This is me....

Jumat, Desember 11, 2015

My 3 Supernatural Beloved Kids (Part 15: Anak-Anak Supernatural)

Cerita ini hanya fiksi imajinasi belaka. Gak usah dipikirin kenapa begini, kenapa begitu.. Cuma keisengan diri saja yang ingin mengimajinasikan bebeb Lee Minho.  Adapun jika ada nama dan tempat yang kebetulan sama, itu gak sengaja, hehehe.

Starring: Lee Minho, Park Minseo, Lee Jin Ho, Lee Young Joon, Lee Hana.

Minseo masih diam, tidak menjawab pertanyaan Minho. Baginya, ini adalah rahasia hidupnya, walaupun Minho adalah pasangannya, kalau soal kemampuan supernaturalnya, dia tidak akan membuka dirinya pada Minho.
“sedari dulu kita bicarakan ini.. kalau aku memang suka sekali menebak-nebak.. kamu sudah tahu itu, Minho, suamiku..,” Minseo berbicara dengan senyum.
Minho tidak puas dengan jawabannya. Dia menaikkan alisnya, meminta jawaban yang masuk akal baginya.
“aku sudah tahu itu,” katanya dengan nada sedikit judes. Dia tetap meminta jawaban lebih.

“aku tidak bisa apa-apa lagi selain menebak,” balas Minseo. Dia masih tidak mau membuka rahasianya.
Bagaimanapun, dia tidak ingin semuanya menjadi pertentangan. Bagaimana dia selalu ingat, Minho tidak ingin membahas soal aneh dan tidak ingin dirinya menjadi aneh, sedari dulu, sedari kesepakatan awal mereka berpacaran. Sudah pasti, jika Minho tahu, dia akan kecewa, dan rumahtangga bisa saja bubar begitu mudahnya.
“ah..percaya padaku, Minho.. aku bersumpah..memang aku bukan seorang supernatural..siapa yang mengatakan itu.. Tuan Kang lagi??,”
Minho langsung menjawab dengan cepat,”Ya”
Minseo sekali lagi, memasang wajah sedih dan memeluknya.
“aku benar-benar enggak ingin kamu terlalu percaya, Minho... bukan harus menjadi seorang peramal atau supernatural jika memang perasaan hatiku kuat terhadapmu dan anak-anak kita.. aku.. tidak ingin kamu tidak mempercayaiku.. karena..aku percaya penuh padaku”.

Minseo tidak ingin kehidupan rumahtangganya bubar secepat itu. Dia yakin sekali kalau ini semua pasti akibat dari Minho terpengaruh oleh peramal Kang itu.
“lagi-lagi.. dia salah menebak..,” kata Minseo lagi.
“kalian seperti saling benci.. terutama kamu.. seperti sangat membencinya,” balas Minho.
Terang saja, Minseo tidak ingin Minho berpikiran seperti itu. Namun, pada dasarnya, genderang perang memang sudah dimulai sedari awal kehidupannya dengan Minho, pada lelaki peramal itu. Menurutnya, hal ini sudah keterlaluan. Wajar saja misalnya kalau 1-2 kali bisa mendatangi orang itu, namun kalau hampir semua sisi kehidupan Minho selalu mendatangi orang itu, maka terang saja Minseo jadi gerah sendiri.
“ketakutan yang tidak wajar,” kata Minho, suatu hari pada dirinya.
Bukan sebuah ketakutan, atau mungkin juga tidak berharap menjadi sebuah ketakutan. Namun, bisa menjadi sebuah ketakutan yang akan terus menghadang ketika sebuah rumahtangga diatur oleh orang yang sangat tidak kita kenal. Sebagai seorang perempuan, tentunya tidak ada yang menyukai hal itu, bahkan oleh mertua sendiri.

“aku mengaku salah jika memang terkesan tidak suka dengan lelaki itu.. aku hanya tidak ingin rumah tanggaku direcoki,” ujar Minseo, dengan nada yang berusaha untuk datar sehingga Minho tidak akan merasa tersinggung.
“bagiku.. dia memang orang lain.. namun.. hal yang aku ingat darinya tadi: apakah benar.. kamu justru sebenarnya seorang supernaturalis??,” tanya Minho, tentu yang redaksinya menginginkan jawaban yang sama: ya atau tidak.
Minseo tidak bisa lagi mengelak, dan dia pun menjawab...
“tidak.. aku bukan seorang supernaturalis.. dan Kang-ssi terlalu salah menilaiku”.
Minho memandang kedua matanya dengan tatapan yang tajam. Dia tidak ingin keluar kata kebohongan dari mulut isterinya.
“sungguh??,”
Minseo mengangguk mantap. Hanya ada keyakinan dalam hatinya, pun jika ia berbohong, dia tidak ingin Kang mencampuri urusan rumahtangganya. Dia hanya ingin menyelamatkan kondisi rumahtangganya.
Minho lalu hanya berkata,”baiklah.. aku masih mempercayaimu”.
Minho lalu menuju kamar dan diikuti oleh Minseo dibelakangnya. Malam itu, mereka tidak banyak bicara. Minseo sengaja tidak banyak bicara kepadanya agar emosi Minho stabil dan tidak ada pertengkaran lagi malam itu.
Minho tidak mau diganggu ketika menuju tidurnya, dia hanya sedikit bercanda dengan ketiga anak kembarnya itu karena sudah larut malam. Lalu, dia langsung menuju kamarnya dan berbaring, tanpa menunggu Minseo, segera tidur.

“Peramal itu sudah buat hidupku kesal,” gerutu Minseo dalam hatinya, diatas tempat tidur, disamping Minho.
Minho memang mempercayainya sedari kecil karena kedua orangtuanya dahulu suka pergi ke tempat itu. Minseo benar-benar menemukan dunia yang berlawanan dengannya dalam diri Minho. Keluarganya yang justru kebanyakan bisa kemampuan supernatural malah sama sekali tidak percaya dengan hal seperti itu. Dia berpikir, apakah nanti bisa dia menyingkirkan pikiran Minho untuk tidak percaya lagi dengan orang itu. Pikirannya tidak enak, sebenarnya... apa yang telah dibicarakan oleh Minho dan peramal itu?? apakah ada topik lain selain tentang dirinya? Untuk sementara, dia tidak mungkin melawan Minho kalau sudah muncul sikap keras kepalanya. Dia berusaha tidur nyenyak malam itu.
                                                ....................................................
Paginya, semua berjalan seperti biasa lagi. Minseo berusaha melupakan kejadian semalam supaya dia tetap bisa bersemangat hari itu. Orangtuanya sudah pulang lagi.
Minho masih saja tidak banyak bicara dengan kejadian tadi malam. Namun, Minseo tetap harus ramah padanya.
“Jin Ho terlalu nakal.. kemarin dia hampir saja menjatuhkan vas yang kamu belikan di china,” kata Minseo, memulai percakapan. Sementara mereka mendudukkan ketiga anak kembarnya di kursi khusus bayi.
Minho bersemangat jika berbicara tentang perkembangan ketiga anak mereka. Dia malah mengelus kepala Jin Ho.
“suatu hari.. kamu yang akan mewarisi bisnis ku,” kataya, ramah pada Jin Ho.
Jin Ho tertawa saja dengan perkataan ayahnya.
Tidak terasa, umur mereka bertambah, sudah lebih dari setengah tahun.
Minseo yang paling khawatir dengan perkembangan ketiga anak mereka. Minho bersikap santai karena belum melihat banyak keanehan, walau sering bermain kala dia ada waktu senggang.
“Jin Ho memang pintar... dia sepertinya punya tanggung jawab kepada dua adiknya,” basa basi Minseo pada Minho, sambil menyiapkan makan pagi mereka semua.

Minho lalu menoleh padanya, ternyata, dia minta maaf atas kejadian semalam. Minseo mengerti, pasti kalau sudah begitu, karena urusan bisnis. Minho mengiyakan. Dia kebingungan dengan kecurangan.
“Stop saja bisnis dengan Nam itu.. dahulu, kamu juga pernah dicurangi,” kata Minseo.
Namun yang menjawab bukan Minho, tapi Hana yang ber bubbling pada Minseo.
Minho malah tertawa dengan ekspresi Hana dan juga bubbling yang tidak jelas itu. Minho malah jadi mengira, bahwa Hana seperti mengerti masalah dia.
“ingat tidak.. sedari awal Hana sudah mulai perhatian dengan dunia.. dia memang seperti perempuan dewasa,” canda Minseo.
Minho tertawa sampai semua gigi putihnya terlihat.
“aku melihat Hana memang cerdas.. dia seperti dirimu.. seperti bisa menebak-nebak dan membaca pikiran orang lain,” balas Minho, lalu dia mengangkat tubuh Hana dan menggendongnya.
“semua anak kesayangan Appa.. kalian memang pintar dan buat Appa banga,” katanya, memuji ketiga anak kembarnya itu.

Lalu, dia menoleh pada Minseo. Dia memang putuskan, akan mempertimbangkan kata-kata isterinya itu, walau peramal Kang mengatakan, bahwa tidak ada yang salah dengan sikap Nam atas kerjasama bisnis dengannya.
“Nam sudah jelas curang.. aku tidak suka berhadapan dengan orang curang.. aku bisa lebih galak darinya,” tegas Minseo. Sebab, dahulu juga dia manajer dari pabrik baju, setidaknya, dia tahu, mana kualitas bahan bagus, mana yang buruk.
“penjualan hasil dari kain produksinya.. jelek bukan?? Kita bisa merugi.. ,” lanjutnya lagi.
Minho malah mendekati Minseo dan mencium pipinya.
“aku sayang kamu.. aku minta maaf tadi malam,”
Minseo mengetahui memang sikap Minho yang masih kekanakan dalam beberapa sisi, dia tidak boleh marah kalau Minho sadar sendiri dan minta maaf padanya.
“aku tidak percaya... kamu seorang supernatural.. aku lebih percaya, kamu sebagai isteriku yang memang punya kemampuan menebak dan mengira yang tinggi,” kata Minho, dia bermain-main dengan Young Joon, si anak tengah pendiam.
Minseo memang harus banyak mengalah. Dalam hal pikiran pun terkadang dia merasa harus banyak mengalah. Baginya, Minho baiknya banyak belajar, bahwa di dunia ini bukan cuma tentang percaya pada ramalan seseorang, tetapi juga pada kekuatan sendiri dalam menganalisis masalah. Dunia sudah terlalu kuno untuk percaya hal-hal seperti itu.
“aku ingin bisnis mu berjalan lancar.. dan tidak ada yang curang.. aku tidak suka dicurangi sekecil apapun,” kata Minseo, dengan senyumnya pada Minho.
Minseo memang memiliki sikap yang berhati-hati sekali, sementara Minho terkadang ceroboh walau juga pemikir. Untuk itu, dia membutuhkan Minseo. Namun dari sisi keras sikapnya yang terkadang tidak mau mengalah itulah, Minho masih terlihat seperti anak-anak.
Minho malah bersikap manja dan merangkul Minseo.
“itu sebab.. kamu jadi isteriku.. kalau enggak begitu.. nanti aku bisa kena tipu deh,” katanya dengan cemberut.
Tidak ada yang bisa dilakukan Minseo selain tertawa. Dia memang melihat sisi dewasa dan anak-anak Minho bisa bersamaan muncul.
“Hana memperhatikan kamu banget loh.. lihat deh.. mungkin.. kalau dia sudah bicara, dia akan protes padamu,” ujar Minseo dengan tawa kecilnya.
Hana malah tertawa keras ketika Minseo terkesan membicarakannya.
“kita tunggu saja Hana sampai besar.. apa dia mirip denganmu atau tidak,” senyum Minho pada Hana.
“sore ini.. aku akan pulang cepat.. membawa mereka jalan-jalan ke rumah orangtuaku,” katanya lagi.
Minseo mengangguk setuju saja. Minho berangkat kerja dengan senang hati.
                                    ....................................................
“Ah, Minseo.. kamu mungkin terlalu sensitif dengan peramal itu,” kata Na Ra, sahabat baik Minseo semenjak kuliah dan tahu dia dulu berpacaran dengan Minho.
Na Ra tahu, bagaimana Minseo. Dia sahabat baik yang tidak akan membocorkan rahasia Minseo pada siapapun.
“Aku memang dengan kalau peramal Kang itu peramal hebat.. mungkin ketika dia bertemu denganmu yang sebenarnya bisa seperti dia, dia merasa terancam penghasilannya.. kamu sendiri kan yang cerita, kalau Minho dan keluarganya itu sedari dulu percaya dia??,”
“Tapi.. Minho tidak galak denganmu kan... tidak memaki-maki mu ketika kamu tidak setuju dengan peramal itu??,”
Minseo katakan tidak. Minho masih bersikap marah yang biasa saja, tidak meledak-ledak dan tidak memaki-maki.
“kemampuan mu.. disatu sisi memang jadi kelebihan.. satu sisi, benar-benar seperti pisau,” kata Na Ra lagi.
Karena sebenarnya yang paling ditakutkan bagi Minseo bukan dari kemampuan dirinya, namun bagaimana kalau ketiga anaknya menunjukkan hal itu di depan Minho??
Na Ra hanya tersenyum kepada tiga anak kembar itu yang kebetulan dibawa jalan oleh Minseo bersamanya.
“Mereka manis semua kok.. Minho pasti belum tahu soal ini”.
“Minho memang belum tahu.. aku menyembunyikannya... Jin Ho sudah mulai bermain-main dengan kemampuannya.. hanya, masih aku sanggup menutupinya,” keluh Minseo.

Na Ra mengerti kegundahan hati Minseo. Sedari dulu mereka bersahabat, memang kebanyakan lelaki yang dekat pada Minseo akhirnya ketakutan sendiri dengan segala kemampuannya. Dengan Minho pun, semua ditutupinya.
“cepat atau lambat.. Minho akan tahu ini,” kata Na Ra.
“dan aku harus terima resikonya,” kata Minseo.
Na Ra menangguk. Dia mempunyai ide, bagaimana kalau ketiga anak itu diawasi oleh ayahnya Minseo yang memang juga punya kemampuan supernatural.
“ayahku mau saja merawat mereka.. namun, pastinya, aku juga harus minta ijin Minho soal ini.. dia paling malas kalau ada orang lain masuk rumah kami,”
Artinya, Minseo memang lebih harus berusaha mengurusi ketiga anak mereka dibandingkan minta bantuan orang lain. Minho lebih setuju semua pengasuhan ada dalam tangan mereka. Ayahnya memang tidak mempermasalahkan sama sekali dengan kemampuan ketiga cucunya itu, namun sama kegundahannya dengan Minseo, bahwa belum waktunya Minho tahu. Minseo lalu bercerita bagaimana ketika ayahnya menghalangi kejahilan cucu pertamanya, Jin Ho, pada Minho. Na Ra malah jadi tertawa mendengarnya.
“wah, Jin Ho.. kamu jahil sekali diam-diam ya?? Kamu Minho sekali,” senyum Na Ra pada Jin Ho.
Na Ra yang seorang psikolog justru senang memilik sahabat seperti Minseo. Persahabatan mereka panjang karena dia mengerti tentang sifat dan karakter Minseo. Dia juga yang dulu pernah sempat bertemu Minho saat mereka mengadakan bakti sosial bersama.
“suami mu itu.. memang terkadang ada sifat kekanakannya sih.. jadi.. gimana ya??aku sendiri juga bisa menebak.. takutnya dia tidak siap menghadapi ini semua,” tawa Na Ra.

Minseo mengangguk. Sikap tradisional memang sedikit susah menerima perubahan atau bahkan hal yang aneh. Itu sebab, dia bercerita pada sahabatnya itu sejak dulu. Na Ra adalah oranglain yang dianggap paling mengerti tentang kelebihan dirinya, ditambah lagi sekarang dengan tiga anak yang juga akan mengalami nasib yang mungkin saja sama.
“ayahmu bisa membantu kok.. ,” senyum Na Ra sambil dia bermain dengan Jin Ho.
“kamu bisa lihat kan??? Aku tunjukkan,” kata Minseo pada temannya itu.
Lalu Minseo memancing Jin Ho untuk melakukan seperti apa yang dia lakukan pada sebatang sumpit: membengkokkannya! Jin Ho berhasil melakukannya sambil tertawa ala bayi. Na Ra begitu kaget dengan kemampuan anak sekecil itu, yang baru memasuki usia 6 bulan pertama kehidupan.
“Hah.. i cant believe it.. ,” kata Na Ra dengan sedikit terperangah.
Minseo tersenyum kecut, dia mulai galau.
“Bagaimana kalau Minho tahuuuuuuuuuuuuu??? Aku pusing lama-lama kalau begini terus,” keluhnya.
“satu satunya cara... ya memang meminta pertolongan ayahmu.. dia kan juga supernaturalis, namun dia lebih bisa ngerti sepertinya terhadap mereka..,” jawab Na Ra.
“Iya kan, Jin Ho??,” senyumnya pada anak kecil itu.
Na Ra malah memancing Jin Ho untuk melakukan yang lebih lagi, agar dia tahu bagaimana karakter anak kecil itu. Jin Ho melakukan saja apa yang diperintahkan Na Ra. Sepertinya, dia juga anak yang cerdas dan mampu memahami perkataan orang yang jauh lebih tua darinya.
“Untung cafe ini tidak ada yang peduli ya.. kanan kiri kita, hehe,” tawa kecil Na Ra pada ketiga anak kecil itu.
“aku sih percaya banget.. kalau mereka justru akan melindungi keluarga mu, Minseo,”
“aku tidak tahu.. walau peramal Kang juga bilang seperti itu, jauh ketika mereka masih ada dalam perutku,” jawab Minseo dengan nada agak pesimis.
“yang kutahu juga bisa seperti itu,” senyum Na Ra.
Na Ra meyakinkan Minseo supaya tidak terlalu khawatir dengan semua itu. Dia sebaiknya membuat kesepakatan dengan ayahnya sendiri tentang bantuan mengasuh ketiga anak itu. Na Ra berjanji, dia akan juga membantu Minseo dari sisi lain. Baginya, keluarga seperti ini unik dan bisa membuat Na Ra terkesan.
“itu sebabnya aku berteman denganmu sedari dulu, Minseo... saat banyak orang tidak ngerti kelebihanmu itu,” senyum Na Ra pada Minseo.
“Minho tidak perlu banyak tahu tentang mu... yang penting, dia jalankan saja kehidupannya dan kamu tetap berkerjasama dengan ayahmu... “.
                                    --------------------------------------
Park pun sore itu menelepon Minho setelah dia berbicara dengan anaknya sendiri, soal pengasuhan yang ditawarkan dia pada Minho terhadap tiga anak mereka. Minho yang masih ada di kantor dan juga pabriknya, merasa senang saja mertuanya itu mau membantunya.
“sepertinya Appa konsentrasi sekali ingin mengasuh Jin Ho.. ,” ujar Minho di telepon.
Park berkilah bahwa Jin Ho memang anak yang sepertinya cenderung nakal dan akan menyusahkan Minseo, ibunya, sementara Young Joon dan Hana terlihat lebih kalem.
Park tertawa renyah pada Minho, khas lelaki itu yang memang suka bercanda.
“aku merasa, Jin Ho sepertiku waktu kecil, Minho.. jadi, aku harus bertanggungjawab pada tingkah cucuku yang satu itu.. supaya dia tidak menyusahkanmu, hahaha!”.
Minho memang tahu, mertuanya suka bercanda. Dia tidak merasa curiga dengan apa yang ada dibalik itu semua. Dia menurut saja ketika ayah mertuanya itu membuat kesepakan sendiri akan membantu mereka menjaga Jin Ho yang dianggap aktif dan cenderung iseng serta nakal.
Namun Minho berpikir setelah pembicaran lewat telepon itu selesai.
“Jin Ho nakal?? Umm.. sepertinya enggak deh... apa mungkin karena memang Minseo kelelahan mengurus tiga anak sekaligus?,” katanya, sambil mematikan Hp nya, lalu bekerja lagi seperti biasa sebelum pulang. Dia berjanji akan membawa 3 anaknya itu ke rumah orangtuanya, karena sudah lama tidak berkunjung kesana.
                                                ..............................
Sampai dirumah, ternyata sudah ada mertua Minho, Park dan isterinya. Park sibuk menimang-nimang Jin Ho yang tertawa-tawa dengan orangtua itu.
“lihat, Minho.. Jin Ho memang pintar!,” kata Park dengan penuh semangat menggendong-gendong dan mengangkat tubuh cucunya itu.
Minho menunduk hormat pada kedua mertuanya itu karena baru saja melihat mereka. Dia lalu membahas perkembangan Jin Ho dengan ayah mertuanya itu. Jin Ho memang dianggap cukup cepat dibanding dua yang lain. Minho hanya membahas perkembangan normal saja, jadi Park mengikuti alur bicaranya agar tidak timbul kecurigaan bahwa sebenarnya Park menginginkan lebih dari itu.
“sebenarnya, aku khawatir karena kalian tidak punya asisten rumahtangga,” ujar Park pada Minho. Mereka duduk-duduk di halaman belakang yang terbuka.
“aku memang masih mempertimbangkan itu, Appa.. apakah Minseo benar-benar tidak sanggup lagi untuk mengurus tiga anak kami??,” balas Minho, sambil dia menggendong Young Joon. Sementara anak itu asik saja bermain dengan penggigit karet.
Tanpa dinyana oleh Minho, Park malah menawarkan diri untuk menjaga ketiga cucunya. Minho tidak kaget akan hal itu. Di negeri ini, sedari dulu juga memang mertua atau orangtua sendiri sanggup untuk mengurus cucu mereka jika ada waktu, daripada mereka hanya menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang tidak tepat, lebih baik memang mengurus cucu.
“ketiga anak mu ini pintar-pintar... jujur saja... aku tidak yakin kalian tidak direpotkan mereka... ,” ujar Park dengan tawanya.
“si Minho masih berpikir.. aku hanya sebatas membantu dia mengurusi atau mengajak bermain anak-anaknya saja.”
Park ternyata diam-diam membaca pikiran Minho. Dia membaca, bahwa Minho memang masih berpikiran polos, menganggap Park akan membantunya hanya dari sisi pengasuhan bermain atau supaya Minseo agak ringan sedikit dalam mengajak mereka bermain dan belajar sesuai perkembangan umur. Park mengikuti saja alur pikiran Minho.
“ya.. bagaimanapun.. seorang kakek juga punya tanggung jawab mengurusi cucu-cucunya.. apalagi.. mereka hebat buatku,” kata Park, membesarkan hati Minho.
“ibu mertuamu juga tidak mempermasalahkan itu.. anak-anak kami sudah besar.. apalagi kalau bukan membantu mengurus cucu,” lanjutnya lagi.
Minho jelas jadi senang sekali. Dia merasa bersyukur memiliki mertua yang mengerti kebutuhannya. Dengan senang hati, akhirnya dia menyepakati sendiri, tidak mengapa bagi mertuanya itu sering datang untuk membantu dia dan Minseo.
“aku mengerti kalian sibuk sekali... kalau waktu sedikit... sedikit banyak minta bantuan mertua sendiri kan.. enggak mengapa..,” kata Park, mengambil hati Minho.
Dan Minho pun menuruti saja.. siapa yang tidak mau dibantu?? Apalagi Park menawarkan dirinya sendiri, berserta isterinya akan mengasuh ketiga cucu mereka. Memang jika ingin mempekerjakan asisten rumahtangga sebuah keputusan yang mesti diambil dengan matang. Belum lagi mempertimbangkan biaya pengasuhan yang sangat mahal.

“aku berterima kasih sekali kalau Appa dan Eomma mau membantu kami,” kata Minho, termasuk di depan Minseo dan ibu mertuanya. Sehabis mampir ke rumah orangtuanya sendiri, malam itu, mereka berkumpul bersama.
“apa.. Appa dan Eomma tidak kerepotan nantinya??,” tanya Minseo dengan basa-basi. Bahwa sebenarnya dia dan ayahnya sendirilah yang merencanakan ini.
“ah.. kalian ini... terlalu banyak pertimbangan dan basa basi,” kata ibunya Minseo.
“kalau sudah semakin besar begini.. sudah pasti kalian semakin repot,” lanjutnya lagi.
Minho senang dengan keputusan itu, dia merasa terbantu. Dia semakin sayang dengan keluarga Minseo, melupakan kejadian beberapa hari lalu soal pertanyaannya pada pasangannya itu, dari peramal Kang.
Park mencoba membaca pikirannya.
“ah.. menantuku ini terlalu banyak khawatirnya,” gumam hati Park.
Sebagai ayah muda, memang mendapatkan sekaligus tiga anak bukan hal mudah. Belum lagi, kehidupan yang keras membuat juga keseharian Minho harus berpikir terus. Sebenarnya dia tidak ingin terlalu banyak masalah di dalam rumahtangga ketika dia di rumah. Minho memang bertabiat cepat khawatir: khawatir begini, begitu dan sebagainya. Minseo sebagai penyeimbangnya kadang kesal juga, tapi mau apa.. tidak ada pasangan yang sempurna, namun dia memang cinta Minho.
“tenang saja, Minho.. selama ini, aku mengurus anak-anakku juga.. mereka besar baik-baik saja loh,” kata Park dengan bahasa santainya.

Minseo bercerita pada ayahnya di teleponnya soal kejadian beberapa malam lalu tentang ramalan. Park hanya menanggapi dengan tertawa saja, dia menganggap semuanya masih tidak dewasa.
“kalian semuanya sama-sama penakut,” kata Park.
Minseo diam saja mendengarkan segala kemungkinan yang terjadi dari mulut ayahnya itu. Dia tentu lebih percaya ayahnya dibandingkan sang peramal itu.

“nah, Minho.. masih mau ragu dengan caraku membantu mu mengasuh mereka??,” tanya Park ketika dia selesai bermain malam itu dengan ketiga cucunya.
Minho tertawa kecil dengan pertanyaan ayah mertuanya itu. Malam itu, mertuanya menginap di rumah mereka.
“ah... tidak kok, Appa.. hanya.. akhir-akhir ini... aku banyak pikiran... maaf, bukan meragukan kemampuan Appa...,” katanya basa basi.
Jin Ho nakal sekali malam itu, dia mulai lagi ber bubbling dengan tidak jelas, lalu mengambil apa saja yang dia lihat menarik. Sementara Young Joon lebih suka mengambil sesuatu kalau diberi, begitu juga dengan Hana.
“Jin Ho ini... caper sekali,” kata Minseo, dia tertawa dengan tingkah anak tuanya itu yang mencoba merangkak dan mengambil bola di lantai.
Jin Ho melihat bola berwarna merah. Warna yang menarik membuat dia ingin mengambilnya.
Minseo tidak menyadari kalau anak itu akan menggunakan kemampuannya. Jin Ho santai duduk, lalu dia memandang bola merah yang berjarak 3 meter darinya itu.
“eh... bolanya bergerak sendiri???,” tanya Minho.
Ya, bola bergerak sendiri, menggelinding sedikit, padahal tidak ada angin.
Minseo langsung gusar, karena ternyata diam-diam, Jin Ho menurutnya lebih iseng lagi. Minseo langsung menghalangi badan Jin Ho dengan badannya, agar kemampuan anak kecil itu tidak menembus badannya.
“astaga.. Jin Ho,” ujar hatinya Park.
Park langsung menggendong cucunya itu, mengambil bola dari lantai dan memberikannya.
“iseng juga anak ini,”
Jin Ho malah tertawa pada Park dan yang lain, seolah-olah.. dia memang ingin menunjukkan kemampuannya.
Tapi justru Young Joon dan Hana juga tertawa.
Park akhirnya malah bercanda pada Minho.
“Nah... maaf saja.. aku tidak yakin kalau kamu hanya berdua saja dapat mengasuh mereka, hahahaha!”.
Minho masih heran dengan kejadian tadi. Tapi Park malah asik menggendong Jin Ho yang masih tertawa. Sementara Young Joon tersenyum manis pada ayahnya, mencoba berdiri dan menepuk-nepuk pipi Minho.
“mau bikin Appa tenang???,” senyum Minho.
Dia menganggat dan menggendong Young Joon si anak tengah. Minho malah memutar-mutar dan mengangkatnya, sampai anak tengahnya itu tertawa.
Minseo mendekati ayahnya yang masih menggendong Jin Ho.
“lihat, Appa.. bagaimana aku bisa tenang kalau dia selalu iseng menunjukkan apa yang dia bisa di depan Minho?? aku khawatir Minho tadi tahu,” bisiknya pada ayahnya.
“hampir saja dia tahu,” balas bisik Park.
Dia lalu mengelus dada cucu nya yang iseng itu.
“tidak baik loh.. iseng dengan ayah sendiri,” senyumnya manis pada cucunya itu.
Jin Ho hanya tertawa layaknya seorang anak kecil, belum bisa membedakan mana perkataan, mana nasehat buat dirinya.
“kalau sudah begini.. Appa yang bagusnya membantu, supaya Jin Ho bisa belajar,” kata Minseo lagi.
Jawaban Park hanya,”tenang saja... dulu juga kamu yang aku urus”.
Dilihatnya, Minho masih bermain-main dengan Young Joon yang kalem dan Hana yang cerewet.
“mengkhawatirkanku... uh... untung Minho enggak sadar banget,” keluhnya.

Bersambung ke part 16...