Cerita ini cuma iseng saja, fiksi imajinasi...
Jerry
pun kembali datang ke Jepang, dia sangat kangen dengan Negara itu, yang sudah
lebih dari dua tahun ditinggalkannya. Tidak lama dia berada di apartemennya,
langsung menuju ke rumah sakit di hari itu, khusus bertemu dengan Minho yang sudah menjadi atasannya, namun ternyata
pikiran kepala rumah sakit Eisei berubah. Seperti biasa, basa-basinya masih
terlihat basi dengan sahabat, Jerry memang seseorang yang memiliki sifat easy going.
“Waktu mu masih besok baru kerja full time.. jadi, kesini buat apa...
kangen denganku?? Aku bukan homo,” sindir Minho, yang aslinya bercanda.
”Matsumura-san awalnya sudah menyetujui
seluruh pergeseran jadwal dengan kedatanganmu... tapi sekarang kamu tidak lagi
menjadi bawahanku.. aku malah yang akan membutuhkan kamu jadi konsultan..,”
lanjutnya.
Jerry cengengesan. Dia juga tidak
menyangka pendidikannya yang lalu sebagai spesialis kejiwaan justeru di rumah
sakit ini tidak terpakai penuh, malah akan menjadi konsultan tenaga bantu bagi
divisi dibawah Minho.
”Padahal.. akyu sudah cinta mati dengan divisi kejiwaan.. apalagi ada dokter
ganteng dan pintar macam kamyu jadi
ketuanya, Minho kun,” balasnya dengan kata-kata sedikit genit yang mengikuti gaya
Kaito, banci yang dahulu jadi teman Chie Nakamura.
Kalau sudah begitu, yang paling tertawa kencang
adalah Ken. Dia memang penasaran bagaimana wujud Kaito dan belum pernah ketemu
walau sudah 3 tahun lebih berlalu.
”Ganteng kalau banyak masalah.. aku bisa
butuh risperidone,” gerutu Minho, bercanda sinis.
”Aku mengerti.. aku mengerti,” Jerry
menepuk pundak Minho.
Cerita yang sudah panjang lebar antara dua
keluarga itu, terakhir ini memang belum sampai telak diketahui oleh Kenji, dari
pihak Nakamura. Kenji selalu percaya bahwa keluarga Minho baik dengan anak
perempuannya itu.
”Hanya ibuku yang otaknya mesti
diperbaiki,” kata Minho, jadi sinis.
Jerry mendecak. Dia katakan, kalau
sebaiknya diselesaikan dengan mengambil cuti kembali, lalu selesai sekaligus,
tidak membahas macam-macam kecuali perjanjian itu dan kesehatan Chie.
”Dia sudah mulai membaik, para dokter gizi
sudah memberikan ku banyak saran dan Matsuda-san akan membantuku, supaya
darahnya tidak perlu dibuang jika terlalu tinggi dan terlalu kental,” kata
Minho.
”Yang penting dia sehat... dan jangan
sampai dia tahu, kalau ibu mu protes soal kehamilannya,” balas Jerry.
”Yang pasti.. aku belum membahas khusus dengan
mertuaku,” balas Minho.
Mereka jadi mengira, bagaimana perasaan
mertua Minho ketika tahu tentang perjanjian itu.
”Mana ada sih.. orangtua yang mau anaknya
susah?? Walau sekondisi
Nakamura Chie sekalipun,” kata Ken, dengan intonasi santai.
Jerry mengangguk saja,” Kita yang
semestinya faham soal begini… bukan orang seperti Chie yang harus mengikuti
pola hidup kita...”.
”Tapi.. aku paham bagaimana ibu mu..
semestinya ayahmu berikan ibu mu itu obat... supaya dia tidak berpikir sejauh
itu,”
Berpikir sejauh itu.. sejak awal
pernikahan mereka, ibunya Minho memang tidak setuju. Takut begini, takut
begitu. Terakhir dia hanya tahu, kakaknya, Marisa sudah menceritakan semuanya,
dan menyuruh dia pulang. Namun Minho katakan, kalau kondisi Chie masih tidak
menentu dan tidak bisa dia pulang kampung seenaknya. Hari-hari yang cepat
berlalu, membuat Chie masih terus dikontrol kesehatannya, sama sekali tidak
boleh salah makan, dan kehamilannya pun dipantau terus.
”Dia sudah tidak mengeluh lelah lagi,
sih... tidak juga mengeluh sakit ini, itu... dan bisa dipastikan, setiap
minggu.. aku harus periksa darahnya,” kata Minho.
”Kalau semua orang khawatir tentang anak
kalian nanti.. bisa dipastikan tidak ada yang khawatir tentang perkembangan
dirinya... dan aku lebih setuju kalian membuat Chie sehat selalu,” kata Ken.
Kondisi darah yang cepat mengental, namun
juga cepat turun Hb nya, membingungkan para dokter. Yang paling bekerja keras
otomatis dokter gizi dan hematologi.
”Kalau dia tidak menandakan ke arah
leukemia, shinpai shinaide kure ,”
kata Ken lagi, santai.
Minho mengangguk. Terakhir ketika darah isterinya
itu diperiksa lagi, masih dalam kadar yang diperbolehkan. Itu semua karena
bimbingan dokter gizi, dokter Higa.
”Dan anehnya.. kenapa orang seperti itu.. juga
mudah sekali punya kelainan jantung, ya?,” tanya Jerry.
Mungkin karena beberapa kali, dia
menemukan orang dengan beberapa syndrome, mulai dari down syndrome, anxiety
disorder, anak yang lahir karena terkena sindrom peminum alkohol, dan
sebagainya. Namun Minho mengatakan, kondisi jantung Chie masih stabil. Hanya,
jika darahnya terlalu mengental, dikhawatirkan ada pembentukan benang-benang
dan keping darah disekitar pembuluhnya.
”The cause is still unknown,” Ken
menjawab dengan nada santai.
Jerry
malah jadi bercanda,” Hush.. itu
jaman kuliah, haha.”
“Tapi yang penting, kamu selesaikan dulu
masalah ini, Minho-kun.. aku
minta maaf banget ternyata tidak bisa menjadi dibawahmu..,” lanjutnya.
Keputusan Matsumura untuk meletakkan Jerry
menjadi kepada dokter radiologi memang membuat Minho kaget. Awalnya tidak ada
rencana kesana dan divisinya sendiri kehilangan dokter yang asik, bisa diajak
kerjasama dan tentunya pintar. Namun Matsumura meminta Jerry cukup menjadi
konsultan tambahan, karena sekitar 2 tahun lalu, banyak orangtua yang percaya
Jerry sebagai dokter yang mampu menangani masalah anak-anak mereka.
Mereka bertiga berjanji akan kumpul bareng
lagi di rumah Minho untuk menjenguk Chie. Selain juga, Ken dan Jerry akan
membawa pacar mereka. Sudah sekitar 3 tahun lebih mereka tidak merasakan lagi
berkumpul bersama.
--------------------------
Minho masih mengendarai mobilnya, pulang
sehabis bekerja sampai malam setelah dia rapat dengan para dokter yang berada
di bawah pengawasannya. Smartphonenya berdering, dia memeriksa, dari siapa?
Ternyata ayahnya sendiri yang telepon.
”Yeoboseyo..neo
eodiya??,” sapa ayahnya di telepon.
”Ah.. Appa..
naega yeojeonhi unjeonhago.. aku masih di jalan,” balas Minho, dia lalu menepi.
Tidak biasanya ayahnya menelepon, pastilah
ada hal penting yang akan dibicarakan saat ini juga.
Benar saja, ayahnya mengabarkan tentang
kondisi ibunya yang sedang sakit karena memikirkan soal perjanjian.
”Kamu bicara panjang lebar dengan Marisa??
Kakak mu itu membuat ibumu
jadi sakit.”
Sebenarnya, Minho hanya minta tolong pada
kakaknya agar menunda dan membatalkan perjanjian, yang ayahnya bahkan awalnya
belum tahu. Dia menceritakan semua kembali ke ayahnya.
”ihae
haess-eo.. hajiman geu swiun il-i anida.. dasar,” balas ayahnya dengan
cepat.
Ibu mereka memang mempunyai masalah dengan
mudah khawatir, mudah sekali semua dipikirkan terlalu mendalam, dan akhirnya
malah membutuhkan obat. Tepat seperti apa yang dikatakan Jerry siang itu.
Minho mengeluh, bagaimanapun juga, tidak
bisa dia menyalahkan kakaknya sendiri, karena dia hanya mau membantu apa yang
sedang dialami adiknya. Minho akhirnya meminta ijin, apa perlu dia kembali ke
Hiroshima dalam waktu dekat.
”Mueos??
Menantuku juga sakit??,” akhirnya, ayahnya Minho juga jadi kaget sendiri.
”Sudah dua minggu lebih sedikit, Appa.. sengaja tidak kuberitahu keluarga
disana, agar Eomma tidak semakin banyak pikiran,” balas Minho.
Ibunya memang mempunyai rasa khawatir yang
terlalu tinggi. Sejak Lee Jae Hoon tahu apa yang terjadi dengan kejiwaan
kekasihnya itu, yang sekarang menjadi isterinya dan menemaninya sudah 40 tahun
lebih, dia tidak terlalu perduli, asalkan bisa dikurangi bahkan disembuhkan. Namun
dengan tindakan Minho yang berani ambil resiko dan keputusannya sangat tidak
populer dalam keluarga, isterinya kumat lagi
kebiasaan lamanya.
”Ya.. keputusanmu tidak memberitahu kami..
itu sudah tepat... bagaimana kalau pikiranku kacau berpikir disini dan
disana..,” kata ayahnya.
”Aku ingin mengakhiri segera masalah ini,
Appa.. kalau Eomma sudah begini.. bagaimana semua nya bisa selesai??.”
”Apa Appa setuju dengan apa yang sudah
dilakukan Eomma??,”
Minho ingin tahu pendapat ayahnya. Sebenarnya
dengan sudah mengetahui panjang lebar apa yang diberitahukan kakaknya, ayahnya
bisa membantunya mengambil keputusan.
”Dang-yeonhi
aniji, ba-bo,” Ayahnya kesal sampai berkata bahwa Minho bodoh kalau dia
menyetujui tindakan isterinya.
Minho tersenyum dari kejauhan. Dia tahu,
ayahnya akan memahami masalah ini. Ayahnya memintanya menyehatkan kondisi
kehamilan menantunya itu, barulah hal ini akan dibahas.
”Ibu mu memang begitu daridulu...
sementara aku tidak pernah khawatir cucuku sama dengan ibunya.. ,” kata Jae
Hoon. Karena anak pertamanya,
Yuuki, juga biasa saja dan cucu nya dari Yuuki pun biasa saja.
“Tidak ada yang mengikuti ibu mu... hanya
dia memang perlu berobat lagi,” kata ayahnya.
Minho merasa menang. Ayahnya tidak membolehkan
dia kembali ke Hiroshima, perjanjian itu akan dibatalkan, kecuali Chie sudah
melahirkan dan boleh mereka kembali ke kota itu.
“Bagaimana bisa akan semakin baik kondisi
kesehatannya kalau nanti menantuku juga berfikir aneh-aneh??,” tanya Jae Hoon.
Minho menuruti saja apa kata ayahnya
sendiri. Jikalau ibunya sudah lebih baik dan menelepon dia, tidak perlu lagi
membicarakan masalah ini, dan anggap saja Chie dalam keadaan baik-baik saja.
Minho diam sejenak setelah ayahnya
mengakhiri percakapan. Antara sedih dan senang, dia berusaha fokus menyetir,
pulang ke rumah.
---------------------------------
Sampai di rumah, dia menemukan Chie dan
Matsuda menyambutnya dengan hangat. Minho heran, kenapa pasangannya itu belum juga tidur karena hari sudah
larut malam.
”Minho kun.. okaerinasai...Anata ga nani ka o wasurete imasu ka??,” Chie
bertanya, apa Minho melupakan sesuatu darinya.
Minho memeluk pinggangnya dan menciumnya
dengan lembut.
”Nani
desu ka?? Tasukete itadakemasu ka??,” Minho selalu menggunakan bahasa standar
yang baku, meminta Chie mengingat kembali, ada apa dihari itu, agar percakapan
menjadi mudah dimengerti.
”Hari ini.. tiga tahun kita bertemu,”
katanya dengan suara lembut.
Minho benar-benar lupa, tapi tidak mungkin
dia berkata,” Maaf, aku lupa,” dia tidak ingin merusak mood baik pasangannya.
Dia gembira sekali Chie mudah mengingat
peristiwa yang penting bagi mereka. Lalu Minho bertanya, apa Chie mau sesuatu
darinya?? Misalnya perayaan, atau makan bersama malam ini?? Dia sebenarnya
sudah makan malam dengan Jerry, Ken, Makoto dan Kitahara, berkumpul seperti
tiga tahun lebih yang lalu. Hanya, jika isterinya itu mau makan, akan dia
temani.
Matsuda katakan bahwa memang dia dan Chie
sudah menyiapkan makan malam. Minho bertanya, apa Chie sudah makan terlebih
dahulu? Dan ternyata, dia
menunggu Minho, sama sekali makanan itu tidak disentuhnya.
Minho memeluknya dengan lembut, meminta
maaf kalau dia terlambat karena ada banyak hal yang dibicarakan dan mereka
harus lekas makan agar Chie tidak kelaparan.
Wajah perempuan itu sangat ceria dengan
perayaan sederhana pertemuan mereka, tiga tahun yang lalu.
Minho mencoba makan kue yang ternyata
dibuat bersama Chie dan Matsuda, untuk menyenangkan hati pasangannya. Dia
memandang wajah Chie yang sedang asik makan, dengan lembut.
”Makannya tidak berantakan sama sekali..
tidak ada penurunan kognitif,” kata hatinya Minho.
Yang dipusingkan memang jika salah makan, diliputi
perasaaan menderita, beberapa trigger/penekan, yang ada saja membuat kemampuan
menurun, walau bisa kembali lagi dalam beberapa hari atau minggu kemudian.
”Apa chichiue
(ayah) sudah tahu.. kalau hari ini, kita ada perayaan??,” tanya Minho pada
Chie.
Chie berani menatap mata Minho, malah
dengan pandangan genit,” Iie.. Mada
Chihiue ni iwarete imasen to denwa shimasen.”
Bahwa dia belum mengatakan atau menelepon ayahnya.
Dia lalu malah genit membelai-belai pipi Minho.
”Kono
aka chan wa kyou genki deshita ne, Minho kun,” dia laporan kalau bayi
mereka dirasa sehat-sehat saja.
”Yokatta
na.. Chie Chan.. anata wa hontou ni subarashii tsuma desu... motto aishiteru,” Minho memujinya.
Membuat wajah Chie jadi malu.
Minho menoleh pada Matsuda, apa pagi ini,
Chie memang diajak jalan-jalan, sehingga wajahnya dilihat tidak terlalu pucat
seperti kemarin-kemarin. Kesibukannya membuat dia meminta Matsuda ekstra
hati-hati karena sudah tengah trimester kedua. Matsuda menceritakan kegiatan
harian Chie. Ternyata, dia diundang hari minggu sebagai tamu kehormatan sebuah
acara.
Minho kaget, karena Matsuda tidak
mengabarkannya dan apakah Chie bisa menerima undangan tersebut.
”Dia menyanggupinya, Lee-san.. saya tidak
berkata banyak,” balas Matsuda.
”Dia bisa menjawab semuanya?? Mau datang..
maksudku??,” tanya Minho, heran.
Sementara, Chie sedang asik makan. Dia
harus makan, karena sudah 3 jam menunggu Minho dan perutnya lapar sekali.
Matsuda mengangguk. Biasanya memang setiap
ada kegiatan, kepanitiaan akan menyerahkan obrolan kepada Minho, supaya nanti
akan diteruskan kepada Chie, apakah dia siap atau tidak. Namun hari ini, diluar
dugaan, ternyata Chie menyanggupi sendiri.
”Apakah benar.. hari minggu ini.. akan ada
undangan, Chie chan??,” tanya Minho, pelan-pelan.
Minho menunggu agak sedikit lama dan
mengulang kembali pertanyaannya yang sama, sampai Chie menegakkan kepalanya.
”Oh, Minho kun.. aku sangat lupa.. ya, memang.. seseorang bernama Isegawa-san
meneleponku siang tadi,” katanya dengan ekspresi semangat.
”Boleh aku pinta nomor teleponnya??,”
tanya Minho, masih kepada Chie.
Chie hanya menyerahkan smartphone nya pada
Minho, meminta dia sendiri yang mencarinya.
Minho lalu mencari seseorang dengan nomor
telepon terakhir yang terlihat dan menghubungi orang itu, ternyata memang
benar, dari Isegawa, yang meminta Chie membuka acara pameran khusus.
”Dengan senang hati kami akan berusaha
membantu, Isegawa-san.. ada berapa peserta yang sekiranya hadir??,” tanya
Minho. Dia minta persyaratan agar tidak terlalu banyak, karena terkadang Chie
sangat sensitif dengan suara bingar.
Minho mengajukan beberapa syarat yang
kemudian akan berusaha disanggupi oleh Isegawa. Dia puas dan senyum dengan
Chie.
”Lukisanmu juga akan berada disana,”
senyum Minho.
Chie bangun dari kursinya, yang berada di
depan Minho dan langsung memeluknya.
”Selamat hari ulang tahun ke tiga,” kata
Minho dengan lembut.
Matsuda hanya tersenyum melihat anak
asuhnya bersikap manja itu.
Malam itu, Minho tidak jadi berbicara
dengan keluarga Nakamura, mengurungkannya esok saja, sekaligus meminta bantuan
Kenji, sang mertua, menemani anaknya pameran.
Chie duduk diatas tempat tidur. Minho
bercanda padanya dengan mengelus-elus perut pasangannya itu, seolah-olah dia
berbicara dengan sang bayi.
”Ne,
Minho kun...,” kata Chie, memulai pembicaraan.
”Nan
desu ka??,” balas Minho, sambil masih mendengarkan gerakan bayi mereka. Lalu dia duduk dan menatap mata Chie di
depannya.
”Ibu.. apa kabarnya??,” tanya Chie.
Minho heran, kenapa mendadak Chie bertanya
tentang kabar ibunya. Bukannya beberapa waktu lalu, dia sangat sedih, karena
dianggap tidak ada oleh mertuanya sendiri? Dan menganggap mertuanya itu tidak
sayang dengan dirinya?
Namun, Minho menjawab dengan diplomatis,”
Ibu, baik-baik saja.. hanya, tadi sebelum tiba disini.. aku bicara dengan
ayahku.”
Minho hanya bercerita, bahwa keluarga di
Hiroshima sangat kangen dengan isterinya itu, berharap mereka akan datang,
padahal tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang dibahas malam ini.
”Janjiku untuk melukis kuil Itsukushima
belum juga bisa, Minho-kun.. kadang, kalau aku ingat itu.. aku tidak menepati janjiku sendiri,” kata
Chie.
Isukushima sebuah kuil yang sangat indah
di pinggir lautan di Hiroshima. Mereka sempat pergi ke sana dan berdoa. Minho
senyum saja dengan perkataan itu, baginya, itu bukan sebuah janji yang harus
ditepati, kapan-kapan saja, Chie bisa melukisnya.
”Aku masih ingat sekali dengan kuil itu..
ah.. aku ingin melukisnya,” kata Chie. Lantas dia hampir melompat dari tempat
tidur, namun Minho melarangnya.
”Kita sebaiknya tidur, hari sudah malam,”
Minho menunjuk jam di dinding yang sudah pukul 23.00.
”Aka-chan pasti lelah.. dan aku juga mengantuk,
Chie chan,” lanjutnya.
Chie menurut saja apa kata Minho. Dia lalu minta diceritakan soal keluarga
mertuanya di Hiroshima. Minho hanya menyampaikan kalau pembicaraan dirinya
dengan ayahnya seputar mencari cuti kedua dan meminta mereka datang lagi.
”Ayah dan ibu serta semua kakakku, mereka
baik-baik saja disana,” kata Minho lagi. Dia sudah sangat mengantuk, lalu
membaringkan Chie dan membujuknya untuk tidur.
”Minho kun.. aku jadi teringat sesuatu,”
katanya, sambil mengelus rambut Minho.
”Apa??,” Minho mencoba memejamkan matanya.
Dia harus tidur, karena Chie akan mengikutinya tidur.
”Tsukareta
kara, nemui kudasai desu,” kata Minho, meminta Chie tidur, dia sudah sangat
lelah.
Chie meminta waktunya sebentar dan Minho
menyanggupinya. Dia lalu
bercerita ketika berkonsultasi dengan dokter Higa.
”Higa-sensei
wa, watashi no jiheishou wa kaifuku dekinai desu, to iimashita,”
Minho malah jadi menggerutu dalam hatinya,
apa yang sebenarnya sudah dibicarakan isterinya dengan Higa itu, sehingga
keluar pernyataan seperti itu dari mulut Chie.
”sembuh atau tidak sembuh.. Chie kan tetap
isteriku yang manis dan setia,” puji Minho. Dia mengatakan pelan-pelan, kalau
tidak bisa sembuh, bukan berarti selamanya sakit. Chie hanya perlu makan yang
baik dan sehat, rajin berolahraga, tidak banyak pikiran dan tidak perlu
bersedih kalau semuanya tidak bisa dilakukan.
”Kenapa Higa sensei jadi berbicara berat
padanya?,” kata Minho dalam hatinya.
”Tidak penting bicara seperti itu pada
Chie chan,” tambahnya.
“Aku apa benar tidak bisa sembuh, Minho
kun??,” tanya Chie lagi, memastikan dirinya berkali-kali.
Minho sudah sangat mengantuk. Dia lalu
memeluk Chie, tapi matanya terpejam.
“Memang tidak bisa sembuh.. kata siapa
bisa?? Ya.. Higa sensei benar,”
Chie malah menangis mendengar Minho mengatakan
itu. Dia takut, ibu mertuanya (ibunya Minho) akan tambah tidak menyukainya.
Minho akhirnya membuka matanya dan menciumnya.
”Bukan berarti ibu tidak suka, Chie chan..
tidak seperti itu.. maksud dari Higa sensei adalah... bahwa Chie chan tetap
sebaiknya hidup sehat, makan yang baik... Higa sensei tidak menyuruh untuk
sembuh.. tapi Higa sensei tidak menjahati kamu.”
”Ibu juga tetap suka Chie chan... Chie
tidak sakit.. Higa sensei hanya salah berkata.”
”Berarti.. besok aku harus katakan pada
Higa sensei.. kalau dia salah mengucapkan,” balas Chie, dengan penuh semangat.
Besok dia memang akan kembali konsultasi dengan Higa dan juga periksa darah.
”Ya.. besok akan ku temani Chie chan.. dan
kita katakan, kalau Higa sensei salah,” balas Minho.
”Tapi.. apa kalau aku tidak sembuh.. Ibu
akan tetap suka aku??,” kembali dia bertanya itu.
Minho rasanya sudah bete dengan pertanyaan berulang-ulang dan harus dijawab dengan
redaksi yang sama.
Dia lalu membuka matanya,” Aku sudah
sangat mengantuk.. Chie chan.. paling lambat tidur jam 23.00 kan?? Bagaimana bisa kalau terlambat tidur??
Aka-chan sudah lelah.. terasa kan?? Kamu bisa sakit kepala.. ingat jadwal tidur.”
Chie mengangguk. Minho lalu membantunya
tidur dengan menarik selimut mereka.
Dalam lamunan Chie, dia memaksa dirinya
akan segera sembuh, dan sang ibu mertua akan mencintainya setulus hati. Dia
bermimpi, seperti terbang ke sebuah tempat yang sangat putih, banyak orang yang
tidak dikenalnya, tersenyum padanya, termasuk ibunya yang telah tiada. Dia
sibuk memanggil-manggil nama ibunya, meminta pergi bersamanya.
Minho bangun karena merasa teriakan Chie
begitu kencangnya.
Chie memeluk Minho dengan erat,” Aku
bertemu ibuku, Minho kun.. dia tersenyum padaku.”
Minho aslinya takut dengan mimpi seperti
itu, hanya, dia berusaha menenangkan Chie agar tidak terus memimpikan mendiang
ibunya itu.
”Okaasan
(ibu) mungkin kangen padamu, Chie chan.. dan dia senang, kamu bisa punya anak
suatu hari nanti,” hibur Minho dini hari itu.
”Rasanya.. senyuman Okaasan sama dengan
ketika aku kecil, Minho kun,” balas Chie. Pipinya masih penuh air mata.
Minho melepas pelukannya dan mengusap air
matanya,” Ah.. Okaasan memang
kangen padamu.. minggu sehabis pameran.. kita datangi makamnya.. mungkin
Okaasan mau melihatmu tersenyum.”
Chie minta Minho berbaring dan dia tidur
didekat pundaknya, sambil memeluknya. Minho membiarkan saja pasangannya itu
berusaha tidur lelap. Sampai benar-benar dia merasakan nafas Chie yang sudah
lelap terlebih dahulu.
”Moga.. mimpi itu bukan pertanda buruk... aku
tidak mau kehilanganmu begitu cepat,”
Minho menatap wajah Chie yang tertidur,
dia mencium kedua mata perempuan itu, lantas tidur kembali.
Bersambung ke part 9...