Cerita ini hanya fiksi imajinasi belaka. Gak usah dipikirin kenapa begini,
kenapa begitu.. Cuma keisengan diri saja yang ingin mengimajinasikan bebeb Lee
Minho. .... 18+...
Keputusan Park membantu mengasuh ketiga
anak Minho dan Minseo akhirnya disepakati juga. Dia akan sering datang ke rumah
itu, terutama kalau mereka berdua akan sangat sibuk dan membutuhkan tenaganya.
Tentu saja.. dengan alasan: sayang para cucu. Minho senang-senang saja, tidak
tahu ada motif bersama antara Park dengan Minseo.
Mereka masih duduk di belakang rumah yang
memang ada halaman cukup luas dan bisa bermain di tempat terbuka.
Park lalu duduk disamping Minho sambil
mereka menikmati teh hangat sore itu.
“Minseo kecil pendiam.. mungkin seperti
Young Joon sekarang,” kata Park, memulai pembicaraan.
“ya.. sewaktu pacaran saja.. dia enggak
banyak bicara,” balas Minho.
Dia lalu menoleh pada mertuanya itu.
“Tapi.. Minseo itu perempuan pintar.. itu
sebabnya aku cinta dan sayang padanya.”
Park tersenyum pada menantunya itu. Dia
bercerita sepak terjang kanak-kanak Minseo sewaktu seumuran dengan para cucunya
ini.
“saat umur sampai tiga tahun anak-anak..
itu saat yang paling cepat perkembangan mereka,” kata Park.
Minho mendengar saja Park berbicara
tentang fase perkembangan anak. Dia mengangguk-angguk mengiyakan segala nasehat
Park, sama sekali tidak membantah.
“aku lima bersaudara.. semuanya lelaki..
dan yang cukup nakal.. ya aku ini,” celoteh Park.
“namun bukan berarti aku tidak bisa
bertanggung jawab.. jadi.. akan aku ajarkan Jin Ho cara bertanggung jawab
biarpun nakal.”
Minho tersenyum dengan perkataan mertuanya
itu. Sama sekali tidak ada bayangan di kepalanya kalau maksud Park adalah
mengajarkan cucunya untuk bisa mengelola kemampuan supranaturalnya, supaya ayah
mereka- Minho- tidak marah dan kecewa dengan diri mereka suatu hari nanti.
Park malah berkata lagi, kalau dia sangat
bersyukur dengan adanya ketiga cucu yang cantik dan ganteng-ganteng ini.
“kasihan kalau mereka tidak dapat kasih
sayang dari kita,” katanya.
Tumben sekali dia mencoba mengajak Minho
berbicara serius, karena biasanya dia lebih suka bercanda dengan siapa saja,
termasuk juga dengan menantunya itu.
“Tidak biasanya ayah begitu serius.. ada
apa ya??,” tanya hatinya Minho, ternyata akhirnya ada segelintir rasa heran.
“Tadi pagi.. Minseo bercerita lagi tentang
masalah kalian beberapa malam yang lalu,” kata Park.
Minho diam saja, membiarkan Park
bercerita.. apakah benar yang Minseo ceritakan padanya?
“Ah.. aku minta maaf, ayah.. memang benar
sore sebelumnya aku pergi lagi ke peramal Kang.. dan aku seperti termakan
perkataannya,” ujar Minho, dia merasa bersalah.
“ya...wajar saja kalau dia marah..
daridulu memang dia tidak suka dengan ramal meramal,” balas Park.
“dan dia memang punya alasan untuk itu,”
tambahnya lagi.
Kemarin itu, memang Minho akhirnya
menyadari kalau dia salah, hanya lama mengakuinya. Wajar saja egois nyasebagai
lelaki muncul ketika merasa kalah. Park hanya tertawa dengan cerita pemaparan
Minho. Minseo memang seseorang perempuan yang antara perasaan dan pikirannya
bisa jalan dalam waktu bersamaan, itu sebabnya dia bisa menebak-nebak walau
tidak suka dengan tindakan para peramal.
“dia begitu loh sedari kecil.. jangan
heran,” kata Park, meyakinkan Minho, kalau anaknya itu belum sepenuhnya
diketahui sifatnya oleh Minho.
“kami memang sering ribut soal ini,” keluh
Minho. Beberapa kali mereka diam-diaman hanya karena Minho terlalu percaya
dengan ramalan itu, sementara Minseo sama sekali tidak. Sepertinya memang
peramal Kang itu menanamkan bisnis ramalannya pada otak Minho. Terkesan sepele,
tapi malah sering mereka ribut soal itu.
“Terakhir.. aku memang sedang marah dengan
partner bisnisku.. dan dia benar-benar tidak suka karena aku percaya peramal
itu, kalau teman bisnisku itu akan menguntungkan, namun.. tidak versi Minseo,”
kata Minho.
Park katakan kalau anaknya berbicara A,
memang dia akan membuktikan dirinya kalau A itu pernyataan yang benar. Minho
mengenal Minseo sebagai seorang yang keras, namun juga lembut.
“seperti ini.. sebaiknya kamu menuruti apa
perkataannya.. untuk kebaikan kalian juga,” kata Park.
Minho mengangguk. Semestinya dia memang
baiknya percaya akan apa yang dikatakan Minseo. Dia juga heran, kenapa dia
seperti terikat, ketergantungan dengan peramal itu... sehingga apa-apa yang dikatakan
peramal itu, selalu dia turuti.. bahkan tidak memperdulikan apa kata Minseo.
Walau sering sekali Minseo menasehatinya, tetap saja dia akan kembali ke
peramal itu.
“mungkin karena kamu terlalu cemas dengan
kehidupan kalian.. orangtua dulu tidak begitu,” kata Park, enteng.
“santai saja.. semua permasalahan ada
jawabannya... begitu juga bisnismu,” lanjutnya lagi.
------------------------------
Keluarga keduanya berasal dari sisi
berbeda. Keluarga Minseo yang sederhana, tidak terlalu banyak menggantungkan
hidup pada orang lain, memang terkesan beda di mata keluarga Minho. Namun,
bukan berarti penyatuan dua orang ini tanpa kendala sama sekali. Masih ada saja
paman atau bibi dari keluarga Minho yang begitu negatif dan nyinyir dengan
keluarga Park. Karena keluarga ini tidak terlalu memperhatikan apa kata banyak
orang, mereka santai saja anaknya membina hubungan keluarga dengan keluarga
Lee. Omongan yang masih terus santer terdengar adalah keinginan keluarga Park
untuk menguasai usaha keluarga Lee. Minho berkali-kali menjelaskan pada mereka,
bahwa isteri dan keluarganya hanya tahu kulit usaha keluarga Lee, tanpa tahu
banyak bagaimana kondisi dalamnya perusahaan mereka itu.
“Para paman dan bibi terlalu ikut campur,”
pernah Minho sesekali berkeluh kesah seperti itu pada Minseo.
Minseo yang bisa membaca pikiran orang
itu, terkadang hanya bisa membiarkan saja. Tidak semua akan dia pertentangkan. Tidak
semua perlu perdebatan. Dia terkadang hanya mencoba membalas dengan senyuman.
“Enggak usah terlalu dipikirkan deh...
yang penting.. aku bisa mengurus kamu dan keluarga,” jawabnya dengan senyum.
Minho bahagia sekali punya pasangan
seperti Minseo. Cinta yang dilihatnya pertama kali untuk perempuan itu tidak
salah.
“aku sangat tidak yakin kalau Minseo
berbohong padaku, tante..,” kata Minho, suatu hari pada salah satu anggota
keluarganya dalam sebuah acara pertemuan keluarga.
Para tantenya yang kepo memang menyelidiki pacarnya banget. Sampai juga mereka kepo
dengan gaya bahasa pacarnya itu.
“pacarmu itu aneh... apa dia sakit
jiwa??,” kata salah seorang tantenya.
Minho langsung melihat para tantenya itu
dengan tatapan aneh dan terkesan nyinyir.
Lalu mereka menggosip di depan Minho sendiri, kalau menurut seorang peramal,
tatapan seperti itu adalah tatapan wanita iblis. Minho terang saja tersinggung
dengan gossip yang menusuk kupingnya itu. Dia lalu meninggalkan saja mereka
dengan kekesalan di hati.
Minseo tertawa saja ketika dicurhatin soal
itu.
“Masak iya.. kamu ini perempuan iblis??
Ih... segitunya mereka,” Minho hanya bisa cemberut dengan Minseo yang membalas
santai semua itu.
“Mereka.. percaya dengan peramal siapa??,”
tanya Minseo padanya.
“Peramal Kang... siapa lagi??,” jawab
Minho dengan cepat.
Minseo hanya bisa tertawa kecil. Ternyata,
keluarga itu, walau pikirannya sudah modern, masih saja terlalu percaya dengan
peramal yang tetap dia tidak sukai itu.
Itu.. 7 tahun yang lalu... dan sekarang...
masih berlanjut..
---------------------------------------
Minseo dibebaskan ingin berteman dengan
siapa saja oleh Minho. Dia masih berhubungan dengan kawan-kawan setempat kerja
dahulu atau pada masa kuliah. Na Ra, salahsatu kawannya masih sering bertanya
tentang perkembangan para tiga kembar. Tentu saja, Minseo akan langsung menceritakan
banyak hal tentang ketiga anaknya itu.
“sampai saat ini.. memang Minho masih
menganggap mereka biasa saja,” katanya pada Na Ra. Lagi, mereka bertemu di
sebuah cafe.
“syukurlah, kalian tidak perlu khawatir
soal mereka,” senyum Na Ra.
Dia ingin sekali bermain dengan Hana.
“ini akan jadi masalahku yang terbesar..
aku sulit berpikir jernih dan jujur dengannya dalam hal ini,” keluh Minseo
lagi.
Na Ra tetap menggendong dan bercanda
dengan Hana. Minseo menceritakan kondisi perkembangan kehidupan keluarganya
kepada Na Ra. Perempuan itu memperhatikan dengan seksama panjang lebar yang
dipaparkan Minseo.
“Tidak bisa tidak.. kamu sebaiknya membuka
diri.. mungkin dalam waktu cepat,” kata Na Ra.
Justru hal itulah yang paling ditakuti
oleh Minseo. Anak-anaknya dengan Minho sudah hampir satu tahun umurnya. Park
dan isteri membantu mereka mengasuh, sekaligus menutup segala kelebihan tiga
anak itu.
“Apa.. sampai detik ini.. Minho belum juga
tahu, kan??,” kata Park terhadap anaknya. Minho sedang bekerja ketika mereka
mengobrol.
Minseo mengangguk saja. Park menyadari,
kehidupan pernikahan seperti ini, tidaklah mudah. Tidak banyak orang menyukai
hal yang aneh dan terkesan diluar logika. Yang dia khawatirkan adalah jika
kebohongan ini akan terbuka akhirnya dan nasib rumahtangga anaknya bubar.
“setiap detik..pasti kamu mengkhawatirkan
hal ini.. tiga cucuku juga semakin tumbuh saja,” ujar Park.
“Dan aku semakin khawatir ketika mereka
akan menunjukkan semua kemampuannya suatu hari nanti, Appa,” balas Minseo.
Sambil mereka mengobrol, melihat ketiga
anak tersebut. Yang paling terlihat kemampuannya memang anak tertua, Jin Ho. Anak
itu super iseng. Ketika dilihat saja, matanya sudah menyorotkan rasa keisengan.
Dan, dia pun menonjolkan kemampuannya lagi di hadapan mereka berdua.
“Aku selalu berusaha menghalangi
perilakunya ketika dia sedang bersama Minho.. tapi lama kelamaan, aku mulai
lelah, Appa,”
Memang, untuk anak baru ingin satu tahun,
kemampuan seperti itu terlihat aneh. Park akhirnya memang berfikir serius juga,
yang sifat asalnya suka sekali guyon. Melihat perilaku Jin Ho yang cenderung
menonjolkan kemampuannya tanpa dia sendiri mengontrol, rasanya Park juga lama
kelamaan berfikir, kalau cucu nya ini mesti mendapatkan perhatian khusus
darinya.
“Kamu tidak mungkin menghilangkan ini
semua... mereka memang sudah seperti itu”.
Minseo membalas,” Aku mengerti, Ayah..
hanya saja.. sampai kapan aku harus terus berbohong kepada Minho??
menyembunyikan semuanya??”.
“Biarkan Minho tahu semua dengan
sendirinya... jikalau dia bersikap dewasa.. dia akan mempertahankan kamu dan
anak-anak,” balas Park.
“Dan.. kamu terlalu dilema dalam hal ini”,
kata Na Ra.
“Aku juga masih belum faham.. kenapa Jin
Ho hanya menunjukkan kemampuan di depan ayahnya.. sementara di depan mu
misalnya... dia enggan,” ujar Minseo.
“Anak seperti ini memang spesial.. seperti
anak salah seorang client ku,” senyum Na Ra.
“Mungkin.. dia ingin ayahnya tahu.. supaya
kalian sebenarnya dapat saling menerima,” lanjutnya lagi.
“Aku benar-benar pasrah, Na Ra... dan aku
juga harus berhadapan dengan musuh bisnis Minho yang curang..,” balas Minseo
lagi.
Lalu dia tersenyum, “terkadang suami ku
itu masih seperti anak-anak.. dia masih mudah percaya kepada rekan bisnisnya
yang curang.”
Na Ra tertawa kecil. Sebenarnya, kehidupan
pernikahan mereka masih belum siap, yang kepala keluarga masih muda, yang
wanitanya walau dewasa, masih khawatir untuk selalu melindungi pasangannya.
Menurut Na Ra, mereka sebenarnya unik jika Minho tidak alergi dengan perempuan
“aneh” dan Minseo tidak menutupi dirinya sampai sekarang. Jelas, ekspektasi itu
tidaklah mudah, karena sedari awal, Minho memang sudah tidak suka dengan
karakter perempuan seperti itu. hanya, justru ditemukan dalam diri cintanya,
Minseo. Na Ra melihat memang masih ada hambatan dalam hubungan perkawinan
mereka yang masih muda ini.
“Jadi... kalau kamu mau nekat melindungi
suami mu itu.. ya.. katakan saja langsung kepada peramal Kang itu.. untuk apa
sampai dia mau menipu Minho,” kata Na Ra, serius.
Hanya dengan Na Ra, orang luar rumah, yang
bisa dia percaya selain keluarganya sendiri. Rasa tidak sukanya terhadap
peramal Kang memang makin menjadi, seiring Minho masih belum saja “sembuh” dari
berhenti mengunjungi orang itu.
“suamimu itu sudah sangat bergantung
pikirannya ke peramal itu,” lanjut Na Ra.
Minseo mengangguk saja. Untuk ke depannya,
jika Minho memang masih mempercayai Kang, bahwa Nam, partner kerjanya itu
baik-baik saja, maka dia akan turun tangan menghadapi Nam, karena pernah
bekerja di bidang yang sama.
Tentunya memang tidak ada yang suka kalau
seorang yang dicintai diperalat, walau itu untuk urusan kerja. Na Ra sih
mendukung saja jika memang ketegasan itu diperlukan untuk menyelamatkan usaha
dan rumahtangga mereka.
Di sore itu, selepas kerja lelah seharian,
Minseo yang sudah kembali ke rumah dan juga menyiapkan segala keperluan sore
Minho, agak tegang sedikit, mendapatkan kabar dari Minho tentang hubungan
bisnisnya.
“Jadi.. benar-benar diputuskan tidak lagi
bekerja sama dengan Nam-ssi itu??,” tanya Minseo kepada Minho, dengan sedikit tercengang.
Minho mengangguk mantap. Dia berpikir, Nam
sudah 2 kali mengkhianati kepercayaan bisnisnya...lantas.. kenapa harus
dipercaya lagi???
“Itulah yang aku benar-benar inginkan
darimu, Nampyeon...sebuah ketegasan tanpa ragu... dan bisnis memang kejam,”
ujar Minseo sambil tersenyum.
Minho menciumnya dengan lembut, dia
katakan dia begitu sayangnya pada Minseo dan ketiga anaknya. Dan yang paling
mengherankan... dia berjanji tidak akan lagi mendatangi peramal Kang.
Minseo penasaran, apa yang membuat Minho
mendadak tidak lagi mempercayai lelaki itu? bukankah justru sedari kecil,
keluarga Lee sudah menganggap mereka sebagai penasehat??
“Aku sudah putuskan itu... bersama
keluargaku,” jawab Minho, nada suaranya menjadi tegas.
“Apa.. termasuk juga bersama dengan para
tante dan pamanmu??,” tanya Minseo. Sebab, keluarga Minho bertindak seperti
keluarga besar. Jadi kalau ada masalah pada satu keluarga, keluarga yang lain
bisa turut campur. Hal yang dia temukan berbeda dengan keluarga Park.
Minho mengangguk. Jadi begitulah keluarga
besar itu menyelesaikan sebuah persoalan.
Minseo menyetujui saja keputusan tersebut
asalkan baik untuk Minho dan juga keluarga kecilnya itu. Dia cukup puas Minho
pada akhirnya sadar sendiri dengan keputusannya.
“Kamu tidak akan punya musuh lagi dong,”
mendadak Minho malah bercanda dengan isterinya.
Minseo tertawa cekikikan mendengar apa
yang baru dikatakan Minho. Dia membalas, mungkin saja jika sedari dulu dia
melakukan itu, tidak perlu mereka beberapa kali ribut soal ini. Minho memang ego
nya masih sangat tinggi dan dia merasa patut dihormati sebagai pemimpin rumah
tangga. Itu pula yang membuat Minseo harus banyak belajar sabar dengan sikapnya
dan akhirnya membuahkan hasil juga.
“Aku senang banget akhirnya kamu bisa
memutuskan ini,” senyum Minseo dengan manis kepada Minho.
Dia mencium pasangannya itu dengan lembut.
---------------------------------------------
Waktu berlalu...
Saatnya ketiga anak ini merayakan
ulangtahun pertama mereka... Minho begitu bahagianya melihat dan melalui perkembangan
mereka yang semakin sehat dan lincah. Terpancar dari wajah Minho dan ketiga
anak mereka, begitu bahagianya hari itu dalam pesta ulangtahun. Keluarga besar
baik dari Lee atau Park saling berdatangan, saling berbincang-bincang
mengakrabkan diri.
Namun, Minseo masih tetap waspada dengan
tingkah laku ke tiga anak kembarnya itu. Dia tetap khawatir, Jin Ho akan iseng
lagi.
Ketiga anak mereka sudah bisa berbicara,
walau masih kurang lancar, dan juga sudah bisa berjalan. Semua keluarga besar
Lee dan Park ingin sekali bermain dengan ketiganya.
Minseo mengundang Na Ra sebagai sahabat
terbaiknya. Minho senang saja, Minseo bisa mendapatkan teman di luar sana. Dan
memang mereka seperti sedang bernostalgia, karena Na Ra juga teman Minho kalau
mereka dulu akan mengadakan acara amal.
Jin Ho memegang bola, berusaha berlari
dari Young Joon yang ingin meminjam bola darinya. Hana hanya melihat kedua
kakaknya itu bermain. Jin Ho menendang-nendang bola, sedangkan Young Joon sudah
mulai cengeng, ingin meminjam bola dari kakak kembarnya itu, tapi tidak
diberikan oleh Jin Ho.
“Jin Ho.. bolaaaa...,” katanya, merengek.
Tapi Jin Ho malah tertawa-tawa, berlari,
memegang bola itu dan sama sekali tidak diberikan kepada adiknya itu.
“Aku.. mau.. bola.. Jin Ho,” kata Young
Joon, merengeknya tambah kencang. Dia lalu berjongkok, ingin menangis.
Jin Ho malah terkekeh adiknya itu
menderita karena tidak diberikan bola olehnya.
Minho sedang berbicara dengan beberapa
tante dan paman dari keluarga Park, menceritakan betapa senang dan bangga nya
atas perkembangan pertumbuhan ketiga anak nya itu.
Beberapa tante dan paman Minho
memperhatikan saja tingkah kembar tiga itu yang sedang bermain.
Hana mendadak memukul Jin Ho, kakaknya dan
berkata,” Nakal”.
Para tante dan paman Minho malah tertawa-tawa
dengan tingkah Hana yang dianggap lucu dan seperti mengerti apa yang dilakukan
Jin Ho kepada Young Joon adalah memang nakal.
Minseo dan Na Ra memperhatikan saja dari
jauh.
“apa Hana mulai membaca pikiran kakaknya
itu??,” tanya Na Ra.
Minseo menggeleng saja, tanda tidak tahu.
Ini menjadi semakin menarik bagi Na Ra.
Hana lantas menghampiri Jin Ho, hanya
menatap mata kakaknya itu, sementara, Young Joon masih merengek, meminta Jin Ho
meminjamkan bola.
Salah satu tante nya Minho menghampiri
mereka.
“hallo sayang... kalian mau main bola??,”
tanya tante itu dengan ramah.
Hana tidak menoleh, tetap matanya kepada
Jin Ho.
Young Joon menatap pada tante itu dan
meminta bola dari tangan Jin Ho.
Tantenya Minho menghampiri Hana dan Jin
Ho.
“Jin Ho.. Young Joon ingin meminjam bola
mu.. boleh??”.
Jin Ho juga tidak memperhatikan tantenya
Minho itu, tatapan matanya masih tertuju ke Hana.
Hana malah berkata,” Bola.. Jin Ho...
Young Joon,” dengan suara kecilnya yang terbata. Matanya masih menatap Jin Ho.
Tantenya Minho malah jadi heran dengan
sikap Hana, seperti yang sedang menghipnotis orang yang berdiri di depannya.
“oh... gawat, Na Ra.. Hana mulai lagi,”
kata Minseo.
Dia ingin sekali menghalangi Hana bermain
dengan pikirannya untuk Jin Ho, namun Na Ra mencegahnya, membiarkan saja hal
itu terjadi.
“Ini tidak bisa kubiarkan, Na Ra.. aku
tidak mau tantenya Minho keheranan,” bisik Minseo dengan cemas.
Na Ra tetao meminta Minseo untuk berpikir
tenang, tidak mengeluarkan kemampuannya untuk mencegah Hana, sampai dia meminta
Minseo melakukannya. Minseo mencoba mengerti apa maksud Na Ra.
“Jin Ho.. bola.. Young Joon..,” kata Hana
lagi, wajahnya terlihat tegas.
Tantenya Minho yang awalnya aneh malah
akhirnya tertawa, dia lalu berteriak pada Minho, meminta lelaki itu menghampiri
mereka.
“Kamu lihat tidak.. Minho?? anak
perempuanmu ini dewasa banget,” kata Tantenya.
“Minho... aduh..,” gundahnya Minseo makin
menjadi melihat itu.
Na Ra masih mencegahnya, dan tersenyum
kepada Minseo.
Minho malah berjongkok diantara Hana dan
Jin Ho yang saling berhadapan, dan Young Joon yang merengek dibelakang
kakaknya.
“Hana.. kamu sedang apa??,” tanya Minho,
ramah.
Namun Hana sama sekali tidak menoleh.
Lantas Minho melihat tatapan mata Jin Ho
yang seolah kosong, namun tertuju tepat pada mata Hana.
“Eh.. apa-apaan ini??,” tanya dia,
keheranan dalam hati.
Tak berapa lama.. Jin Ho langsung
membalikkan badannya ke Young Joon dan memberikan bola dari tangannya ke tangan
Young Joon.
Young Joon menerima saja bola itu dan dia
tertawa, berhenti menangis dan merengek.
Minho memperhatikan saja kejadian itu.
Minseo jadi galau, bagaimana kalau Minho tahu.. bahwa itu adalah tehnik
hipnotis??? Dia ingin mendatangi mereka, namun, sekali lagi, Na Ra melarangnya.
“Hana sudah mencoba kemampuannya di depan
suamiku.. ini gila, Na Ra.. ,” ujar Minseo, cemas.
“Kamu telah membiarkan Minho tahu soal
kemampuan mereka..padahal, selama ini aku menyembunyikannya,”
Na Ra malah mengambil gelas dan meminta
Minseo minum untuk menenangkan diri.
“mereka sudah satu tahun.. cepat atau lambat..
suamimu itu akan tahu.”
Minseo masih khawatir,” Tapi...tidak
sekarang, kan?? .”
“Aku melihat.. sepertinya Minho mu itu
tidak terlalu serius melihat itu...,” jawab Na Ra.
“Lihat deh..,”
Minseo lalu melihat mereka. Dilihatnya,
Minho menggendong Hana sekaligus ngobrol dengan tantenya dan membiarkan Young
Joon akhirnya bermain bola bersama Jin Ho.
“Minho sama sekali tidak sadar...,” senyum
Na Ra.
Rasanya, jantung Minseo mau copot saja.
Dia langsung menghampiri Minho dan ketiga anaknya karena Minho memanggilnya.
“waktunya tiup lilin...,” senyum Minho
padanya.
Minseo mengangguk, mereka lantas menuju
sebuah meja yang ada kue ulang tahun besar, menyalakan lilin, bernyanyi dan
meniup lilin bersama sekeluarga.
Minseo masih bisa lolos dari apa yang dia
cemaskan. Na Ra tersenyum saja dan memastikan... kalau Hana juga ternyata
memiliki kemampuan lebih, sama seperti Minseo.
Bersambung ke part 17....