This is me....

Minggu, Januari 24, 2016

Aku Bukan Bang Thoyib (Part 38: I Am Not Bang Thoyib, I’ll Come Back Again..Soon!)

Cerita ini hanya fiksi imajinasi belaka. Gak usah dipikirin kenapa begini, kenapa begitu.. Cuma keisengan diri saja yang ingin mengimajinasikan bebeb Lee Minho.  Adapun jika ada nama dan tempat yang kebetulan sama, itu gak sengaja, hehehe. Kalau masih serius juga.. tanggung sendiri deh..

Semua jadi bengong mendengar penuturan Young Sam yang baru datang dari Korea, namun bisa berspekulasi, kalau bisa saja memang Tina lah dalang ini semua. Bak seorang detektif, Young Sam menjelaskan bagaimana caranya menjebak perempuan model itu.
“Menjadi genit dan menurut perkataannya!,” lagi-lagi lelaki itu menjentikkan jarinya.
“apa tidak ada jalan lain?? Kalian berdua sama.. genit,” gerutu Minho, tanpa basa basi. Yang dimaksud jelas untuk kedua pamannya itu. Dia sudah sedih dengan kehilangan Kwon Yun, yang diingatnya lagi, memiliki ide yang sama, sebelum dia dibunuh dengan orang yang sampai detik ini, belum diketahui.
“aku sudah sedih kehilangan Kwon dan kedua staff ku,” kata Minho lagi.

Mereka semua diam sejenak. Memang, yang paling menderita dalam hal ini adalah Minho. Dia memikul tanggungjawab berat, jauh dari orangtua dan sekarang bertubi-tubi masalah datang padanya.
“kami tidak akan membiarkan semuanya terjadi, Minho... siapapun mereka.. tidak berhak membuat kita jatuh,” ujar Il Sung.
“ada baiknya, memang... kalau kita menuruti apa kemauan si Tina itu,” mendadak Hasan angkat bicara.
Dia menjelaskan, jika Young Sam atau Il Sung menurut apa perintah dan kemauan cewek itu, maka sedikit demi sedikit, fakta akan terungkap. Sebab menurutnya, jika seorang perempuan merasa, lelaki sudah patuh padanya, dia akan bisa membongkar semua rahasianya sendiri.
“Nah kan... benar apa kata ku??,” ujar Sam dengan entengnya.
“sebenernye sih.. udah pecat aje.. kagak usah pake belibet begini,” celetuk Beh Hamid.
Sam berfikir, kalau main pecat, terang saja, mereka tidak bisa menangkap orang dibalik Tina, kalaupun memang ada orang yang menyuruh dia.
“Aku tidak bisa dijatuhkan oleh wanita,” bangga Sam pada dirinya.
Lelaki yang satu itu memang lebih “playboy” dari mendiang Kwon atau Sung. Sepertinya dia memang sudah biasa berurusan dengan hati banyak wanita. Namun, entah apakah Tina bisa lebih licik darinya.

“Kalau aku dekat dengannya, semua bisa saja mudah dibongkar,” kata Sam lagi.
Minho meragukan itu. Traumanya kehilangan Kwon masih sangat membekas. Rasanya, dia tidak ingin mendengarkan semua pembicaraan mereka tentang taktik. Apakah bisa.. hal itu tidak akan menimbulkan korban lagi?
Melayang, menerawang, Minho lebih memilih banyak diam. Dia sendiri harus akan pulang dalam beberapa hari ke depan. Semua kepengurusan keberangkatan sudah disiapkan. Walau masih dengan kursi roda, ayahnya tetap meminta dia pulang.
“aku tidak ingin lagi ada yang pergi,” kata Minho, dengan suara yang bergetar.
Kedua pamannya memahami bagaimana pikiran traumatis keponakan mereka itu. Dalam waktu dekat, semuanya terjadi, namun tidak juga mereka bisa mengungkapkan, siapa biang dibalik ini semua. Sudah pasti, Minho mendekati putus asa menghadapi permasalahan ini.
“Pulanglah.. pulang lebih baik buatmu.. kami akan urus semuanya dengan baik,” kata Il Sung, dengan senyumnya.
Minho hampir menangis. Dia tidak hanya akan meninggalkan Rima dan anak mereka, namun juga menangisi semua kejadian yang pernah ada.
“Dengan pulang, kamu akan selamat,” ujar Hasan.
Tidak ada yang ingin kehilangan. Tidak ada yang ingin berpisah. Kenyataannya, justru pulang lah yang membuat dia bisa selamat dan aman.
“kita berpacu dengan waktu... lalu.. apakah kamu siap menggantikan Minho??,” tanya Il Sung pada Rima.
Semua kaget... bukankah... keluarga besar itu sangat tidak setuju Rima masuk ke ranah bisnis mereka??
Tentu saja, ini juga bagi Rima sangat mengherankan. Selama ini, ayahnya Minho dikenal sebagai orang yang keras dan sulit menerima mereka.
“tentu saja.. Hyeon tidak perlu tahu itu.. hanya diantara kami.. dia percaya, kalau selama ini, kamu perempuan yang penurut dengan anaknya dan juga dengan dia,” kata Il Sung.
Masalahnya jelas bukan disitu. Sudah pasti, mertuanya akan terus mengontrol apa yang adik-adiknya lakukan dan ketika meminta laporan.. apa nanti tidak akan kaget dengan siapa yang bertanda tangan??
Lantas, Il Sung hanya mengatakan,”sudahlah.. semua bisa diatur”. Dalam beberapa hal, lelaki adik Hyeon ini memang bisa memilah mana yang dikhawatirkan, mana yang tidak.

“kalu anak gue emang dasarnye pinter ngatur-ngaturin bisnis.. ya kagak ngape lah... kali aje, emang rejekinye disono.. iye gak??,” tutur Hamid kepada Il Sung.
“semua sudah mendukung mu... sayang “ini” mu,” ujar Il Sung, sambil menunjuk pada kepalanya dia sendiri, namun sebenarnya tertuju kepada Rima. Menandakan, sesungguhnya Rima bisa dipercaya, karena kecerdasannya.
“seperti main detektif, kita harus menang melawan penjahat.. keluarga Lee terancam,” kata Sam.
Semuanya mengangguk. Beh Hamid lagi-lagi mengatakan, kalau memang mau main kasar, dia siap saja membantu.
“coba lu mikir aje ye... waktu deket-deketan begini udah dua orang yang pergi.. gue ngerase bener si harim ntu emang penjahat,”
“kagak bise begitu juge, Babeh.. kita pakse dia buat ngakuin kagak langsung aje.. bahaye kalau main gertak,” ujar Hasan.
Beh Hamid lagi-lagi kalah pendapat dengan anak-anaknya. Pada akhirnya mereka sepakat tidak akan memecat siapapun yang mereka curigai, malah memasukkan Rima ke  dalam jajaran manajemen mereka.
“Kalian bisa bayangkan, kalau ini terjadi.. kita malah lebih bisa memancing keluar, siapa musuh sebenarnya di dalam perusahaan ini,” kata Sam.
“Abang lu kagak ada pinternye ye??,” sindir beh Hamid untuk Hyeon, ayahnya Minho.
                                    ----------------------------------------------
“apa kalau aku pergi.. kamu bisa tahan dengan semua yang akan terjadi??,”
Rima jadi termenung dengan pertanyaan Minho. Baginya, menjadi seorang pasangan bukan hanya setia dikala mereka dekat, namun juga dikala jauh, tetap saling mendukung.
“aku janji tidak akan bercerita apapun pada ayah tentangmu dalam hal ini ...,” kata Minho lagi.
“dan.. aku akan bela kamu untuk hal apapun jika ayah menyalahkanmu,” lanjutnya.
Sudah pasti, hal ini sangat berat bagi mereka berdua. Semuanya akan diuji. Bagi Minho, kekhawatirannya bertambah-tambah menjelang dia akan pulang.
“hatiku rasanya menangis,” katanya lagi.
Minho benar-benar menangis, sedih akan berpisah dari perempuan yang dicintainya.
Sebagai perempuan yang terbiasa dididik berperasaan dan bermental kuat oleh ayahnya sendiri, Rima berusaha menghibur hati Minho.
“aku janji.. aku akan selesaikan semuanya... aku akan bertekat untuk itu,” senyum Rima padanya, berusaha menguatkan hatinya.
“aku tidak ingin lama pergi.. cepat atau lambat.. aku harus bersama mu lagi,”
Minho memeluknya dengan erat. Dia memang bukan tipe lelaki yang merasa gampang kehilangan orang yang sudah dicintainya. Baginya, rasa hatinya akan sakit, menderita jika berpisah.
“aku percaya semuanya.. aku percaya kata-katamu.. percaya.. kamu tidak akan pernah meninggalkanku,” jawab Rima.
Tidak perlu ada keraguan hatinya untuk Minho. Dari kisah lalu, dia berjuang keras untuk mendapatkan hatinya yang sulit percaya pada seorang pria, namun Minho berhasil mengalahkan hal itu. Sebuah hubungan yang sangat penuh tantangan, itu yang keduanya rasakan. Kesetiaan itu hal yang sulit dibayar, apalagi ketika jauh.
“ketika esok aku pergi... aku tidak ingin kamu menangis.. itu akan membuatku lebih sakit,” kata Minho, membelai kedua pipi Rima dengan lembut.
“aku berjanji,” jawab Rima dengan lembut. Dia mengerti sifat Minho yang tidak ingin tersakiti kondisi apapun seberat-beratnya kondisi itu.
Besok, dia siap ditinggalkan lelaki itu, namun membantu perusahaannya berkembang. Beh Hamid menasehatinya supaya tetap jadi perempuan tegar, memandang kesulitan sebagai sebuah tantangan dan ujian dalam hidup berumahtangga buat mereka berdua. Rima bukan perempuan yang ditakdirkan lemah dari kecil. Didikan Beh Hamid sebagai orang betawi yang terbilang masih tradisional, menjadikan dia justru bisa diandalkan Minho.
“kita akan selesaikan semuanya satu persatu... aku tidak akan meninggalkan kamu, Minho,” senyumnya.
Minho memeluknya,” justru aku yang takut... aku yang lebih takut kamu tinggalkan. Saat Kwon Yun pergi.. aku sempat membayangkan, orang-orang jahat itu akan mengambilmu dan kamu pergi, hilang dariku...”.
Minho memang masih trauma kehilangan Kwon Yun, sepupu sekaligus sahabatnya sedari kecil. Lelaki itu diberikan tugas oleh ayahnya supaya perusahaan mereka maju, namun hanya mengantarkan nyawa.
Rima membiarkan Minho lama memeluknya, supaya hatinya lebih tenang.

Tanpa mereka sadari, beh Hamid mengintip sedikit dari balik tirai, lalu dia kembali duduk di depan bersama Salma, isterinya.
“lame kelamaan gue kesian ngeliatin si Minho, mantu gue itu...,” kata beh Hamid, sedikit melas pada isterinya.
“mau diapain lagi, Bang... udah nasip die kayak begitu... nasip anak kite juge punya laki macam die,” jawab Salma dengan polosnya.
Mereka sengaja duduk di depan, tidak duduk di ruang makan yang dekat dengan kamar Rima.
“Tapi.. anak kite kuat banget... mau diapain aje, tetep tahan banting...,” ujar beh Hamid lagi.
“itu sebabnye.. tu laki sayang banget sama anak kite,”
Salma mengangguk saja. Beh Hamid memang tidak pernah membayangkan, anaknya akan memiliki masalah pelik, yang diluar dari cobaan hidupnya selama ini.
“namanye hidup.. ntu pasti bikin anak kite jadi bini setia,” kata Salma.
“ho oh,” angguk beh Hamid.
Namun lelaki itu bertanya pada isterinya, apakah nanti disana, Minho akan berusaha kembali.. atau bahkan bisa mengkhianati anak mereka?? Ternyata hal itu juga menjadi ke-galau-an beh Hamid. Salma tidak yakin Minho akan meninggalkan anak mereka. Sebagai seorang ibu, intuisinya berjalan, bahwa menantunya itu akan tetap mempertahankan kehidupannya.
“lu mesti yakin, Bang.. mereka bedue bisa bahagie,” kata Salma.
“ho oh,” angguk beh Hamid lagi.
“kalau kagak gitu... beneran gue susul ke korea sana.. gue gibeng leher nye si Minho”.
“halah... lu, Bang... kadang kagak bise semuanye diselesain pake kekerasan,” balas Salma.
“kite serahin aje semuanye sama mereka berdua... kagak baek bikin anak jadi kagak mandiri,” lanjutnya lagi.
“anak kite dah super mandiri, Salmeeee... lu liatin dong... gimane si Minho sampe cinte mati ame si Rime??,” balas beh Hamid dengan sedikit ketus. Kepalanya memang sudah pusing, besok dia akan melihat menantunya itu pergi meninggalkan anak perempuannya satu-satunya. Takut Minho tidak bertanggung jawab dan tidak kembali.
“gue yakin aje.. mantu kite kagak begitu...,” jawab Salma.
Mereka berdua saling diam di depan rumah. Sementara di dalam kamar, Minho masih memeluk Rima dalam kekhawatiran. Malam berlalu dengan penuh ke khawatiran.
                                                --------------------------------------
“kamu yakin.. akan baik-baik saja di sana??,” il sung mempertanyakan lagi kondisi keponakan kesayangannya itu.
Mereka semua sudah ada di bandara sepagi itu. wajah kecewa sama sekali tidak ditampakkan oleh Rima, namun dalam hatinya, dia sedih sekali.
“aye harus yakin.. kalau Minho hanya pergi sementara aje,” katanya dalam hati, berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Masih duduk di kursi roda, Minho tersenyum pada Rima, memintanya untuk membangunkannya. Kedua pamannya membantunya berdiri.
Dia memeluk Rima dengan erat sekali, seperti tidak mau kehilangan perempuan itu. Ingin sekali Rima menahan air matanya agar tidak jatuh satu tetespun, namun akhirnya tidak dapat dihindarinya juga... dia menangis... hampir tidak tahan juga dengan perpisahan.
This is not goodbye.. my family will never be able to separate us,” kata Minho, yang masih mencoba menahan air mata.
Rima senyum padanya, walau air mata sudah menetes.
Beh Hamid jadi ikut sedih melihat nasib anak perempuannya. Salma menyeka air matanya sendiri dengan ujung selendang.
“Kagak bakalan Minho ninggalin elu.. percaya gue,” kata beh Hamid, suaranya malah jadi sedikit serak.
sure... Minho will never leave me... i really believe in you... i do,” senyum Rima pada Minho.
Minho mencoba kuat berdiri, menahan badannya sendiri supaya tidak jatuh karena masih sakit.
“aku akan kembali.. segera,”
Rima mengangguk, dia meyakinkan Minho bahwa mereka akan segera bersama kembali dalam waktu dekat. Minho mencoba memegang wajahnya Rima, berusaha mengusap air mata yang tersisa.
“si Minho... lu kudu jaga perasaan anak gue... die udah banyak berkorban buat lu,” kata hatinya beh Hamid.
“aku janji.. aku pulang cepat..,” senyum Minho.
“hai.. do you remember?? When syaiful sang a song... “aku bukan bang thoyib??”... i am not gonna be like him.. hehe,”
Dia berusaha menghibur Rima. Dan juga, tidak ingin anak mereka sakit atau ikut sedih di dalam perut Rima.
Rima ikut tertawa kecil,” ya... my Minho is not bang Thoyib.. kamu akan segera pulang.. kembali ke sini”.
hug me,” senyum Minho lagi padanya.
Rima memeluknya, Minho menundukkan badannya yang tinggi.
Kedua pamannya malah tersenyum.
“Kalau kamu tidak segera kawin.. kamu bakalan tidak ada pasangan,” sikut Sam pada kakaknya.
Ibdagchyeo (brengsek-red).. kamu berisik.. kamu juga sama,” balas Sung.
“Kami yakin.. semuanya akan segera diselesaikan dengan baik... Minho.. Rima,” kata Sung, menghampiri mereka.
“Tolong jaga dia, paman... ,” Minho menunduk hormat pada pamannya.
“kamu tidak perlu khawatir... kami akan berusaha yang terbaik disini.. istirahat di rumah dan yakinkan orangtua mu... bahwa semua urusan disini akan selesai dengan baik,” balas Sung.
Minho menunduk hormat padanya sekali lagi, sebelum dia duduk lagi di kursi roda karena lelah.
Sudah waktunya untuk berpisah, karena ketepatan waktu keberangkatan.
“Lu baek baek disono... gue doain lu dan keluarge di mari,” senyum beh Hamid.
“Iye, Minho.. kite semue bakalan doain elu.. salam ame babeh dan enyak lu ye,” kata Salma dengan ramah.
Minho senyum pada mereka berdua, menunduk hormat sambil duduk di kursi.
Petugas bandara membantunya membelokkan kursi rodanya, dan berjalan menuju ruang tunggu.
Minho tidak menoleh sedikit, lalu melambaikan tangannya pada mereka.
Rima membalas lambaian tangannya dengan air mata.
Minho malah berteriak,” I AM NOT BANG THOYIB... SO I’LL COME BACK AGAIN... SOON!!”.
Lalu, dia senyum dari jauh lagi pada mereka.
Rima baru tersenyum padanya, masih melambaikan tangannya.
“Jaga diri lu, Minho.. yeee.. kita bakalan kangen ame lu!!,” teriak beh Hamid.
Minho memang belum mengerti bahasa apa yang diucapkan beh Hamid, namun, dia yakin, itu adalah perkataan baik.. dan dia membalas dengan senyuman kepada beh Hamid dan Salma.
PLEASE COME AGAIN FOR ME... AND FOR OUR FAMILY, SOON.. MINHO!!,” Rima berteriak.
Minho senyum dari jauh, lalu dia meminta petugas bandara membelokkan kursi rodanya, berpaling membelakangi mereka, berjalan lurus menuju ruang tunggu yang semakin terlihat di depannya.
Dia tidak menegakkan kepalanya, menunduk.. ingin menahan air mata.. namun akhirnya jatuh juga.
Beh Hamid mengusap pundak anak perempuannya pelan-pelan, mengerti apa yang dirasakan anaknya itu.
“Gue yakin.. die bakalan balik lagi.. gue percaye itu,”
Rima jadi memeluk ibunya-Salma- lalu menangis.
“Aye hampir kagak kuat, Nyak... Beh...,” katanya dalam air mata.
Sung dan Sam hanya berdiri saja mematung, memperhatikan.
Sung menghampiri Rima yang masih menangis di pelukan ibunya.
“kamu tidak perlu khawatir...,” katanya.
Rima mengangguk saja, tidak ingin menjawab. Dia harus bersikap tegar dengan segala resikonya dalam sebuah hubungan. Pelan dia melepas dirinya dari pelukan ibunya, lalu mengusap air matanya.
“aku akan berusaha membantu kalian,” katanya dengan senyum.
“kamu perempuan hebat... ,” senyum Sam.
Mereka terus menunggu di lantai dua bandara, dimana mereka bisa melihat pesawat yang akan membawa Minho menuju Korea, akan take off. Sampai mereka melihat sosok Minho dari jauh naik pesawat itu, Rima masih berteriak-teriak bahwa dia mencintai Minho dan meminta Minho segera kembali. Minho sempat menoleh dan melambaikan tangannya.
“Duh.. gue miris amat liat nasib anak gue, Bang...,” kata Salma, agak sesegukan.
“mau diapain lagi?? Nyang penting besok hadepin aje semuanye,” balas Beh Hamid.
Pesawat pun akhirnya take off... Minho benar-benar pergi meninggalkan mereka......
                                    -----------------------------------------------------
Sampai dirumah, Rima masih memikirkannya. Dia duduk saja menopang dagu. Tontonan tv nya hanya sebatas lewat saja, tidak tahu apa yang sedang di tontonnya.
“perjalanannye ... panjang ye??,” mendadak beh Hamid bertanya, untuk memecah kesunyian, duduk di samping anaknya itu.
Rima menoleh pada ayahnya.
“Iye, Beh.. ada kali sembilan jam-an... lame pisan,” jawab Rima.
“pasti lu bakalan kangen pisan sama die.. kayaknya.. lu bedue same-same cinte mati,” senyum beh Hamid. Dia lalu menyodorkan anaknya sepiring pisang goreng yang harusnya buat dirinya.
“moga Minho cepet balik ke mari, Beh.. aye mikirin si kecil,” kata Rima.
Beh Hamid tarik nafasnya. Dimana-mana, pastinya kalau seorang isteri ditinggal suami lagi dalam keadaan seperti itu, galau nya bisa bertambah.
“lu kudu banyak berdoe.. supaye orantuanye nyang kepala batu ntu.. lame-lame nurut ame perkataannye... entah mengape.. gue masih yakin aje.. si Hyeon ntu ada nyang ojok-ojok (mengadu domba),”
“Mungkin, Beh... aye besok udah mule kerja disana lagi.. doain ye, Beh.. sapapun ntu orangnye.. kite mesti tau kenape die buat jahat sama keluarga Lee ini,”
“babeh mah.. tetep kagak sabaran.. kepengen ngehajar aje,”
Rima senyum dengan perkataan ayahnya barusan. Memang hal seperti itu harusnya tidak bisa dibiarkan. Namun, aparat juga belum bisa mendapatkan hasil, sehingga keputusan tetap berjalan seperti semula: Rima bergabung lagi, malah menggantikan posisi Minho!.
“nanti.. kalu tu si Minho dah sampe sonoh.. lu kabarin gue ame nyak lu..,”
Rima mengangguk. Lantas beh Hamid ijin dengan anaknya sendiri, untuk istirahat di kamarnya.
Rima jadi sendirian lagi di ruang tengah. Dia berfikir keras, apa yang akan dilakukannya besok untuk pertama kali: menyingkirkan Tina ke posisi tidak lagi di bawahnya.. atau tetap memintanya menjadi sekretarisnya???
Dia mencoba mengubah channel tv dari satu ke yang lain, sambil berfikir. Sudah puas tidak tahu apa yang ditontonnya, dia pun ke dapur dan makan.
Dia malah mengingat lagi, biasanya kalau dia makan dengan Minho, lelaki itu akan sibuk cerewet sekali kalau dia harus makan banyak, supaya anak mereka sehat.
“babeh kamu lagi terbang ke Korea sono.. doain babeh supaye cepetan balik ya, Utun (anak bayi masih dalam kandungan)”.
Ketika dia makan, serasa Minho berada di depannya.
“Minho.. kamu tahu kagak sih?? Kalu aye sedih berat.. aye takut kagak sanggup jalanin semue ini..,” dia malah mulai menangis, karena membayangkan Minho senyum di depannya dan menyuruhnya makan.
Dia berfikir tentang esok. Namun, dia harus kuat. Minho memang mengandalkannya untuk bisa mengubah perusahaan dan mengetahui siapa semua dibalik kericuhan ini.
Dia masih makan sambil menangis....
                                    -------------------------------------------------
Pagi.....
Sebuah mobil berjalan masuk pelataran halaman rumah beh Hamid, dengan klaksonnya yang kencang.
Buru-buru beh Hamid keluar rumahnya, berteriak.
“Pagi-pagi lu udah bikin gue darah tinggi ye, Sur!!” , teriaknya pada Suryanto, supir lama Minho.
Suryanto tersenyum dari balik jendela.
“assalamualaikum, bapak Babeh.. ini Tuan Sung mau jemput bu Rima”,
Sung keluar dari mobil, lalu menunduk hormat kepada beh Hamid dan menyapa selamat pagi.
“hari ini.. Rima resmi membantu saya menjadi seorang direktur utama,” senyumnya pada beh Hamid.
Beh Hamid melotot pada Sung, ternyata apa yang dikatakan anaknya tadi malam, bahwa Rima menjadi seorang direktur utama, pengganti Minho.. itu benar adanya.
“Apaan?? Seriusan lu pade??? Lu kate kemaren cuma bakalan bantuin dikit doang,”
“Tidak, pak Hamid.. kami sudah putuskan, bahwa dia yang akan menjadi direktur utama, menggantikan keponakan ku, Minho,” balas Sung dengan nada santai.
Beh Hamid mempersilahkan duduk dan dia berteriak dari luar, supaya Rima cepat-cepat berdandannya.
“Jadi seriusan?? Gue malah takut ntar anak gue diincer penjahat ntu!”.
“Jangan khawatir, Bapak babeh... insya Allah aman,” malah jadi Suryanto yang menjawab, terkesan ikut campur.
“Diem lu, Sur..! anak gue lagi hamil.. ntar kalu ade ape-ape.. lu yang bakalan gue gorok duluan!,” suara beh Hamid jadi keras. Dia memang khawatir sekali dengan Rima, takut menjadi sasaran berikutnya.
“kami sudah punya rencana panjang, Pak Hamid.. Rima tidak akan kami tinggalkan sendirian,” senyum Sung.
“Tetep aje gue kawatir,” balas beh Hamid, cepat.
Rima keluar dengan dandanan yang sederhana dan rapi. Sung berdiri langsung menyambutnya.
“Kita mulai hari yang baru.. jangan kalah dengan mereka,”
Rima membalas senyum Sung dengan anggukan mantap.
“anak gue emang kuat... gue cuma bise doain.. lu selamet terus,” kata hatinya beh Hamid.
“beh.. aye pamit,” senyum Rima pada beh Hamid, lalu mencium tangannya.
“baek-baek.. ati-ati,” balas beh Hamid sambil menyodorkan tangan ke anaknya.
“iye beh... salamualaikum,” balas Rima.
Sung menunduk hormat pada beh Hamid, mereka pergi ke kantor utama.

Sesampai disana, begitu masuk di pintu gerbang lalu di ruang depan, semua staff yang sedang berada di tempat itu menunduk hormat semua pada Rima, Sung dan Sam. Mereka dikumpulkan oleh Sung di dalam ruangan meeting utama yang besar.
“sekarang... direktur utama pengganti tuan Lee Minho adalah ibu Rima. Segala keputusan ada di tangannya dan kalian perhatikan! Bekerjasamalah dengannya,” kata Sung, memberikan sambutan.
Seluruh staff yang hadir disitu langsung menunduk hormat dan bersama-sama membalas dengan perkataan,“Baik” sebagai tanda menghormati keputusan tersebut.
“saya harap.. kita semua bisa bekerja sama.. saya tidak menggantikan posisi Tuan Lee Minho selamanya... hanya selama beliau ada di sana saja...,” senyum Rima pada mereka.
Yudha yang melihat ini sempat menyikut pada Shella, teman akrab kerjanya.
“makin bersinar aja ni bu Rima.. enggak nyangka”, bisiknya pada Shella.
“Tapi.. lu bisa mikir panjang gak?? Sebenarnya.. ada apa sih dengan semua ini???,” tanya balik Shella.
“Yang penting kerja.. ikutin aja alur mereka”, balas Yudha.
“setan... kenapa keluarga Lee ngubah rencana?? Gue mesti mikir lagi.. kenapa juga si Minho malah balik kesana??,” kata hatinya Tina dengan penuh kemarahan. Dadanya terbakar kemarahan, ternyata justru malah Rima, perempuan yang dia benci, malah naik menjadi seorang direktur utama, pengganti Minho sementara.
“Bu Tina tetap akan mendampingi saya untuk bekerja sebagai sekretaris,” senyum Rima, mengumumkan keputusannya.
Sung malah berkata dalam hatinya,” Bagus.. jika dia macam-macam..kita bisa langsung menyeretnya ke pengadilan” tertuju pada Tina yang memang sedari awal, sudah mereka curigai.
Tina senyum pada Rima,” saya akan berusaha membantu bu Rima dengan yang terbaik”.
Padahal dalam hatinya, dia sangat-sangat dendam dengan Rima. Hatinya penuh dengan omelan, makian, terhadap calon direkturnya itu.
“setan bener.. kenapa sih.. malah gue harus dibawah dia?? Gue pikir.. gue bisa dibawah Sung, jadi bisa pengaruhin dia... sialan.. bajingan cewek ini memang licik.. bisa-bisa.. gue bunuh beneran lu!”.
Rima membalas senyum Tina dengan senyum lagi.
“kita akan berusaha menjadikan perusahaan ini maju,” balas Rima.
“Baik, bu...,” balas Tina.
“setan.. yang ada.. gue akan ngeluarin lu dari sini... bikin perusahaan ini bangkrut!,” balas hatinya Tina.
Selesai pertemuan itu, Rima langsung masuk ruangannya, yang dulu adalah ruangan Minho.
Dia memandang meja dan kursi yang biasa Minho duduk, lalu memandang kursi di depannya, yang biasa dahulu dia duduk. Dia meraba ujung meja yang di depan kursinya sekarang diduduki.
“Minho.. aye dan kedua paman kamu.. kite berusaha bikin lagi perusahaan eni maju... doakan dari jauh...,” senyumnya memandang foto Minho yang memakai jas dan bertampang serius.
Dia meraba wajah Minho dari foto itu.
Sementara, di Seoul, sambil menunggu barang dari pesawat keluar, Minho mengeluarkan dompetnya yang berisi fotonya dengan Rima.
“I miss you... i miss you alot... my Rima.. and our baby...,”
Matanya menerawang seperti jauh entah kemana... seakan Rima sedang berada di samping kursi rodanya..
“Minho...tolong doain aye...,” kata Rima.
Keduanya saling membutuhkan, walau sudah jauh...

Bersambung ke part 39....