Namanya juga cerita imajinasi... jangan pernah dimasukkan ke hati..
Kemarin
malam, ayahnya hanya berkata,” kamu benar-benar cari mati dengan membuat
keputusan perpisahan walau sementara, Minho ..
apa kamu lupa dengan perjanjian yang sudah kita tandatangani??”
Dia
terlalu polos, ya.. dia terlalu jujur dengan kata hatinya, yang kemudian
dikatakan tidak tepat waktu, karena kondisi wanita yang sedang hamil sebaiknya
tidak menerima tekanan emosi.
“Kesalahanku sudah berkali-kali..
Kohashi-san.. pasti akan sangat marah padaku.. mungkin tak mengampuni aku
lagi,” keluh Minho dengan suara pelan, membicarakan mertuanya.
Dia malas mengangkat kepalanya, ditundukkan
saja, berbantal satu tangannya yang terlipat.
”Aku begini karena bingung.. bingung..
bagaimana rasanya menjadi seorang yang harus bertanggung jawab untukmu, Aiko
chan.. juga untuk anak kita... ”
Waktu bagai terhenti. Senyap, kelu, tanpa
sepatah kata apapun keluar dari mulut Minho. Semangat hidupnya sudah mulai
turun.
.....................................
”Perlukah aku membatalkan perjanjian ini??
Sudah berapa kali Minho kun itu melanggarnya??,” tanya Kohashi pada anaknya,
Aiko.
Semua keluarga Kohashi berkumpul di ruang
tengah.
Aura di ruang tengah menjadi sedikit lebih
panas, karena Kohashi, sebagai kepala keluarga dan juga mertua bagi keluarga
Minho, menjadi sangat tidak puas terhadap kehidupan rumahtangga anaknya.
Baginya, Minho sama sekali tidak belajar juga dari peristiwa masa lalu. Dia juga menganggap Minho tidak serius
menikah dan bertanggung jawab atas kehidupan anaknya.
”aku tidak ingin hubunganku berakhir di
pengadilan, Otoosan (ayah).. aku
mohon... berikan Minho kun kesempatan sekali lagi,”
Aiko menjawab dengan suara yang bergetar. Dia masih mencintai Minho, tidak ingin semuanya
kacau.
”kamu masih mau menerima suami yang tidak
bertanggungjawab?? Bahkan aku
bisa membiayai anak kalian,” balas Kohashi dengan nada dingin.
Aiko menggeleng, sama sekali dia tidak
ingin Minho seperti itu. Namun, Kohashi menganggapnya Minho sudah seperti itu.
”sama sekali dia bukan suami yang berguna
untuk mu... ketidakdewasaannya membuat aku turun tangan,” kata Kohashi lagi.
Aiko menunduk... air matanya jatuh pelan-pelan.
”aku... tidak ingin semuanya begini
buruknya, otoosan.. ”
”sudah buruk bagiku,” balas Kohashi,
singkat. Kohasi melanjutkan pembicaraannya, kalau baginya, tidak ada ampun lagi
dan tidak lagi menginginkan Minho menjadi menantunya.
Aiko kaget dengan apa yang dia dengar baru
saja. Bagai geledek di tengah hari cerah.
”aku tidak ingin bercerai, otoosan.. mohon maafkan Minho-kun!,”
Suaranya menjadi meninggi.
”apa lagi yang kamu harapkan dari lelaki
tak tahu diri itu, hei, Aiko-chan? Sama sekali tidak membuatmu bahagia!,”
bentak Akira, sampai kakak lelakinya itu berdiri, kesal sekali dengan adiknya
yang masih saja mempertahankan Minho.
”DIAM!,” bentak Kohashi dengan suara
keras.
Semua langsung diam, senyap.
Aiko melawan dengan kata-katanya diantara
ingin menangis dan berteriak.
”Aku tahu Minho kun salah.. dia masih
terlalu anak-anak.. mungkin...aku juga salah, kemarin mendiamkannya saja ketika
pemakaman Ichirou kun.. ”
”aku membiarkan saja dia.. aku kelelahan..
aku ingin sekali kuliahku tidak berantakan... aku ingin menggantungkan saja ini
semua, otoosan..okaasan (ibu)”
Ibunya Aiko sedih, berlinang airmata. Dia
mengerti anaknya sudah mulai lelah.
Kohashi diam sejenak. Suasana hening
kembali.
Lalu...
”Kamu harus tentukan sikapmu padanya, Aiko
chan.. sesuai dengan
perjanjian.. dia harus diseret ke pengadilan”
”Jangan, Otoosan! Aku mohon!,” Aiko malah menghormati
ayahnya sampai setengah bersujud. Dia tidak ingin anaknya tidak memiliki ayah.
Minho tetap harus menjadi ayahnya, bagaimana pun juga.
”Lalu.. sampai kapan kalian akan
menderita?”, tanya Kohashi. Wajahnya mulai dingin lagi.
”setidaknya.. dia harus bertanggungjawab..
memberikan uang untuk anak mu”
”aku mengerti,” jawab Aiko, pelan. Dia
meminta ayahnya tidak buru-buru menyeret Minho ke pengadilan, karena artinya..
adalah perceraian.
”sampai batas mana ayah bisa sabar dengan
kehidupan kalian berdua?,” tanya Kohashi. Dia memang sudah tingkat jenuh
berpikir tentang mereka, yang sama sekali jauh dari kedewasaan.
Aiko lalu menunduk hormat lagi pada ayahnya,”
sekali ini saja... jika aku harus berpisah sampai selama apapun, otoosan... aku
tetap ingin Minho kun menjadi ayah anak ini”
Kohashi bergumam. Tampaknya, anaknya
memang sudah sangat terikat hati walau juga merasakan sakit hati.
”aku memikirkan anak ku dan dia, ayah,”
ujar Aiko lagi.
Akira emosi sekali dengan pernyataan
adiknya itu, sudah dikecewakan, masih saja menerima cowok itu di dalam hatinya.
Sama sekali menurutnya tidak pantas dan buang saja.
Tetapi, Aiko tetap ngotot pada
keluarganya.
”lihat saja, Otoosan.. bagaimana nanti
kalau Minho mengkhianatinya lagi?? Apa harus dibantu lagi??!!,” Akira naik
darah. Dia kesal sekali dengan adiknya itu. Dia pun membanting gelas yang ada
di depannya.
”aku sudah tidak mau berurusan lagi,”
jawab Kohashi, tegas.
Artinya, apapun yang terjadi pada anak
perempuannya itu, dia sudah lepas tanggung jawab.
Isterinya kaget. Dia tidak ingin masa
depan anaknya berantarakan.
”Jangan begitu, Anata (suamiku).. bagaimanapun.. Aiko chan anak kita juga,”
Isterinya Kohashi memohon, menunduk hormat
pada suaminya sendiri.
”kamu lihat sendiri kan.. apa yang kemarin
sudah aku bicarakan dengan mereka?? Sepertinya mereka mengentengkan kita... ,”
balas Kohashi.
Kohashi berdiri.
”sudah cukup keputusanku terhadap mereka..
kita ke pengadilan”
Kalau sudah begitu, tidak ada satu anggota
keluargapun yang bisa membantah keputusannya. Dia pun keluar dari ruang tengah
itu, menuju belakang rumah.
.....................................
Esoknya... Myo kaget, dia pikir Aiko tidak
akan masuk kuliah karena kemarin dia pulang dan sama sekali tidak mengabarkan
pada Myo kalau tidak jadi menginap di flatnya.
Begitu dia tahu Aiko masuk kuliah lagi
bersamanya hari itu, siangnya, dia langsung menarik tangan Aiko ketika ingin ke
ruangan lain untukkuliah berikutnya.
”Apa..Minho kun cerita lagi padamu??,”
tanya Aiko.
Myo mengangguk. Mereka berbicara di lorong
kampus.
Aiko bercerita kalau orangtuanya telah
menelepon ortu Minho dan menginginkan perpisahan mereka.
Myo kaget, sebab artinya, jika mereka berpisah,
Minho akan berhadapan dengan pengadilan.
”apa kamu sudah gila, Aiko-chan?? Ini
bahaya sekali.. bisa-bisa semua aset beasiswa kemahasiswaan Minho kun
dicabut... bukankah sewaktu kalian akan menikah saja.. Minho kun sudah
kepayahan dengan kuliahnya??,” tanya Myo.
Apa yang Myo bayangkan akhirnya bisa
terjadi juga. Sebagai teman, dia tidak ingin kejadian buruk akan menimpa
mereka. Dia membayangkan bagaimana nanti kalau Aiko tidak bisa berjuang
sendirian dalam hidupnya. Menjadi ibu muda tidaklah mudah dalam pikirannya.
”Jadi.. siapa sebenarnya yang salah dalam
pernikahanku ini, Myo chan... aku? Atau Minho kun??,” tanya Aiko dengan mimik
sedih.
Myo tersenyum, baginya, dalam pikirannya,
keduanya memang masih seperti anak-anak. Semua diselesaikan dengan emosi.
Sehingga kedua orangtua mereka juga akhirnya kewalahan juga dengan sikap mereka
dan menginginkan perceraian.
”Apa... orangtua Minho kun menginginkan
itu??,” tanya Myo dengan suara pelan.
Aiko menggeleng, dia katakan tidak tahu
sama sekali. Kemarin dia
bertemu Minho ditaman fakultas, hanya diam saja.
”Minho kun butuh waktu.. ,” ujar Myo,
kalem. Dia berharap, Aiko juga akan memberikan waktu pada cowok itu untuk jadi
dewasa.
”apa.. menurutmu.. aku tidak harus
bercerai??,”
Myo mengangguk menjawab pertanyaan Aiko.
”aku pikir begitu,” senyum Myo.
”selama kamu dekat dengannya.. dibalik
sikap kekanak-kanakannya itu.. kamu yakin tidak??,” Myo malah jadi bertanya
balik. Dia menginginkan jawaban jujur dari hati temannya itu tentang pasangan
hidupnya sendiri.
Aiko mengangguk pelan.
Myo tersenyum lagi.
”menurutku... pernikahan kalian bisa
diselamatkan...”
”tetap semangat, Aiko-chan! Sebaiknya..
kamu memberanikan diri membicarakan ini pada Minho kun,”
Aiko mengangguk saja, dia ingin sekali
menelepon Minho. Rasa kangennya muncul.
..................................
Di ruangan markas mereka, hanya ada Ken,
Makoto dan Aiko. Minho sama sekali tidak muncul lagi.
Aiko bertanya pada Makoto, apa Minho
baik-baik saja.
Makoto mengangguk, dia katakan Minho
mendapatkan kontrak baru lagi untuk jadi model sebuah perusahaan elektronik.
Aiko hanya tersenyum mendengar itu. Pahit
rasa baginya, jika Minho sama sekali tidak mengingatnya.
”Minho kun akan bergaji besar kalau sudah
begini, Aiko-chan... perusahaan elektronik itu.. perusahaan besar,” kata
Makoto.
”apa dia tidak menghubungi mu??,” tanya
Makoto.
Aiko menggeleng saja.
Makoto berdecak.
”Mungkin dia sibuk, Aiko-chan.. aku
pikir.. aku yang akan dapat
kontraknya.. ternyata Minho kun... perusahaan itu tertarik dengannya banget,”
”Kalau sudah begitu.. bisa saja dia lupa
denganmu,” ujar Ken, dengan nada sedikit sinis.
Mereka memang belum tahu, bagaimana
perasaan Minho yang sebenarnya dengan mendapatkan kontrak baru.
”aku tidak tahu.. apa tadi dia kuliah atau
tidak.. kalau Ichi kun masih
ada, kita menghubunginya,” ujar Makoto.
”lama kelamaan.. kelompok kita bubar,”
kata Ken.
Makoto mengangguk,” shikatanai no.. (tidak ada pilihan lain)”
Aiko bercerita kepada mereka apa yang dia
alami kemarin pembicaraan dengan keluarganya. Makoto dan Ken kaget.
”kalian... bisa resmi bercerai,” kata
Makoto.
”aku.. tidak menginginkan itu, Makoto
kun.. Ken-kun..”, ujar Aiko dengan sedihnya.
”jadi.. tolong.. aku ingin sekali
berbicara ini pada Minho kun.. tetapi.. tadi.. aku menghubunginya..tidak bisa”
Makoto menghela nafas, sebagai teman yang
baik, dia ingin sekali semuanya ini selesai.
Ken malah ambil suara,” kita pergi saja ke
flat kalian”
Makoto heran, penyelesaian Ken memang
terbilang cepat. Cowok itu tidak ingin segala sesuatunya betele-tele.
Makoto lalu mengirimkan sms pada Minho,
mengetik bahwa dia dan Ken akan main ke tempatnya untuk sekedar minum minuman
ringan, sejenak mengobrol. Sama sekali dia tidak katakan kalau Aiko akan ke
flat nya.
Minho kebetulan menjawab ya.
Mereka pun langsung meluncur ke sana.
..............................................
”Aiko-chan???,” Minho kaget, ketika dia
membuka flatnya.. dilihatnya, Aiko berdiri di depan pintu bersama Ken dan
Makoto.
”Yo, Minho kun... ojama shimasu (maaf menganggu),” kata Ken, dengan santainya dia
langsung menggeser badan Minho yang di depan pintu dan masuk ke ruang depan.
Lalu diikuti oleh Makoto.
Ekspresi Minho masih sedikit heran, ada
apa mereka datang ke flat nya?
Dan.. Aiko ikut masuk ke flat Minho. Minho
senyum manis padanya.
Aiko ingin sekali membalas senyumnya,
tetapi dia perasaannya masih bercampur dengan malu, bingung.
”Ojama
shimasu,” katanya pada semua.
”Okaeri
(selamat datang kembali), Aiko chan.. naega anae,” balas dan senyum Minho.
Aiko hanya sedikit menunduk hormat pada
Minho, lalu menuju ke Makoto dan Ken, lalu duduk.
”oi, Aiko chan.. kami haus,” ujar Ken
tanpa basa basi.
Aiko berdiri, dia tahu harus pergi ke
dapur. Tetapi, Minho malah mengikutinya.
Ken malah jadi mentertawakan mereka.
”Oi.. kalau mau romantis.. nanti saja.. tunggu kami pulang!”, kata Ken dengan
setengah teriak.
Makoto jadi ikutan tertawa.
”Jangan mesra di depan kita ya... kami gak
mau nanti pulang mampir ke rumah sebelah, hahaha!” (maksudnya adalah tempat
pelacuran).
Minho menoleh pada mereka.
”Ki
ni shinai (Emang Gue Pikirin),” balasnya, cuek.
Lalu menoleh lagi pada Aiko yang sedang
membuatkan minuman teh dingin untuk mereka.
”Aiko chan.. kamu makin manis saja,” rayu
Minho.
Aiko hanya diam. Dia lalu mengambil tray.
Minho langsung sigap membantu mengambil
tray dari lemari kecil diatas.
”terima kasih,” ujar Aiko, ketika Minho
memberikan tray itu padanya.
Minho membalas dengan senyum. Dia lalu nekat mencium pipi Aiko.
Ken dan Makoto melihat mereka, karena
memang dapur tidak ada sekatnya.
Aiko berjalan menuju Ken dan Makoto, lalu
menghidangkan minuman teh dingin itu.
”untung masih ada teh ini... aku enggak
tahu mau suguhkan kalian minuman apa.. maaf ya??,” basa basi Aiko pada mereka.
Minho menghampiri mereka, lalu duduk di
samping Aiko.
”aku enggak nyangka.. kalian mau main
kesini,” katanya pada Ken dan Makoto.
Ken menepuk pundak Minho.
”Kamu.. sudah mulai banyak uang, sama
sekali tidak berkumpul lagi,”
Minho menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.
”ah.. enggak kok.. aku memang sibuk sih...
tanya Makoto-kun.. aku dapat kontrak baru... yang ini lumayan banget... aku
bisa kumpulkan uang banyak lagi..”
”Tanpa bilang ke Aiko chan??,” tanya Ken.
Minho tertawa kecil, sambil menepuk
dahinya sendiri,” aigoo... aku lupa,
hahaha”
Wajahnya polos sekali menoleh pada Aiko.
”mian (maaf), Aiko chan.. aku benar-benar
lupa.. terlalu banyak
pekerjaan dan aku harus serius mengedit komik Tachibana-san.. dia makin
terkenal saja jadi komikus..”
”kalau tadi aku tidak bilang pada Aiko
chan.. dia mungkin enggak akan pernah tahu, kamu ada kontrak model yang ini,” kata Makoto.
Minho menggaruk kepalanya dan meminta
maaf. Dia katakan kalau dia
memang sibuk. Orangtuanya saja dia lupakan sejenak untuk mengurus semua
pekerjaannya.
Aiko tidak ingin berkomentar apapun. Dia
kecewa, tapi dia simpan-simpan saja.
Ken menangkap ekspresi wajah cewek itu
walau dia cepat menyembunyikannya lagi.
”sudah punya isteri dan anak kok masih
seperti orang single saja!,”
Dia memukul kepala Minho, sampai cowok itu
mengaduh.
”kamu apa tidak kasihan sama dia, eh??
Kalau nanti aku rebut... mau???,” lanjut Ken lagi.
Minho langsung sensitif dengan kata-kata
itu. Dia mau marah, namun diurungkannya. Dia teringat lagi, sebelum Ichirou
meninggal, cowok itu menyampaikan surat pernyataan cintanya pada Aiko.
”Damn
you (sialan kamu)... aku enggak akan kasih Aiko chan pada siapapun,”
Gantian dia memukul kepala Ken, lalu
tertawa, kamuflase untuk emosinya itu.
”salahmu sendiri, Minho kun... kamu
terlalu belum dewasa,” timpal Makoto.
”kamu sendiri... apa tidak dewasa namanya...
mendadak putus dari pacarmu tanpa sebab??,” gantian Minho menyalahkan Makoto.
Makoto hanya membalas dengan nyengir kuda.
”Kita semua memang masih belum dewasa
kok... masih 19 tahun.. bisa
apa dengan umur segini??,” ujar Ken. Dia menggerakkan kedua telapak tangannya
sampai setinggi bahu, ekspresi tidak mau tahu.
”ya... aku rasakan banget itu,” keluh
Minho.
Aiko diam saja diantara obrolan para cowok
19 tahun itu. Dia sedang berfikir, apakah kalau malam ini Minho memintanya
tinggal di flat mereka, dia akan menerima ajakan itu.
Dan... benar saja.. Minho pun menoleh
padanya dan menginginkan itu.
”sudahlah, Aiko chan.. terima saja.. ,” kata Ken.
Mereka memang tahu, keduanya sedang
renggang, dan harus segera diatasi kerenggangan itu.
”apa kalian mau bercerai.. tidak kan??
Gampang sih.. kalau kalian bercerai.. aku bisa dapatkan Aiko chan dong,” ujar
Ken dengan entengnya.
Minho langsung otomatis mengeplak kepala Ken dengan keras.
”Tidak semudah itu, Aho (bodoh),” balasnya dengan ketus pada Ken.
Makoto tertawa-tawa dengan ekspresi dan
perkataan Minho pada Ken. Dia katakan kalau memang Minho tidak serius dengan
Aiko, dia juga mau.
Minho lalu jadi mengeplak kepala Makoto
juga, tanda dia memang ingin semua masalah ini terselesaikan dengan baik dan
ada jalan keluarnya.
”nah, begitu... jangan galau terus.. menyebalkan kamu, Minho kun..,” ujar Ken.
Mereka lalu ngobrol lagi soal kampus dan
kehidupan sehari-hari, sampai puas jam 22.00 telah berlalu, Makoto dan Ken pun
pamit pulang.
”Kamu.. disini saja, Aiko chan.. temani
Minho kun mu itu kerjakan edit komik Tachibana-san... kasian dia.. aku tahu,
dia kesepian,” kata Ken, di depan pintu.
Dia dan Makoto bersiap-siap pulang.
Makoto hanya mengangguk saja.
”aku enggak mau dia pulang kok.. sudah
malam pula.. 160 km itu jauh sekali,” balas Minho, santai.
”iya kan.. Aiko chan?? Kamu mau kan..
disini malam ini??,” dia menoleh pada Aiko.
Aiko hanya mengangguk saja, menuruti apa
kata Minho, namun sebenarnya dalam hatinya, dia menolak. Dia belum menghubungi
kedua orang tuanya atau kedua kakaknya untuk menginap, bahkan Myo. Sebab dia
tinggal bersama temannya itu selama pertengkaran.
”Jya..
selamat bersenang-senang malam ini!,” ujar Ken dengan wajah ceria.
Makoto dan Ken melambaikan tangannya di
depan pintu flat Minho.
”eh.. he.. iya,” jawab Aiko dengan nada
bingung, membalas lambaian tangan mereka.
Minho senyum saja.
Kedua cowok itu pun pulang ke flat nya
masing-masing.
.........................................................
Minho senyum pada Aiko ketika mereka
sama-sama duduk di depan meja rendah. Biasanya, kesehariannya mereka
mengerjakan tugas kuliah bersama di ruangan itu.
Minho menghampirinya yang sedang duduk
diam saja, bingung mau apa, lalu menciumnya.
”ah.. sudah lama banget enggak merasakan
ini loh,” basa basinya pada Aiko.
Aiko hanya mengangguk saja.
Minho lalu duduk lagi.
”aku tahu.. ayahmu berniat menyeretku ke
pengadilan... aku memang menantu yang payah,” katanya lagi, membuka pembicaraan
serius.
Aiko mengangkat kepalanya, menatap Minho.
”Tapi.. aku tidak mau kamu sampai begitu, Anata (suamiku),”
Minho senyum padanya.
”aku tahu kok... tetapi.. ayahmu kan keras
banget.. bahkan.. ayahku diteleponnya dan.. ayahku merasa terancam dengan
perkataannya”
”aku minta maaf.. tapi memang.. ayahku menginginkan yang terbaik untuk
rumahtangga kita,” tunduk Aiko.
Minho malah tertawa kecil.
”aku yang banyak salah kok.. aku harus
terima semuanya.. termasuk
juga kalau mungkin memang ayahmu memaksaku ke pengadilan,”
Dia lalu berdiri, ingin menuju ruangan
kerjanya, disebelah kamar mereka.
Aiko ikut berdiri, lalu malah memeluk
Minho dari belakang.
”aku.. masih cinta dengan kamu, Anata ... kita hanya bingung.. bagaimana
harus menghadapi semuanya,”
Minho diam sejenak. Aiko pun diam, belum meneruskan perkataannya.
Lalu Minho membalikkan badannya dan
tersenyum.
”aku tidak bosan denganmu.. aku ingin
serius.. dan aku bosan bermain-main dengan hidupku...”
”aku tahu.. emosi ku masih labil sekali.. tetapi..
aku yang lebih banyak
menyusahkan mu... ”
Aiko mengangguk saja.
Dia membiarkan Minho berkata tentang diri
cowok itu sendiri.
”aku minta maaf, kalau tidak
memberitahukan kamu.. kemarin aku dapat kontrak baru.. mau ku.. kendorkan
cemburu mu itu pada cewek lain.. kerja menjadi model memang begitu.. lalu.. aku bisa kerja apalagi untuk dapat
uang, Aiko chan?? Kita kan belum lulus??,”
Minho memeluknya, erat sekali.
”Ayahku pun marah dengan perilaku ku.. semua marah.. aku harus berfikir”
”lalu.. apa.. perpisahan kita akan terus
berlanjut??,” tanya Aiko.
Minho menggeleng.
”aku tidak tahu.. yang selalu aku takutkan adalah, ketika aku kesal
dan marah.. lalu keluar kata-kata kasarku menyakiti hatimu.. aku masih labil...
aku hanya takut.. kemarahanku jadi terpendam dan melukai hatimu”
”.... tanpa aku bisa memaafkanmu lagi”
Aiko mencoba mengerti sifat sensitif
Minho, yang baginya, tiada tandingannya di dunia ini. Cowok itu bisa tertawa,
tetapi aslinya super sensitif. Dia berfikir, pasti tadi, ketika Ken mengatakan
merebut, Minho akan menyimpannya dalam hati.
”kita hanya menunggu saja.. apa keputusan
ayahku,” kata Aiko.
Minho mengangguk.
”aku akan bertanggungjawab dengan apa yang
kulakukan kemarin,”
Suasana hening sejenak. Minho masih
memeluk Aiko.
”jadi... malam ini.. tinggallah
bersamaku..,” ujar Minho lagi.
Aiko mengangguk saja. Mereka masuk kamar.
............................................
Minho tidak bisa tidur, dia gelisah
sekali. Benar saja, dia
memikirkan apa kata Ken tadi.
Dini hari, dia malah akhirnya sibuk
meng-sms Myo.
”Ken-kun memang perhatian pada Aiko-chan,”
jawab sms Myo pada Minho.
Minho jadi tambah galau saja.
Lalu, datang lagi sms Myo,”Tapi aku rasa,
itu semua karena persahabatan, shinpai shinaide
(jangan khawatir)”
Minho tidak membalas sms Myo. Dia diam
saja. Menatap langit-langit.
”aku harus memperbaiki sikapku.. aku harus
mengubah kecerobohanku.. ”, katanya dalam hati.
Malam itu, dia membayangkan bagaimana tadi
siang, ayahnya memaki-makinya, supaya dia meminta maaf pada Kohashi dan memaksa
Kohashi tidak menyeretnya ke pengadilan sesuai perjanjian.
Minho gelisah. Dia tidak ingin hidupnya
berakhir di pengadilan.
Bersambung ke part 36....