Cerita ini hanya fiksi imajinasi belaka. Gak usah dipikirin kenapa begini,
kenapa begitu.. Cuma keisengan diri saja yang ingin mengimajinasikan bebeb Lee
Minho. Adapun jika ada nama dan tempat
yang kebetulan sama, itu gak sengaja, hehehe. Kalau masih serius juga.. tanggung
sendiri deh..
Semua jadi bengong mendengar penuturan Young Sam yang baru datang dari Korea,
namun bisa berspekulasi, kalau bisa saja memang Tina lah dalang ini semua. Bak
seorang detektif, Young Sam menjelaskan bagaimana caranya menjebak perempuan
model itu.
“Menjadi genit dan menurut perkataannya!,”
lagi-lagi lelaki itu menjentikkan jarinya.
“apa tidak ada jalan lain?? Kalian berdua
sama.. genit,” gerutu Minho, tanpa basa basi. Yang dimaksud jelas untuk kedua
pamannya itu. Dia sudah sedih dengan kehilangan Kwon Yun, yang diingatnya lagi,
memiliki ide yang sama, sebelum dia dibunuh dengan orang yang sampai detik ini,
belum diketahui.
“aku sudah sedih kehilangan Kwon dan kedua
staff ku,” kata Minho lagi.
Mereka semua diam sejenak. Memang, yang
paling menderita dalam hal ini adalah Minho. Dia memikul tanggungjawab berat,
jauh dari orangtua dan sekarang bertubi-tubi masalah datang padanya.
“kami tidak akan membiarkan semuanya
terjadi, Minho... siapapun mereka.. tidak berhak membuat kita jatuh,” ujar Il
Sung.
“ada baiknya, memang... kalau kita
menuruti apa kemauan si Tina itu,” mendadak Hasan angkat bicara.
Dia menjelaskan, jika Young Sam atau Il
Sung menurut apa perintah dan kemauan cewek itu, maka sedikit demi sedikit,
fakta akan terungkap. Sebab menurutnya, jika seorang perempuan merasa, lelaki
sudah patuh padanya, dia akan bisa membongkar semua rahasianya sendiri.
“Nah kan... benar apa kata ku??,” ujar Sam
dengan entengnya.
“sebenernye sih.. udah pecat aje.. kagak
usah pake belibet begini,” celetuk Beh Hamid.
Sam berfikir, kalau main pecat, terang
saja, mereka tidak bisa menangkap orang dibalik Tina, kalaupun memang ada orang
yang menyuruh dia.
“Aku tidak bisa dijatuhkan oleh wanita,”
bangga Sam pada dirinya.
Lelaki yang satu itu memang lebih
“playboy” dari mendiang Kwon atau Sung. Sepertinya dia memang sudah biasa
berurusan dengan hati banyak wanita. Namun, entah apakah Tina bisa lebih licik
darinya.
“Kalau aku dekat dengannya, semua bisa
saja mudah dibongkar,” kata Sam lagi.
Minho meragukan itu. Traumanya kehilangan
Kwon masih sangat membekas. Rasanya, dia tidak ingin mendengarkan semua
pembicaraan mereka tentang taktik. Apakah bisa.. hal itu tidak akan menimbulkan
korban lagi?
Melayang, menerawang, Minho lebih memilih
banyak diam. Dia sendiri harus akan pulang dalam beberapa hari ke depan. Semua
kepengurusan keberangkatan sudah disiapkan. Walau masih dengan kursi roda,
ayahnya tetap meminta dia pulang.
“aku tidak ingin lagi ada yang pergi,”
kata Minho, dengan suara yang bergetar.
Kedua pamannya memahami bagaimana pikiran
traumatis keponakan mereka itu. Dalam waktu dekat, semuanya terjadi, namun
tidak juga mereka bisa mengungkapkan, siapa biang dibalik ini semua. Sudah
pasti, Minho mendekati putus asa menghadapi permasalahan ini.
“Pulanglah.. pulang lebih baik buatmu..
kami akan urus semuanya dengan baik,” kata Il Sung, dengan senyumnya.
Minho hampir menangis. Dia tidak hanya
akan meninggalkan Rima dan anak mereka, namun juga menangisi semua kejadian
yang pernah ada.
“Dengan pulang, kamu akan selamat,” ujar
Hasan.
Tidak ada yang ingin kehilangan. Tidak ada
yang ingin berpisah. Kenyataannya, justru pulang lah yang membuat dia bisa
selamat dan aman.
“kita berpacu dengan waktu... lalu..
apakah kamu siap menggantikan Minho??,” tanya Il Sung pada Rima.
Semua kaget... bukankah... keluarga besar
itu sangat tidak setuju Rima masuk ke ranah bisnis mereka??
Tentu saja, ini juga bagi Rima sangat
mengherankan. Selama ini, ayahnya Minho dikenal sebagai orang yang keras dan
sulit menerima mereka.
“tentu saja.. Hyeon tidak perlu tahu itu..
hanya diantara kami.. dia percaya, kalau selama ini, kamu perempuan yang
penurut dengan anaknya dan juga dengan dia,” kata Il Sung.
Masalahnya jelas bukan disitu. Sudah
pasti, mertuanya akan terus mengontrol apa yang adik-adiknya lakukan dan ketika
meminta laporan.. apa nanti tidak akan kaget dengan siapa yang bertanda
tangan??
Lantas, Il Sung hanya
mengatakan,”sudahlah.. semua bisa diatur”. Dalam beberapa hal, lelaki adik
Hyeon ini memang bisa memilah mana yang dikhawatirkan, mana yang tidak.
“kalu anak gue emang dasarnye pinter
ngatur-ngaturin bisnis.. ya kagak ngape lah... kali aje, emang rejekinye
disono.. iye gak??,” tutur Hamid kepada Il Sung.
“semua sudah mendukung mu... sayang “ini”
mu,” ujar Il Sung, sambil menunjuk pada kepalanya dia sendiri, namun sebenarnya
tertuju kepada Rima. Menandakan, sesungguhnya Rima bisa dipercaya, karena
kecerdasannya.
“seperti main detektif, kita harus menang
melawan penjahat.. keluarga Lee terancam,” kata Sam.
Semuanya mengangguk. Beh Hamid lagi-lagi
mengatakan, kalau memang mau main kasar, dia siap saja membantu.
“coba lu mikir aje ye... waktu
deket-deketan begini udah dua orang yang pergi.. gue ngerase bener si harim ntu
emang penjahat,”
“kagak bise begitu juge, Babeh.. kita
pakse dia buat ngakuin kagak langsung aje.. bahaye kalau main gertak,” ujar
Hasan.
Beh Hamid lagi-lagi kalah pendapat dengan
anak-anaknya. Pada akhirnya mereka sepakat tidak akan memecat siapapun yang
mereka curigai, malah memasukkan Rima ke
dalam jajaran manajemen mereka.
“Kalian bisa bayangkan, kalau ini
terjadi.. kita malah lebih bisa memancing keluar, siapa musuh sebenarnya di
dalam perusahaan ini,” kata Sam.
“Abang lu kagak ada pinternye ye??,”
sindir beh Hamid untuk Hyeon, ayahnya Minho.
----------------------------------------------
“apa kalau aku pergi.. kamu bisa tahan
dengan semua yang akan terjadi??,”
Rima jadi termenung dengan pertanyaan
Minho. Baginya, menjadi seorang pasangan bukan hanya setia dikala mereka dekat,
namun juga dikala jauh, tetap saling mendukung.
“aku janji tidak akan bercerita apapun
pada ayah tentangmu dalam hal ini ...,” kata Minho lagi.
“dan.. aku akan bela kamu untuk hal apapun
jika ayah menyalahkanmu,” lanjutnya.
Sudah pasti, hal ini sangat berat bagi
mereka berdua. Semuanya akan diuji. Bagi Minho, kekhawatirannya
bertambah-tambah menjelang dia akan pulang.
“hatiku rasanya menangis,” katanya lagi.
Minho benar-benar menangis, sedih akan
berpisah dari perempuan yang dicintainya.
Sebagai perempuan yang terbiasa dididik
berperasaan dan bermental kuat oleh ayahnya sendiri, Rima berusaha menghibur
hati Minho.
“aku janji.. aku akan selesaikan
semuanya... aku akan bertekat untuk itu,” senyum Rima padanya, berusaha
menguatkan hatinya.
“aku tidak ingin lama pergi.. cepat atau
lambat.. aku harus bersama mu lagi,”
Minho memeluknya dengan erat. Dia memang
bukan tipe lelaki yang merasa gampang kehilangan orang yang sudah dicintainya.
Baginya, rasa hatinya akan sakit, menderita jika berpisah.
“aku percaya semuanya.. aku percaya
kata-katamu.. percaya.. kamu tidak akan pernah meninggalkanku,” jawab Rima.
Tidak perlu ada keraguan hatinya untuk
Minho. Dari kisah lalu, dia berjuang keras untuk mendapatkan hatinya yang sulit
percaya pada seorang pria, namun Minho berhasil mengalahkan hal itu. Sebuah
hubungan yang sangat penuh tantangan, itu yang keduanya rasakan. Kesetiaan itu
hal yang sulit dibayar, apalagi ketika jauh.
“ketika esok aku pergi... aku tidak ingin
kamu menangis.. itu akan membuatku lebih sakit,” kata Minho, membelai kedua
pipi Rima dengan lembut.
“aku berjanji,” jawab Rima dengan lembut.
Dia mengerti sifat Minho yang tidak ingin tersakiti kondisi apapun
seberat-beratnya kondisi itu.
Besok, dia siap ditinggalkan lelaki itu,
namun membantu perusahaannya berkembang. Beh Hamid menasehatinya supaya tetap
jadi perempuan tegar, memandang kesulitan sebagai sebuah tantangan dan ujian
dalam hidup berumahtangga buat mereka berdua. Rima bukan perempuan yang ditakdirkan
lemah dari kecil. Didikan Beh Hamid sebagai orang betawi yang terbilang masih
tradisional, menjadikan dia justru bisa diandalkan Minho.
“kita akan selesaikan semuanya satu
persatu... aku tidak akan meninggalkan kamu, Minho,” senyumnya.
Minho memeluknya,” justru aku yang
takut... aku yang lebih takut kamu tinggalkan. Saat Kwon Yun pergi.. aku sempat
membayangkan, orang-orang jahat itu akan mengambilmu dan kamu pergi, hilang
dariku...”.
Minho memang masih trauma kehilangan Kwon
Yun, sepupu sekaligus sahabatnya sedari kecil. Lelaki itu diberikan tugas oleh
ayahnya supaya perusahaan mereka maju, namun hanya mengantarkan nyawa.
Rima membiarkan Minho lama memeluknya,
supaya hatinya lebih tenang.
Tanpa mereka sadari, beh Hamid mengintip
sedikit dari balik tirai, lalu dia kembali duduk di depan bersama Salma,
isterinya.
“lame kelamaan gue kesian ngeliatin si
Minho, mantu gue itu...,” kata beh Hamid, sedikit melas pada isterinya.
“mau diapain lagi, Bang... udah nasip die
kayak begitu... nasip anak kite juge punya laki macam die,” jawab Salma dengan
polosnya.
Mereka sengaja duduk di depan, tidak duduk
di ruang makan yang dekat dengan kamar Rima.
“Tapi.. anak kite kuat banget... mau
diapain aje, tetep tahan banting...,” ujar beh Hamid lagi.
“itu sebabnye.. tu laki sayang banget sama
anak kite,”
Salma mengangguk saja. Beh Hamid memang
tidak pernah membayangkan, anaknya akan memiliki masalah pelik, yang diluar
dari cobaan hidupnya selama ini.
“namanye hidup.. ntu pasti bikin anak kite
jadi bini setia,” kata Salma.
“ho oh,” angguk beh Hamid.
Namun lelaki itu bertanya pada isterinya,
apakah nanti disana, Minho akan berusaha kembali.. atau bahkan bisa
mengkhianati anak mereka?? Ternyata hal itu juga menjadi ke-galau-an beh Hamid. Salma tidak yakin
Minho akan meninggalkan anak mereka. Sebagai seorang ibu, intuisinya berjalan,
bahwa menantunya itu akan tetap mempertahankan kehidupannya.
“lu mesti yakin, Bang.. mereka bedue bisa
bahagie,” kata Salma.
“ho oh,” angguk beh Hamid lagi.
“kalau kagak gitu... beneran gue susul ke
korea sana.. gue gibeng leher nye si Minho”.
“halah... lu, Bang... kadang kagak bise
semuanye diselesain pake kekerasan,” balas Salma.
“kite serahin aje semuanye sama mereka
berdua... kagak baek bikin anak jadi kagak mandiri,” lanjutnya lagi.
“anak kite dah super mandiri, Salmeeee...
lu liatin dong... gimane si Minho sampe cinte mati ame si Rime??,” balas beh
Hamid dengan sedikit ketus. Kepalanya memang sudah pusing, besok dia akan
melihat menantunya itu pergi meninggalkan anak perempuannya satu-satunya. Takut
Minho tidak bertanggung jawab dan tidak kembali.
“gue yakin aje.. mantu kite kagak
begitu...,” jawab Salma.
Mereka berdua saling diam di depan rumah.
Sementara di dalam kamar, Minho masih memeluk Rima dalam kekhawatiran. Malam
berlalu dengan penuh ke khawatiran.
--------------------------------------
“kamu yakin.. akan baik-baik saja di
sana??,” il sung mempertanyakan lagi kondisi keponakan kesayangannya itu.
Mereka semua sudah ada di bandara sepagi
itu. wajah kecewa sama sekali tidak ditampakkan oleh Rima, namun dalam hatinya,
dia sedih sekali.
“aye harus yakin.. kalau Minho hanya pergi
sementara aje,” katanya dalam hati, berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Masih duduk di kursi roda, Minho tersenyum
pada Rima, memintanya untuk membangunkannya. Kedua pamannya membantunya
berdiri.
Dia memeluk Rima dengan erat sekali, seperti
tidak mau kehilangan perempuan itu. Ingin sekali Rima menahan air matanya agar
tidak jatuh satu tetespun, namun akhirnya tidak dapat dihindarinya juga... dia
menangis... hampir tidak tahan juga dengan perpisahan.
“This
is not goodbye.. my family will never be able to separate us,” kata Minho,
yang masih mencoba menahan air mata.
Rima senyum padanya, walau air mata sudah
menetes.
Beh Hamid jadi ikut sedih melihat nasib
anak perempuannya. Salma menyeka air matanya sendiri dengan ujung selendang.
“Kagak bakalan Minho ninggalin elu..
percaya gue,” kata beh Hamid, suaranya malah jadi sedikit serak.
“sure...
Minho will never leave me... i really believe in you... i do,” senyum Rima
pada Minho.
Minho mencoba kuat berdiri, menahan
badannya sendiri supaya tidak jatuh karena masih sakit.
“aku akan kembali.. segera,”
Rima mengangguk, dia meyakinkan Minho
bahwa mereka akan segera bersama kembali dalam waktu dekat. Minho mencoba
memegang wajahnya Rima, berusaha mengusap air mata yang tersisa.
“si Minho... lu kudu jaga perasaan anak
gue... die udah banyak berkorban buat lu,” kata hatinya beh Hamid.
“aku janji.. aku pulang cepat..,” senyum
Minho.
“hai..
do you remember?? When syaiful sang a song... “aku bukan bang thoyib??”... i am not gonna be like him.. hehe,”
Dia berusaha menghibur Rima. Dan juga,
tidak ingin anak mereka sakit atau ikut sedih di dalam perut Rima.
Rima ikut tertawa kecil,” ya... my Minho
is not bang Thoyib.. kamu akan segera pulang.. kembali ke sini”.
“hug
me,” senyum Minho lagi padanya.
Rima memeluknya, Minho menundukkan
badannya yang tinggi.
Kedua pamannya malah tersenyum.
“Kalau kamu tidak segera kawin.. kamu
bakalan tidak ada pasangan,” sikut Sam pada kakaknya.
“Ibdagchyeo
(brengsek-red).. kamu berisik.. kamu juga sama,” balas Sung.
“Kami yakin.. semuanya akan segera
diselesaikan dengan baik... Minho.. Rima,” kata Sung, menghampiri mereka.
“Tolong jaga dia, paman... ,” Minho
menunduk hormat pada pamannya.
“kamu tidak perlu khawatir... kami akan
berusaha yang terbaik disini.. istirahat di rumah dan yakinkan orangtua mu...
bahwa semua urusan disini akan selesai dengan baik,” balas Sung.
Minho menunduk hormat padanya sekali lagi,
sebelum dia duduk lagi di kursi roda karena lelah.
Sudah waktunya untuk berpisah, karena
ketepatan waktu keberangkatan.
“Lu baek baek disono... gue doain lu dan
keluarge di mari,” senyum beh Hamid.
“Iye, Minho.. kite semue bakalan doain
elu.. salam ame babeh dan enyak lu ye,” kata Salma dengan ramah.
Minho senyum pada mereka berdua, menunduk
hormat sambil duduk di kursi.
Petugas bandara membantunya membelokkan
kursi rodanya, dan berjalan menuju ruang tunggu.
Minho tidak menoleh sedikit, lalu
melambaikan tangannya pada mereka.
Rima membalas lambaian tangannya dengan
air mata.
Minho malah berteriak,” I AM NOT BANG THOYIB... SO I’LL COME BACK AGAIN... SOON!!”.
Lalu, dia senyum dari jauh lagi pada
mereka.
Rima baru tersenyum padanya, masih
melambaikan tangannya.
“Jaga diri lu, Minho.. yeee.. kita bakalan
kangen ame lu!!,” teriak beh Hamid.
Minho memang belum mengerti bahasa apa
yang diucapkan beh Hamid, namun, dia yakin, itu adalah perkataan baik.. dan dia
membalas dengan senyuman kepada beh Hamid dan Salma.
“PLEASE
COME AGAIN FOR ME... AND FOR OUR FAMILY, SOON.. MINHO!!,” Rima berteriak.
Minho senyum dari jauh, lalu dia meminta
petugas bandara membelokkan kursi rodanya, berpaling membelakangi mereka,
berjalan lurus menuju ruang tunggu yang semakin terlihat di depannya.
Dia tidak menegakkan kepalanya, menunduk..
ingin menahan air mata.. namun akhirnya jatuh juga.
Beh Hamid mengusap pundak anak
perempuannya pelan-pelan, mengerti apa yang dirasakan anaknya itu.
“Gue yakin.. die bakalan balik lagi.. gue
percaye itu,”
Rima jadi memeluk ibunya-Salma- lalu menangis.
“Aye hampir kagak kuat, Nyak... Beh...,”
katanya dalam air mata.
Sung dan Sam hanya berdiri saja mematung,
memperhatikan.
Sung menghampiri Rima yang masih menangis
di pelukan ibunya.
“kamu tidak perlu khawatir...,” katanya.
Rima mengangguk saja, tidak ingin
menjawab. Dia harus bersikap tegar dengan segala resikonya dalam sebuah
hubungan. Pelan dia melepas dirinya dari pelukan ibunya, lalu mengusap air
matanya.
“aku akan berusaha membantu kalian,”
katanya dengan senyum.
“kamu perempuan hebat... ,” senyum Sam.
Mereka terus menunggu di lantai dua
bandara, dimana mereka bisa melihat pesawat yang akan membawa Minho menuju
Korea, akan take off. Sampai mereka
melihat sosok Minho dari jauh naik pesawat itu, Rima masih berteriak-teriak
bahwa dia mencintai Minho dan meminta Minho segera kembali. Minho sempat
menoleh dan melambaikan tangannya.
“Duh.. gue miris amat liat nasib anak gue,
Bang...,” kata Salma, agak sesegukan.
“mau diapain lagi?? Nyang penting besok
hadepin aje semuanye,” balas Beh Hamid.
Pesawat pun akhirnya take off... Minho benar-benar pergi meninggalkan mereka......
-----------------------------------------------------
Sampai dirumah, Rima masih memikirkannya. Dia
duduk saja menopang dagu. Tontonan tv nya hanya sebatas lewat saja, tidak tahu
apa yang sedang di tontonnya.
“perjalanannye ... panjang ye??,” mendadak
beh Hamid bertanya, untuk memecah kesunyian, duduk di samping anaknya itu.
Rima menoleh pada ayahnya.
“Iye, Beh.. ada kali sembilan jam-an...
lame pisan,” jawab Rima.
“pasti lu bakalan kangen pisan sama die..
kayaknya.. lu bedue same-same cinte mati,” senyum beh Hamid. Dia lalu
menyodorkan anaknya sepiring pisang goreng yang harusnya buat dirinya.
“moga Minho cepet balik ke mari, Beh.. aye
mikirin si kecil,” kata Rima.
Beh Hamid tarik nafasnya. Dimana-mana,
pastinya kalau seorang isteri ditinggal suami lagi dalam keadaan seperti itu,
galau nya bisa bertambah.
“lu kudu banyak berdoe.. supaye orantuanye
nyang kepala batu ntu.. lame-lame nurut ame perkataannye... entah mengape.. gue
masih yakin aje.. si Hyeon ntu ada nyang ojok-ojok (mengadu domba),”
“Mungkin, Beh... aye besok udah mule kerja
disana lagi.. doain ye, Beh.. sapapun ntu orangnye.. kite mesti tau kenape die
buat jahat sama keluarga Lee ini,”
“babeh mah.. tetep kagak sabaran.. kepengen
ngehajar aje,”
Rima senyum dengan perkataan ayahnya
barusan. Memang hal seperti itu harusnya tidak bisa dibiarkan. Namun, aparat
juga belum bisa mendapatkan hasil, sehingga keputusan tetap berjalan seperti
semula: Rima bergabung lagi, malah menggantikan posisi Minho!.
“nanti.. kalu tu si Minho dah sampe
sonoh.. lu kabarin gue ame nyak lu..,”
Rima mengangguk. Lantas beh Hamid ijin
dengan anaknya sendiri, untuk istirahat di kamarnya.
Rima jadi sendirian lagi di ruang tengah.
Dia berfikir keras, apa yang akan dilakukannya besok untuk pertama kali:
menyingkirkan Tina ke posisi tidak lagi di bawahnya.. atau tetap memintanya
menjadi sekretarisnya???
Dia mencoba mengubah channel tv dari satu
ke yang lain, sambil berfikir. Sudah puas tidak tahu apa yang ditontonnya, dia
pun ke dapur dan makan.
Dia malah mengingat lagi, biasanya kalau
dia makan dengan Minho, lelaki itu akan sibuk cerewet sekali kalau dia harus
makan banyak, supaya anak mereka sehat.
“babeh kamu lagi terbang ke Korea sono..
doain babeh supaye cepetan balik ya, Utun
(anak bayi masih dalam kandungan)”.
Ketika dia makan, serasa Minho berada di
depannya.
“Minho.. kamu tahu kagak sih?? Kalu aye
sedih berat.. aye takut kagak sanggup jalanin semue ini..,” dia malah mulai
menangis, karena membayangkan Minho senyum di depannya dan menyuruhnya makan.
Dia berfikir tentang esok. Namun, dia
harus kuat. Minho memang mengandalkannya untuk bisa mengubah perusahaan dan
mengetahui siapa semua dibalik kericuhan ini.
Dia masih makan sambil menangis....
-------------------------------------------------
Pagi.....
Sebuah mobil berjalan masuk pelataran
halaman rumah beh Hamid, dengan klaksonnya yang kencang.
Buru-buru beh Hamid keluar rumahnya,
berteriak.
“Pagi-pagi lu udah bikin gue darah tinggi
ye, Sur!!” , teriaknya pada Suryanto, supir lama Minho.
Suryanto tersenyum dari balik jendela.
“assalamualaikum, bapak Babeh.. ini Tuan
Sung mau jemput bu Rima”,
Sung keluar dari mobil, lalu menunduk
hormat kepada beh Hamid dan menyapa selamat pagi.
“hari ini.. Rima resmi membantu saya
menjadi seorang direktur utama,” senyumnya pada beh Hamid.
Beh Hamid melotot pada Sung, ternyata apa
yang dikatakan anaknya tadi malam, bahwa Rima menjadi seorang direktur utama,
pengganti Minho.. itu benar adanya.
“Apaan?? Seriusan lu pade??? Lu kate
kemaren cuma bakalan bantuin dikit doang,”
“Tidak, pak Hamid.. kami sudah putuskan,
bahwa dia yang akan menjadi direktur utama, menggantikan keponakan ku, Minho,”
balas Sung dengan nada santai.
Beh Hamid mempersilahkan duduk dan dia
berteriak dari luar, supaya Rima cepat-cepat berdandannya.
“Jadi seriusan?? Gue malah takut ntar anak
gue diincer penjahat ntu!”.
“Jangan khawatir, Bapak babeh... insya
Allah aman,” malah jadi Suryanto yang menjawab, terkesan ikut campur.
“Diem lu, Sur..! anak gue lagi hamil..
ntar kalu ade ape-ape.. lu yang bakalan gue gorok duluan!,” suara beh Hamid
jadi keras. Dia memang khawatir sekali dengan Rima, takut menjadi sasaran
berikutnya.
“kami sudah punya rencana panjang, Pak
Hamid.. Rima tidak akan kami tinggalkan sendirian,” senyum Sung.
“Tetep aje gue kawatir,” balas beh Hamid,
cepat.
Rima keluar dengan dandanan yang sederhana
dan rapi. Sung berdiri langsung menyambutnya.
“Kita mulai hari yang baru.. jangan kalah
dengan mereka,”
Rima membalas senyum Sung dengan anggukan
mantap.
“anak gue emang kuat... gue cuma bise
doain.. lu selamet terus,” kata hatinya beh Hamid.
“beh.. aye pamit,” senyum Rima pada beh
Hamid, lalu mencium tangannya.
“baek-baek.. ati-ati,” balas beh Hamid
sambil menyodorkan tangan ke anaknya.
“iye beh... salamualaikum,” balas Rima.
Sung menunduk hormat pada beh Hamid,
mereka pergi ke kantor utama.
Sesampai disana, begitu masuk di pintu
gerbang lalu di ruang depan, semua staff yang sedang berada di tempat itu
menunduk hormat semua pada Rima, Sung dan Sam. Mereka dikumpulkan oleh Sung di
dalam ruangan meeting utama yang besar.
“sekarang... direktur utama pengganti tuan
Lee Minho adalah ibu Rima. Segala keputusan ada di tangannya dan kalian
perhatikan! Bekerjasamalah dengannya,” kata Sung, memberikan sambutan.
Seluruh staff yang hadir disitu langsung
menunduk hormat dan bersama-sama membalas dengan perkataan,“Baik” sebagai tanda
menghormati keputusan tersebut.
“saya harap.. kita semua bisa bekerja
sama.. saya tidak menggantikan posisi Tuan Lee Minho selamanya... hanya selama
beliau ada di sana saja...,” senyum Rima pada mereka.
Yudha yang melihat ini sempat menyikut
pada Shella, teman akrab kerjanya.
“makin bersinar aja ni bu Rima.. enggak
nyangka”, bisiknya pada Shella.
“Tapi.. lu bisa mikir panjang gak?? Sebenarnya..
ada apa sih dengan semua ini???,” tanya balik Shella.
“Yang penting kerja.. ikutin aja alur
mereka”, balas Yudha.
“setan... kenapa keluarga Lee ngubah
rencana?? Gue mesti mikir lagi.. kenapa juga si Minho malah balik kesana??,”
kata hatinya Tina dengan penuh kemarahan. Dadanya terbakar kemarahan, ternyata
justru malah Rima, perempuan yang dia benci, malah naik menjadi seorang
direktur utama, pengganti Minho sementara.
“Bu Tina tetap akan mendampingi saya untuk
bekerja sebagai sekretaris,” senyum Rima, mengumumkan keputusannya.
Sung malah berkata dalam hatinya,” Bagus..
jika dia macam-macam..kita bisa langsung menyeretnya ke pengadilan” tertuju
pada Tina yang memang sedari awal, sudah mereka curigai.
Tina senyum pada Rima,” saya akan berusaha
membantu bu Rima dengan yang terbaik”.
Padahal dalam hatinya, dia sangat-sangat
dendam dengan Rima. Hatinya penuh dengan omelan, makian, terhadap calon
direkturnya itu.
“setan bener.. kenapa sih.. malah gue
harus dibawah dia?? Gue pikir.. gue bisa dibawah Sung, jadi bisa pengaruhin
dia... sialan.. bajingan cewek ini memang licik.. bisa-bisa.. gue bunuh beneran
lu!”.
Rima membalas senyum Tina dengan senyum
lagi.
“kita akan berusaha menjadikan perusahaan
ini maju,” balas Rima.
“Baik, bu...,” balas Tina.
“setan.. yang ada.. gue akan ngeluarin lu
dari sini... bikin perusahaan ini bangkrut!,” balas hatinya Tina.
Selesai pertemuan itu, Rima langsung masuk
ruangannya, yang dulu adalah ruangan Minho.
Dia memandang meja dan kursi yang biasa
Minho duduk, lalu memandang kursi di depannya, yang biasa dahulu dia duduk. Dia
meraba ujung meja yang di depan kursinya sekarang diduduki.
“Minho.. aye dan kedua paman kamu.. kite
berusaha bikin lagi perusahaan eni maju... doakan dari jauh...,” senyumnya
memandang foto Minho yang memakai jas dan bertampang serius.
Dia meraba wajah Minho dari foto itu.
Sementara, di Seoul, sambil menunggu
barang dari pesawat keluar, Minho mengeluarkan dompetnya yang berisi fotonya
dengan Rima.
“I
miss you... i miss you alot... my Rima.. and our baby...,”
Matanya menerawang seperti jauh entah
kemana... seakan Rima sedang berada di samping kursi rodanya..
“Minho...tolong doain aye...,” kata Rima.
Keduanya saling membutuhkan, walau sudah
jauh...
Bersambung ke part 39....