This is me....

Senin, Januari 25, 2016

Heal Me, Doc, season II (Part 7: Aku Mohon.. Batalkan Perjanjian Itu)

Cerita ini cuma iseng saja, fiksi imajinasi... jangan dimasukin ke hati.. kalau masih serius juga.. tanggung sendiri deh..

Chie masih dirawat di rumah sakit. Memang kondisinya sudah tidak separah beberapa hari lalu yang masih muntah dan tidak mau makan. Hari ini, dia makan dengan semangat karena menjelang siang, dia berjanji akan bertemu dokter Higa dari bagian makanan dan gizi. Dia begitu bersemangat bertemu dengan dokter itu.
Higa menyapanya dengan ramah, diruangan tempat Chie dirawat, langsung duduk di kursi samping tempat tidur Chie. Minho menemaninya, supaya nanti apa yang mereka bicarakan akan mudah dimengerti oleh Chie.
“Kondisi Chie-chan.. kata Suzuki-sensei.. sudah mulai membaik,” senyum Higa padanya.
“haaa... yokatta desu ne (syukurlah-red), Higa-sensei.. aku memang sudah bosan di rumah sakit..,” jawab Chie dengan nada ceria.
Minho senyum dengan pemaparan isterinya itu. Chie memang sudah terlihat mulai tidak pucat lagi kulit wajahnya seperti yang lalu.
“sebab.. pastinya Minho kun juga tidak suka aku berlama-lama disini... dia pasti akan cerewet menyuruhku makan banyak, Higa-sensei.. tadi malam.. Minho kun bilang aku pembohong,”

Higa senyum saja dengan pasien spesialnya itu. Dia tidak memasukkan ke dalam hati, perkataan Chie baru saja. Dia hanya menoleh pada Minho dan tersenyum pada dokter muda itu.
“perkembangannya.. kalau dilihat dari fisik.. sudah lebih sehat, Lee-sensei,” kata Higa.
“Rhi sensei memang belum datang untuk memeriksa.... mungkin sebentar lagi,” balas Minho pada Higa.
Pagi tadi, Chie diperiksa lagi kadar hemoglobin darahnya, apakah menurun drastis seperti yang lalu. Mereka sengaja memasukkan penambah darah via infus multivitamin karena kondisinya yang lalu terbilang parah.
Chie lalu bertanya pada Higa, apakah dia bisa makan sup kacang merah kesukaannya?? Dia berkata pada Higa, kalau Minho marah karena dia tidak makan sup kacang beberapa hari lalu, jadi, dia harus makan agar Minho tidak marah.
Minho yang mendengar itu ingin menahan tawanya, namun dia akhirnya senyam senyum saja.

“Chie-chan.. harus makan banyak.. karena makan untuk dua orang,” senyum Higa padanya. Higa memang dokter gizi perempuan yang ramah pada setiap pasien.
“kami tidak ingin.. aka chan (bayi-red) kelaparan dan tidak bisa lagi menendang perut Chie chan,” ujar Higa lagi mengikuti cara Minho berbicara.
Dia lalu memberikan contoh daftar makanan beserta gambar nya pada Chie, dan meminta Chie membacanya.. mana yang bisa dia makan.. atau bahkan mana yang dilarang, agar kondisi mual, muntah dan perilakunya tidak berubah.
“aku rasa.. aku tidak bisa makan pasta semolina ini.. perutku sakit dan kepalaku pusing sekali,” katanya, setelah membaca daftar makanan itu. Dia mencoret beberapa daftar makanan sendiri, tanpa dibantu, baik oleh Higa atau Minho.
“maaf jika merepotkan Higa-sensei,” kata Minho menunduk hormat pada dokter gizi itu.
“cream coklat pun.. sama sekali tidak boleh ada gula buatannya, Higa-sensei,” lanjut Chie. Dia jadi seperti menceramahi Higa, apa yang akan dia dapat jika dia “bocor pola makan”.
“ah... Chie chan lebih pintar dari aku soal gizi dan makanan,” senyum Higa.
Chie tertawa renyah dengan perkataan dokter itu baru saja. Lalu dia mengatakan, semua itu dia dapat karena mencoba-coba sendiri, apa yang dimakannya.
“aku tidak ingin dia membentur-benturkan kepalanya sendiri... atau berbicara asal lalu melakukan hal yang sebenarnya dilarang... berbohong misalnya,” kata Minho pada Higa.
naruhodo.. soshite, kore wa hijou ni juuyouna mondai desu (saya mengerti.. jadi ini point yang penting sekali soal makanannya),” kata Higa serius pada Minho.
Minho mengangguk ,” hai.. hontou desu (ya.. sungguh)”, jawabnya pada Higa.
“Chie chan pintar sekali.. semua sudah mengerti tentang makanannya sendiri.. jadi... tidak menyusahkanku sebagai dokter mu,” senyum Higa padanya.
“ah Higa sensei.. kalau nanti aku salah makan.. tentu yang paling menderita adalah Minho kun dan aka-chan,” balas Chie. Nada suaranya masih bersemangat.
Dan dia menoleh pada Minho,” begitu kan.. Minho kun??”.
“ya.. begitu,” jawab Minho singkat.
Chie bercerita pada Higa tentang kebiasaan makannya dari kecil itu. Baginya hal itu tidak menyusahkannya. Otaknya memang cepat menghafal.
“kami punya ibu asuh yang sampai sekarang membantu kami untuk memasak makanannya. Beliau sudah sangat hafal,” ujar Minho pada Higa.

Dokter itu percaya, sebab jika dilihat, memang Chie walau termasuk kategori susah makan ini dan itu, namun dirinya masih bisa mempertimbangkan perbagai makanan pintar memilih dan mendapat pendidikan yang cukup baik.
“kebanyakan memang ada saja kesalahan metabolisme akhir beberapa zat gizi dikalangan mereka,”
Minho mengangguk. Hal itu memang nyata dan sekarang terjadi pada isterinya.
“sebenarnya... aku termasuk kaget mendapatkan pemaparan dari Suzuki sensei tentang kondisinya”, kata Higa lagi.
“ekstrim bukan??,” tanya Minho, satu alisnya naik.
Higa mengangguk. Namun Minho tidak ingin isterinya itu berlama-lama di rumah sakit karena kondisi darahnya yang ekstrim. Sehingga Higa harus menyusun lagi makanan yang tidak membuat penggumpalan darah, namun juga tidak membuat hemoglobin/keping darah Chie menurun drastis.
“ini kasus langka, Lee-sensei.. ,” kata Higa.
Minho sungguh menyerahkan masalah ini pada rekan sejawatnya yang lebih ahli darinya. Pengetahuannya belum bisa menjangkau kasus yang dialami Chie.
“tampaknya.. sensitivitas tubuhnya juga sungguh rendah..,” kata Higa lagi.
Chie memang tidak seperti merasakan sakit. Sakitnya baru dia rasakan ketika sudah benar-benar parah.
“respon tubuhnya begitu rendah... menurutku.. hal ini yang sebenarnya harus ditangani oleh Suzuki sensei.. atau Rhi sensei,” katanya lagi.
“chie chan tidak bisa makan makanan yang menghambat pembentukan zat besi.. juga tidak bisa yang meningkatkan zat besinya dengan cepat... besok atau paling cepat sore ini, akan saya usahakan lagi membuat daftar makanan itu sebanyak mungkin... dan membiarkan dia merasakan atau memilih, mana makanan yang masih bisa masuk ke badannya,”
Minho sangat sangat berterima kasih pada rekannya itu. Karena memang kondisi ibu hamil tidak boleh kekurangan zat besi agar anaknya tidak mengalami cacat janin. Itu yang dikhawatirkannya. Selain juga bisa mengubah perilaku Chie menjadi kasar atau mungkin melakukan hal diluar normal.
Higa bertanya itu, apa pernah Chie memakan sesuatu yang aneh dengan sepengetahuan Minho? atau berteriak-teriak marah karena sakit kepala yang tidak tertahankan?
“Crayon.. dia makan crayon tanpa merasa berdosa...sampai aku marah,” jawab Minho, serius.
“Ya.. kemungkinan saat dia memakan itu.. kadar hemoglobin dalam darahnya sedang posisi rendah.. begitulah,” balas Higa.
“tapi dia tidak merasakan sama sekali kalau itu rendah. Jika tubuh kita normal, mungkin sudah tidak nafsu makan, mual dan mungkin mata bengkak,” lanjut Higa lagi.
“Higa sensei bisa melihatnya.. dia akan merasakan itu baru ketika gejala sudah semakin parah,” balas Minho.
Higa mengangguk. Kondisi khusus memang harus ditangani juga secara khusus. Kemungkinan Chie bisa pulang lusa jika kadar hemoglobin dan pemeriksaan darah lainnya sudah normal lagi, atau mendekati normal.

Higa dan Minho memandang Chie yang ternyata sedang asik membaca buku, yang mereka tinggalkan karena pembicaraan serius. Higa menghampirinya lagi.
“Kalau Chie chan sehat... bisa pulang lusa,”
“namun.. masih ada pemeriksaan lagi.. dan sore ini.. aku akan memberikan lagi Chie chan beberapa bahan makanan yang bisa Chie chan makan.. dan bisa membantu aka-chan menjadi sehat,” senyum Higa padanya.
Chie menaruh bukunya, ternyata dia tidak cuek dengan perkataan Higa baru saja. Dia berterima kasih Higa mau membantu kesehatannya dan bayinya.
“wah.. aka chan menendangku.. apa dia berterima kasih juga kepada Higa sensei??,”
Higa tertawa mendengar perkataan Chie. Minho begitu senang. Dia duduk disamping tempat tidur Chie dan memegang lembut tangannya.
“pasti dia mengatakan.. kalau ibunya harus sehat.. supaya bisa lebih sering main bola” tawa dan canda Higa.
“Lihat Chie chan.. para dokter disini begitu perhatian dengan kamu dan aka-chan,” senyum Minho padanya.
Chie mengangguk senang. Kunjungan Higa akan segera berakhir pagi menjelang siang itu. Jika memungkinkan, dia akan datang lagi sore untuk memberikan list makanan berserta gambarnya agar bisa disusun dirumah.
Higa pun pamit, meninggalkan Minho dan Chie di kamar rawat inap itu.
                                                ---------------------------------------
Hiroshima...
“aku sangat kaget ketika mendengar Minho kun berbicara tentang perjanjian itu, Ayah,” kata Marisa, salahsatu kakak Minho yang seorang psikolog, kepada ayah dan ibu mereka di ruang tengah.
“perjanjian apa?? Aku tidak memiliki perjanjian apapun dengan Minho”.
Ayahnya begitu kaget, dia memang tidak tahu menahu soal itu. Jelas, memang hal itu hanya perjanjian antara ibu dan anak.
“Ibu.. yang melakukannya bersama Minho kun,” balas Marisa.
“apa lagi ini??,” tanya ayahnya dengan serius, lalu menoleh pada isterinya.
Isterinya diam sejenak. Lalu, Marisa lah yang angkat bicara.
“Ibu memaksa Minho kun untuk membuat perjanjian soal anak mereka,”
“Itu tidak benar.. aku hanya tidak ingin cucuku sama dengan ibunya!,” bentak dan serobot Mayuko, sang Ibu.
“Ibu tidak bisa begitu.. itu akan menyakiti hati Chie chan.. jika dia tahu.. dia itu sama saja dengan kita, ibu.. dia punya perasaan.. punya pikiran...punya emosi,” balas Marisa dengan sedikit sengit.
Lee membiarkan saja ibu dan anak itu saling bicara, dia ingin melihat dari dua sisi, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Marisa terus membeberkan fakta pembicaraan antara dia dan Minho, bagaimana dia dicurhati adik lelaki bungsunya itu sampai detail. Mayuko tidak bisa menghindar dengan pembicaraan itu. Lee pun heran, kenapa tidak ada pembicaraan akhir-akhir ini antara dia dengan Minho. Dia sama sekali tidak curiga dengan kondisi anaknya, yang dalam pikirannya, mungkin saja sedang sibuk karena harus menjadi ketua divisi.

“jadi.. begitu masalahnya??,” tanya nya kepada isteri dan anaknya.
Marisa mengangguk mengiyakan. Lee sungguh tidak tahu, kalau isterinya bertindak sejauh itu.
“apa aku salah.. menginginkan cucu yang tidak sama dengan ibunya??,” bela Mayuko untuk pendapat dirinya sendiri.
Lee tidak ingin menyalahkan isterinya, sebab dia tahu, apa yang diderita pasangannya itu, sebuah kondisi psikologis yang membuat Mayuko sering mengalami kekhawatiran berlebihan. Lee tidak memvonis Mayuko salah dalam kasus ini, hanya, tidak tepat.
“Kita semua tahu, bahwa Minho kun bukan anak yang suka melanggar aturan dirumah atau dimanapun.. namun.. kali ini.. dia berhak memiliki kehidupannya sendiri... tidak ada yang bisa mengatur dia dan Chie chan... termasuk kita sendiri sebagai orangtua,” katanya kepada isterinya.
Marisa diam saja, dia merasa cukup hanya memberikan informasi tentang hal ini kepada ayahnya.
“sama atau tidak.. kita belum tahu.. Minho kun harus melakukan tes filli sampling.. agar tahu, apakah anak mereka cenderung normal atau ada kecenderungan kesalahan genetika,”
“jangan mendahului Tuhan soal seperti ini,” katanya lagi, menasehati isterinya.
“Kamu terlalu tidak khawatir dengan semua ini, Anata .. terlalu santai!,” geram isterinya.
“aku tidak begitu.. itu sudah keputusannya menikah.. tidak perlu ada hal lain lagi yang dikhawatirkan.. ,” balas Lee dengan nada sedikit tinggi.
“batalkan perjanjian itu.. sama sekali kita jadi tidak menghargai keluarga Nakamura jika begini jadinya,” lanjutnya lagi.

Tiba-tiba Marisa memotong, mengatakan, bahwa Minho akan segera kesini setelah Chie sembuh dari sakitnya.
Lee kaget, Minho juga tidak memberikan kabar itu padanya. Ternyata, anak lelaki bungsunya itu lebih percaya bercerita pada anak tengahnya.
Marisa menceritakan kondisi adik iparnya itu kepada kedua orangtuanya.
Mayuko semakin merasa menang dengan pendapatnya.
“sudah ku katakan bukan.. kalau kondisinya akan semakin parah?? Aku pernah membaca.. yang seperti ini bisa saja membuat anaknya sama dengan ibunya suatu hari nanti,”
Lee jadi berfikir. Memang dunia medis tentang autisme terus berkembang. Tidak cukup hanya satu faktor yang mempengaruhi, apa saja bisa terjadi. Semuanya bisa saja terjadi, tidak tentu kemungkinannya. Penyakit yang diderita ibu hamil, kelainan genetika, salah minum obat atau kebanyakan minum obat, polusi atau kelainan genetika mendadak karena sebuah penyakit, dll. Salah satunya memang apa yang dikatakan isterinya itu benar.
“kekhawatiranmu terlalu berlebihan,” balas Lee dengan nada yang masih tenang.
“aku tidak ingin kamu kembali ke masa lalu,” lanjutnya lagi.
“sedari awal.. aku tidak setuju Minho kun menikah dengannya.. keputusan yang benar-benar nekat,” balas Mayuko. Intonasinya masih antara sebal, kesal dengan semuanya.
“bagaimana kalau nanti cucu pertamaku akan jadi anak autis seperti ibunya?? Apa kata teman-temanmu?? Apa kata semua perkumpulan ku??”.
Lee sungguh kecewa dengan pandangan isterinya. Dia memang bukan lelaki kejam terlalu mengekang anak. Dia pun menikah dengan Mayuko yang memiliki sebuah kelainan psikologis dengan pertimbangan cinta, bukan karena penyakitnya itu.
“aku tetap tidak suka dengan pendapatmu.. batalkan perjanjian itu,” balasnya pada Mayuko.

“kamu seharusnya mengerti, apa yang harus kita lakukan kalau memang hal itu terjadi??,” wajah Mayuko berubah menjadi khawatir sekali.
Lee santai saja dengan ekspresi itu. Dia sudah tidak aneh lagi mengenal pasangannya yang sudah hidup bersama lebih dari 30 tahun pernikahan.
“sudahlah.. batalkan saja.. aku sama sekali tidak akan malu jika memang anak mereka akan menjadi autistik,” balas Lee masih dengan intonasi santai, seperti tidak peduli atas perasaan isterinya. Dia seorang psikiater, jadi menghadapi yang seperti itu tidak takut sama sekali. Tidak seperti isterinya yang memang mantan pasiennya.
“aku tidak ingin hal itu terjadi, Anata!,” mendadak wajah Mayuko berubah lebih panik lagi. Dia berdiri dan berteriak pada suaminya sendiri.
Urusai (sudah diam) !  Semua itu tidak akan terjadi kalau kamu tidak berpikir duluan seperti itu! sudahlah!,” Lee gantian meninggikan intonasinya.
“kekhawatiranmu yang terlalu berlebihan itu yang bisa membuat cucumu akan bisa mengalami hal yang sama dengan ibunya sendiri,” lanjut Lee lagi.
“Jika kamu masih saja berfikir seperti itu.. aku sendiri yang akan mengambil alih perjanjian antara Minho kun denganmu,”
Mayuko diam kalau sudah begitu, walau dalam hatinya masih ada pembangkangan.
“aku tidak ingin kamu sakit memikirkan hal ini,” kata Lee pada isterinya itu.
“sudahlah Ibu.. hal itu belum tentu terjadi dan ibu tidak perlu takut,” kata Marisa dengan suara lembut. Dia tidak ingin menyakiti perasaan ibunya.
Mayuko diam, lalu dengan suara yang bergetar menahan marah, dia hanya berkata,” kalian benar-benar tidak mengerti perasaanku”.
Lalu dia berjalan menuju kamar tidur. Lee mendiamkan saja isterinya berkata itu. Bukan tidak mengerti, dia tidak ingin kekhawatiran ini berkembang menjadi sebuah kenyataan.

“ibu terlalu khawatir, ayah,” keluh Marisa.
“aku yang akan bicara dengan Minho kun selepas ini.. aku yang berhak membatalkan perjanjian ini... cepat atau lambat.. ,” jawab Lee.
Marisa menunduk hormat kepada orangtuanya. Tugasnya memberitahukan dan menyampaikan pesan Minho kepada kedua orangtuanya sudah selesai. Dia meminta maaf atas pertengkaran yang baru saja terjadi antara mereka. Lee tidak mempermasalahkan itu. Dia malah menganggap hal ini penting untuk dibahas, karena menyangkut masa depan cucu pertamanya.
“apakah ada seseorang yang mempengaruhi pikiran ibu mu sehingga dia nekat berbuat itu??,”
“aku tidak tahu, ayah... mungkin saja..,”
Lee menghela nafas. Marisa berkata bahwa dia baru saja mendapatkan pesan dari Minho kalau Chie masih berada di rumahsakit dan mungkin baru bisa pulang lusa.
“ayah.. tidak akan memperlakukan cucu ayah.. seperti pikiran ibu... jika memang cucu pertama ayah adalah seorang autistik??,” tanya Marisa.
Lee diam sejenak. Pertanyaan itu sulit di jawab, namun dia tidak ingin hal itu terjadi. Akan ada banyak perasaan, dapat saja berawal dari pengingkaran kondisi, merasa tertekan dengan lingkungan sosial, dikucilkan, atau bahkan tidak diakui sama sekali dalam lingkup keluarga besar.
“Tidak mungkin aku berfikir jauh sampai harus membuang cucu ku ke panti asuhan.. ,” jawab Lee dengan tegas.
“kamu lihat bukan.. apa ada baik Minho atau Yuki.. atau kamu sendiri.. menderita penyakit yang sama dengan ibumu??,”
Marisa menggeleng. Memang semua anak-anak Lee termasuk sehat secara fisik dan psikologi, tidak ada yang mewarisi kelainan psikologi dari ibu mereka.
“aku akan terus meyakinkan ibumu.. kalau hal ini tidak akan terjadi,” ujar Lee lagi.
“andai terjadipun.. aku tidak akan membiarkan lingkungan merendahkan cucuku”.
Marisa hanya menunduk hormat dengan keputusan ayahnya yang menurutnya terbaik.
                                    ------------------------------------------
“jadi.. lusa.. kamu benar-benar akan pulang dari Amerika??”, tanya Minho. Ternyata dia mendapatkan telepon dari Jerry.
“Ya, Pak ketua Divisi.. aku kembali,” kata Jerry, dengan canda khasnya, menjawab pertanyaan Minho.
“dan aku siap membantumu untuk sementara.. masih nyambung kok.. aku juga mempelajari kimia fisika orang dengan otak khusus,” lanjutnya.
“kamu memang ku butuhkan sekali.. apalagi dalam kondisi seperti ini,” balas Minho.
“what?? Is there something wrong, my pal??,” pancing Jerry.
“biasa.. soal kesehatan Chie chan.. dan keluargaku... berharap cepat selesai,” balas Minho.
“Mr koleris tidak pernah ada kata menyerah,” balas Jerry. Dia tahu, bagaimana sikap Minho yang rajin, punya daya juang tinggi jika ingin mendapatkan sesuatu yang diimpikan.
Minho akan berdiskusi dengan atasan mereka, kepala rumah sakit, agar bisa mengatur jadwal Jerry dengan segera begitu dia sampai Jepang. Rumah sakit itu memang terbilang kekurangan tenaga medis walau ada banyak calon dokter belajar disana.
“begitu kaki ku sampai tanah Jepang.. kamu wajib menceritakan apa yang terjadi pada isterimu dan keluargamu, Minho kun.. aku kangen curhatanmu, Mr Koleris,” canda Jerry.
Minho tertawa saja dengan canda sahabatnya itu. Dia, Jerry dan Ken memang bersahabat baik sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki menjadi mahasiswa fakultas kedokteran umum, sampai saat ini masih tetap saling curhat dan ngobrol enggak karuan di saat jam istirahat. Karakter masing-masing yang berbeda justru menguatkan persahabatan mereka yang saling mengisi.
“aku memang benar-benar kangen masa-masa kita menggoda si Kaito,” canda Jerry lagi.
Minho tertawa saja. Semenjak dia meminta Chie untuk berhenti dikegiatan on air atau tivi dalam seni peran, dia jadi jarang bertemu waria itu. Dia hanya akan berurusan dengan orang itu kalau ada cerita Chie yang bisa dimuat dalam koran atau majalah atau dijadikan buku bacaan ringan. Walau begitu, dia masih berhubungan baik dengan waria itu.
“ada masalah antara keluarga mu dengan keluarga Nakamura san??,” tanya Jerry.
Minho mengelak. Memang dia tidak ada masalah dengan keluarga isterinya. Justru masalah datang dari keluarganya sendiri, masih urusannya dengan ibunya. Dia tidak ingin menceritakannya dahulu sebelum Jerry kembali ke Jepang.
Jerry merasa tidak ada yang aneh dengan percakapan mereka itu. Dia hanya bercanda-canda dengan Minho lalu tak berapa lama, menutup teleponnya.

Minho duduk. Ruangannya sepi, jam prakteknya sudah habis. Dia masih saja diam, memikirkan segala kemungkinan yang dapat saja terjadi esok. Siang tadi, Rhi berbicara padanya soal kemungkinan sakit yang diderita Chie.
“Jika kita usahakan dengan sebaik mungkin, darah Chie chan tidak perlu dibuang.. justru akan membahayakan kondisinya.. kita berikan saja dia pola diet yang benar-benar sehat.. dan Higa sensei bisa membantunya.. aku hanya akan mengontrol darahnya,” kata Rhi dalam pembicaraan siang tadi.
“Kamu yakin kan.. tidak akan ada namanya leukemia??,” tanya Minho. Tentu saja hal itu bisa membuatnya gundah.
“Kondisinya yang double khusus ini lebih memungkinkan Higa sensei mengawasinya.. aku tidak ingin isterimu berurusan dengan banyak obat,” ujar Rhi.
Minho mengangguk dan mengerti. Rhi cukup bijak membantunya dengan minimalisasi kejadian buruk yang bisa saja terjadi antara Chie dan bayinya.
Dia masih merenung di ruangan itu... sampai dia mendengar suara ketukan pintu ruangannya... dan ternyata, Ken yang masuk ruangannya.

“jadi.. kamu sudah tahu.. kalau Jerry kun akan kembali??,” tanya Minho pada Ken.
Ken mengangguk. Dia duduk diatas meja, di depan Minho.
Minho katakan bahwa dia sudah mengatur jadwal praktek Jerry, jadi tidak ada masalah dengannya dari sisi pekerjaan.
Ken bertanya, apa Chie sudah sehat? Minho bilang kalau lusa isterinya sudah bisa pulang.
“tidak ada perkembangan lain dengan ibumu??,” Ken malah jadi kepo.
Minho hanya menjawab, kalau dia akan sibuk dulu dengan menyehatkan Chie, agar anak dalam kandungannya juga tidak sakit. Ken setuju saja dengan apa yang dilakukan Minho, menurutnya, hal itu juga sudah tepat.
“ibu mu sangat aneh, Minho kun... ketakutannya sangat tinggi,”
Akhirnya, Minho cerita, kalau dia minta tolong pada kakaknya soal perjanjian itu, agar dibatalkan.
“segera dibatalkan.. aku tidak ingin hal ini menjadi traumatisme bagi Chie chan,” kata Ken dengan mimik serius.
Minho memang sangat menginginkan itu. bahkan terakhir dia sangat terkejut dengan beberapa perkataan Chie tentang dirinya sendiri, seolah-olah dia menjadi manusia yang pesimis dalam hidup, seperti bukan Chie yang dia kenal.
Ken berfikir, mungkin ada seseorang yang mendesaknya sehingga sampai dia berkata seperti itu pada Minho. Minho memang tidak sejauh itu menelusuri. Jika hal itu benar, dia curiga, bahwa kepesimisan isterinya itu datang dari ibunya.
“Ah.. lagi-lagi retak hubungan antara menantu dan mertua,” ujar Ken.
“bukan mauku seperti itu.. tapi ibuku,” balas Minho.
“Nakamura-san dan keluarganya tidak boleh tahu hal ini.. bisa gawat.. mereka bisa menuduhmu macam-macam jika sesuatu yang buruk terjadi pada Chie chan,” kata Ken dengan mimik yang masih serius.
Minho berdiri lalu menghadap jendela. Dia katakan pada Ken kalau sedari awal mereka dulu berkenalan dengan Chie karena selective mutism (penyakit bisu sementara karena depresi) memang dia sudah tertarik dengan keunikan perempuan itu, tidak pernah menyangka bahwa perempuan yang dia suka itu dianggap dalam dunia psikologi sebagai perempuan memiliki kelainan. Tanpa dia pikirkan sama sekali hal lain, dia memang sudah suka.
“Kamu memang seorang koleris sejati, Minho kun.. berani mengambil keputusan yang tidak populer dikalangan ...mungkin hampir seluruh manusia di dunia ini,”
Ken mulai lagi agak lebay nya. Namun, memang seperti itulah karakter Minho, berani mengambil keputusan tidak populer. Semua orang ketakutan akan pasangannya jika memiliki kelainan, namun tidak dengannya. Dia sedikit banyak mencontoh karakter ayahnya daripada ibunya yang memang juga memiliki disorder (kelainan).
“Aku tidak mengerti jalan pikiran ibu mu...namun apa yang kakakmu akan lakukan adalah benar.. kalau aku jadi dia.. aku akan membantumu menyelesaikan ini semua”.
Minho berharap memang Marisa akan membantunya membatalkan ini semua. Namun, dia hanya mengabari kakaknya itu kalau Chie sedang sakit dan Marisa belum sempat menulis jawaban terakhir atas bantuannya.
Minho juga bilang, hari ini keluarga Nakamura baru akan mengunjungi Chie karena sibuknya mereka, terutama ayah Chie.
“aku tidak bisa membayangkan... orang yang membutuhkan perhatian lebih.. namun hidup dalam lingkungan kesibukan,” kata Ken.
Sebagaimana modernya pandangan Minho, Jerry dan Ken, mereka lahir dari keluarga tradisional. Mereka tetap mengikatkan diri pada keluarga (orangtua).
Ken menepuk-nepuk pundak Minho, menyemangatinya untuk tidak khawatir dengan keputusan buruk ibunya yang memaksa dalam perjanjian.
“aku yakin, kakakmu bisa membantu kalian,”
Minho memang berharap itu. Dia memandang jendela, melihat ke bawah gedung. Ada banyak anak kecil yang sedang sakit, keluar ruangan rumah sakit, bermain dengan para suster yang sedang merawat mereka. Mereka anak-anak normal. Minho jadi berkhayal, semoga anak mereka tidak memiliki spektrum kelainan seperti isterinya, Chie.... maka, kehidupan rumahtangganya akan selamat...

Bersambung ke part 8....