Cerita ini hanya fiksi imajinasi belaka. Gak usah dipikirin kenapa begini,
kenapa begitu.. Cuma keisengan diri saja yang ingin mengimajinasikan bebeb Lee
Minho. Adapun jika ada nama dan tempat
yang kebetulan sama, itu gak sengaja, hehehe.
Starring: Lee Minho, Park Minseo, Lee Jin Ho, Lee Young Joon, Lee Hana.
Minseo masih diam, tidak menjawab
pertanyaan Minho. Baginya, ini adalah rahasia hidupnya, walaupun Minho adalah
pasangannya, kalau soal kemampuan supernaturalnya, dia tidak akan membuka
dirinya pada Minho.
“sedari dulu kita bicarakan ini.. kalau
aku memang suka sekali menebak-nebak.. kamu sudah tahu itu, Minho, suamiku..,”
Minseo berbicara dengan senyum.
Minho tidak puas dengan jawabannya. Dia
menaikkan alisnya, meminta jawaban yang masuk akal baginya.
“aku sudah tahu itu,” katanya dengan nada
sedikit judes. Dia tetap meminta jawaban lebih.
“aku tidak bisa apa-apa lagi selain
menebak,” balas Minseo. Dia masih tidak mau membuka rahasianya.
Bagaimanapun, dia tidak ingin semuanya
menjadi pertentangan. Bagaimana dia selalu ingat, Minho tidak ingin membahas
soal aneh dan tidak ingin dirinya menjadi aneh, sedari dulu, sedari kesepakatan
awal mereka berpacaran. Sudah pasti, jika Minho tahu, dia akan kecewa, dan
rumahtangga bisa saja bubar begitu mudahnya.
“ah..percaya padaku, Minho.. aku
bersumpah..memang aku bukan seorang supernatural..siapa yang mengatakan itu..
Tuan Kang lagi??,”
Minho langsung menjawab dengan cepat,”Ya”
Minseo sekali lagi, memasang wajah sedih
dan memeluknya.
“aku benar-benar enggak ingin kamu terlalu
percaya, Minho... bukan harus menjadi seorang peramal atau supernatural jika
memang perasaan hatiku kuat terhadapmu dan anak-anak kita.. aku.. tidak ingin
kamu tidak mempercayaiku.. karena..aku percaya penuh padaku”.
Minseo tidak ingin kehidupan
rumahtangganya bubar secepat itu. Dia yakin sekali kalau ini semua pasti akibat
dari Minho terpengaruh oleh peramal Kang itu.
“lagi-lagi.. dia salah menebak..,” kata
Minseo lagi.
“kalian seperti saling benci.. terutama
kamu.. seperti sangat membencinya,” balas Minho.
Terang saja, Minseo tidak ingin Minho
berpikiran seperti itu. Namun, pada dasarnya, genderang perang memang sudah
dimulai sedari awal kehidupannya dengan Minho, pada lelaki peramal itu. Menurutnya,
hal ini sudah keterlaluan. Wajar saja misalnya kalau 1-2 kali bisa mendatangi
orang itu, namun kalau hampir semua sisi kehidupan Minho selalu mendatangi
orang itu, maka terang saja Minseo jadi gerah sendiri.
“ketakutan yang tidak wajar,” kata Minho,
suatu hari pada dirinya.
Bukan sebuah ketakutan, atau mungkin juga
tidak berharap menjadi sebuah ketakutan. Namun, bisa menjadi sebuah ketakutan
yang akan terus menghadang ketika sebuah rumahtangga diatur oleh orang yang
sangat tidak kita kenal. Sebagai seorang perempuan, tentunya tidak ada yang
menyukai hal itu, bahkan oleh mertua sendiri.
“aku mengaku salah jika memang terkesan
tidak suka dengan lelaki itu.. aku hanya tidak ingin rumah tanggaku direcoki,”
ujar Minseo, dengan nada yang berusaha untuk datar sehingga Minho tidak akan
merasa tersinggung.
“bagiku.. dia memang orang lain.. namun..
hal yang aku ingat darinya tadi: apakah benar.. kamu justru sebenarnya seorang
supernaturalis??,” tanya Minho, tentu yang redaksinya menginginkan jawaban yang
sama: ya atau tidak.
Minseo tidak bisa lagi mengelak, dan dia
pun menjawab...
“tidak.. aku bukan seorang
supernaturalis.. dan Kang-ssi terlalu
salah menilaiku”.
Minho memandang kedua matanya dengan
tatapan yang tajam. Dia tidak ingin keluar kata kebohongan dari mulut
isterinya.
“sungguh??,”
Minseo mengangguk mantap. Hanya ada
keyakinan dalam hatinya, pun jika ia berbohong, dia tidak ingin Kang mencampuri
urusan rumahtangganya. Dia hanya ingin menyelamatkan kondisi rumahtangganya.
Minho lalu hanya berkata,”baiklah.. aku
masih mempercayaimu”.
Minho lalu menuju kamar dan diikuti oleh
Minseo dibelakangnya. Malam itu, mereka tidak banyak bicara. Minseo sengaja
tidak banyak bicara kepadanya agar emosi Minho stabil dan tidak ada
pertengkaran lagi malam itu.
Minho tidak mau diganggu ketika menuju
tidurnya, dia hanya sedikit bercanda dengan ketiga anak kembarnya itu karena
sudah larut malam. Lalu, dia langsung menuju kamarnya dan berbaring, tanpa
menunggu Minseo, segera tidur.
“Peramal itu sudah buat hidupku kesal,”
gerutu Minseo dalam hatinya, diatas tempat tidur, disamping Minho.
Minho memang mempercayainya sedari kecil
karena kedua orangtuanya dahulu suka pergi ke tempat itu. Minseo benar-benar
menemukan dunia yang berlawanan dengannya dalam diri Minho. Keluarganya yang
justru kebanyakan bisa kemampuan supernatural malah sama sekali tidak percaya
dengan hal seperti itu. Dia berpikir, apakah nanti bisa dia menyingkirkan
pikiran Minho untuk tidak percaya lagi dengan orang itu. Pikirannya tidak enak,
sebenarnya... apa yang telah dibicarakan oleh Minho dan peramal itu?? apakah
ada topik lain selain tentang dirinya? Untuk sementara, dia tidak mungkin
melawan Minho kalau sudah muncul sikap keras kepalanya. Dia berusaha tidur
nyenyak malam itu.
....................................................
Paginya, semua berjalan seperti biasa
lagi. Minseo berusaha melupakan kejadian semalam supaya dia tetap bisa
bersemangat hari itu. Orangtuanya sudah pulang lagi.
Minho masih saja tidak banyak bicara
dengan kejadian tadi malam. Namun, Minseo tetap harus ramah padanya.
“Jin Ho terlalu nakal.. kemarin dia hampir
saja menjatuhkan vas yang kamu belikan di china,” kata Minseo, memulai
percakapan. Sementara mereka mendudukkan ketiga anak kembarnya di kursi khusus
bayi.
Minho bersemangat jika berbicara tentang
perkembangan ketiga anak mereka. Dia malah mengelus kepala Jin Ho.
“suatu hari.. kamu yang akan mewarisi
bisnis ku,” kataya, ramah pada Jin Ho.
Jin Ho tertawa saja dengan perkataan
ayahnya.
Tidak terasa, umur mereka bertambah, sudah
lebih dari setengah tahun.
Minseo yang paling khawatir dengan
perkembangan ketiga anak mereka. Minho bersikap santai karena belum melihat
banyak keanehan, walau sering bermain kala dia ada waktu senggang.
“Jin Ho memang pintar... dia sepertinya
punya tanggung jawab kepada dua adiknya,” basa basi Minseo pada Minho, sambil
menyiapkan makan pagi mereka semua.
Minho lalu menoleh padanya, ternyata, dia
minta maaf atas kejadian semalam. Minseo mengerti, pasti kalau sudah begitu,
karena urusan bisnis. Minho mengiyakan. Dia kebingungan dengan kecurangan.
“Stop saja bisnis dengan Nam itu.. dahulu,
kamu juga pernah dicurangi,” kata Minseo.
Namun yang menjawab bukan Minho, tapi Hana
yang ber bubbling pada Minseo.
Minho malah tertawa dengan ekspresi Hana
dan juga bubbling yang tidak jelas itu. Minho malah jadi mengira, bahwa Hana
seperti mengerti masalah dia.
“ingat tidak.. sedari awal Hana sudah
mulai perhatian dengan dunia.. dia memang seperti perempuan dewasa,” canda
Minseo.
Minho tertawa sampai semua gigi putihnya
terlihat.
“aku melihat Hana memang cerdas.. dia
seperti dirimu.. seperti bisa menebak-nebak dan membaca pikiran orang lain,”
balas Minho, lalu dia mengangkat tubuh Hana dan menggendongnya.
“semua anak kesayangan Appa.. kalian memang pintar dan buat
Appa banga,” katanya, memuji ketiga anak kembarnya itu.
Lalu, dia menoleh pada Minseo. Dia memang
putuskan, akan mempertimbangkan kata-kata isterinya itu, walau peramal Kang
mengatakan, bahwa tidak ada yang salah dengan sikap Nam atas kerjasama bisnis
dengannya.
“Nam sudah jelas curang.. aku tidak suka
berhadapan dengan orang curang.. aku bisa lebih galak darinya,” tegas Minseo.
Sebab, dahulu juga dia manajer dari pabrik baju, setidaknya, dia tahu, mana
kualitas bahan bagus, mana yang buruk.
“penjualan hasil dari kain produksinya..
jelek bukan?? Kita bisa merugi.. ,” lanjutnya lagi.
Minho malah mendekati Minseo dan mencium
pipinya.
“aku sayang kamu.. aku minta maaf tadi
malam,”
Minseo mengetahui memang sikap Minho yang
masih kekanakan dalam beberapa sisi, dia tidak boleh marah kalau Minho sadar
sendiri dan minta maaf padanya.
“aku tidak percaya... kamu seorang
supernatural.. aku lebih percaya, kamu sebagai isteriku yang memang punya
kemampuan menebak dan mengira yang tinggi,” kata Minho, dia bermain-main dengan
Young Joon, si anak tengah pendiam.
Minseo memang harus banyak mengalah. Dalam
hal pikiran pun terkadang dia merasa harus banyak mengalah. Baginya, Minho
baiknya banyak belajar, bahwa di dunia ini bukan cuma tentang percaya pada
ramalan seseorang, tetapi juga pada kekuatan sendiri dalam menganalisis
masalah. Dunia sudah terlalu kuno untuk percaya hal-hal seperti itu.
“aku ingin bisnis mu berjalan lancar.. dan
tidak ada yang curang.. aku tidak suka dicurangi sekecil apapun,” kata Minseo,
dengan senyumnya pada Minho.
Minseo memang memiliki sikap yang
berhati-hati sekali, sementara Minho terkadang ceroboh walau juga pemikir. Untuk
itu, dia membutuhkan Minseo. Namun dari sisi keras sikapnya yang terkadang
tidak mau mengalah itulah, Minho masih terlihat seperti anak-anak.
Minho malah bersikap manja dan merangkul
Minseo.
“itu sebab.. kamu jadi isteriku.. kalau
enggak begitu.. nanti aku bisa kena tipu deh,” katanya dengan cemberut.
Tidak ada yang bisa dilakukan Minseo
selain tertawa. Dia memang melihat sisi dewasa dan anak-anak Minho bisa
bersamaan muncul.
“Hana memperhatikan kamu banget loh..
lihat deh.. mungkin.. kalau dia sudah bicara, dia akan protes padamu,” ujar
Minseo dengan tawa kecilnya.
Hana malah tertawa keras ketika Minseo
terkesan membicarakannya.
“kita tunggu saja Hana sampai besar.. apa
dia mirip denganmu atau tidak,” senyum Minho pada Hana.
“sore ini.. aku akan pulang cepat..
membawa mereka jalan-jalan ke rumah orangtuaku,” katanya lagi.
Minseo mengangguk setuju saja. Minho
berangkat kerja dengan senang hati.
....................................................
“Ah, Minseo.. kamu mungkin terlalu
sensitif dengan peramal itu,” kata Na Ra, sahabat baik Minseo semenjak kuliah
dan tahu dia dulu berpacaran dengan Minho.
Na Ra tahu, bagaimana Minseo. Dia sahabat
baik yang tidak akan membocorkan rahasia Minseo pada siapapun.
“Aku memang dengan kalau peramal Kang itu
peramal hebat.. mungkin ketika dia bertemu denganmu yang sebenarnya bisa
seperti dia, dia merasa terancam penghasilannya.. kamu sendiri kan yang cerita,
kalau Minho dan keluarganya itu sedari dulu percaya dia??,”
“Tapi.. Minho tidak galak denganmu kan...
tidak memaki-maki mu ketika kamu tidak setuju dengan peramal itu??,”
Minseo katakan tidak. Minho masih bersikap
marah yang biasa saja, tidak meledak-ledak dan tidak memaki-maki.
“kemampuan mu.. disatu sisi memang jadi
kelebihan.. satu sisi, benar-benar seperti pisau,” kata Na Ra lagi.
Karena sebenarnya yang paling ditakutkan
bagi Minseo bukan dari kemampuan dirinya, namun bagaimana kalau ketiga anaknya
menunjukkan hal itu di depan Minho??
Na Ra hanya tersenyum kepada tiga anak
kembar itu yang kebetulan dibawa jalan oleh Minseo bersamanya.
“Mereka manis semua kok.. Minho pasti
belum tahu soal ini”.
“Minho memang belum tahu.. aku menyembunyikannya...
Jin Ho sudah mulai bermain-main dengan kemampuannya.. hanya, masih aku sanggup
menutupinya,” keluh Minseo.
Na Ra mengerti kegundahan hati Minseo. Sedari
dulu mereka bersahabat, memang kebanyakan lelaki yang dekat pada Minseo
akhirnya ketakutan sendiri dengan segala kemampuannya. Dengan Minho pun, semua
ditutupinya.
“cepat atau lambat.. Minho akan tahu ini,”
kata Na Ra.
“dan aku harus terima resikonya,” kata
Minseo.
Na Ra menangguk. Dia mempunyai ide,
bagaimana kalau ketiga anak itu diawasi oleh ayahnya Minseo yang memang juga
punya kemampuan supernatural.
“ayahku mau saja merawat mereka.. namun,
pastinya, aku juga harus minta ijin Minho soal ini.. dia paling malas kalau ada
orang lain masuk rumah kami,”
Artinya, Minseo memang lebih harus
berusaha mengurusi ketiga anak mereka dibandingkan minta bantuan orang lain.
Minho lebih setuju semua pengasuhan ada dalam tangan mereka. Ayahnya memang
tidak mempermasalahkan sama sekali dengan kemampuan ketiga cucunya itu, namun
sama kegundahannya dengan Minseo, bahwa belum waktunya Minho tahu. Minseo lalu
bercerita bagaimana ketika ayahnya menghalangi kejahilan cucu pertamanya, Jin
Ho, pada Minho. Na Ra malah jadi tertawa mendengarnya.
“wah, Jin Ho.. kamu jahil sekali diam-diam
ya?? Kamu Minho sekali,” senyum Na Ra pada Jin Ho.
Na Ra yang seorang psikolog justru senang
memilik sahabat seperti Minseo. Persahabatan mereka panjang karena dia mengerti
tentang sifat dan karakter Minseo. Dia juga yang dulu pernah sempat bertemu
Minho saat mereka mengadakan bakti sosial bersama.
“suami mu itu.. memang terkadang ada sifat
kekanakannya sih.. jadi.. gimana ya??aku sendiri juga bisa menebak.. takutnya
dia tidak siap menghadapi ini semua,” tawa Na Ra.
Minseo mengangguk. Sikap tradisional
memang sedikit susah menerima perubahan atau bahkan hal yang aneh. Itu sebab,
dia bercerita pada sahabatnya itu sejak dulu. Na Ra adalah oranglain yang
dianggap paling mengerti tentang kelebihan dirinya, ditambah lagi sekarang
dengan tiga anak yang juga akan mengalami nasib yang mungkin saja sama.
“ayahmu bisa membantu kok.. ,” senyum Na
Ra sambil dia bermain dengan Jin Ho.
“kamu bisa lihat kan??? Aku tunjukkan,”
kata Minseo pada temannya itu.
Lalu Minseo memancing Jin Ho untuk
melakukan seperti apa yang dia lakukan pada sebatang sumpit: membengkokkannya!
Jin Ho berhasil melakukannya sambil tertawa ala bayi. Na Ra begitu kaget dengan
kemampuan anak sekecil itu, yang baru memasuki usia 6 bulan pertama kehidupan.
“Hah..
i cant believe it.. ,” kata Na Ra dengan sedikit terperangah.
Minseo tersenyum kecut, dia mulai galau.
“Bagaimana kalau Minho tahuuuuuuuuuuuuu???
Aku pusing lama-lama kalau begini terus,” keluhnya.
“satu satunya cara... ya memang meminta
pertolongan ayahmu.. dia kan juga supernaturalis, namun dia lebih bisa ngerti
sepertinya terhadap mereka..,” jawab Na Ra.
“Iya kan, Jin Ho??,” senyumnya pada anak
kecil itu.
Na Ra malah memancing Jin Ho untuk
melakukan yang lebih lagi, agar dia tahu bagaimana karakter anak kecil itu. Jin
Ho melakukan saja apa yang diperintahkan Na Ra. Sepertinya, dia juga anak yang
cerdas dan mampu memahami perkataan orang yang jauh lebih tua darinya.
“Untung cafe ini tidak ada yang peduli
ya.. kanan kiri kita, hehe,” tawa kecil Na Ra pada ketiga anak kecil itu.
“aku sih percaya banget.. kalau mereka justru
akan melindungi keluarga mu, Minseo,”
“aku tidak tahu.. walau peramal Kang juga
bilang seperti itu, jauh ketika mereka masih ada dalam perutku,” jawab Minseo
dengan nada agak pesimis.
“yang kutahu juga bisa seperti itu,”
senyum Na Ra.
Na Ra meyakinkan Minseo supaya tidak
terlalu khawatir dengan semua itu. Dia sebaiknya membuat kesepakatan dengan
ayahnya sendiri tentang bantuan mengasuh ketiga anak itu. Na Ra berjanji, dia
akan juga membantu Minseo dari sisi lain. Baginya, keluarga seperti ini unik dan
bisa membuat Na Ra terkesan.
“itu sebabnya aku berteman denganmu sedari
dulu, Minseo... saat banyak orang tidak ngerti kelebihanmu itu,” senyum Na Ra
pada Minseo.
“Minho tidak perlu banyak tahu tentang
mu... yang penting, dia jalankan saja kehidupannya dan kamu tetap berkerjasama
dengan ayahmu... “.
--------------------------------------
Park pun sore itu menelepon Minho setelah
dia berbicara dengan anaknya sendiri, soal pengasuhan yang ditawarkan dia pada
Minho terhadap tiga anak mereka. Minho yang masih ada di kantor dan juga
pabriknya, merasa senang saja mertuanya itu mau membantunya.
“sepertinya Appa konsentrasi sekali ingin mengasuh Jin Ho.. ,” ujar Minho di
telepon.
Park berkilah bahwa Jin Ho memang anak
yang sepertinya cenderung nakal dan akan menyusahkan Minseo, ibunya, sementara
Young Joon dan Hana terlihat lebih kalem.
Park tertawa renyah pada Minho, khas
lelaki itu yang memang suka bercanda.
“aku merasa, Jin Ho sepertiku waktu kecil,
Minho.. jadi, aku harus bertanggungjawab pada tingkah cucuku yang satu itu..
supaya dia tidak menyusahkanmu, hahaha!”.
Minho memang tahu, mertuanya suka
bercanda. Dia tidak merasa curiga dengan apa yang ada dibalik itu semua. Dia
menurut saja ketika ayah mertuanya itu membuat kesepakan sendiri akan membantu
mereka menjaga Jin Ho yang dianggap aktif dan cenderung iseng serta nakal.
Namun Minho berpikir setelah pembicaran
lewat telepon itu selesai.
“Jin Ho nakal?? Umm.. sepertinya enggak
deh... apa mungkin karena memang Minseo kelelahan mengurus tiga anak sekaligus?,”
katanya, sambil mematikan Hp nya, lalu bekerja lagi seperti biasa sebelum
pulang. Dia berjanji akan membawa 3 anaknya itu ke rumah orangtuanya, karena
sudah lama tidak berkunjung kesana.
..............................
Sampai dirumah, ternyata sudah ada mertua
Minho, Park dan isterinya. Park sibuk menimang-nimang Jin Ho yang tertawa-tawa
dengan orangtua itu.
“lihat, Minho.. Jin Ho memang pintar!,”
kata Park dengan penuh semangat menggendong-gendong dan mengangkat tubuh
cucunya itu.
Minho menunduk hormat pada kedua mertuanya
itu karena baru saja melihat mereka. Dia lalu membahas perkembangan Jin Ho
dengan ayah mertuanya itu. Jin Ho memang dianggap cukup cepat dibanding dua
yang lain. Minho hanya membahas perkembangan normal saja, jadi Park mengikuti
alur bicaranya agar tidak timbul kecurigaan bahwa sebenarnya Park menginginkan
lebih dari itu.
“sebenarnya, aku khawatir karena kalian
tidak punya asisten rumahtangga,” ujar Park pada Minho. Mereka duduk-duduk di
halaman belakang yang terbuka.
“aku memang masih mempertimbangkan itu,
Appa.. apakah Minseo benar-benar tidak sanggup lagi untuk mengurus tiga anak
kami??,” balas Minho, sambil dia menggendong Young Joon. Sementara anak itu
asik saja bermain dengan penggigit karet.
Tanpa dinyana oleh Minho, Park malah menawarkan
diri untuk menjaga ketiga cucunya. Minho tidak kaget akan hal itu. Di negeri
ini, sedari dulu juga memang mertua atau orangtua sendiri sanggup untuk mengurus
cucu mereka jika ada waktu, daripada mereka hanya menghabiskan waktunya dengan
kegiatan yang tidak tepat, lebih baik memang mengurus cucu.
“ketiga anak mu ini pintar-pintar... jujur
saja... aku tidak yakin kalian tidak direpotkan mereka... ,” ujar Park dengan
tawanya.
“si Minho masih berpikir.. aku hanya
sebatas membantu dia mengurusi atau mengajak bermain anak-anaknya saja.”
Park ternyata diam-diam membaca pikiran
Minho. Dia membaca, bahwa Minho memang masih berpikiran polos, menganggap Park
akan membantunya hanya dari sisi pengasuhan bermain atau supaya Minseo agak
ringan sedikit dalam mengajak mereka bermain dan belajar sesuai perkembangan
umur. Park mengikuti saja alur pikiran Minho.
“ya.. bagaimanapun.. seorang kakek juga
punya tanggung jawab mengurusi cucu-cucunya.. apalagi.. mereka hebat buatku,”
kata Park, membesarkan hati Minho.
“ibu mertuamu juga tidak mempermasalahkan
itu.. anak-anak kami sudah besar.. apalagi kalau bukan membantu mengurus cucu,”
lanjutnya lagi.
Minho jelas jadi senang sekali. Dia merasa
bersyukur memiliki mertua yang mengerti kebutuhannya. Dengan senang hati, akhirnya
dia menyepakati sendiri, tidak mengapa bagi mertuanya itu sering datang untuk
membantu dia dan Minseo.
“aku mengerti kalian sibuk sekali... kalau
waktu sedikit... sedikit banyak minta bantuan mertua sendiri kan.. enggak
mengapa..,” kata Park, mengambil hati Minho.
Dan Minho pun menuruti saja.. siapa yang
tidak mau dibantu?? Apalagi Park menawarkan dirinya sendiri, berserta isterinya
akan mengasuh ketiga cucu mereka. Memang jika ingin mempekerjakan asisten
rumahtangga sebuah keputusan yang mesti diambil dengan matang. Belum lagi
mempertimbangkan biaya pengasuhan yang sangat mahal.
“aku berterima kasih sekali kalau Appa dan
Eomma mau membantu kami,” kata Minho, termasuk di depan Minseo dan ibu
mertuanya. Sehabis mampir ke rumah orangtuanya sendiri, malam itu, mereka
berkumpul bersama.
“apa.. Appa dan Eomma tidak kerepotan
nantinya??,” tanya Minseo dengan basa-basi. Bahwa sebenarnya dia dan ayahnya
sendirilah yang merencanakan ini.
“ah.. kalian ini... terlalu banyak
pertimbangan dan basa basi,” kata ibunya Minseo.
“kalau sudah semakin besar begini.. sudah
pasti kalian semakin repot,” lanjutnya lagi.
Minho senang dengan keputusan itu, dia
merasa terbantu. Dia semakin sayang dengan keluarga Minseo, melupakan kejadian
beberapa hari lalu soal pertanyaannya pada pasangannya itu, dari peramal Kang.
Park mencoba membaca pikirannya.
“ah.. menantuku ini terlalu banyak
khawatirnya,” gumam hati Park.
Sebagai ayah muda, memang mendapatkan
sekaligus tiga anak bukan hal mudah. Belum lagi, kehidupan yang keras membuat juga
keseharian Minho harus berpikir terus. Sebenarnya dia tidak ingin terlalu
banyak masalah di dalam rumahtangga ketika dia di rumah. Minho memang bertabiat
cepat khawatir: khawatir begini, begitu dan sebagainya. Minseo sebagai
penyeimbangnya kadang kesal juga, tapi mau apa.. tidak ada pasangan yang
sempurna, namun dia memang cinta Minho.
“tenang saja, Minho.. selama ini, aku
mengurus anak-anakku juga.. mereka besar baik-baik saja loh,” kata Park dengan
bahasa santainya.
Minseo bercerita pada ayahnya di teleponnya
soal kejadian beberapa malam lalu tentang ramalan. Park hanya menanggapi dengan
tertawa saja, dia menganggap semuanya masih tidak dewasa.
“kalian semuanya sama-sama penakut,” kata
Park.
Minseo diam saja mendengarkan segala
kemungkinan yang terjadi dari mulut ayahnya itu. Dia tentu lebih percaya
ayahnya dibandingkan sang peramal itu.
“nah, Minho.. masih mau ragu dengan caraku
membantu mu mengasuh mereka??,” tanya Park ketika dia selesai bermain malam itu
dengan ketiga cucunya.
Minho tertawa kecil dengan pertanyaan ayah
mertuanya itu. Malam itu, mertuanya menginap di rumah mereka.
“ah... tidak kok, Appa.. hanya..
akhir-akhir ini... aku banyak pikiran... maaf, bukan meragukan kemampuan
Appa...,” katanya basa basi.
Jin Ho nakal sekali malam itu, dia mulai
lagi ber bubbling dengan tidak jelas, lalu mengambil apa saja yang dia lihat
menarik. Sementara Young Joon lebih suka mengambil sesuatu kalau diberi, begitu
juga dengan Hana.
“Jin Ho ini... caper sekali,” kata Minseo,
dia tertawa dengan tingkah anak tuanya itu yang mencoba merangkak dan mengambil
bola di lantai.
Jin Ho melihat bola berwarna merah. Warna
yang menarik membuat dia ingin mengambilnya.
Minseo tidak menyadari kalau anak itu akan
menggunakan kemampuannya. Jin Ho santai duduk, lalu dia memandang bola merah
yang berjarak 3 meter darinya itu.
“eh... bolanya bergerak sendiri???,” tanya
Minho.
Ya, bola bergerak sendiri, menggelinding
sedikit, padahal tidak ada angin.
Minseo langsung gusar, karena ternyata
diam-diam, Jin Ho menurutnya lebih iseng lagi. Minseo langsung menghalangi
badan Jin Ho dengan badannya, agar kemampuan anak kecil itu tidak menembus
badannya.
“astaga.. Jin Ho,” ujar hatinya Park.
Park langsung menggendong cucunya itu,
mengambil bola dari lantai dan memberikannya.
“iseng juga anak ini,”
Jin Ho malah tertawa pada Park dan yang
lain, seolah-olah.. dia memang ingin menunjukkan kemampuannya.
Tapi justru Young Joon dan Hana juga
tertawa.
Park akhirnya malah bercanda pada Minho.
“Nah... maaf saja.. aku tidak yakin kalau
kamu hanya berdua saja dapat mengasuh mereka, hahahaha!”.
Minho masih heran dengan kejadian tadi.
Tapi Park malah asik menggendong Jin Ho yang masih tertawa. Sementara Young
Joon tersenyum manis pada ayahnya, mencoba berdiri dan menepuk-nepuk pipi
Minho.
“mau bikin Appa tenang???,” senyum Minho.
Dia menganggat dan menggendong Young Joon
si anak tengah. Minho malah memutar-mutar dan mengangkatnya, sampai anak
tengahnya itu tertawa.
Minseo mendekati ayahnya yang masih
menggendong Jin Ho.
“lihat, Appa.. bagaimana aku bisa tenang
kalau dia selalu iseng menunjukkan apa yang dia bisa di depan Minho?? aku
khawatir Minho tadi tahu,” bisiknya pada ayahnya.
“hampir saja dia tahu,” balas bisik Park.
Dia lalu mengelus dada cucu nya yang iseng
itu.
“tidak baik loh.. iseng dengan ayah
sendiri,” senyumnya manis pada cucunya itu.
Jin Ho hanya tertawa layaknya seorang anak
kecil, belum bisa membedakan mana perkataan, mana nasehat buat dirinya.
“kalau sudah begini.. Appa yang bagusnya
membantu, supaya Jin Ho bisa belajar,” kata Minseo lagi.
Jawaban Park hanya,”tenang saja... dulu
juga kamu yang aku urus”.
Dilihatnya, Minho masih bermain-main
dengan Young Joon yang kalem dan Hana yang cerewet.
“mengkhawatirkanku... uh... untung Minho
enggak sadar banget,” keluhnya.
Bersambung ke part 16...