selesai?? Coba aku lihat,” senyumnya pada Chie
Chie memberikan lukisan itu dengan tertawa kecil. Minho mengambil dan melihatnya. Ternyata dia melukis Minho dan Suzuki yang sedang mengobrol tadi.

“wah.. pintar sekali, Chie-chan,” puji Minho padanya
“Minho-kun... dan Suzuki-sensei.. tadi itu.. sedang membicarakan aku bukan??,” tanya Chie. Dia tidak menoleh pada Minho yang duduk disamping tempat tidur. Minho lah yang menggeser kursinya, lalu membetulkan lagi letak infus nya.
Minho mengangguk dan senyum,” supaya Chie-chan dan bayi kita bisa sehat, lalu menggenggam kedua tangan Chie dengan lembut.
“Minho kun...,” kata Chie, matanya sedikit kosong.
“Ya??”
“Tapi benar kan... kalau ibu sayang padaku??,” ternyata dia bertanya lagi hal yang sama dengan kemarin
Minho jadi sedih, dia ingin sekali menjawab yang sejujurnya tentang perjanjian itu, tetapi, dia tidak ingin membuat isterinya itu stress. Anggapan yang salah sama sekali jika orang seperti Chie sama sekali tidak mengerti perasaan hatinya. Sebenarnya dia mengerti, hanya saja, dia membutuhkan jawaban yang tegas dan tidak bertele-tele soal perasaan hatinya itu.... dan... Minho selama ini terlalu bertele-tele padanya... agar Chie tidak sakit hati dengan ibunya sendiri.
“Iya, Chie-chan.. Eomma (ibu) sangat sayang padamu,” jawab Minho dengan senyumnya yang lembut, sambil mengusap pipi Chie.
“Aku sakit, Minho-kun... aku khawatir ibu membenciku,” ujar Chie, tatapan matanya begitu kosong dan polos.
“Tidak, Chie-chan..,” senyum Minho lagi padanya.
“Kenapa.. kemarin Ibu sepertinya tidak suka padaku??,” Chie mulai lagi mengulang-ulang peristiwa yang dia ingat kemarin. Dia gunakan perasaan terdalamnya untuk meraba perasaan mertuanya itu padanya.
Minho lalu mendekatkan dirinya dan memeluknya dengan lembut, meyakinkan isterinya itu kalau ibunya tidak sejahat yang dia bayangkan. Berkali-kali dengan redaksi yang sama disampaikannya pada Chie. Menanamkan pikirannya kalau mereka dan ibunya sedang dalam keadaan baik-baik saja, kalau keinginan ibunya hanya satu: memiliki cucu yang sehat.

Chie dalam pelukan Minho mencoba meraba emosi Minho pada diri dan juga mertuanya.
“Sepertinya.. Minho-kun berbohong padaku,” katanya dengan polos.
Minho hampir mengeluarkan air matanya dengan perkataan Chie baru saja: ya.. dia berbohong kepada orang yang paling dia cintai sendiri. Dia berbohong, agar seolah-olah tidak terjadi apa-apa, semua baik-baik saja dan tidak ada kegalauan, padahal itu semua sedang akan menjadi gunung es kesedihan jika tidak dihadapi... pun, kalau dihadapi dan kehendak Tuhan berbeda dengan apa yang dia kehendaki.. semuanya bisa hancur.
Minho melepas pelukannya, dia malah tertawa terkekeh,” tidak ah... Chie-chan begitu deh.. aku sama sekali tidak bohong padamu loh”
Bahasanya berubah menjadi sedikit informal. Dia mencoba bercanda dengan Chie.
Tanpa terasa, ada titik air mata disudut mata Minho. Chie mengusap titik itu.
“Minho-kun.. sepertinya menangis untukku,” katanya dengan tatapan mata yang datar pada Minho.
Sekali lagi, Minho kaget dengan emosi isterinya itu. Ada banyak perubahan yang dia lihat dari Chie.
Minho jadi pembohong terhadap isterinya itu, dia terkekeh lagi, mencubit pipi Chie,” aku tadi memang hampir menangis.. tapi bukan karena aku berbohong... karena aku cinta Chie-chan... Chie-chan semakin pintar saja loh”
“Jadi.. aku menangis senang.. bukan menangis sedih.. kalau menangis sedih.. seperti ini.. huhuhuhu,” lanjutnya lagi. Minho berekspresi dengan menggunakan kedua tangannya yang digerakkan dibawah mata, mirip anak kecil menangis.
Biasanya Chie tertawa dengan ekspresi wajah Minho yang lucu, walau terkadang respon tertawanya itu telat. Tapi kali ini, sama sekali dia tidak tertawa. Minho diam dihadapannya, menunggu respon nya, mungkin lebih terlambat sedikit dari biasanya. Tetapi, walau ditunggu.. tetap saja diam.
“Minho-kun... berbohong padaku.. iya kan??,” tanya Chie lagi. Tatapan matanya tidak berubah, antara kosong dan berharap sebuah jawaban.
Minho tidak bisa berkata apa.. dia hanya senyum, mati kutu dengan pertanyaan isterinya itu.... tak tahu harus menjawab apa... senyumnya mensyaratkan ... kalau dia terpaksa berbohong...

Bersambung ke part 9....