Cerita ini cuma iseng saja, fiksi imajinasi... jangan dimasukin ke hati..
kalau masih serius juga.. tanggung sendiri deh..
Chie masih dirawat di rumah sakit. Memang
kondisinya sudah tidak separah beberapa hari lalu yang masih muntah dan tidak
mau makan. Hari ini, dia makan dengan semangat karena menjelang siang, dia
berjanji akan bertemu dokter Higa dari bagian makanan dan gizi. Dia begitu
bersemangat bertemu dengan dokter itu.
Higa menyapanya dengan ramah, diruangan
tempat Chie dirawat, langsung duduk di kursi samping tempat tidur Chie. Minho
menemaninya, supaya nanti apa yang mereka bicarakan akan mudah dimengerti oleh
Chie.
“haaa... yokatta desu ne (syukurlah-red), Higa-sensei.. aku memang sudah
bosan di rumah sakit..,” jawab Chie dengan nada ceria.
Minho senyum dengan pemaparan isterinya
itu. Chie memang sudah terlihat mulai tidak pucat lagi kulit wajahnya seperti
yang lalu.
“sebab.. pastinya Minho kun juga tidak
suka aku berlama-lama disini... dia pasti akan cerewet menyuruhku makan banyak,
Higa-sensei.. tadi malam.. Minho kun bilang aku pembohong,”
Higa senyum saja dengan pasien spesialnya
itu. Dia tidak memasukkan ke dalam hati, perkataan Chie baru saja. Dia hanya
menoleh pada Minho dan tersenyum pada dokter muda itu.
“perkembangannya.. kalau dilihat dari
fisik.. sudah lebih sehat, Lee-sensei,” kata Higa.
“Rhi sensei memang belum datang untuk
memeriksa.... mungkin sebentar lagi,” balas Minho pada Higa.
Pagi tadi, Chie diperiksa lagi kadar
hemoglobin darahnya, apakah menurun drastis seperti yang lalu. Mereka sengaja
memasukkan penambah darah via infus multivitamin karena kondisinya yang lalu
terbilang parah.
Chie lalu bertanya pada Higa, apakah dia
bisa makan sup kacang merah kesukaannya?? Dia berkata pada Higa, kalau Minho
marah karena dia tidak makan sup kacang beberapa hari lalu, jadi, dia harus
makan agar Minho tidak marah.
Minho yang mendengar itu ingin menahan
tawanya, namun dia akhirnya senyam senyum saja.
“Chie-chan.. harus makan banyak.. karena
makan untuk dua orang,” senyum Higa padanya. Higa memang dokter gizi perempuan
yang ramah pada setiap pasien.
“kami tidak ingin.. aka chan (bayi-red) kelaparan dan tidak bisa lagi menendang perut
Chie chan,” ujar Higa lagi mengikuti cara Minho berbicara.
Dia lalu memberikan contoh daftar makanan beserta
gambar nya pada Chie, dan meminta Chie membacanya.. mana yang bisa dia makan..
atau bahkan mana yang dilarang, agar kondisi mual, muntah dan perilakunya tidak
berubah.
“aku rasa.. aku tidak bisa makan pasta
semolina ini.. perutku sakit dan kepalaku pusing sekali,” katanya, setelah
membaca daftar makanan itu. Dia mencoret beberapa daftar makanan sendiri, tanpa
dibantu, baik oleh Higa atau Minho.
“maaf jika merepotkan Higa-sensei,” kata
Minho menunduk hormat pada dokter gizi itu.
“cream coklat pun.. sama sekali tidak
boleh ada gula buatannya, Higa-sensei,” lanjut Chie. Dia jadi seperti
menceramahi Higa, apa yang akan dia dapat jika dia “bocor pola makan”.
“ah... Chie chan lebih pintar dari aku
soal gizi dan makanan,” senyum Higa.
Chie tertawa renyah dengan perkataan
dokter itu baru saja. Lalu dia mengatakan, semua itu dia dapat karena
mencoba-coba sendiri, apa yang dimakannya.
“aku tidak ingin dia membentur-benturkan
kepalanya sendiri... atau berbicara asal lalu melakukan hal yang sebenarnya
dilarang... berbohong misalnya,” kata Minho pada Higa.
“naruhodo..
soshite, kore wa hijou ni juuyouna mondai desu (saya mengerti.. jadi ini
point yang penting sekali soal makanannya),” kata Higa serius pada Minho.
Minho mengangguk ,” hai.. hontou desu (ya.. sungguh)”, jawabnya pada Higa.
“Chie chan pintar sekali.. semua sudah
mengerti tentang makanannya sendiri.. jadi... tidak menyusahkanku sebagai
dokter mu,” senyum Higa padanya.
“ah Higa sensei.. kalau nanti aku salah
makan.. tentu yang paling menderita adalah Minho kun dan aka-chan,” balas Chie.
Nada suaranya masih bersemangat.
Dan dia menoleh pada Minho,” begitu kan.. Minho
kun??”.
“ya.. begitu,” jawab Minho singkat.
Chie bercerita pada Higa tentang kebiasaan
makannya dari kecil itu. Baginya hal itu tidak menyusahkannya. Otaknya memang
cepat menghafal.
“kami punya ibu asuh yang sampai sekarang
membantu kami untuk memasak makanannya. Beliau sudah sangat hafal,” ujar Minho
pada Higa.
Dokter itu percaya, sebab jika dilihat,
memang Chie walau termasuk kategori susah makan ini dan itu, namun dirinya
masih bisa mempertimbangkan perbagai makanan pintar memilih dan mendapat pendidikan
yang cukup baik.
“kebanyakan memang ada saja kesalahan
metabolisme akhir beberapa zat gizi dikalangan mereka,”
Minho mengangguk. Hal itu memang nyata dan
sekarang terjadi pada isterinya.
“sebenarnya... aku termasuk kaget
mendapatkan pemaparan dari Suzuki sensei tentang kondisinya”, kata Higa lagi.
“ekstrim bukan??,” tanya Minho, satu
alisnya naik.
Higa mengangguk. Namun Minho tidak ingin
isterinya itu berlama-lama di rumah sakit karena kondisi darahnya yang ekstrim.
Sehingga Higa harus menyusun lagi makanan yang tidak membuat penggumpalan
darah, namun juga tidak membuat hemoglobin/keping darah Chie menurun drastis.
“ini kasus langka, Lee-sensei.. ,” kata
Higa.
Minho sungguh menyerahkan masalah ini pada
rekan sejawatnya yang lebih ahli darinya. Pengetahuannya belum bisa menjangkau
kasus yang dialami Chie.
“tampaknya.. sensitivitas tubuhnya juga
sungguh rendah..,” kata Higa lagi.
Chie memang tidak seperti merasakan sakit.
Sakitnya baru dia rasakan ketika sudah benar-benar parah.
“respon tubuhnya begitu rendah...
menurutku.. hal ini yang sebenarnya harus ditangani oleh Suzuki sensei.. atau
Rhi sensei,” katanya lagi.
“chie chan tidak bisa makan makanan yang
menghambat pembentukan zat besi.. juga tidak bisa yang meningkatkan zat besinya
dengan cepat... besok atau paling cepat sore ini, akan saya usahakan lagi
membuat daftar makanan itu sebanyak mungkin... dan membiarkan dia merasakan
atau memilih, mana makanan yang masih bisa masuk ke badannya,”
Minho sangat sangat berterima kasih pada
rekannya itu. Karena memang kondisi ibu hamil tidak boleh kekurangan zat besi
agar anaknya tidak mengalami cacat janin. Itu yang dikhawatirkannya. Selain
juga bisa mengubah perilaku Chie menjadi kasar atau mungkin melakukan hal
diluar normal.
Higa bertanya itu, apa pernah Chie memakan
sesuatu yang aneh dengan sepengetahuan Minho? atau berteriak-teriak marah
karena sakit kepala yang tidak tertahankan?
“Crayon.. dia makan crayon tanpa merasa
berdosa...sampai aku marah,” jawab Minho, serius.
“Ya.. kemungkinan saat dia memakan itu..
kadar hemoglobin dalam darahnya sedang posisi rendah.. begitulah,” balas Higa.
“tapi dia tidak merasakan sama sekali
kalau itu rendah. Jika tubuh kita normal, mungkin sudah tidak nafsu makan, mual
dan mungkin mata bengkak,” lanjut Higa lagi.
“Higa sensei bisa melihatnya.. dia akan
merasakan itu baru ketika gejala sudah semakin parah,” balas Minho.
Higa mengangguk. Kondisi khusus memang
harus ditangani juga secara khusus. Kemungkinan Chie bisa pulang lusa jika
kadar hemoglobin dan pemeriksaan darah lainnya sudah normal lagi, atau
mendekati normal.
Higa dan Minho memandang Chie yang
ternyata sedang asik membaca buku, yang mereka tinggalkan karena pembicaraan
serius. Higa menghampirinya lagi.
“Kalau Chie chan sehat... bisa pulang
lusa,”
“namun.. masih ada pemeriksaan lagi.. dan
sore ini.. aku akan memberikan lagi Chie chan beberapa bahan makanan yang bisa
Chie chan makan.. dan bisa membantu aka-chan menjadi sehat,” senyum Higa
padanya.
Chie menaruh bukunya, ternyata dia tidak
cuek dengan perkataan Higa baru saja. Dia berterima kasih Higa mau membantu
kesehatannya dan bayinya.
“wah.. aka chan menendangku.. apa dia
berterima kasih juga kepada Higa sensei??,”
Higa tertawa mendengar perkataan Chie.
Minho begitu senang. Dia duduk disamping tempat tidur Chie dan memegang lembut
tangannya.
“pasti dia mengatakan.. kalau ibunya harus
sehat.. supaya bisa lebih sering main bola” tawa dan canda Higa.
“Lihat Chie chan.. para dokter disini
begitu perhatian dengan kamu dan aka-chan,” senyum Minho padanya.
Chie mengangguk senang. Kunjungan Higa
akan segera berakhir pagi menjelang siang itu. Jika memungkinkan, dia akan
datang lagi sore untuk memberikan list makanan berserta gambarnya agar bisa
disusun dirumah.
Higa pun pamit, meninggalkan Minho dan
Chie di kamar rawat inap itu.
---------------------------------------
Hiroshima...
“aku sangat kaget ketika mendengar Minho kun
berbicara tentang perjanjian itu, Ayah,” kata Marisa, salahsatu kakak Minho
yang seorang psikolog, kepada ayah dan ibu mereka di ruang tengah.
“perjanjian apa?? Aku tidak memiliki
perjanjian apapun dengan Minho”.
Ayahnya begitu kaget, dia memang tidak
tahu menahu soal itu. Jelas, memang hal itu hanya perjanjian antara ibu dan
anak.
“Ibu.. yang melakukannya bersama Minho
kun,” balas Marisa.
“apa lagi ini??,” tanya ayahnya dengan
serius, lalu menoleh pada isterinya.
Isterinya diam sejenak. Lalu, Marisa lah
yang angkat bicara.
“Ibu memaksa Minho kun untuk membuat
perjanjian soal anak mereka,”
“Itu tidak benar.. aku hanya tidak ingin
cucuku sama dengan ibunya!,” bentak dan serobot Mayuko, sang Ibu.
“Ibu tidak bisa begitu.. itu akan
menyakiti hati Chie chan.. jika dia tahu.. dia itu sama saja dengan kita, ibu..
dia punya perasaan.. punya pikiran...punya emosi,” balas Marisa dengan sedikit
sengit.
Lee membiarkan saja ibu dan anak itu
saling bicara, dia ingin melihat dari dua sisi, apa yang sebenarnya telah
terjadi.
Marisa terus membeberkan fakta pembicaraan
antara dia dan Minho, bagaimana dia dicurhati adik lelaki bungsunya itu sampai
detail. Mayuko tidak bisa menghindar dengan pembicaraan itu. Lee pun heran,
kenapa tidak ada pembicaraan akhir-akhir ini antara dia dengan Minho. Dia sama
sekali tidak curiga dengan kondisi anaknya, yang dalam pikirannya, mungkin saja
sedang sibuk karena harus menjadi ketua divisi.
“jadi.. begitu masalahnya??,” tanya nya
kepada isteri dan anaknya.
Marisa mengangguk mengiyakan. Lee sungguh
tidak tahu, kalau isterinya bertindak sejauh itu.
“apa aku salah.. menginginkan cucu yang
tidak sama dengan ibunya??,” bela Mayuko untuk pendapat dirinya sendiri.
Lee tidak ingin menyalahkan isterinya,
sebab dia tahu, apa yang diderita pasangannya itu, sebuah kondisi psikologis
yang membuat Mayuko sering mengalami kekhawatiran berlebihan. Lee tidak
memvonis Mayuko salah dalam kasus ini, hanya, tidak tepat.
“Kita semua tahu, bahwa Minho kun bukan
anak yang suka melanggar aturan dirumah atau dimanapun.. namun.. kali ini.. dia
berhak memiliki kehidupannya sendiri... tidak ada yang bisa mengatur dia dan
Chie chan... termasuk kita sendiri sebagai orangtua,” katanya kepada isterinya.
Marisa diam saja, dia merasa cukup hanya
memberikan informasi tentang hal ini kepada ayahnya.
“sama atau tidak.. kita belum tahu.. Minho
kun harus melakukan tes filli sampling..
agar tahu, apakah anak mereka cenderung normal atau ada kecenderungan kesalahan
genetika,”
“jangan mendahului Tuhan soal seperti
ini,” katanya lagi, menasehati isterinya.
“Kamu terlalu tidak khawatir dengan semua
ini, Anata .. terlalu santai!,” geram
isterinya.
“aku tidak begitu.. itu sudah keputusannya
menikah.. tidak perlu ada hal lain lagi yang dikhawatirkan.. ,” balas Lee
dengan nada sedikit tinggi.
“batalkan perjanjian itu.. sama sekali
kita jadi tidak menghargai keluarga Nakamura jika begini jadinya,” lanjutnya
lagi.
Tiba-tiba Marisa memotong, mengatakan,
bahwa Minho akan segera kesini setelah Chie sembuh dari sakitnya.
Lee kaget, Minho juga tidak memberikan
kabar itu padanya. Ternyata, anak lelaki bungsunya itu lebih percaya bercerita
pada anak tengahnya.
Marisa menceritakan kondisi adik iparnya
itu kepada kedua orangtuanya.
Mayuko semakin merasa menang dengan
pendapatnya.
“sudah ku katakan bukan.. kalau kondisinya
akan semakin parah?? Aku pernah membaca.. yang seperti ini bisa saja membuat
anaknya sama dengan ibunya suatu hari nanti,”
Lee jadi berfikir. Memang dunia medis
tentang autisme terus berkembang. Tidak cukup hanya satu faktor yang
mempengaruhi, apa saja bisa terjadi. Semuanya bisa saja terjadi, tidak tentu
kemungkinannya. Penyakit yang diderita ibu hamil, kelainan genetika, salah
minum obat atau kebanyakan minum obat, polusi atau kelainan genetika mendadak
karena sebuah penyakit, dll. Salah satunya memang apa yang dikatakan isterinya
itu benar.
“kekhawatiranmu terlalu berlebihan,” balas
Lee dengan nada yang masih tenang.
“aku tidak ingin kamu kembali ke masa
lalu,” lanjutnya lagi.
“sedari awal.. aku tidak setuju Minho kun
menikah dengannya.. keputusan yang benar-benar nekat,” balas Mayuko.
Intonasinya masih antara sebal, kesal dengan semuanya.
“bagaimana kalau nanti cucu pertamaku akan
jadi anak autis seperti ibunya?? Apa kata teman-temanmu?? Apa kata semua
perkumpulan ku??”.
Lee sungguh kecewa dengan pandangan
isterinya. Dia memang bukan lelaki kejam terlalu mengekang anak. Dia pun
menikah dengan Mayuko yang memiliki sebuah kelainan psikologis dengan
pertimbangan cinta, bukan karena penyakitnya itu.
“aku tetap tidak suka dengan pendapatmu..
batalkan perjanjian itu,” balasnya pada Mayuko.
“kamu seharusnya mengerti, apa yang harus
kita lakukan kalau memang hal itu terjadi??,” wajah Mayuko berubah menjadi
khawatir sekali.
Lee santai saja dengan ekspresi itu. Dia
sudah tidak aneh lagi mengenal pasangannya yang sudah hidup bersama lebih dari
30 tahun pernikahan.
“sudahlah.. batalkan saja.. aku sama
sekali tidak akan malu jika memang anak mereka akan menjadi autistik,” balas
Lee masih dengan intonasi santai, seperti tidak peduli atas perasaan isterinya.
Dia seorang psikiater, jadi menghadapi yang seperti itu tidak takut sama
sekali. Tidak seperti isterinya yang memang mantan pasiennya.
“aku tidak ingin hal itu terjadi, Anata!,”
mendadak wajah Mayuko berubah lebih panik lagi. Dia berdiri dan berteriak pada
suaminya sendiri.
“Urusai
(sudah diam) ! Semua itu tidak akan
terjadi kalau kamu tidak berpikir duluan seperti itu! sudahlah!,” Lee gantian meninggikan
intonasinya.
“kekhawatiranmu yang terlalu berlebihan
itu yang bisa membuat cucumu akan bisa mengalami hal yang sama dengan ibunya
sendiri,” lanjut Lee lagi.
“Jika kamu masih saja berfikir seperti
itu.. aku sendiri yang akan mengambil alih perjanjian antara Minho kun
denganmu,”
Mayuko diam kalau sudah begitu, walau
dalam hatinya masih ada pembangkangan.
“aku tidak ingin kamu sakit memikirkan hal
ini,” kata Lee pada isterinya itu.
“sudahlah Ibu.. hal itu belum tentu
terjadi dan ibu tidak perlu takut,” kata Marisa dengan suara lembut. Dia tidak
ingin menyakiti perasaan ibunya.
Mayuko diam, lalu dengan suara yang
bergetar menahan marah, dia hanya berkata,” kalian benar-benar tidak mengerti
perasaanku”.
Lalu dia berjalan menuju kamar tidur. Lee
mendiamkan saja isterinya berkata itu. Bukan tidak mengerti, dia tidak ingin
kekhawatiran ini berkembang menjadi sebuah kenyataan.
“ibu terlalu khawatir, ayah,” keluh
Marisa.
“aku yang akan bicara dengan Minho kun
selepas ini.. aku yang berhak membatalkan perjanjian ini... cepat atau lambat..
,” jawab Lee.
Marisa menunduk hormat kepada orangtuanya.
Tugasnya memberitahukan dan menyampaikan pesan Minho kepada kedua orangtuanya
sudah selesai. Dia meminta maaf atas pertengkaran yang baru saja terjadi antara
mereka. Lee tidak mempermasalahkan itu. Dia malah menganggap hal ini penting
untuk dibahas, karena menyangkut masa depan cucu pertamanya.
“apakah ada seseorang yang mempengaruhi
pikiran ibu mu sehingga dia nekat berbuat itu??,”
“aku tidak tahu, ayah... mungkin saja..,”
Lee menghela nafas. Marisa berkata bahwa
dia baru saja mendapatkan pesan dari Minho kalau Chie masih berada di
rumahsakit dan mungkin baru bisa pulang lusa.
“ayah.. tidak akan memperlakukan cucu
ayah.. seperti pikiran ibu... jika memang cucu pertama ayah adalah seorang
autistik??,” tanya Marisa.
Lee diam sejenak. Pertanyaan itu sulit di
jawab, namun dia tidak ingin hal itu terjadi. Akan ada banyak perasaan, dapat
saja berawal dari pengingkaran kondisi, merasa tertekan dengan lingkungan
sosial, dikucilkan, atau bahkan tidak diakui sama sekali dalam lingkup keluarga
besar.
“Tidak mungkin aku berfikir jauh sampai
harus membuang cucu ku ke panti asuhan.. ,” jawab Lee dengan tegas.
“kamu lihat bukan.. apa ada baik Minho
atau Yuki.. atau kamu sendiri.. menderita penyakit yang sama dengan ibumu??,”
Marisa menggeleng. Memang semua anak-anak
Lee termasuk sehat secara fisik dan psikologi, tidak ada yang mewarisi kelainan
psikologi dari ibu mereka.
“aku akan terus meyakinkan ibumu.. kalau
hal ini tidak akan terjadi,” ujar Lee lagi.
“andai terjadipun.. aku tidak akan
membiarkan lingkungan merendahkan cucuku”.
Marisa hanya menunduk hormat dengan
keputusan ayahnya yang menurutnya terbaik.
------------------------------------------
“jadi.. lusa.. kamu benar-benar akan
pulang dari Amerika??”, tanya Minho. Ternyata dia mendapatkan telepon dari
Jerry.
“Ya, Pak ketua Divisi.. aku kembali,” kata
Jerry, dengan canda khasnya, menjawab pertanyaan Minho.
“dan aku siap membantumu untuk sementara..
masih nyambung kok.. aku juga mempelajari kimia fisika orang dengan otak
khusus,” lanjutnya.
“kamu memang ku butuhkan sekali.. apalagi
dalam kondisi seperti ini,” balas Minho.
“what??
Is there something wrong, my pal??,” pancing Jerry.
“biasa.. soal kesehatan Chie chan.. dan
keluargaku... berharap cepat selesai,” balas Minho.
“Mr koleris tidak pernah ada kata
menyerah,” balas Jerry. Dia tahu, bagaimana sikap Minho yang rajin, punya daya
juang tinggi jika ingin mendapatkan sesuatu yang diimpikan.
Minho akan berdiskusi dengan atasan
mereka, kepala rumah sakit, agar bisa mengatur jadwal Jerry dengan segera
begitu dia sampai Jepang. Rumah sakit itu memang terbilang kekurangan tenaga
medis walau ada banyak calon dokter belajar disana.
“begitu kaki ku sampai tanah Jepang.. kamu
wajib menceritakan apa yang terjadi pada isterimu dan keluargamu, Minho kun..
aku kangen curhatanmu, Mr Koleris,” canda Jerry.
Minho tertawa saja dengan canda sahabatnya
itu. Dia, Jerry dan Ken memang bersahabat baik sejak pertama kali mereka
menginjakkan kaki menjadi mahasiswa fakultas kedokteran umum, sampai saat ini
masih tetap saling curhat dan ngobrol enggak karuan di saat jam istirahat. Karakter
masing-masing yang berbeda justru menguatkan persahabatan mereka yang saling
mengisi.
“aku memang benar-benar kangen masa-masa
kita menggoda si Kaito,” canda Jerry lagi.
Minho tertawa saja. Semenjak dia meminta
Chie untuk berhenti dikegiatan on air atau tivi dalam seni peran, dia jadi
jarang bertemu waria itu. Dia hanya akan berurusan dengan orang itu kalau ada
cerita Chie yang bisa dimuat dalam koran atau majalah atau dijadikan buku
bacaan ringan. Walau begitu, dia masih berhubungan baik dengan waria itu.
“ada masalah antara keluarga mu dengan
keluarga Nakamura san??,” tanya Jerry.
Minho mengelak. Memang dia tidak ada
masalah dengan keluarga isterinya. Justru masalah datang dari keluarganya
sendiri, masih urusannya dengan ibunya. Dia tidak ingin menceritakannya dahulu
sebelum Jerry kembali ke Jepang.
Jerry merasa tidak ada yang aneh dengan
percakapan mereka itu. Dia hanya bercanda-canda dengan Minho lalu tak berapa
lama, menutup teleponnya.
Minho duduk. Ruangannya sepi, jam
prakteknya sudah habis. Dia masih saja diam, memikirkan segala kemungkinan yang
dapat saja terjadi esok. Siang tadi, Rhi berbicara padanya soal kemungkinan
sakit yang diderita Chie.
“Jika kita usahakan dengan sebaik mungkin,
darah Chie chan tidak perlu dibuang.. justru akan membahayakan kondisinya..
kita berikan saja dia pola diet yang benar-benar sehat.. dan Higa sensei bisa
membantunya.. aku hanya akan mengontrol darahnya,” kata Rhi dalam pembicaraan
siang tadi.
“Kamu yakin kan.. tidak akan ada namanya
leukemia??,” tanya Minho. Tentu saja hal itu bisa membuatnya gundah.
“Kondisinya yang double khusus ini lebih
memungkinkan Higa sensei mengawasinya.. aku tidak ingin isterimu berurusan
dengan banyak obat,” ujar Rhi.
Minho mengangguk dan mengerti. Rhi cukup
bijak membantunya dengan minimalisasi kejadian buruk yang bisa saja terjadi
antara Chie dan bayinya.
Dia masih merenung di ruangan itu...
sampai dia mendengar suara ketukan pintu ruangannya... dan ternyata, Ken yang
masuk ruangannya.
“jadi.. kamu sudah tahu.. kalau Jerry kun
akan kembali??,” tanya Minho pada Ken.
Ken mengangguk. Dia duduk diatas meja, di
depan Minho.
Minho katakan bahwa dia sudah mengatur
jadwal praktek Jerry, jadi tidak ada masalah dengannya dari sisi pekerjaan.
Ken bertanya, apa Chie sudah sehat? Minho
bilang kalau lusa isterinya sudah bisa pulang.
“tidak ada perkembangan lain dengan
ibumu??,” Ken malah jadi kepo.
Minho hanya menjawab, kalau dia akan sibuk
dulu dengan menyehatkan Chie, agar anak dalam kandungannya juga tidak sakit.
Ken setuju saja dengan apa yang dilakukan Minho, menurutnya, hal itu juga sudah
tepat.
“ibu mu sangat aneh, Minho kun...
ketakutannya sangat tinggi,”
Akhirnya, Minho cerita, kalau dia minta
tolong pada kakaknya soal perjanjian itu, agar dibatalkan.
“segera dibatalkan.. aku tidak ingin hal
ini menjadi traumatisme bagi Chie chan,” kata Ken dengan mimik serius.
Minho memang sangat menginginkan itu.
bahkan terakhir dia sangat terkejut dengan beberapa perkataan Chie tentang
dirinya sendiri, seolah-olah dia menjadi manusia yang pesimis dalam hidup,
seperti bukan Chie yang dia kenal.
Ken berfikir, mungkin ada seseorang yang
mendesaknya sehingga sampai dia berkata seperti itu pada Minho. Minho memang
tidak sejauh itu menelusuri. Jika hal itu benar, dia curiga, bahwa kepesimisan
isterinya itu datang dari ibunya.
“Ah.. lagi-lagi retak hubungan antara
menantu dan mertua,” ujar Ken.
“bukan mauku seperti itu.. tapi ibuku,”
balas Minho.
“Nakamura-san dan keluarganya tidak boleh
tahu hal ini.. bisa gawat.. mereka bisa menuduhmu macam-macam jika sesuatu yang
buruk terjadi pada Chie chan,” kata Ken dengan mimik yang masih serius.
Minho berdiri lalu menghadap jendela. Dia
katakan pada Ken kalau sedari awal mereka dulu berkenalan dengan Chie karena
selective mutism (penyakit bisu sementara karena depresi) memang dia sudah
tertarik dengan keunikan perempuan itu, tidak pernah menyangka bahwa perempuan
yang dia suka itu dianggap dalam dunia psikologi sebagai perempuan memiliki
kelainan. Tanpa dia pikirkan sama sekali hal lain, dia memang sudah suka.
“Kamu memang seorang koleris sejati, Minho
kun.. berani mengambil keputusan yang tidak populer dikalangan ...mungkin
hampir seluruh manusia di dunia ini,”
Ken mulai lagi agak lebay nya. Namun, memang seperti itulah karakter Minho, berani
mengambil keputusan tidak populer. Semua orang ketakutan akan pasangannya jika
memiliki kelainan, namun tidak dengannya. Dia sedikit banyak mencontoh karakter
ayahnya daripada ibunya yang memang juga memiliki disorder (kelainan).
“Aku tidak mengerti jalan pikiran ibu
mu...namun apa yang kakakmu akan lakukan adalah benar.. kalau aku jadi dia..
aku akan membantumu menyelesaikan ini semua”.
Minho berharap memang Marisa akan
membantunya membatalkan ini semua. Namun, dia hanya mengabari kakaknya itu
kalau Chie sedang sakit dan Marisa belum sempat menulis jawaban terakhir atas
bantuannya.
Minho juga bilang, hari ini keluarga
Nakamura baru akan mengunjungi Chie karena sibuknya mereka, terutama ayah Chie.
“aku tidak bisa membayangkan... orang yang
membutuhkan perhatian lebih.. namun hidup dalam lingkungan kesibukan,” kata
Ken.
Sebagaimana modernya pandangan Minho,
Jerry dan Ken, mereka lahir dari keluarga tradisional. Mereka tetap mengikatkan
diri pada keluarga (orangtua).
Ken menepuk-nepuk pundak Minho,
menyemangatinya untuk tidak khawatir dengan keputusan buruk ibunya yang memaksa
dalam perjanjian.
“aku yakin, kakakmu bisa membantu kalian,”
Minho memang berharap itu. Dia memandang
jendela, melihat ke bawah gedung. Ada banyak anak kecil yang sedang sakit,
keluar ruangan rumah sakit, bermain dengan para suster yang sedang merawat
mereka. Mereka anak-anak normal. Minho jadi berkhayal, semoga anak mereka tidak
memiliki spektrum kelainan seperti isterinya, Chie.... maka, kehidupan
rumahtangganya akan selamat...
Bersambung ke part 8....