Namanya juga cerita imajinasi... jangan pernah dimasukkan ke hati..
Pagi datang di akhir musim semi menjelang
musim panas itu. Minho bangun tepat waktu. Dia membuka matanya dan melihat Aiko
disampingnya masih tertidur. Dia pandangi wajah isterinya itu, lalu menciumnya
dengan pelan dan lembut.
Aiko membuka matanya, melihat wajah Minho.
Minho senyum padanya.
“aku kangen suasana seperti ini,
Aiko-chan... joeunachim (selamat
pagi),”
Lalu dia mencium lagi Aiko.
Aiko hanya tersenyum tipis, lalu dia
berusaha bangun. Minho membantunya bangun.
Usia kandungan pasangannya itu sudah
hampir memasuki bulan ke sembilan. Sebentar lagi saatnya melahirkan.
“apa.. kamu sudah ke dokter lagi??,” tanya
Minho. Dia memeluk Aiko dan meletakkan dagu nya di pundak perempuan itu dan
memegang lembut kedua tangannya.
Aiko mengangguk,” sehat... dan..
kemungkinan anak kita memang perempuan”
“aku minta maaf.. kalau sempat membuatmu
khawatir.. aku sadar.. keinginan untuk berpisah itu salah,” kata Minho.
Dia masih terus menggenggam dan meremas
kedua tangan Aiko.
Aiko diam saja, lalu..
“apa.. hari ini akan sibuk sekali??,”
tanya dia.
Minho menggeleng,” Ani.. naega bappeun anieyo (tidak, aku tidak sibuk)... aku ingin
dirumah saja.. masak untukku ya??,”
Aiko masih kaku dengan keramahan dan
manjanya Minho.
Minho malah mendekapnya, masih sambil
meletakkan dagunya di bahu Aiko.
“jangan kaku begitu, Aiko chan... aku
kangen banget.. sudah lama juga enggak peluk kamu”
“eeeh..,” hanya itu jawaban Aiko.
Minho masih merasa Aiko kaku padanya,
jelas sekali.
“mau kan.. kamu masak untukku??,” pintanya
sekali lagi pada Aiko.
“tentu,” jawab Aiko, datar. Dia lalu
mencoba bangun dan berjalan keluar kamar, ke dapur kecil, melihat apa sisa
bahan mentah untuk dijadikan makanan mereka hari itu.
Minho melihat punggungnya ketika keluar
kamar.
Dia berbaring lagi.
“kenapa jadi kaku sekali sih, Aiko chan?? Aku
berharap pertentangan kita selesai di hari ini.. dan.. enggak ada lagi yang
namanya ego masing-masing,” gumam Minho.
Dia mendengar suara beberapa alat dapur.
Tandanya, Aiko memang memasak untuknya.
Awalnya niatnya untuk tidur akhirnya
menjadi batal. Minho bangun, berdiri lalu berjalan ke ruangan depan. Dia pergi
lagi ke lemari, mengambil komik yang belum di edit, duduk di depan meja rendah,
mencorat-coret komik itu.
Aiko memperhatikan saja Minho bekerja.
Rasa kangennya ingin menyapa dan mengobrol banyak, akhirnya muncul juga.
“Apa.. komik Tachibana san banyak sekali
yang harus di koreksi??,”
Sambil dia masih memasak. Jarak antara
ruang depan dan dapur tidak sampai beberapa meter saja.
Minho meletakkan pulpennya, mendongakkan
kepalanya, menatap Aiko dan senyum manis.
“iya sih.. tapi aku senang kok dengan
pekerjaan ini.. baru mau tingkat dua.. sudah dipercaya mengedit karya seorang
komikus ternama macam Tachibana Banri.. itu sebuah kesempatanku yang berharga
banget, Aiko chan!”
Suaranya jadi penuh semangat lagi.
Aiko senyum padanya.
“Ganbatte
(do your best),”
Minho malah menghampiri dia dan
menciumnya.
“Kuliahmu.. tidak ada yang dikhawatirkan..
kan??,”
Aiko mengangguk.
“semua baik.. nilai ku bagus bagus,”
“isteriku memang pintar,” puji Minho
dengan manisnya.
Aiko senyum.
“Nilaimu sendiri??,”
Minho langsung melepas pelukannya dan
cemberut.
“enggak usah dibahas.. aku sibuk kerja”
Dia kembali ke depan meja rendah dan
mengerjakan tugasnya lagi.
Aiko memperhatikan saja sikap Minho.
“pasti dia enggak mood lagi.. euh,” keluhnya dalam hati. Kalau sudah begitu, Aiko
hanya bisa mendiamkannya saja sampai Minho nanti akan balik sendiri sikapnya
seperti biasa lagi.
Beberapa kali Aiko menoleh, dilihatnya
Minho masih asik menyunting kalimat per kalimat. Dia lalu membawa makanan
menuju meja rendah.
“Makanannya sudah siap.. kalau mau kerja..
makan dulu.... supaya tidak pusing”
Lalu dia tersenyum pada Minho, sembari
mengatur makanan serta alat-alatnya.
“aku malas masak kalau enggak ada kamu,”
kata Minho, dia menekuk kakinya, telapak tangannya memegang kedua jempol
kakinya. Sikapnya seperti anak-anak.
Aiko tertawa kecil.
“lalu.. makan apa kalau begitu??”
“Mie instant dan nori (rumput laut),” balas Minho, singkat.
“wah... bikin kepala mu pusing,” kata Aiko
dengan senyumnya. Dia tahu, Minho tidak bisa sembarangan makan.
Minho mengangguk, dia memegang mangkok dan
menyodorkan pada Aiko, meminta nasi padanya.
“Ini kan semua karena kamu.. kenapa kamu
pergi?? Makanku jadi berantakan deh”
Aiko menganggap Minho kadang memang masih
seperti anak-anak, dia tidak marah ketika Minho berkata apa yang dipikirkannya
baru saja. Aiko membantunya mengambil nasi.
Mereka lalu makan bersama. Wajah Minho
berubah cerah di pagi itu, tertawa-tawa bercerita di kampus selama dua minggu
lebih Aiko meninggalkannya, juga senang karena ada yang memasak untuknya.
.......................................
Hari minggu itu, Minho berjanji membawa
jalan-jalan Aiko ke sebuah taman yang memang biasa mereka dulu jalan bersama.
Digenggamnya tangan Aiko dengan erat.
“eh.. aku benar-benar senang hari ini.. shiawase hi desu (hari yang bahagia),”
katanya dengan senyum menikmati beberapa bunga yang masih mekar.
Dia lalu berdiri berhadapan dengan Aiko
diantara beberapa pohon sakura yang bunga nya sudah banyak berjatuhan.
Dipagi hari itu sama sekali tidak ada
mendung, membuat hati Minho senang, bahagia.
Dia memegang lembut kedua pipi pasangannya
itu, lalu menciumnya. Beberapa bunga sakura jatuh, menimpa tubuh mereka berdua.
“Anata
(suami).. orang bisa saja lihat kita loh,” kata Aiko dengan malu. Dia memang
bukan tipe cewek yang harus romantis di depan banyak orang, walau memang tipe
cewek masih sangat manja.
Minho malah senyum dengannya.
“sahng
gwaen ahn hae, salanghagi ttaemun-e... ki
shinai nai, aishiteru kara ne (aku tidak peduli, karena aku cinta kamu),”
balasnya dengan cuek.
Memang, dilihat ada beberapa cewek yang
sedang lewat disitu jadi terperangah dengan apa yang dilakukan Minho.
“kakkoii..
hontou ni romanchiku neee!! (cool banget.. romantis banget cowok itu!!),”
kata beberapa cewek yang lewat dekat mereka, matanya berbinar-binar melihat
Minho nekat mencium pasangannya sendiri.
“aku enggak mau kamu pergi lagi.. aku
enggak mau kita berpisah,” Minho malah semakin menjadi-jadi sok romantisnya.
Dia malah memeluk Aiko dengan erat.
“ee
(iya).. aku juga tidak mau.. aku sudah bilang pada ayah.. kalau aku tidak mau
kita berpisah ... apalagi kalau kamu menghadapi pengadilan.. aku benci itu,”
jawab Aiko dengan lembut.
Minho lalu diam, masih memeluknya. Sebenarnya
dia memang berfikir dan ketakutan mertuanya akan membawa dia ke persidangan.
Dalam pikirannya, Aiko mungkin sudah melawan dan tidak mau maju ke persidangan
ketika ayahnya sudah menetapkan hal itu, namun pikirannya masih penuh
ketakutan. Dia sendiri nilai mata kuliahnya sedang ambruk dan berusaha untuk
bangkit kembali agar beasiswanya tidak di cabut. Dia berharap, Kohashi membatalkan
keinginannya itu untuk memperpanjang kasus ini ke pengadilan.
Lalu,” eh.. mau es krim tidak?? Kemarin
aku sempat makan es krim dan enak banget,” katanya pada Aiko.
Mereka lalu berjalan keluar taman sambil
tertawa-tawa, membeli dan menikmati es krim.
Kumiko mendadak mengirimkan sms pada Aiko,
bertanya, kemana saja dia sudah tiga hari, tidak ada kabar. Aiko menjawab kalau
dia sekarang bersama Minho. Dia serta Minho ingin ayahnya tidak lagi
membicarakan soal rumahtangga nya, apalagi kalau sampai ke pengadilan.
Kumiko membalas sms tersebut dan Aiko
membacanya, dia shocked.
Minho melihat perubahan wajahnya.
“ayahku... sudah terlanjur mendaftarkan
keributan kita yang lalu... ke pengadilan,” kelu Aiko pada Minho.
Minho kaget, dia asli belum siap dengan itu
semua. Es krimnya tumpah, terjatuh dari tangannya.
“kenapa??”, tanya Minho.
“aku belum bilang pada ayah tentang semua
ini.. kita harus pergi ke rumah ku,” kata Aiko, dia sudah panik duluan,
membayangkan isi dari perjanjian itu: Minho bisa masuk penjara. Hal yang dia
tidak mau, hal yang dibenci.
Aiko memeluk Minho, dia minta maaf, tidak
sempat bertindak lebih cepat dari yang dipikirkannya.
Minho mengajaknya pergi ke rumah Aiko,
langsung bertemu dengan ayah mertuanya itu, tidak lagi berbicara di depan telepon.
Mereka pun lalu pergi, walau jarak yang
ditempuh sekitar 160km. Minho tidak peduli, dia harus menjelaskan hal ini
kepada mertuanya itu. Dia tidak ingin dipenjara. Dia ingin serius dengan kuliah
dan rumahtangganya.
...............................................
Dirumah kediaman keluarga Kohashi..
“Dekinai
(tidak bisa),” kata Kohashi, tidak menyetujui sama sekali permintaan Minho
untuk membatalkan tuntutan keluarga Kohashi terhadapnya.
Minho benar-benar menunduk hormat, bahkan
dia berjongkok lalu akhirnya bersujud pada Kohashi. Dia memohon agar mertuanya
itu membatalkan pengajuan persidangan.
“sama sekali tidak bisa aku batalkan,”
balas Kohashi dengan tegas.
Minho terus memohon, dia tidak bergerak
dari sujudnya.
Bahkan akhirnya Aiko pun ikut bersujud
seperti posisi Minho.
“aku mohon, ayah.. Minho kun.. sudah
berjanji tidak ingin mengulangi nya lagi,”
Kohashi tetap bersikeras. Dia tetap
menyatakan kalau sudah didaftarkan.. ya di daftarkan saja.
Aiko jadi sedih dengan kekerasan hati
ayahnya.
“kenapa ayah tidak mengenali perasaanku??
Bagaimana nanti kalau cucu ayah.. lahir tanpa ayahnya disampingnya??,”
“bukannya aku sudah katakan daridulu
kepada Minho kun.. kalau dia tidak bisa bermain-main denganku?? Dan dia sudah
bermain-main dengan keluarga ini!,” balas Kohashi dengan keras, membentak
keduanya.
“apa pernah aku bermain-main dalam urusan
membesarkan mu dan merawat keluarga ini, Aiko??,”
Kohashi benar-benar marah. Dia memang
kesal dengan Minho yang dianggapnya tidak serius dalam berumahtangga dan anaknya
justru malah membela pasangannya itu.
“kamu seharusnya befikir, Minho.. kalau
merawat anak yang juga dari kedua bangsa itu tidak mudah... Kamu terlalu
mengentengkan hidup ini,”
“aku sudah memaafkan Minho kun, ayah..
mohon jangan menyeretnya ke pengadilan,” Aiko tetap bersikeras ayahnya
mengampuni suaminya itu.
Tetap, Kohashi tidak bergeming pada
keputusannya.
Aiko yang awalnya hanya memohon biasa,
jadi menangis. Dia ketakutan kalau Minho akan berakhir hidupnya dipenjara
karena memang mengingkari apa yang sudah ada di perjanjian.
“aku mohon, ayah.. aku mohon.. cabut lagi
pengaduannya,” pintanya pada ayahnya dengan terisak-isak.
Aiko memegang kedua kaki ayahnya, memohon
terus agar Kohashi membebaskan Minho.
Ibunya Aiko jadi ikut memohonn, meminta
suaminya menarik kembali keputusannya.
“tidak akan pernah bisa.. sebuah keputusan
yang sudah masuk berkas pengadilan.. ditarik kembali.. apa aku bodoh??,” tanya
Kohashi pada isterinya, dengan suara dingin.
“aku mohon, ayah.. semua bisa diubah,”
pinta Aiko lagi dengan memelas dan menangis.
Tapi.. sama sekali Kohashi tidak
mempertimbangkan perkataan anaknya itu terhadap menantunya. Keputusannya sudah
bulat.
Dia melangkah saja ke ruangan lain..
Aiko masih menangis. Ibunya berusaha
menenangkan hatinya. Dengan terisak-isak, dia bicara berkali-kali pada ibunya
kalau dia tidak rela suatu saat Minho akan berada dalam penjara.
Minho terduduk, dia harus menerima keras
hati mertuanya itu. Dalam dua hari ke depan, sidang pertama di mulai.
Aiko menangis meraung-raung.
Ibunya berusaha mendiamkannya.
“kamu harus ingat dengan anakmu,
Aiko-chan.. kasihan dia kalau kamu stress begini”.
“apa ayah tidak mempertimbangkan
perasaanku?? Bagaimana kalau nanti anakku tidak bisa bertemu dengan ayahnya??,”
jawab Aiko sambil menangis.
Dia lalu memeluk Minho.
“aku..tidak tahu lagi harus bagaimana,”
Minho berusaha tetap tegar dengan apa yang
sedang dia alami. Dia mencoba tersenyum pada Aiko.
“semua memang salahku....,” ujarnya pada
Aiko.
Aiko menggeleng berkali-kali. Dia katakan,
bahwa dia sudah memaafkan Minho karena dia ingin semuanya berjalan kembali
tenang, mulus dan tidak lagi memikirkan apa yang telah berlalu. Baginya, jika
Minho sudah serius dan ingin dia tinggal lagi di flat mereka, itu sudah sebuah
hal yang dianggapnya sangat baik.
Berkali-kali dia katakan bahwa dia tidak
ingin anak mereka tidak melihat ayahnya, jika keputusan menjebloskan Minho ke
dalam penjara karena tidak sesuai apa yang termaktub dalam perjanjian,
membuatnya akan semakin menderita.
Minho berusaha menenangkannya
berkali-kali. Namun, airmata Aiko tetap mengalir dan suaranya tetap tidak ingin
Minho dipenjara.
Ibunya Aiko lantas berdiri dan mencari
suaminya.
........................................
“pertimbangkan sekali, Anata.. aku mohon... saat ini tidak tepat
membawa kasus ini ke pengadilan sementara Aiko chan sedang dalam masa akhir
kehamilannya.. mohon berpikir ulang,” pinta isteri Kohashi.
Kohashi diam.
Isterinya masih terus memohon sambil
menunduk hormat.
“sama sekali tidak bisa.. “, jawab
Kohashi.
Isterinya memohon sekali lagi.
“AKU BILANG TIDAK BISA!!!,” suara Kohashi
begitu kencang sehingga terdengar oleh semua yang ada di rumah itu.
Minho berpikir. Dia memang sudah harus
siap dengan konsekuensi apapun kemarin atas apa yang dia lakukan. Dia sudah
pasrah.
“apapun itu.. sudahlah, Aiko-chan.. semua
salahku,”
Aiko masih belum bisa menerima itu semua.
Dia akhirnya malah pingsan.
Kumiko panik dan meminta Minho membawa
Aiko ke kamar mereka.
Mereka sibuk menyadarkan Aiko yang
pingsan. Ketika sadar, cewek itu diam saja, sama sekali tidak ingin bicara.
Kumiko meminta Minho tidak meninggalkan
adiknya dan menginap saja di rumah mereka malam ini.
Minho menuruti. Ketika semuanya sudah
keluar kamar karena sama sekali Aiko tidak juga mau bicara dengan siapapun,
Minho masih tetap didalam kamar itu, menggenggam lembut tangannya dan
mengelusnya.
Aiko masih membelakangi Minho, hanya
menghadap tembok.
“sudahlah, Aiko chan.. aku terima saja apa
keputusan ayah.. aku menyadari..aku memang belum dewasa”
Aiko tetap diam. Minho terus saja
membujuknya agar tidak sedih.
Mata perempuan itu sembab karena menangis
terus.
Setelah lama menangis, baru dia menoleh
pada Minho.
Dia mencoba bangun lalu memeluk Minho
dengan erat.
“aku tidak mau kehilanganmu...,”
Minho yang awalnya tidak ingin sedih dan
tidak ingin menangis.. akhirnya menangis juga. Tetapi, dia tahan-tahan agar air
matanya tidak jatuh.
“aku juga tidak ingin kita berpisah,”
katanya pada Aiko.
“lebih baik kita bunuh diri saja kalau
begitu.. biar ayah tahu,” kata Aiko, masih sambil menangis dan memeluk Minho
makin erat.
Minho kaget dengan apa yang dikatakan
cewek itu baru saja.
“Aiko chan.. sadar.. aku tidak ingin kita
berputus asa lagi.. kalau memang ayah menjeratku..aku akan berusaha sendiri
mencari jalan agar itu semua tidak terjadi..”.
Dia mendadak menjadi dewasa.
“aku tidak bisa menerima ini, Minho kun..
aku tidak bisa..,” tangis Aiko malah makin meledak. Dia menjadi stress dan
terus berfikir, apa jadinya kalau hidupnya berantakan tanpa Minho disampingnya.
Dia sudah mulai sadar, kalau Minho berarti
dalam kehidupannya, tak akan bisa dia lepaskan begitu saja, walau mereka
sama-sama masih belum dewasa.
“aku tidak mau menyalahkan siapapun, Aiko
chan... juga menyalahkan ayah,” ujar Minho.
Kohashi memang bersikap keras pada siapapun,
mengingat dia sendiri adalah orang militer. Dan dia pun mendidik keluarganya
dengan semangat militer, tidak peduli apakah anaknya perempuan. Dan ketika dia
tahu Minho sudah dua kali melanggar janji tentang menghidupi anaknya, sama
sekali tidak dapat dia tolerir.
Jadi.. Minho harus bersikap dewasa..
menghadapi ini semua tanpa ragu dan bisa membela dirinya sendiri nanti
dihadapan pengadilan.
Dia sendiri belum katakan kepada
orangtuanya kalau akhirnya peristiwa ini terjadi juga. Sebab, Lee dan keluarga
tidak mengharapkan itu.. dan Minho tidak tahu, apakah Kohashi membicarakan hal
ini dengan kedua orangtuanya atau tidak. Sama sekali belum ada kabar dari
mereka.
Minho pasrah.. dia terus saja berusaha
menenangkan Aiko yang pikiran dan perasaannya sudah mulai kacau. Dia tidak
ingin anak mereka juga akan stress.
Bersambung ke part 37...