This is me....

Minggu, April 19, 2015

Pernikahan ½ (Part 36: Haruskah ke Pengadilan??)

Namanya juga cerita imajinasi... jangan pernah dimasukkan ke hati..

Pagi datang di akhir musim semi menjelang musim panas itu. Minho bangun tepat waktu. Dia membuka matanya dan melihat Aiko disampingnya masih tertidur. Dia pandangi wajah isterinya itu, lalu menciumnya dengan pelan dan lembut.
Aiko membuka matanya, melihat wajah Minho.
Minho senyum padanya.
“aku kangen suasana seperti ini, Aiko-chan... joeunachim (selamat pagi),”

Lalu dia mencium lagi Aiko.
Aiko hanya tersenyum tipis, lalu dia berusaha bangun. Minho membantunya bangun.
Usia kandungan pasangannya itu sudah hampir memasuki bulan ke sembilan. Sebentar lagi saatnya melahirkan.

“apa.. kamu sudah ke dokter lagi??,” tanya Minho. Dia memeluk Aiko dan meletakkan dagu nya di pundak perempuan itu dan memegang lembut kedua tangannya.
Aiko mengangguk,” sehat... dan.. kemungkinan anak kita memang perempuan”
“aku minta maaf.. kalau sempat membuatmu khawatir.. aku sadar.. keinginan untuk berpisah itu salah,” kata Minho.
Dia masih terus menggenggam dan meremas kedua tangan Aiko.

Aiko diam saja, lalu..
“apa.. hari ini akan sibuk sekali??,” tanya dia.
Minho menggeleng,” Ani.. naega bappeun anieyo (tidak, aku tidak sibuk)... aku ingin dirumah saja.. masak untukku ya??,”
Aiko masih kaku dengan keramahan dan manjanya Minho.
Minho malah mendekapnya, masih sambil meletakkan dagunya di bahu Aiko.
“jangan kaku begitu, Aiko chan... aku kangen banget.. sudah lama juga enggak peluk kamu”

“eeeh..,” hanya itu jawaban Aiko.
Minho masih merasa Aiko kaku padanya, jelas sekali.
“mau kan.. kamu masak untukku??,” pintanya sekali lagi pada Aiko.
“tentu,” jawab Aiko, datar. Dia lalu mencoba bangun dan berjalan keluar kamar, ke dapur kecil, melihat apa sisa bahan mentah untuk dijadikan makanan mereka hari itu.
Minho melihat punggungnya ketika keluar kamar.

Dia berbaring lagi.
“kenapa jadi kaku sekali sih, Aiko chan?? Aku berharap pertentangan kita selesai di hari ini.. dan.. enggak ada lagi yang namanya ego masing-masing,” gumam Minho.
Dia mendengar suara beberapa alat dapur. Tandanya, Aiko memang memasak untuknya.
Awalnya niatnya untuk tidur akhirnya menjadi batal. Minho bangun, berdiri lalu berjalan ke ruangan depan. Dia pergi lagi ke lemari, mengambil komik yang belum di edit, duduk di depan meja rendah, mencorat-coret komik itu.

Aiko memperhatikan saja Minho bekerja. Rasa kangennya ingin menyapa dan mengobrol banyak, akhirnya muncul juga.
“Apa.. komik Tachibana san banyak sekali yang harus di koreksi??,”
Sambil dia masih memasak. Jarak antara ruang depan dan dapur tidak sampai beberapa meter saja.

Minho meletakkan pulpennya, mendongakkan kepalanya, menatap Aiko dan senyum manis.
“iya sih.. tapi aku senang kok dengan pekerjaan ini.. baru mau tingkat dua.. sudah dipercaya mengedit karya seorang komikus ternama macam Tachibana Banri.. itu sebuah kesempatanku yang berharga banget, Aiko chan!”
Suaranya jadi penuh semangat lagi.
Aiko senyum padanya.
Ganbatte (do your best),”

Minho malah menghampiri dia dan menciumnya.
“Kuliahmu.. tidak ada yang dikhawatirkan.. kan??,”
Aiko mengangguk.
“semua baik.. nilai ku bagus bagus,”
“isteriku memang pintar,” puji Minho dengan manisnya.
Aiko senyum.
“Nilaimu sendiri??,”
Minho langsung melepas pelukannya dan cemberut.
“enggak usah dibahas.. aku sibuk kerja”
Dia kembali ke depan meja rendah dan mengerjakan tugasnya lagi.

Aiko memperhatikan saja sikap Minho.
“pasti dia enggak mood lagi.. euh,” keluhnya dalam hati. Kalau sudah begitu, Aiko hanya bisa mendiamkannya saja sampai Minho nanti akan balik sendiri sikapnya seperti biasa lagi.
Beberapa kali Aiko menoleh, dilihatnya Minho masih asik menyunting kalimat per kalimat. Dia lalu membawa makanan menuju meja rendah.
“Makanannya sudah siap.. kalau mau kerja.. makan dulu.... supaya tidak pusing”
Lalu dia tersenyum pada Minho, sembari mengatur makanan serta alat-alatnya.

“aku malas masak kalau enggak ada kamu,” kata Minho, dia menekuk kakinya, telapak tangannya memegang kedua jempol kakinya. Sikapnya seperti anak-anak.
Aiko tertawa kecil.
“lalu.. makan apa kalau begitu??”
“Mie instant dan nori (rumput laut),” balas Minho, singkat.
“wah... bikin kepala mu pusing,” kata Aiko dengan senyumnya. Dia tahu, Minho tidak bisa sembarangan makan.
Minho mengangguk, dia memegang mangkok dan menyodorkan pada Aiko, meminta nasi padanya.
“Ini kan semua karena kamu.. kenapa kamu pergi?? Makanku jadi berantakan deh”
Aiko menganggap Minho kadang memang masih seperti anak-anak, dia tidak marah ketika Minho berkata apa yang dipikirkannya baru saja. Aiko membantunya mengambil nasi.
Mereka lalu makan bersama. Wajah Minho berubah cerah di pagi itu, tertawa-tawa bercerita di kampus selama dua minggu lebih Aiko meninggalkannya, juga senang karena ada yang memasak untuknya.
                                                .......................................
Hari minggu itu, Minho berjanji membawa jalan-jalan Aiko ke sebuah taman yang memang biasa mereka dulu jalan bersama. Digenggamnya tangan Aiko dengan erat.
“eh.. aku benar-benar senang hari ini.. shiawase hi desu (hari yang bahagia),” katanya dengan senyum menikmati beberapa bunga yang masih mekar.
Dia lalu berdiri berhadapan dengan Aiko diantara beberapa pohon sakura yang bunga nya sudah banyak berjatuhan.
Dipagi hari itu sama sekali tidak ada mendung, membuat hati Minho senang, bahagia.
Dia memegang lembut kedua pipi pasangannya itu, lalu menciumnya. Beberapa bunga sakura jatuh, menimpa tubuh mereka berdua.

Anata (suami).. orang bisa saja lihat kita loh,” kata Aiko dengan malu. Dia memang bukan tipe cewek yang harus romantis di depan banyak orang, walau memang tipe cewek masih sangat manja.
Minho malah senyum dengannya.
sahng gwaen ahn hae, salanghagi ttaemun-e... ki shinai nai, aishiteru kara ne (aku tidak peduli, karena aku cinta kamu),” balasnya dengan cuek.
Memang, dilihat ada beberapa cewek yang sedang lewat disitu jadi terperangah dengan apa yang dilakukan Minho.
kakkoii.. hontou ni romanchiku neee!! (cool banget.. romantis banget cowok itu!!),” kata beberapa cewek yang lewat dekat mereka, matanya berbinar-binar melihat Minho nekat mencium pasangannya sendiri.

“aku enggak mau kamu pergi lagi.. aku enggak mau kita berpisah,” Minho malah semakin menjadi-jadi sok romantisnya. Dia malah memeluk Aiko dengan erat.
ee (iya).. aku juga tidak mau.. aku sudah bilang pada ayah.. kalau aku tidak mau kita berpisah ... apalagi kalau kamu menghadapi pengadilan.. aku benci itu,” jawab Aiko dengan lembut.
Minho lalu diam, masih memeluknya. Sebenarnya dia memang berfikir dan ketakutan mertuanya akan membawa dia ke persidangan. Dalam pikirannya, Aiko mungkin sudah melawan dan tidak mau maju ke persidangan ketika ayahnya sudah menetapkan hal itu, namun pikirannya masih penuh ketakutan. Dia sendiri nilai mata kuliahnya sedang ambruk dan berusaha untuk bangkit kembali agar beasiswanya tidak di cabut. Dia berharap, Kohashi membatalkan keinginannya itu untuk memperpanjang kasus ini ke pengadilan.
Lalu,” eh.. mau es krim tidak?? Kemarin aku sempat makan es krim dan enak banget,” katanya pada Aiko.
Mereka lalu berjalan keluar taman sambil tertawa-tawa, membeli dan menikmati es krim.

Kumiko mendadak mengirimkan sms pada Aiko, bertanya, kemana saja dia sudah tiga hari, tidak ada kabar. Aiko menjawab kalau dia sekarang bersama Minho. Dia serta Minho ingin ayahnya tidak lagi membicarakan soal rumahtangga nya, apalagi kalau sampai ke pengadilan.
Kumiko membalas sms tersebut dan Aiko membacanya, dia shocked.
Minho melihat perubahan wajahnya.

“ayahku... sudah terlanjur mendaftarkan keributan kita yang lalu... ke pengadilan,” kelu Aiko pada Minho.
Minho kaget, dia asli belum siap dengan itu semua. Es krimnya tumpah, terjatuh dari tangannya.
“kenapa??”, tanya Minho.
“aku belum bilang pada ayah tentang semua ini.. kita harus pergi ke rumah ku,” kata Aiko, dia sudah panik duluan, membayangkan isi dari perjanjian itu: Minho bisa masuk penjara. Hal yang dia tidak mau, hal yang dibenci.

Aiko memeluk Minho, dia minta maaf, tidak sempat bertindak lebih cepat dari yang dipikirkannya.
Minho mengajaknya pergi ke rumah Aiko, langsung bertemu dengan ayah mertuanya itu, tidak lagi berbicara di depan telepon.
Mereka pun lalu pergi, walau jarak yang ditempuh sekitar 160km. Minho tidak peduli, dia harus menjelaskan hal ini kepada mertuanya itu. Dia tidak ingin dipenjara. Dia ingin serius dengan kuliah dan rumahtangganya.
                                                ...............................................
Dirumah kediaman keluarga Kohashi..

Dekinai (tidak bisa),” kata Kohashi, tidak menyetujui sama sekali permintaan Minho untuk membatalkan tuntutan keluarga Kohashi terhadapnya.
Minho benar-benar menunduk hormat, bahkan dia berjongkok lalu akhirnya bersujud pada Kohashi. Dia memohon agar mertuanya itu membatalkan pengajuan persidangan.
“sama sekali tidak bisa aku batalkan,” balas Kohashi dengan tegas.
Minho terus memohon, dia tidak bergerak dari sujudnya.

Bahkan akhirnya Aiko pun ikut bersujud seperti posisi Minho.
“aku mohon, ayah.. Minho kun.. sudah berjanji tidak ingin mengulangi nya lagi,”
Kohashi tetap bersikeras. Dia tetap menyatakan kalau sudah didaftarkan.. ya di daftarkan saja.
Aiko jadi sedih dengan kekerasan hati ayahnya.
“kenapa ayah tidak mengenali perasaanku?? Bagaimana nanti kalau cucu ayah.. lahir tanpa ayahnya disampingnya??,”

“bukannya aku sudah katakan daridulu kepada Minho kun.. kalau dia tidak bisa bermain-main denganku?? Dan dia sudah bermain-main dengan keluarga ini!,” balas Kohashi dengan keras, membentak keduanya.
“apa pernah aku bermain-main dalam urusan membesarkan mu dan merawat keluarga ini, Aiko??,”
Kohashi benar-benar marah. Dia memang kesal dengan Minho yang dianggapnya tidak serius dalam berumahtangga dan anaknya justru malah membela pasangannya itu.
“kamu seharusnya befikir, Minho.. kalau merawat anak yang juga dari kedua bangsa itu tidak mudah... Kamu terlalu mengentengkan hidup ini,”

“aku sudah memaafkan Minho kun, ayah.. mohon jangan menyeretnya ke pengadilan,” Aiko tetap bersikeras ayahnya mengampuni suaminya itu.
Tetap, Kohashi tidak bergeming pada keputusannya.
Aiko yang awalnya hanya memohon biasa, jadi menangis. Dia ketakutan kalau Minho akan berakhir hidupnya dipenjara karena memang mengingkari apa yang sudah ada di perjanjian.
“aku mohon, ayah.. aku mohon.. cabut lagi pengaduannya,” pintanya pada ayahnya dengan terisak-isak.

Aiko memegang kedua kaki ayahnya, memohon terus agar Kohashi membebaskan Minho.
Ibunya Aiko jadi ikut memohonn, meminta suaminya menarik kembali keputusannya.

“tidak akan pernah bisa.. sebuah keputusan yang sudah masuk berkas pengadilan.. ditarik kembali.. apa aku bodoh??,” tanya Kohashi pada isterinya, dengan suara dingin.
“aku mohon, ayah.. semua bisa diubah,” pinta Aiko lagi dengan memelas dan menangis.
Tapi.. sama sekali Kohashi tidak mempertimbangkan perkataan anaknya itu terhadap menantunya. Keputusannya sudah bulat.
Dia melangkah saja ke ruangan lain..

Aiko masih menangis. Ibunya berusaha menenangkan hatinya. Dengan terisak-isak, dia bicara berkali-kali pada ibunya kalau dia tidak rela suatu saat Minho akan berada dalam penjara.
Minho terduduk, dia harus menerima keras hati mertuanya itu. Dalam dua hari ke depan, sidang pertama di mulai.

Aiko menangis meraung-raung.
Ibunya berusaha mendiamkannya.
“kamu harus ingat dengan anakmu, Aiko-chan.. kasihan dia kalau kamu stress begini”.
“apa ayah tidak mempertimbangkan perasaanku?? Bagaimana kalau nanti anakku tidak bisa bertemu dengan ayahnya??,” jawab Aiko sambil menangis.

Dia lalu memeluk Minho.
“aku..tidak tahu lagi harus bagaimana,”
Minho berusaha tetap tegar dengan apa yang sedang dia alami. Dia mencoba tersenyum pada Aiko.
“semua memang salahku....,” ujarnya pada Aiko.
Aiko menggeleng berkali-kali. Dia katakan, bahwa dia sudah memaafkan Minho karena dia ingin semuanya berjalan kembali tenang, mulus dan tidak lagi memikirkan apa yang telah berlalu. Baginya, jika Minho sudah serius dan ingin dia tinggal lagi di flat mereka, itu sudah sebuah hal yang dianggapnya sangat baik.
Berkali-kali dia katakan bahwa dia tidak ingin anak mereka tidak melihat ayahnya, jika keputusan menjebloskan Minho ke dalam penjara karena tidak sesuai apa yang termaktub dalam perjanjian, membuatnya akan semakin menderita.
Minho berusaha menenangkannya berkali-kali. Namun, airmata Aiko tetap mengalir dan suaranya tetap tidak ingin Minho dipenjara.
Ibunya Aiko lantas berdiri dan mencari suaminya.
                                                ........................................
“pertimbangkan sekali, Anata.. aku mohon... saat ini tidak tepat membawa kasus ini ke pengadilan sementara Aiko chan sedang dalam masa akhir kehamilannya.. mohon berpikir ulang,” pinta isteri Kohashi.
Kohashi diam.
Isterinya masih terus memohon sambil menunduk hormat.
“sama sekali tidak bisa.. “, jawab Kohashi.
Isterinya memohon sekali lagi.
“AKU BILANG TIDAK BISA!!!,” suara Kohashi begitu kencang sehingga terdengar oleh semua yang ada di rumah itu.

Minho berpikir. Dia memang sudah harus siap dengan konsekuensi apapun kemarin atas apa yang dia lakukan. Dia sudah pasrah.
“apapun itu.. sudahlah, Aiko-chan.. semua salahku,”
Aiko masih belum bisa menerima itu semua. Dia akhirnya malah pingsan.
Kumiko panik dan meminta Minho membawa Aiko ke kamar mereka.

Mereka sibuk menyadarkan Aiko yang pingsan. Ketika sadar, cewek itu diam saja, sama sekali tidak ingin bicara.
Kumiko meminta Minho tidak meninggalkan adiknya dan menginap saja di rumah mereka malam ini.
Minho menuruti. Ketika semuanya sudah keluar kamar karena sama sekali Aiko tidak juga mau bicara dengan siapapun, Minho masih tetap didalam kamar itu, menggenggam lembut tangannya dan mengelusnya.

Aiko masih membelakangi Minho, hanya menghadap tembok.
“sudahlah, Aiko chan.. aku terima saja apa keputusan ayah.. aku menyadari..aku memang belum dewasa”
Aiko tetap diam. Minho terus saja membujuknya agar tidak sedih.
Mata perempuan itu sembab karena menangis terus.
Setelah lama menangis, baru dia menoleh pada Minho.

Dia mencoba bangun lalu memeluk Minho dengan erat.
“aku tidak mau kehilanganmu...,”
Minho yang awalnya tidak ingin sedih dan tidak ingin menangis.. akhirnya menangis juga. Tetapi, dia tahan-tahan agar air matanya tidak jatuh.
“aku juga tidak ingin kita berpisah,” katanya pada Aiko.

“lebih baik kita bunuh diri saja kalau begitu.. biar ayah tahu,” kata Aiko, masih sambil menangis dan memeluk Minho makin erat.
Minho kaget dengan apa yang dikatakan cewek itu baru saja.
“Aiko chan.. sadar.. aku tidak ingin kita berputus asa lagi.. kalau memang ayah menjeratku..aku akan berusaha sendiri mencari jalan agar itu semua tidak terjadi..”.
Dia mendadak menjadi dewasa.

“aku tidak bisa menerima ini, Minho kun.. aku tidak bisa..,” tangis Aiko malah makin meledak. Dia menjadi stress dan terus berfikir, apa jadinya kalau hidupnya berantakan tanpa Minho disampingnya.
Dia sudah mulai sadar, kalau Minho berarti dalam kehidupannya, tak akan bisa dia lepaskan begitu saja, walau mereka sama-sama masih belum dewasa.

“aku tidak mau menyalahkan siapapun, Aiko chan... juga menyalahkan ayah,” ujar Minho.
Kohashi memang bersikap keras pada siapapun, mengingat dia sendiri adalah orang militer. Dan dia pun mendidik keluarganya dengan semangat militer, tidak peduli apakah anaknya perempuan. Dan ketika dia tahu Minho sudah dua kali melanggar janji tentang menghidupi anaknya, sama sekali tidak dapat dia tolerir.
Jadi.. Minho harus bersikap dewasa.. menghadapi ini semua tanpa ragu dan bisa membela dirinya sendiri nanti dihadapan pengadilan.
Dia sendiri belum katakan kepada orangtuanya kalau akhirnya peristiwa ini terjadi juga. Sebab, Lee dan keluarga tidak mengharapkan itu.. dan Minho tidak tahu, apakah Kohashi membicarakan hal ini dengan kedua orangtuanya atau tidak. Sama sekali belum ada kabar dari mereka.
Minho pasrah.. dia terus saja berusaha menenangkan Aiko yang pikiran dan perasaannya sudah mulai kacau. Dia tidak ingin anak mereka juga akan stress.


Bersambung ke part 37...