Cerita ini cuma iseng aja kok.. jangan dimasukin ke hati banget.. namanya
juga cuma imajinasi..
“Bapak..! Ibu...! Aku pulang!!,” teriak
Minho di depan rumah besar mendiang Paijo yang sudah jadi milik keluarga Suparno.
Dia menaruh sepeda ontelnya di samping
rumah, menguncinya dengan rantai. Sama sekali dia tidak mendengar sapaannya dari
kedua orangtuanya dijawab di dalam rumah.
Tiba-tiba.. masih di depan teras, pandangannya
terpaku pada sebuah sepeda motor berwarna hijau, bermerek terkenal dari jepang,
motor balap. Selain itu, ada juga beberapa motor lainnya yang diparkir.
Minho melihat motor itu, mengelus-elus
bagian sayap motor.
“wah... keren banget...ini pasti motor
baru.. mungkin punya abang Yudi?? atau temannya,”
Ketika Minho sedang asik terkesima dengan
kecanggihan motor itu, seorang tetangganya lewat.
“Minho... iku motor duwe sopo (itu
motor punya siapa)?!!??,” tanya tetangganya itu
Minho menoleh,”Oh.. Pakde Sonni.. aku juga
enggak tahu.. baru pulang sekolah... keren ya, motornya??”, katanya ramah,
senyum pada tetangganya itu.
Lelaki yang bernama Sonni itu menghampiri
Minho.
“Kui
palingan punya kakang (kakak lelaki)
mu,” katanya pada Minho
Sama sekali Minho tidak iri dengan
perkataan tetangganya itu. Yudi memang pernah minta motor baru dari Suparno,
ayah mereka.
“kowe
ndak ikutan minta??,” tanya Sonni, dia ikut mengelus-elus bagian depan
motor. Motor hijau itu memang terlihat gagah, maklum, motor balap 250cc.
Minho menggeleng saja.
“enggak, Pakde.. aku enggak enak sama
Bapak,” jawabnya singkat
“halah, Min.. Min.. kowe ini jadi anak terlalu baik.. Bapak mu itu wong sugih (orang kaya),
Juragan jengkol lan (dan)
sayuran ... kowe tinggal minta..
pasti dikasih,” kata Sonni lagi.
Minho cuma bisa senyum saja kalau tetangga
nya itu ngompor-ngomporin dirinya
supaya ikut minta dibelikan motor balap oleh Suparno.
Minho pasti mengelak saja jawaban darinya
ke Sonni.
“Bapak lagi banyak pengeluaran, Pakde..
enggak enak hati kalau aku minta ini itu sama Bapak”
Sonni tertawa dengan jawaban Minho.
Memang, banyak orang di desa itu menganggap perilaku Yudi dan Minho bagai bumi
dan langit, saling berlawanan. Yang satu dikenal nakal, yang satu cenderung
pendiam. Yang satu malas, yang satu rajin. Yang satu dikenal egois, yang satu
hampir tidak melawan. Sampai pada warna kulit juga beda.
“Min.. Min... dari kecil kowe (kamu) memang irup (hidup) ora neko-neko
(tidak macam-macam)”
Minho cengengesan dengan pernyataan
tetangganya itu.
“Biasa aja, Pakde.. “, jawabnya kalem.
Sonni memang tidak habis pikir dengan
pikiran dan perasaan anak angkat Suparno itu yang menurutnya polos, lurus-lurus
saja dan enggak macam-macam. Sonni juga tetangga mereka, jadi tahu bagaimana
perbedaan kelakukan Yudi dan Minho.
“Bapak’e
wong sugih ora dimanfaatkeun,” kata Sonni lagi, masih ngompor-ngomporin
Minho supaya memanfaatkan orangtuanya yang kaya.
Tapi Minho masih jawab kalem dengan
bilang,”aku masih belum butuh motor begini, Pakde... soalnya aku mau belajar ke
korea”
Sonni kaget lebay, memang karena belum ada
anak sekolah di desa itu yang sampai nekat belajar ke luar negeri, baru Minho
saja kalau memang dia berhasil.
Minho lalu cerita kalau dia mau mengajukan
beasiswa pertukaran pelajar dan akan berada di sana sekitar 3 bulan, lalu
kembali lagi. Dia minta Sonni membantu doa supaya keinginannya bisa tercapai.
Sonni, tetangga yang masih terbilang
dewasa muda itu, menepuk-nepuk pundak Minho.
“Hebat kowe,
Min... bangga aku dadi (jadi) warga
desa sini kalau kowe dadi lunga
(pergi/jalan) nang (ke) korea!”
“Kowe pasti iso (bisa)! Wes... lancar !,”
Minho cengengesan malu dan berterima kasih
dengan semangat yang diberikan tetangganya itu.
..............................................
Masih diteras.. Tak berapa lama, dia dan
Sonni melihat beberapa teman Yudi keluar dari rumah mereka.
“Motormu kapan-kapan ta’ pinjam, Yud... apik tenan (bagus sekali)!,” kata Amat,
salah satu teman Yudi yang nakal.
“Balapan
karo aku ning jalan Supriyadi engko wengi!!(ayo balapan denganku di jalan
supriyadi besok malam),” tantang Yudi pada Amat dan beberapa temannya itu.
Mereka tertawa-tawa saja. Sementara Minho
dan Sonni melihat mereka.
“Okeh lah, Son!”, tawa Bejo dan
teman-teman Yudi lainnya.
Yudi akhirnya melihat Minho dan Sonni yang
berdiri di luar teras, di halaman.
Wajah Yudi yang tadi ceria berubah jadi
masam. Minho malah senyum dengan kakaknya itu.
“Abang... Bapak sama Ibu pergi kemana??
Kok enggak kelihatan ada??”
“ndak tau... delok nang buri (cari di
belakang),” jawab Yudi dengan ketus.
Minho sabar saja dengan sikap kakaknya
itu.
“Ya... nanti aku cari sendiri aja...”
Teman-teman Yudi dahulu, Amat, Bejo,
Munir, Peang, sebenarnya kalau sesuai dengan waktu sekolah, mereka sudah masuk
ke perkuliahan dan sudah mulai mencari kerja. Tapi, kerja mereka hanya
nongkrong di pinggir jalan, tidak tahu mau berbuat apa. Bahkan si Peang sama
sekali tidak meneruskan sekolahnya yang sudah SMA dulu, alias drop out.
“Cari Pak’e terus.. koyo wedhok (seperti perempuan),” ketus Yudi.
“Aku mau bilang... aku tadi sudah ikut tes
buat beasiswa ke korea itu, Abang..,” jawab Minho jujur dengan wajah sumringah.
“Trus.. kamu mau ngadu gitu... kalau kamu
pinter.. bisa ke sana??,” tanya Yudi sambil bertolak pinggang.
Minho hanya polos menjawab,”Tidak kok,
Abang... tapi kalau memang aku diterima, Bapak sama Ibu kan pasti senang...
tinggal tunggu pengumumannya saja”
“Adikmu
kui koyo wedhok (adikmu seperti perepuan) .. banci tenanan (banci sekali).. opo-opo ngadu ke orangtua, hahaha!”,
ledek Bejo pada Minho.
Yudi tertawa, kemudian disusul dengan
teman-temannya.
“Yo emang banci kok, mau diapain?? Haha!,”
Yudi meledek lagi adiknya sendiri.
Minho diam saja diledek seperti itu, dia
tidak mau berpanjang lebar.
Sonni yang melihatnya jadi tidak enak hati
sendiri, sifat yang berlawanan antar keduanya.
“Ojo
pada ribut.. kalau memang Minho kui pinternya di sekolah.. ngapain kalian
pada ribut??,”
Yudi dan teman-temannya langsung melihat
Sonni dengan tatapan seperti mengancam.
Minho langsung merasa kalau Yudi bisa
mencelakakan tetangga nya itu dengan tatapan mata tidak ramahnya.
“Sudah, Pakde Sonni.. aku enggak apa-apa
kok,” katanya, berusaha mencairkan suasana.
“Yang dibilang banci aja ndak ngerasa opo-opo toh.. kenapa kamu bela??,” tanya
Yudhi dengan ekspresi menantang.
Peang menepuk pundak Yudi,”wes... kita dolan wae (ayo kita main
saja),”
Yudi dan kawan-kawannya lalu menuju motor
mereka, memakai helm nya.
“Awas kowe
ben ngadu ke Pak’e!,” kata Yudi yang telah memakai helm, menada mengancam
soal tadi.
Minho diam saja. Yudi dan teman-temannya
melarikan motor mereka entah kemana.
Sonni hanya berdecak saja melihat itu.
Minho minta maaf pada tetangganya itu, kalau memang kakaknya tadi menyakiti
perasaannya.
............................................
Malam menjelang...
Magrib sudah berlalu. Yudi masih belum
pulang juga. Minho baru mendapatkan kedua orangtuanya pulang, ternyata mereka
baru saja ada acara di kecamatan. Pulangnya, Suparno langsung duduk di teras
samping rumah, tempat mangkal para anak buahnya.
“Dodolan
mu piye (daganganmu bagaimana), To??,” tanya Suparno basa basi pada salah
satu anak buahnya yang duduk disampingnya. Seperti biasa, sudah pasti disitu
ada teko besar teh manis serta sepiring besar ubi atau singkong goreng buat
para anak buah.
Minho duduk di sebelah Suparno, dia sibuk
mencatat penghasilan para pedagang yang harus menyetorkan uang ke ayahnya
sebelum dikurangi upah dan keuntungan mereka.
“Pakde Tarno pagi ini kan dapatnya Rp
200ribu, nah kalau misalnya 40 persennya, jadi Pakde Tarno dapat Rp 90.000..
jadi buat aku 110 ribu,” katanya sambil menghitung dengan kalkulator.
“ada tambahan lagi tidak??,” tanya Minho
pada Tarno.
“Ora
(tidak), aku ndak tuku (tidak
membeli) oli buat roda,” jawab Tarno, pedagang jengkol yang gerobaknya tidak
buat sendiri, tapi dipinjamkan dari dari pihak Suparno.
Lalu Minho memberikan uang Rp 90 ribu itu
kepada Tarno.
“Terima kasih, Pakde..,” katanya ramah
dengan senyum pada lelaki paruh baya itu.
Suparno senang-senang saja lihat anak
angkatnya itu memang suka membantu usahanya. Trisno sudah mengajarkan dia apa
saja yang perlu di catat soal keuangan besar usaha Suparno ke Minho. Jadi
setiap sore sampai malam, Minho akan bantu Suparno mencatat keuangan harian.
“Selanjutnya Pakde Tono...,” lanjut Minho.
“Pakde.. tadi aku lihat Yudi itu
ngebut-ngebutan di jalan.. ora
sopan,” kata Trisno, mengadu pada Suparno.
Suparno menghela nafas kalau sudah ada
laporan kenakalan Yudi. Dia langsung melirik Minho, anak angkatnya yang justru
malah memberikannya ketenangan. Minho masih sibuk menghitung-hitung keuntungan
setoran dari para pedagang.
“dia ngapain, Tris??,” tanya Suparno,
berusaha menahan kesabarannya.
“aku ora ngarti, Pakde.. tapi dia sibuk
saja ngebut-ngebutan.. biasa.... Karo
konco-koncone... si amat lan liane (biasa, dengan para temannya, si amat
dan yang lainnya),” jawab Trisno dengan nada biasa saja. Lalu Trisno cerita,
kalau setiap sore memang kadang banyak anak muda membawa motor mereka,
nongkrong di depan kantor kecamatan. Jalan disana kalau sore memang sepi, agak
jauh sedikit dari kecamatan, bisa jadi ajang tempat kebut-kebutan para anak
muda dengan motor mereka.
“Bahaya ora, Tris??,” tanya Suparno lagi pada Trisno.
“Yo
ben ora ngati-ngati iso nabrak wong (ya kalau tidak hati-hati bisa menabrak
orang),” jawab Trisno
“Lomba
ne ra karuan blas (lomba ngebutnya tidak karuan begitu),” lanjut Trisno
lagi.
Suparno langsung istighfar dengan
perkataan Trisno baru saja. Dia memang membelikan motor baru buat Yudi, kalau
tidak dituruti, anak itu akan marah besar.
“Nyuwun
pangapunten loh, Pakde.. yen tak pikir.. Pakde kui terlalu manjain Yudi.. aku
deleng beda tenanan Pakde soal barang-barang karo Minho kui... dia ora pernah
minta macem-macem dari masih cah cilik,”
Trisno meminta maaf pada Suparno, atas
pandangannya tentang lelaki itu yang menurutnya terlalu memanjakan Yudi dengan
barang-barang yang disukai anak itu harus ada, sementara beda dengan Minho yang
kesannya dari kecil, anak itu tidak diberikan barang mewah atau barang yang dia
inginkan.
“aku
ini ono rasa bersalah karo Yudi,” jawab Suparno. Rasa bersalahnya pada Yudi
memang ada sejak dulu, sejak pertama kali Yudi bilang di depannya kalau dia
sama sekali tidak akan menerima Minho sebagai adik nya.
“aku ngerti, Pakde,” balas Trisno. Ya,
Trisno tahu kalau Minho sebenarnya bukan anak kandung Suparno, juga bukan anak
sepupu Juminah, yang katanya menikah dengan orang korea, yang dulu awalnya
diceritakan Suparno. Minho adalah anak nyasar yang mengikuti langkah Suparno.
Trisno orang yang dipercaya Suparno untuk bisa menyimpan cerita.
Minho tidak tahu kalau dia sedang
dibicarakan kedua orangtua itu. Dia asik saja mengisi buku keuangan harian.
“Pakde Munir,” katanya, memanggil satu
persatu para pedagang, dengan senyum manisnya, membantu menghitung uang setoran
mereka.
“Kalau aku disuruh melepas anakku..
bisa-bisa aku melepas Yudi, Tris,” kata Suparno lagi.
“Ora iso, Pakde.. biar bagaimanapun, Yudi
itu kan anak’e Pakde.. ,” balas Trisno. Dia menyeruput segelas teh.
Suparno mengulang menceritakan lagi
beberapa kejadian dimasa lalu Yudi berbuat onar dan membuatnya susah. Dimulai
dari mencuri mainan sewaktu kecil mereka pergi ke Gembiraloka, lalu ketahuan
oleh gurunya kalau Yudi dan beberapa kawannya itu mempalak uang beberapa teman
sekolah mereka yang penakut, menghabiskan uang untuk main Play Station, minta
dibelikan ini dan itu, pernah ketahuan mabok minuman oleh gurunya diluar
sekolah, suka berantem di sekolah, sampai susah sekali lulus atau naik kelas.
“Sabar, Pakde.. tapi Pakde kalau bisa juga
keras dengan sikap nakalnya Yudi itu..,” ujar Trisno kalem.
“aku cuma kasih pandangan aja... jangan
sampai mengko (nanti) dia memberatkan
Pakde..,” lanjutnya.
Suparno jadi mikir.. bagaimana nanti masa
depan anak lelaki kandungnya ini??
..............................................
Minho belum tidur malam itu. Dia
selesaikan tugas menghitung buku harian usaha Suparno sampai selesai. Para
pedagang satu-persatu pergi, untuk memulai usahanya. Suparno melihat Minho dari
kejauhan yang masih sibuk menghitung. Lalu, dia menghampiri anak itu, duduk
disampingnya.
“Masih sibuk, Lek??”, tanya Suparno, membuka pembicaraan.
Minho mengangguk, belum melihat wajah ayah
angkatnya itu,”Masih, Pak’e.. sebentar lagi”
Matanya masih melihat pada buku harian
keuangan dan kalkulator.
Tak berapa lama...
“Selesai juga!,” katanya dengan penuh
semangat.
Suparno tersenyum melihat ekspresi anak
itu.
“Oh iya, Pak’e.. aku lupa... tadi
disekolah, aku sudah ujian awal buat saringan pergi ke Korea,” senyum Minho,
dia memberikan buku besar itu, supaya Suparno melihatnya dan menandatangani
nya.
“Opo
sih, Lek.. aku kudu tanda tangan kie.. koyo aku ini direktur perusahaan
opo??,” canda Suparno setelah dia melihat buku itu dan Minho menyerahkan pulpen
untuk menandatangani keuangan harian.
Minho tertawa sampai gigi putihnya
terlihat semua,”Pak’e kan direktur juga.. direktur perusahaan kebun Jengkol
sama kacang panjang, hihihi!”
Suparno tidak marah dengan candaan
anaknya, dia mengusap kepala Minho.
“Jadi.. Pak’e punya anak pinter tenan,”
Minho senyum diperlakukan baik oleh orang
yang dia pikir ayahnya sendiri.
“Pak’e juga kan.. yang bilang aku harus
rajin belajar.. supaya aku bisa bantu Pak’e usaha.. “, balas Minho.
“Pak’e bersyukur sama Gusti Pangeran, duwe
anak seperti kamu, Lek..,” Suparno langsung memuji Minho dengan rasa syukurnya
itu kepada Tuhan, kalau dia memiliki anak yang menurutnya berbakti padanya.
“Doain aku, Pak’e.. supaya aku bisa pergi
ke Korea.. nanti kan semua orang disini bangga sama Pak’e.. kalau Pak’e punya
anak pintar,” manja Minho
“aku doain kamu terus, Lek... jadi orang baik, lurus, berguna
buat banyak orang,” senyum Suparno. Padahal dalam hatinya miris sekali,
mestinya anak kandungnya yang punya sifat seperti ini, bukan Minho yang anak
angkatnya.
Suparno mengajaknya masuk karena hari
sudah malam dan udara sudah sangat dingin.
......................................
Pagi itu hari minggu. Sekolah libur jadi
pasti Minho juga libur. Pagi itu, dia berencana mau pergi ke rumah Pakde
Slamet, seorang peternak sapi kecil-kecilan, katanya untuk membuat karya tulis
tentang susu sapi untuk tugas di sekolahnya. Dia mengayuh sepeda ontelnya
dengan semangat menuju rumah Slamet.
“Aku mau ikut lomba ke Korea, Pakde..
jadi, aku mau buat karya tulis nya tentang Pakde Slamet penjual susu,” senyum
Minho pada orangtua itu.
“pean
lali opo.. pean iki konco akrabne si Ireng, hahahaha!,” tawa Slamet
langsung membahana ke seluruh ruang tamu yang bermodel khas jawa tengah itu.
Waktu kecil, memang kalau Minho menangis,
Suparno suka membawa dia ke peternakan sapi milik Slamet, bercanda dengan si
Ireng, sapi kesayangan Slamet.
“aku tidak bisa main lagi sama Ireng.. kasian dia,” keluh Minho. Ireng
sudah lama mati karena tua.
“aku mau tanya-tanya Pakde.. nanti ini
hasil karya nya mau dibuat bahasa inggeris loh.. Pakde bisa terkenal,” senyum
Minho.
Slamet membalas lagi dengan senyum.
“sekolahmu apik (bagus) yo, Lek?? Iso
lunga nang luar negeri,”
Minho mengangguk,”Syukurlah, Pakde.. aku
enggak mau menyusahkan Pak’e.. kasian Pak’e sudah banyak pikiran dari usahanya”
“Iyo... dadi anak memang kudu begitu..
kudu manut karo Pak’e lan Bu’e mu,” balas Slamet lagi, menasehati Minho
harus taat pada kedua orangtuanya.
Mereka lalu berjalan ke belakang rumah
Slamet. Disana sudah banyak sapi dan juga pekerja Slamet yang mengangkut susu.
Slamet juga sudah menambah usahanya dengan menjadikan susu sapinya diolah jadi
permen.
“Moooooo,” suara ribut para sapi.
“usaha permen Pakde lumayan kan??,” tanya
Minho.
“kie berkat pean juga toh, Lek?? Pean lali
opo.. pean bilang bikin saja permen susu.. baru beberapa bulan kok lali,” balas
Slamet.
Minho hanya cengengesan saja. Dia memang
yang membantu Slamet mencari peluang usaha bikin permen susu, daripada susunya
hanya dijadikan susu sapi jualan keliling. Susu sapinya itu sekarang ditampung
disebuah koperasi lalu dia juga mencoba mengolahnya menjadi permen susu
berbagai rasa.
“soalnya kan aku suka sama yang
manis-manis, Pakde.. susu sapinya Pakde termasuk enak kalau jadi permen, hehe,”
basa basi Minho.
Slamet menepuk-nepuk kepala seekor sapi
yang sedang diambil susunya oleh salah seorang pekerjanya.
“pean cocoknya dadi pengusaha,” kata
Slamet
“aku baru bantu-bantu Pak’e sedikit,
Pakde.. aku masih sekolah..,” jawab Minho.
Minho lalu cerita, sudah beberapa hari ini
dia membantu ayahnya, Suparno, soal keuangan harian, dan menurutnya, ayahnya
itu puas dengan bantuannya.
“Lama-lama bukan si Yudi yang bisa ngolah
usaha Pak’e mu kui.. tapi pean,” ujar Slamet, santai menyalakan rokok kretek
daun jagung.
Hampir semua orang yang mengenal Suparno
memang melihat perbedaan yang nyata itu: perbedaan sikap dan tingkah laku dua
anak lelaki Suparno.
Minho hanya cengengesan, dia bilang kalau
dia harus patuh dengan orangtuanya itu. Slamet menasehatinya jika tidak ada
ruginya menjadi anak yang patuh dan membantu orangtua.
“aku wes
(sudah) dengar dari orang-orang... kalau
pean itu suka ndak enakan karo kakang mu,” kata Slamet, membuka pembicaraan
serius pada Minho.
“usia mu berapa toh??,”
“Baru mau 17 tahun, Pakde,” jawab Minho
singkat.
“wes gede... wes ngerti, mana sing (yang) baik.. mana ora baik,” ujar
Slamet
Minho senyum dinasehati seperti itu.
“aku ini, walau bukan saudara sama si
Suparno kui... aku wes anggap dia iku saudara ku,” kata
Slamet lagi, sambil masih menghisap rokok kretek jagungnya.
Minho mengangguk,”iya, Pakde.. terima
kasih”
“nah, berarti pean, si Sri, si Yudi itu
cucu-cucuku juga.. podo wae karo
(begitu juga dengan) si Murni,” lanjut Slamet lagi, sekaligus menyebut salah
satu nama cucunya.
“pean ojo punya pikiran bakalan nyusahin
orangtua.. dosa ne segede gunung,” lanjut Slamet lagi.
Minho mengangguk saja, mendengar apa kata
nasehat orangtua yang beranjak sepuh itu. Slamet menasihatinya supaya jadi anak
yang nurut, taat pada orangtua, tidak menyusahkan mereka, karena terbilang
karma nya besar kalau membuat orangtua susah.
“Hidup ini cuma lewat, Lek.. jangan sampai
begitu kita lewat, kita banyak jahatnya sama orang lain... ,” kata Slamet lagi
“Iya, Pakde.. aku terima kasih sekali
Pakde Slamet mau terima aku jadi cucu Pakde..,” jawab Minho.
“Sing ta’ pikirin tenan kui sebener’e si
Yudi.. bagaimana nanti dia itu? Suparno
opo yo ora kawatiran??,” tanya Slamet lagi pada Minho.
Semua orang dewasa yang mengenal keluarga
Suparno pada dasarnya khawatir dengan Yudi yang sudah terkenal nakal di desa
itu. Hanya saja, mereka masih menghormati Suparno yang memang dikenal baik oleh
mereka.
“Ingat waktu kamu kecil.. dia kasar dorong
kamu sampai jatuh?? Untuk kamu ndak kejebur ke kotoran sapi,” tanya Slamet.
Minho cuma menggaruk kepalanya saja, dia
agak malu menjawab.
“Ingat, Pakde, hehe... tapi..aku enggak
marah kok, sama Abang Yudi,”
“Yo.. pertahankeun
sifat seperti itu, Lek... dadi menungso
ora kudu duwe perasaan dendam,” ujar Slamet.
Slamet bercerita lagi, bagaimana dulu Yudi
beberapa kali nakal terhadap Minho. lagi-lagi, Minho bilang pada Slamet, sama
sekali dia tidak ingin membalas apa yang dilakukan Yudi padanya, karena Yudi
abangnya. Suparno banyak mengajarkan Minho kalau jadi manusia jika dijahati,
coba balas dengan hal baik. Slamet tertawa dengan cerita Minho yang dia
katakan, waktu kecil, dia pernah didorong Yudi dirumah baru mereka sampai
jatuh.
“Trus.. pean diem nangis bae, Lek??
Hahahaha.. ,” tawa Slamet menggema di halaman belakang.
Minho malu-malu menjawab kalau dia lebih
pilih menangis daripada membalas.
“Ora
usah isin (tidak perlu malu).... Gusti
Pangeran kui ciptakeun air mata yo pasti ono gunane... ben pean engko diterima
lunga nang korea.. pean juga iso nangis, kui jeneng’e nangis bahagia..
Gusti Pangeran itu pencipta bahagia ,” balas Slamet. Dia berfilsafat kalau yang
namanya menangis itu tidak harus menandakan sebuah kesedihan yang terus-menerus
berlangsung dan Tuhan juga menciptakan tangisan bahagia.
“Yo aku bangga karo pean.. ono anak muda..
ora macem-macem.. pikirane bantu-bantu Pak’e mu dewek... jangan sampai kamu
ndak patuh sama orangtua.. kualat,” kata Slamet lagi
“aku akan selalu ingat nasehat Pakde.. ,”
senyum Minho.
Lalu mereka mengobrol soal sapi, cara
bikin permen yang sekarang sudah dicoba berbagai rasa, omset setiap bulannya,
serta rencana perkembangan usaha.
Slamet beberapa kali menepuk-nepuk pundak
Minho, mendoakan anak itu supaya sukses. Padahal dalam hati Slamet
bilang,”Kasihan kamu, Nak.. kamu ini sebenarnya anak pungut si Suparno..
mudah-mudahan, kalau suatu saat, jika kamu bertemu dengan orangtua kandungmu..
kamu tidak akan pernah melupakan jasa Suparno dan Juminah”
Minho semangat sekali mencatat semua hal
tentang tugas sekolahnya itu. Wajahnya sumringah, dia akan dapat bahan bagus
untuk jadi karya tulisnya berbahasa Inggeris, untuk ke Korea.
........................................
Di Sekolah... dua minggu setelah itu...
Pagi-pagi sekali Minho sudah datang ke
sekolah. Dia mengikat sepeda nya di parkiran dengan rantai, lalu berlari kecil
ke ruangan kelasnya.
Di dalam kelas, sudah ada beberapa
teman-temannya, ada yang sedang duduk sendiri, ngobrol dengan temannya yang
lain dan baru mengerjakan PR.
“aku pinjam PR mu, Min... angel tenan, asem (susah sekali,
payah),” keluh Amir langsung menghampirinya.
Minho mengendurkan tali tas selempangnya,
lalu membuka tasnya dan mengeluarkan buku tulis matematikanya itu, diberikan
pada Amir. Dia memang menanggap Amir si anak nakal, temannya yang sebenarnya
baik. Amir hanya anak yang kurang kasih sayang orangtua.
“Awas buku ku jangan kotor.. nanti
ketahuan kalau dicontekin,” kata Minho pada Amir.
Amir malah teriak sama teman-temannya,”Oi.. si Minho kui wes damel PR ne.. arep
nyontek ora???!!”, malah mengajak teman-temannya yang belum mengerjakan PR
untuk menyontek punya Minho. Anak-anak laki yang memang suka malas mengerjakan
PR malah mengerubungi Amir, minta contekan dan mereka pun mengerjakan contekan
matematika itu bersama-sama.
Minho duduk di kursinya, Siti menghampiri,
duduk di sebelahnya.
“Min.. kowe
opo ora weru.. kemarin wengi, Yudi, abangmu kui malak wong meneh??,” kata
Siti, membuka pembicaraan, kalau Yudi mulai memalak (mengambil paksa) uang
orang lain di jalan.
“Beneran??,” Minho kaget sampai matanya
terbelalak.
Siti hanya menjawab santai,”Yo bener lah.. masak aku ngapusi kowe?? ora
ono untunge,”
Siti cerita, dia memang melihat langsung
Yudi dan teman-temannya memalak orang di jalan yang sepi, kebetulan Siti lewat
dengan motornya. Walau sekilas, dia pastikan kalau itu memang Yudi karena dia
kenal helm yang biasa dipakainya.
“kasian Pak’e....,” kata-kata itu otomatis
keluar begitu saja dari mulut Minho.
Siti mengangguk,” iyo.. kasian bapak mu... “
“Min.. aku kie jadi mikir.. jangan-jangan.. Yudi kui anak pungut?? Kowe karo
si mbak mu itu anak asline bapakmu,” lanjut Siti lagi.
Minho menoleh, berfikir dengan perkataan
temannya itu.
“Jangan begitu lah, Sri.. dia itu tetap
abang ku,” keluh Minho.
“Yo
kepiye, Min... aku deleng ne aja beda kok...,” sambar Siti. Dia melihat
memang watak keduanya beda sekali.
“Kamu pinter, abang mu bodo ne ora ketulungan... tukang palak juga..
nyusahin orangtua mu,” lanjut Siti lagi
“nanti aku bilang Bapak ku... apa bapak
sudah tahu atau belum,” kata Minho. Dia memang khawatir banget kalau Yudi sudah
cari masalah lalu ayahnya ketimpahan masalah itu. Seperti beberapa waktu lalu,
Yudi menabrak orang dan terpaksa Suparno membiayai perawatan rumah sakit orang
tersebut.
“Min..
Min.. kowe ora menderita opo.. duwe kakang koyo ngono??,” tanya Siti lagi, tapi sambil tertawa.
Minho cuma senyum saja dengan kata-kata
temannya itu. Yang pusing bukan dia, sudah pasti kedua orangtuanya. Dia suka kasihan
kalau melihat Suparno atau Juminah, ayah dan ibu angkatnya itu, mendadak
termenung kalau sudah selesai dengan masalah kenakalan abangnya itu. Minho
hanya bisa menghibur mereka dengan senyumnya, dengan dia tidak menjadi nakal,
dan dengan dia patuh terhadap perintah keduanya.
“Pean
itu hiburannya Pak’e dan Bu’e... Pak’e bilang.. hatinya adem kalau sudah
melihat pean,” begitu kata Sri, kakak
angkatnya, pada Minho, setiap kali mereka sudah menyelesaikan masalah kenakalan
Yudi.
Minho jadi berfikir lagi.. pulang ke rumah
nanti.. apa lagi yang akan dilakukan Suparno untuk membela dan menyelesaikan
masalah abangnya itu??
................................
Siangnya, Minho dan teman-teman kelas lain
dipanggil lagi ke aula sekolah, ujian kedua kalinya. Mereka masing-masing
mendapatkan amplop tertutup.
“Silahkan dibuka.. tetapi.. hanya kalian
yang boleh tahu.. tidak diberikan kepada teman yang lain, termasuk teman di
kelas,” kata ibu Geum, sang wanita Korea yang sudah pintar berbahasa Indonesia.
Minho membuka pelan-pelan hasil tes
pertama. Dilihatnya, angka 90..
Dia senang sekali mendapat nilai itu, tapi
belum tahu, apa ada teman-temannya yang sedang diruangan itu, nilainya lebih
tinggi darinya.
“Kami sudah membaca hasil karya tulisan
kalian yang berbahasa inggris ini. Hasil karya ini nanti jika terpilih dan
salah satu dari kalian akan pergi ke Seoul, lalu mempraktekkan apa yang ada di
tulisan kalian,” kata Geum lagi.
Semua murid jadi deg-degan, bagaimana
tidak?? Hari ini adalah pengumuman.. siapa yang akan pergi ke Korea!!
Minho sangat berharap, dia sudah mulai
berkeringat, walau ruangan itu ber AC. Dia harap-harap cemas, ingin sekali
melihat dunia luar.
“Semuanya harap berdiri,” kata bu Susi.
Para murid dan wali kelas pun berdiri.
Geum menggoda mereka,” kalian... pasti
berdebar-debar.. iya kan?? Siapa-siap berdoa ya.. semangat!,”
Dalam hatinya, Minho berdoa.. semoga dia
yang dapat... sebab dia ingin sekali membanggakan kedua orangtuanya.
“Kami akan memanggil 3 dari kalian ke
depan,” kata Kang, dengan bahasa inggeris.
Semua berdebar-debar, termasuk wali kelas
masing-masing murid.
Suasana menjadi senyap...
“siap ya?? Please listen (silahkan didengar),” kata Kang lagi.
Semua menjadi deg-degan..
“aku dong.. yang dapat...,” gumam Rini,
anak yang berdiri di samping Minho.
“Yang pertama maju.....,” kata Kang. Dia
diam, lalu...
“Riko...,”
Anak yang bernama Riko pun maju, berdiri
di hadapan teman-temannya dari kelas lain.
“Kedua...............,” kata Kang lagi.
Suasana diam lagi.
“Maya...............,”
Anak perempuan yang bernama Maya itupun maju..
dia teriak kegirangan, padahal belum tentu juga akan dapat, lalu berdiri di
hadapan mereka.
Minho galau, apa dia akan jadi terakhir
yang dipanggil??
“Yang terakhir.... wah.. ini pasti bikin
deg-degan,” kata Kang lagi.
Semua tambah deg-degan.. Minho sudah
pasrah. Dia ingat lagi apa kata Suparno, kalau ayahnya itu tidak memaksa Minho
harus dapat beasiswa, kalau rejeki, tentunya tidak akan kemana.
“Minho..............,” Kang menyebut
namanya.
Minho langsung mengepalkan tangannya dan
spontan mengatakan,”Yes!”
Lalu bu Wati, wali kelas, senyum
padanya,”ayo maju, Minho..”
Minho pun maju, berdiri disamping Maya.
“Nah.. ini baru tiga.. harus ada satu yang
akan pergi ke Seoul,” kata bu Geum.
Hatinya Minho tambah deg-degan, kaki
kanannya bergoyang-goyang, antara gelisah dan berharap sekali dia yang dapat.
“Penilaian terakhir adalah dari hasil
karya tulis kalian yang berbahasa inggeris ini.. menurut kami, Pak Kang dan
juga saya... karya tulis kalian bertiga ini, bagus”, kata Geum yang sekarang
berbicara, menggantikan Kang.
“Riko.. hasil karya mu bagus.. mungkin
saja memang bisa terjadi yang namanya percampuran tari modern antara anak-anak
korea dan indonesia.. bagus”, kata bu Geum.
“Maya.. menurutmu.. bagaimana kalau kimchi
diganti sayur sawi dengan bayam? Ide yang bagus”, lanjutnya lagi
Maya senyum dengan apa yang dikatakan
Geum.
“Minho.. saya tertawa membacanya... idemu
tentang mengembangkan permen susu sapi di Seoul dengan tambahan rasa buah yang
tidak ada disana, buah rambutan, apel malang dan durian dari negeri ini,
menarik juga.. padahal kamu belum ke sana, kan?? Apa ada sapi disana? Hehe,”
Geum malah jadi tertawa.
Minho deg-degan ditertawakan Geum dan
guru-guru wali kelas yang lain juga.
“Kami disini menilai dari dua hal. Kemarin
kalian sudah test akademik, hasilnya tertera di dalam amplop rahasia itu...
lalu kami gabungkan dengan karya tulis... dan... yang berhak mendapatkan
kesempatan adalah............,” kata Geum dengan suara ceria.
Geum mengeluarkan sebuah amplop. Entah apa
isinya. Dia lalu berbicara dengan tiga anak itu yang sudah diseleksi.
Dia menimang-nimang amplop itu. Tiga anak
itu jadi deg-degan tidak karuan.
Geum berputar-putar mengelilingi mereka.
Mirip sekali dengan pemilihan Miss Universe yang biasa dilihat di stasiun tivi.
Mendadak.. dia berhenti dan memberikan
amplop itu...
“Minho.. selamat... kamu yang berhak ke
Seoul!,” kata Geum, setengah teriak pada Minho.
“YES!!,” Minho teriak kegirangan. Dia
menerima amplop itu dan malah langsung berlari ke bu Wati, wali kelasnya. Dia
cium tangan guru itu, tanda menghormat.
“Ibu, makasih ya.. sudah bantu aku..
akhirnya.. aku bisa juga!,” katanya, terharu pada wali kelasnya itu.
Bu Wati senyum bangga anak didiknya
berhasil,”selamat ya, Minho.. kelas kita jadi bangga ada kamu”
Kang menghampiri Minho,” you should arrange the passport and all
needs to go there, be prepare,”
Minho berterima kasih pada mereka.
“silahkan dibuka amplopnya,” kata Geum
Ternyata, sebuah semacam sertifikat
keberhasilan, dari pihak sponsor.
“Kamu bisa tunjukkan itu kepada orangtuamu
di rumah,” senyum Geum.
Minho menunduk hormat, berterima kasih
pada mereka berdua.
“Bapak.. Ibu.. akhirnya.. aku bisa juga
pergi ke Seoul... doa kalian benar-benar terkabul..,” kata hatinya Minho. Dia
begitu bahagia, keinginannya tercapai satu langkah.
Setelah semua pengarahan dari Kang dan
Geum selesai, dia pun kembali ke kelas. Ruang kelas ribut sekali begitu tahu
yang akan pergi ke Seoul adalah teman mereka.
“Edan
tenan kowe, Minho.. otak kowe dibuat dari opo??,” Amir memuji
kepintarannya, yang walau menurutnya gila, tapi bisa membawa kelas nya jadi
terkenal.
Dani, salah satu teman Minho juga, memukul
kepala Amir.
“Otak’e
si Minho kui pinter.. otak kowe dibuat dari gethuk,” canda Dani pada Amir.
Yang lain mentertawakan Amir yang memang
pemalas.
“Ayo, Minho.. kowe kudu ntaktir kita-kita!,” teriak murid yang lain.
Murid-murid yang lain pun mengerubungi
Minho.
“Ya.. Ya.. aku traktir makan gorengan di
kantin,” kata Minho, lalu disusul dengan tawanya.
Mereka langsung menyerbu kantin di jam
istirahat itu. Minho mentraktir mereka gorengan dan jus. Wajahnya sumringah
sekali, membayangkan betapa akan senang kedua orangtuanya mengetahui itu.
...........................
“Bapak.. ibu... aku pulang!!,” teriak
Minho dari luar rumah. Seperti biasa, dia rantai sepeda ontelnya itu, lalu
masuk rumah.
Dilihatnya, Suparno tengah duduk santai di
ruang tamu.
“Lek.. sudah pulang?? Kok wajahnya senang
sekali??,” sapa Suparno pada Minho.
Minho lekas menghampiri kedua orangtuanya
dan mencium tangan mereka.
Lalu di duduk di depan mereka.
Dengan mata berbinar, dia memberikan
amplop tadi pada mereka.
Suparno membukanya, dilihatnya, dia tidak
mengerti, karena tulisan itu berbahasa inggris.
“Ini tandanya.. aku pergi ke Korea, Pak..
Bu.. aku dapat beasiswa ke Korea!,” teriak Minho pada kedua orangtuanya, dengan
wajah ceria.
“beneran, Lek??,” tanya Juminah, hampir
tidak percaya.
“beneran, Bu’e.. aku akan pergi ke korea 3
bulan... hehehe,” tawa Minho.
Juminah langsung memeluk Minho, dia bangga
pada anak itu.
“Gusti... bersyukur sekali Bu’e punya anak
pinter seperti kamu, Lek... bahagia, Bu’e,”
Suparno mengelus-elus kepala Minho, yang
masih dipeluk Juminah.
“Bapak sama Ibu bangga sama kamu, Lek...”
Minho melepas pelukan ibu angkatnya itu.
“Ini kan juga karena doa Pak’e dan Bu’e ke
aku.. jadinya, aku bisa dapat beasiswanya,” suaranya bernada ceria.
Dalam hatinya, Suparno antara sedih dan
bingung, bagaimana nanti jika anak angkatnya ini disana.. justru akan bertemu
kedua orangtua aslinya?? Apa Minho akan tetap bisa menjadi anak mereka??
Tapi disembunyikannya ekspresi sedih dan
bingungnya itu di hadapan Minho.
Suparno berdiri, “ Bu’e coba sembelih
ayam, bikin opor ..kita makan opor ayam saja malam ini ya??,”
Juminah senyum pada Minho,” kamu bilangnya
mendadak, Lek.. ndak ono perayaan
apapun.. kita makan opor wae , undang
Mbak mu kesini”
Minho mengangguk, baginya tidak apa kalau
tidak ada perayaan dan apapun bentuknya. Dia katakan pada kedua orangtuanya,
tadi dia sudah mentraktir teman-temannya satu kelas, jajan di kantin.
Dia pun langsung pamit lagi, ijin pergi ke
rumah kakak angkatnya, Sri. Dia mengayuh sepedanya dengan semangat ke rumah
Sri, yang cukup jauh dari desa itu.
“Bu’e.. bagaimana ini.. bagaimana kalau
nanti Minho di sana malah ketemu orangtua asline??,” tanya Suparno pada
Juminah.
Juminah hanya menghela nafasnya,” Serahin
aja cerita nya karo Gusti Pangeran, pak’e.. Dia Yang Maha Tahu..”
Suparno jadi berfikir keras.. dia harus
pasrah, apapun yang akan terjadi.. Jika ternyata Minho akan kembali ke pangkuan
kedua orangtua aslinya. Ya.. Suparno, Juminah dan Sri harus pasrah.. karena
memang Minho bukan anak dan saudara kandung mereka..
Bersambung ke part 10....