Cerita ini cuma iseng saja, jangan dimasukin ke hati.. kalau masih serius
juga.. tanggung sendiri deh..
“Masuk bulan ke 4,” kata Minho pagi itu
pada Ken, diruang rawat inap anak. Minho melihat-lihat para anak yang sedang
dirawat, dia mampir dan memang sudah lama juga tidak main ke tempat praktek
Ken. Dulu ruangan mereka berdekatan, setelah Minho naik pangkat, jadi terpisah
jauh.
Ken berdiri di depannya sambil memasukkan
kedua tangannya ke saku,”tidak ada masalah lagi kan?”
“Kata siapa?? Dia masih kadang tergeletak
parah dan muntah-muntah.. itu yang aku khawatirkan. Endo-sensei memang sudah memberinya dosis vitamin dan mineral yang
berbeda dari sebelumnya... agak membantu..walau belum berarti sekali,” jawab
Minho. Dia lalu iseng menoleh pada seorang bayi yang matanya terbuka, sehabis
bangun tidur dan mengetuk-ketuk ringan kaca inkubator, mengajak bayi itu
bercanda.
“hyperprimigravida,”
kata Ken. Minho mengangguk.
“sudah mencoba konsultasi dengan Suzuki-sensei?
Dia mungkin bisa berikan konsultasi gizi yang cukup,” lanjut Ken lagi.
Minho menggeleng. Ken katakan, bahwa dia
biasanya merekomendasikan para ibu yang masih memiliki bayi, tapi ternyata
sudah hamil lagi, supaya gizi ibu dan anak bisa cukup.
“galau mu itu-itu terus, Minho-kun.. aku pikir
tentang pekerjaan,” kata Ken lagi. Mereka jalan keluar dari ruangan itu, agar
tidak mengganggu para bayi.
“Kamu tidak mau kan.. kalau dipisahkan
dari anakmu??,” Minho menoleh pada Ken. Mereka berganti tempat, menuju ke
kantin.
“Ya, aku mengerti,” jawab Ken, singkat.
“Lalu... semestinya kamu bisa pulang lagi
ke hiroshima satu kali lagi dan ceritakan pada keluargamu... gimana sih
sebenarnya yang terjadi? Agar ibumu tidak semudah itu menargetkan semuanya
harus sesuai dengan keinginannya,”
Minho mengangguk, dia katakan kalau dia
hanya belum mempunyai waktu yang tepat, dan tidak mungkin kalau dia tidak
mengajak Chie.
“sebaiknya kamu sekarang bertemu dengan
Suzuki-sensei..ceritakan apa yang terjadi, lalu semoga dia memberikan arahan,”
kata Ken lagi.
Minho menyandarkan dirinya dikursi.
“eh.. jangan kamu mengeluh lagi, Mr
koleris... kamu sendiri tahu bagaimana mengatasinya,” kata Ken, menegakkan
duduknya
Minho senyum tipis. Harapannya dia memang
punya kehidupan yang sempurna dibalik semua ketidaksempurnaan, ternyata itu
bukanlah mudah. Dia merasa harus berusaha berkali-kali lipat dalam memahami dan
menjalani kehidupan rumahtangganya.
Mereka mengalihkan topik pembicaraan.
Mengobrol tentang Jerry yang dalam waktu dekat kembali ke RS ini, kembali bekerja
dibawah Minho. Jerry memang sudah dua tahun pergi belajar ke Amerika dan dalam
3 minggu ke depan akan kembali lagi. Minho sudah mempersiapkan jadwalnya.
“Maaf nih, Minho-kun...dengan cewek
“biasa” saja, kita jauh dari sempurna.. apalagi dengan cewek macam Chie-chan..
mestinya ibu kamu sadar akan hal itu,” kata Ken. Dia berekspresi dengan
menggerakkan jarinya seperti tanda kutip di depan Minho.
“Aku sadar, kok... aku sempat menyesal,”
jawab Minho
Ken kaget, bagaimana bisa cowok itu punya
perasaan menyesal.. sementara dulu dia yang nguber-nguber Chie duluan? Mulai
dari jadi bahan penelitian, sampai akhirnya jatuh cinta beneran.
“ah.. itu karena kamu lagi galau aja, Minho-kun.. nanti juga biasa
lagi,” jawab Ken, santai.
“Ini bukan cuma sekedar galau, Ken-kun... aku merasa
rumahtanggaku terancam bubar,” balas Minho, wajahnya memang menunjukkan
ekspresi kekhawatiran dengan alis mata yang turun.
“wajahmu memang terlihat melelahkan sudah
sekitar 5 bulan lebih ini, Minho-kun.. kalau Jerry-kun tahu.. dia bisa jadi
menyalahkanmu sedari awal,” kata Ken.
Minho menundukkan wajahnya. Ya, memang..
sekitar beberapa bulan terakhir ini pikirannya kusut. Satu sisi dia sangat
sayang dengan Chie, lalu dia nekat menikah, satu sisi, ternyata ibunya sendiri
mengkhawatirkan dirinya... dan penyesalannya adalah: kenapa dia berani untuk
mengadakan perjanjian yang lebih mirip judi daripada sebuah perjanjian?
“Kita tidak pernah bisa tahu 100% apa yang
terjadi pada janin.. semestinya kita sebagai dokter tahu itu,” kata Ken lagi.
Dia memainkan sedotan gelas minumannya.
“Kondisi hipoksia (kekurangan oksigen), mengecilnya tali pusat saja bisa
membuat anakmu mewariskan autistik dari ibunya,” lanjutnya lagi.
Minho menundukkan wajahnya diatas meja,
pikirannya kusut.
“itu sebabnya.. aku bilang pada
Endo-sensei.. supaya dia membantu Chie... “
Ken senyum pada rekan sejawatnya itu,”
Kalau membantu.. pasti Endo sensei akan membantu.. apa.. Chie-chan tahu
perjanjian antara ibumu dan kamu??”
Minho menggeleng, hanya dia dan Matsuda
yang tahu. Sisanya Ken.
“Astaga.. ayahmu juga bahkan tidak tahu?,”
Ken kaget. Sebab yang dia ketahui, ayah Minho sangat mendukung pernikahan
mereka dan tidak perduli dengan kondisi Chie yang sebenarnya. Itu karena mereka
sama-sama belajar tentang psikologi, sehingga tidak terlalu khawatir jika
kondisi masih bisa diperbaiki.
Minho mengangguk lagi.
“Fuh... gawat sekali... ,” keluh Ken.
Minho mengangguk lagi.
“Kecerobohan yang fatal.. saatnya kamu
pergi lagi ke rumahmu.. katakan yang sebenarnya.. terutama pada ayahmu”, Ken
menepuk dahinya sendiri.
“aku harus menunggu sampai Jerry-kun
datang...harus menyusun ulang semuanya dengan dia.. karena berbenturan dengan
jadwal lain,” kata Minho.
“kamu memang semakin sibuk saja...
kabarnya pengasuh Chie-chan sendiri bagaimana??,” tanya Ken lagi
“dia memintaku untuk mengambil liburan,
pulang kampung dan membicarakan itu lagi, tepat dengan usulanmu,” jawab Minho
Ken bilang kalau Minho selekas mungkin
melakukannya, jangan menunggu waktu.
Handphone Minho berbunyi. Dia ragu
sebentar apakah ingin mengangkat atau tidak. Dilihatnya sebentar, ternyata dari
Matsuda.
“Matsuda-san? Ada apa??,” tanya dia heran.
Ken bertanya, dari siapa. Minho menjawab,
kalau itu dari Matsuda dan Ken menyuruh Minho menjawab panggilan itu.
“Lee-san... gawat...,” suara Matsuda
bergetar
“Ada apa?,” tanya Minho keheranan, dia
mendengar suara ambulance, dia pun bingung.
“Aku sedang dalam perjalanan... Maafkan
aku, Lee-san... Nyonya... sedang menuju rumahsakit,” suara Matsuda masih bergetar
Minho kaget,”APA???!!!!???”
Ken jadi serius mendengar itu dan melihat
ekspresi Minho yang panik dan bingung.
Minho lalu berdiri, dia hanya meletakkan
uang diatas meja kantin.
“Aku harus pergi ke ruang IGD...
Chie-chan.. masuk rumah sakit ini... ,” kata Minho pucat
“Kenapa?,” tanya Ken keheranan.
“Mendadak tekanan darahnya turun, tidak
mau makan sama sekali dan muntah berat,” jawab Minho.
Dia dan Ken langsung menuju ruang IGD
dengan berlari.
.............................................
Dilihat Minho, Chie terbaring lemah, sama
sekali tidak bangun. Dia langsung dipindahkan ke ruang rawat inap.
“Muntahnya terlalu berlebihan, Tuan.. aku
minta maaf,” Matsuda menunduk hormat pada Minho dalam-dalam.
Minho senyum tipis. Itu bukan salahnya
Matsuda dan tindakannya sudah tepat dengan cepat membawa isterinya itu ke Rumah
sakit.
“Gawat sekali,” gumam Ken, melihat Chie.
Selang infus menusuk tangan kiri Chie. Dia
memang kehabisan energi, sama sekali tidak bertenaga.
“Untung cepat sekali Matsuda san membawa
isteri mu kesini, Lee-sensei,” kata dokter Nakajima.
Minho mengusap dahinya sendiri,
keringatnya keluar,”Hah.. aku sendiri sama sekali tidak tahu... “
“terima kasih, Nakajima-sensei,” dia lalu
menunduk hormat pada dokter itu
“aku akan rekomendasikan Suzuki-sensei
untuk penanganan makannya... sebab aku hanya dokter IGD,” senyum Nakajima.
“tetapi hipoglikemia (turun kadar gula darah) nya parah.. jantungnya sampai
aritmia (detak jantung tidak teratur)..
ini harus cepat diberikan gizi yang lebih dan aku yakinkan.. Suzuki-sensei yang
dapat membantu isteri Anda,”
Minho menunduk hormat sekali lagi padanya,
mengucapkan terima kasih atas kecepatan tindakan Nakajima yang memberikan Chie
pertolongan pertama.
Nakajima pamit. Lalu Ken juga pamit karena
dia harus jaga lagi. Tinggallah Minho bersama dengan Matsuda.
“Matsuda-san... bisa pulang...aku disini
saja menemani.. lagipula.. aku masih jam kerja,” kata Minho, memecah kesunyian
selepas mereka menjaga Chie.
“Apa tuan mau laporkan ini pada ibunya
Tuan??,” tanya Matsuda. Wajahnya masih terlihat lelah. Bagaimanapun juga, dia
bertanggungjawab mengurusi anak asuhnya itu.
“Apa Nakamura-san sudah tahu??,” Minho
malah bertanya soal mertuanya.
Matsuda mengangguk, tetapi katanya,
sebentar lagi mungkin Nakamura Kenji akan datang. Mungkin juga dengan anaknya.
“Syukurlah kalau memang orangtuanya tahu,”
senyum tipis Minho pada Matsuda.
Matsuda membalas senyumnya dengan kembali
tersenyum,” Tuan Lee lelaki yang hebat.. saya tidak akan meninggalkan Tuan dan
Nyonya, kecuali saya mati,”
Matsuda memang pengasuh Chie yang setia.
Wanita itu jatuh cinta pertama kali dengan Chie dulu sewaktu pertama kali
melihatnya, padahal Chie anak yang berkebutuhan khusus. Awalnya dia mengasuh
Chie, memang anak itu sangat-sangat menyebalkan dan membuat kesal, jika bukan
Matsuda yang mengasuhnya. Hal itu mungkin saja terjadi karena Chie memang sudah
kehilangan ibunya dan perhatian ayah serta kakak-kakaknya. Bertahun-tahun
Matsuda dengan sabar mengajarkan Chie banyak hal keterampilan hidup, sudah
seperti dia mengurus anaknya sendiri. Gaji Matsuda saat itu sebagai pengasuh
tidak kecil, ternyata bukan gaji yang dia cari, tetapi kecintaannya terhadap
personaliti Chie yang menurutnya suatu saat bisa membahagiakan orangtua dan
keluarganya. Pengorbanan Matsuda memang panjang sekali pada Chie.
Matsuda lalu minta ijin pulang, Minho
kembali bekerja.
......................................
Sorenya,
Minho kembali lagi dengan beserta Kenji Nakamura, ayah Chie, dan juga kakak
perempuannya, Misako. Kenji dengan ramah menyapa anaknya yang masih berbaring
ditempat tidur.
“Kata Minho-kun.. aka-chan (bayi) ku tidak akan nakal lagi.. ternyata, dia masih
nakal, Chichiue (ayah),” kata Chie,
menyapa ayahnya.
Kenji duduk di samping tempat tidur,
membelai kepala anaknya. Minho senyum saja dengan perkataan Chie.
“Aka-chan...sebenarnya ingin sekali
Chie-chan makan banyak... tapi, semuanya tergantung kamu... aka-chan makan,
kalau kamu makan,” kata Misako dengan suara lembutnya.
“Suzuki-sensei sudah memberikan makanan
bergizi yang bisa mengurangi mualnya, Otoosan
(ayah),” kata Minho kepada Kenji
“kalau nanti masih mual dan muntah terus,
terpaksa terus diberikan melalui infus,”
Minho memperbaiki letak infus pada tangan
kirinya Chie.
“Aku mau pulang, Minho kun.. aku tidak
suka disini,” keluh Chie, manja.
Minho hanya tersenyum, menggerakkan jari
telunjuknya, tanda masih belum boleh.
Kenji dan Minho lalu bicara di luar
ruangan, mereka duduk di kantin dalam rumah sakit itu...
Sore itu, kantin terlihat sepi. Hanya ada
beberapa orang yang mungkin juga sesama pekerja medis dan non medis. Minho
duduk di hadapan mertuanya itu. Dia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.
Suasana senyap sejenak, walau pelayan Cafe sudah menghadirkan minuman yang
Minho pesan. Minho memakan waktu untuk memulai pembicaraannya. Dia mengambil
nafas sebentar, lalu...
“Aku minta maaf, ayah... kalau aku membuat
suatu hal yang sangat memungkinkan terjadi konflik,” kata Minho memulai
pembicaraan. Dia duduk tetapi menunduk hormat pada mertuanya.
Kenji bingung dengan perkataan Minho, apa
maksudnya semua ini? Kenapa tiba-tiba dia seperti mellow.
Minho masih menunduk hormat padanya,” aku
rasa.. aku melakukan hal yang salah”
“Apa maksudmu??,” tanya Kenji.
“Ini semua karena kesalahanku sendiri,”
kata Minho lagi
“ceritakan saja.. aku bingung ada apa yang
sebenarnya,” ujar Kenji.
“Aku..mengadakan perjanjian dengan ibuku
atas nama Chie,” Minho masih saja menunduk hormat, dia belum mau menaikkan wajahnya.
Kenji kaget, kenapa Minho begitu tega
dengan anaknya sendiri. Minho pun menceritakan semuanya dengan detail. Alisnya
naik, dia ingin marah dengan menantunya itu, hanya saja dia mencoba untuk
bersabar, karena
“apa anakku sama sekali tidak bisa
menyenangkan hati ibumu??,” tanya Kenji.
“aku minta maaf... sebab memang paling
buruknya adalah, anak kami bisa saja mengalami hal yang sama dengan Chie chan
dan.. ibuku membenci hal itu,” jawab Minho.
“aku sendiri sudah tahu sedari awal,
Ayah.. sudah banyak yang terbukti.. hanya saja.. dahulu aku berfikir... apa
cintaku bisa dipaksa untuk orang lain??,” lanjut Minho lagi.
Kenji diam sejenak, dia memegang gelas
minumnya dengan kencang, berusaha menahan rasa kecewanya yang sangat dalam pada
keluarga Minho.
“lalu.. apa kamu menyesal dan kecewa
menikah dengan anakku?,” tanya Kenji, suaranya jadi bertambah berat.
Minho diam sejenak, lalu
menjawab,”terbersit kemarin... tapi.. aku tidak bisa berfikir kekanak-kanakan
begitu... aku akan berusaha yang terbaik”
“apa aku boleh berbicara dengan kedua
besanku?? Aku akan atur waktu untuk semuanya,” kata Kenji, menaikkan bahunya
sedikit, menegakkan badannya.
“aku sedang mencari waktu yang tepat.. aku
sengaja membicarakan hal ini ... akhirnya... karena aku pikir... aku butuh
pertolongan ayah,” kata Minho. Dia jujur mengatakan, kalau dirinya sudah mulai
lelah dan membutuhkan bantuan pemikiran Kenji.
“aku kecewa dengan besanku kalau begitu,”
kata Kenji, raut mukanya serius sekali.
“aku minta maaf.. ayahku sama sekali tidak
mempermasalahkan semuanya.. tetapi ibuku pandangannya berbeda,” balas Minho
Kenji masih bersuara berat dan datar,” dan
kamu tidak mengatakan padaku sedari awal sebelum memutuskan menikah dengan
Chie-chan... kalau begini...sama sekali aku tidak ingin anakku hidup dalam
kekhawatiran”
Minho menghela nafasnya. Siapapun, dalam
kondisi apapun, pastinya semua ingin bahagia. Chie memang orang dengan
kebutuhan khusus, tetapi bukan berarti dia sama sekali tidak memiliki perasaan
pada orang-orang disekelilingnya. Dunia emosinya bisa jadi dianggap sempit bagi
banyak orang, tetapi bagi Minho, itu merupakan hal yang dia sukai. Minho lalu
bercerita, apa yang terjadi kemarin tentang perasaan Chie pada ibunya. Kenji
hanya bisa ikutan menghela nafas dan berfikir.
“Tentu saja anakku tetap punya perasaan,”
kata Kenji.
Minho menunduk hormat, mengiyakan.
“aku harus menyelesaikan ini segera,”
lanjut Kenji lagi
“tentunya... tanpa Chie,”
“maksud ayah??,” tanya Minho, heran
“aku tidak ingin Chie-chan tahu soal aku
akan ke rumah besan,” jawab Kenji.
Hal ini bertentangan dengan pikiran Minho.
Dia ingin Chie pergi bersamanya, berbicara dihadapan ibunya, apa yang dia
rasakan dan Minho ingin ibunya menarik kembali perjanjian itu, walau mungkin
akan berakhir dengan ketidakpercayaan seorang ibu terhadap perjanjian dengan
anaknya sendiri.
“Aku ingin perjanjian ini gagal.. aku
tidak ingin memisahkan bayi kita dengan Chie-chan.. apapun yang terjadi,” kata
Minho, suaranya pelan.
“aku mengerti,” Kenji menyandarkan
badannya kembali ke kursi dan melipat kedua tangannya.
“dengan Chie-chan ikut bersama kita.. apa
nanti tidak muncul kekhawatirannya?? Aku ingin masalah ini cepat selesai
sebelum dia melahirkan,”
Minho mengangguk,” aku akan berusaha
mencari waktu yang tepat, ayah... kesehatan Chie-chan bagiku adalah nomor
satu.. aku khawatir sekali saat ini... bagaimana aku terlalu dibebani dengan
banyak pengetahuan yang memang bisa saja mengarah kesana... aku berusaha..
supaya dia melahirkan anak normal.. hanya saja.. ketika dia sakit begini.. lalu
aku banyak mengetahui kemungkinan apa saja perkembangan bayi nanti yang akan
terjadi... aku berada diantara harapan dan putus asa,” Minho mengusap poninya
sendiri. Dia berfikir keras. Lalu dia katakan, jika dia tidak membawa Chie ke
Hiroshima.. ibunya tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaan isterinya itu.
“apa kamu pikir.. dengan membawa dia dalam
keadaan seperti itu... urusan ini bisa selesai?? Ini bisa menyangkut antar
orangtua,” ujar Kenji. Dia masih belum beranjak dari posisinya.
Bagi Kenji, Chie dianggap lemah
kondisinya. Minho meyakinkan mertuanya itu agar dia berusaha membantu membuat
Chie sehat dan dapat pergi ke rumahnya.
“aku tidak ingin mengambil resiko... aku
tidak ingin memaksa anakku menjadi tambah sakit fisik dan mentalnya ketika dia
khawatir ,”
Minho diam dengan perkataan Kenji barusan.
Orang seperti Chie memang cenderung tidak dapat menguasai emosi ketika rasa
kekecewaannya bertumpuk tetapi dia bingung harus berkata apa.. akhirnya semakin
kacaulah kondisi psikologisnya.
Mereka saling diam. Kesunyian kembali
merajai. Hari sudah menjelang gelap. Diam.. tetap diam... sampai kemudian..
“Baiklah, ayah... aku tidak akan
menghadirkan Chie-chan .... tetapi... aku mohon bantuan ayah,” dia menunduk
hormat lagi pada mertuanya.
Kenji senyum tipis. Dia berharap semua
itu, rencana pemisahan mereka dari sang bayi nanti tidak akan pernah terjadi.
Dia berharap, rumahtangga anaknya dapat hidup bahagia tanpa intervensi dari
manapun, termasuk dari besannya.
....................................
Minho malam itu sama sekali tidak pulang.
Dia meminta ijin untuk bisa menginap diseputar RS sehingga bisa menjaga Chie
sampai larut malam.
Dia berbicara kembali dengan rekan
sejawatnya, Suzuki, dokter gizi.
“Kondisi zat besinya memang parah..
sepertinya isteri anda memang mengalami masalah dengan metabolisme (pengaturan penggunaan) zat besinya,”
“hasil pemeriksaan.. jika kita terlalu
tinggi saja memberikan zat besinya, justru akan menjadi racun bagi tubuhnya,”
lanjut suzuki lagi sambil dia memberikan data
laboratorium Chie tadi siang.
“mengherankan..sebelumnya dia tidak ada
masalah dengan hal itu,” heran Minho pada Suzuki. Dilihatnya, data itu memang
tidak dibantah.
“Anemia??,” duga Minho.
Suzuki mengangguk,” itu sebab, saya sudah
memberikan list makanan yang aman untuk kondisinya, juga aman untuk level
besinya, agar bisa terbuang dengan baik”
“Ya.. aku mengerti, Sensei (dokter),” balas Minho.
Chie asik saja sendiri melukis dengan
crayon nya yang Minho beli dari swalayan dekat rumah sakit itu.
“Hal ini tidak akan berlanjut sampai
melahirkan bukan?? Apa perlu membuang sisa darahnya setiap minggu??,” tanya
Minho.
Suzuki mengangguk. Dia mengatakan kalau
kondisi ini hanya sementara karena kehamilannya. Minho mengeluh sedikit, dia
hembuskan nafasnya.
“Tentunya Lee-sensei sudah tahu bagaimana
efeknya jika tidak dibuang,” kata Suzuki.
Minho mengangguk. Ya, itu akan lebih berbahaya
untuk Chie jika tidak dilakukan. Maka dia akan konsultasi dengan ahli darah.
.............................................
Chie sama sekali tidak peduli dengan
percakapan Minho dan Suzuki soal dirinya. Dia hanya melukis saja sampai dokter
gizi itupun berlalu. Minho duduk di kursi disamping tempat tidur Chie, melamun
memikirkan nasib kesehatan isterinya dan anak dalam kandungan. Perempuan itu
menoleh padanya dan tersenyum.
“Minho-kun... lukisanku..sudah selesai,”
katanya
Minho masih termenung, dia tidak mendengar
apa kata Chie.
“Minho-kun... lukisanku...sudah selesai,”
kata Chie lagi. Dia mengulang kata itu sampai beberapa kali.
Akhirnya Minho sadar dari lamunannya.
“ah... mian
(maaf), Chie-chan... aku melamun... sudah selesai?? Coba aku lihat,” senyumnya
pada Chie
Chie memberikan lukisan itu dengan tertawa
kecil. Minho mengambil dan melihatnya. Ternyata dia melukis Minho dan Suzuki
yang sedang mengobrol tadi.
“wah.. pintar sekali, Chie-chan,” puji
Minho padanya
“Minho-kun... dan Suzuki-sensei.. tadi
itu.. sedang membicarakan aku bukan??,” tanya Chie. Dia tidak menoleh pada
Minho yang duduk disamping tempat tidur. Minho lah yang menggeser kursinya,
lalu membetulkan lagi letak infus nya.
Minho mengangguk dan senyum,” supaya
Chie-chan dan bayi kita bisa sehat, lalu menggenggam kedua tangan Chie dengan
lembut.
“Minho kun...,” kata Chie, matanya sedikit
kosong.
“Ya??”
“Tapi benar kan... kalau ibu sayang
padaku??,” ternyata dia bertanya lagi hal yang sama dengan kemarin
Minho jadi sedih, dia ingin sekali menjawab
yang sejujurnya tentang perjanjian itu, tetapi, dia tidak ingin membuat
isterinya itu stress. Anggapan yang salah sama sekali jika orang seperti Chie
sama sekali tidak mengerti perasaan hatinya. Sebenarnya dia mengerti, hanya
saja, dia membutuhkan jawaban yang tegas dan tidak bertele-tele soal perasaan
hatinya itu.... dan... Minho selama ini terlalu bertele-tele padanya... agar
Chie tidak sakit hati dengan ibunya sendiri.
“Iya, Chie-chan.. Eomma (ibu) sangat sayang padamu,” jawab Minho dengan senyumnya
yang lembut, sambil mengusap pipi Chie.
“Aku sakit, Minho-kun... aku khawatir ibu
membenciku,” ujar Chie, tatapan matanya begitu kosong dan polos.
“Tidak, Chie-chan..,” senyum Minho lagi
padanya.
“Kenapa.. kemarin Ibu sepertinya tidak
suka padaku??,” Chie mulai lagi mengulang-ulang peristiwa yang dia ingat
kemarin. Dia gunakan perasaan terdalamnya untuk meraba perasaan mertuanya itu
padanya.
Minho lalu mendekatkan dirinya dan
memeluknya dengan lembut, meyakinkan isterinya itu kalau ibunya tidak sejahat
yang dia bayangkan. Berkali-kali dengan redaksi yang sama disampaikannya pada
Chie. Menanamkan pikirannya kalau mereka dan ibunya sedang dalam keadaan
baik-baik saja, kalau keinginan ibunya hanya satu: memiliki cucu yang sehat.
Chie dalam pelukan Minho mencoba meraba
emosi Minho pada diri dan juga mertuanya.
“Sepertinya.. Minho-kun berbohong padaku,”
katanya dengan polos.
Minho hampir mengeluarkan air matanya
dengan perkataan Chie baru saja: ya.. dia berbohong kepada orang yang paling
dia cintai sendiri. Dia berbohong, agar seolah-olah tidak terjadi apa-apa,
semua baik-baik saja dan tidak ada kegalauan, padahal itu semua sedang akan
menjadi gunung es kesedihan jika tidak dihadapi... pun, kalau dihadapi dan
kehendak Tuhan berbeda dengan apa yang dia kehendaki.. semuanya bisa hancur.
Minho melepas pelukannya, dia malah
tertawa terkekeh,” tidak ah... Chie-chan begitu deh.. aku sama sekali tidak
bohong padamu loh”
Bahasanya berubah menjadi sedikit
informal. Dia mencoba bercanda dengan Chie.
Tanpa terasa, ada titik air mata disudut
mata Minho. Chie mengusap titik itu.
“Minho-kun.. sepertinya menangis untukku,”
katanya dengan tatapan mata yang datar pada Minho.
Sekali lagi, Minho kaget dengan emosi
isterinya itu. Ada banyak perubahan yang dia lihat dari Chie.
Minho jadi pembohong terhadap isterinya
itu, dia terkekeh lagi, mencubit pipi Chie,” aku tadi memang hampir menangis..
tapi bukan karena aku berbohong... karena aku cinta Chie-chan... Chie-chan
semakin pintar saja loh”
“Jadi.. aku menangis senang.. bukan menangis
sedih.. kalau menangis sedih.. seperti ini.. huhuhuhu,” lanjutnya lagi. Minho
berekspresi dengan menggunakan kedua tangannya yang digerakkan dibawah mata,
mirip anak kecil menangis.
Biasanya Chie tertawa dengan ekspresi
wajah Minho yang lucu, walau terkadang respon tertawanya itu telat. Tapi kali
ini, sama sekali dia tidak tertawa. Minho diam dihadapannya, menunggu respon
nya, mungkin lebih terlambat sedikit dari biasanya. Tetapi, walau ditunggu..
tetap saja diam.
“Minho-kun... berbohong padaku.. iya kan??,”
tanya Chie lagi. Tatapan matanya tidak berubah, antara kosong dan berharap
sebuah jawaban.
Minho tidak bisa berkata apa.. dia hanya
senyum, mati kutu dengan pertanyaan isterinya itu.... tak tahu harus menjawab
apa... senyumnya mensyaratkan ... kalau dia terpaksa berbohong...
Bersambung ke part 9....