This is me....

Kamis, Agustus 13, 2015

Sepeda Kita (part 5: Kyung Soon...)

Cerita ini hanya imajinasi saja.. jangan dimasukkan ke hati banget...

Pemain imajinasi: Lee Minho, Lee Kyung Soon, Lee Chin Ho,Hwang Yu Ri, Go Young Chul, Ryu Ji Won, Bibi Hwang, Bu Guru Kang.

Sore itu Minho masuk kerja. Dia lekas berlari ke tempat kerjanya itu supaya tidak terlambat. Dilihatnya, teman satu shift nya sudah mau selesai.
”loh.. sepeda kamu mana, Minho?,” tanya Jin Hyuk, teman satu shift nya untuk kasir sebelah.
”rusak, hehe,” balas Minho singkat, sambil cengengesan seperti merasa tidak bersalah.
”rasanya sepedamu masih bagus.. ,” ujar Jin Hyuk.

Minho memang tidak bercerita kalau sepedanya dirusak orang lain. Lalu dia bilang pada Jin Hyuk yang sudah agak lama bekerja disitu darinya, apa bisa dia minta ijin pada Supervisor Bo untuk sebentar pergi keluar membeli sepeda baru.
”wah.. mestinya tadi sebelum jam shift kamu perginya, Minho.. aku enggak yakin Supervisor Bo menginjinkan kamu pergi deh,” balas Jin Hyuk.
Minho menunduk sedih. Dia ingin segera punya sepeda baru walau meminjam uang dari bibi Hwang. Tapi Jin Hyuk menghiburnya, siapa tahu memang supervisor itu mengijinkan dia.
Dia langsung berbicara pada Bo di ruangannya.

”aku pikir, hari ini sibuk sekali, Minho.. jadi kita lihat saja nanti...,” balas Supervisor Bo. Dia kembali mengetes mental Minho.
”aku tidak setuju kalau kamu meninggalkan pekerjaan... retail kita semakin hari semakin ramai”, lanjutnya lagi dengan mimik kalem.
Dalam hatinya, Minho sedih. Sebab dalam waktu dekat, dia akan melaksanakan ujian semester dan tidak boleh terlambat. Uang untuk mengendarai bus harus dia tabung dan dihemat makanya dia meminjam dari bibi Hwang dan ingin membeli sepeda baru.
Dia menunduk hormat pada atasannya itu, lalu keluar ruangan.
Diluar, dia mengeluh.. bagaimana nanti bisa membeli sepeda?? Sedang hari sudah menjelang malam??? Dia harus segera pergi besok pagi lebih awal supaya tidak terlambat sekolah.
Tetapi, Minho berusaha untuk melayani pembeli dengan ramah, walau hatinya galau memikirkan bagaimana caranya hari itu dia bisa membeli sepeda.
                                                ............................................
Di dalam ruangan, Supervisor Bo mendapatkan telepon dari Yu Ri. Cewek itu bertanya, apa Minho sudah ijin kepadanya untuk meluangkan waktu membeli sepeda. Jawaban supervisor itu sudah tetapi memang sedang banyak orang membeli di toko retail mereka dan rekan kerja Minho tidak bisa melayani mereka sendirian.
”Besok kami akan ujian, Supervisor Bo.. jadi aku minta tolong kamu memberikan waktu kepada Minho supaya dia bisa beli sepeda barunya,” ujar Yu Ri.
Kalau sudah begitu, Bo tidak bisa apa-apa lagi, atau dia akan dipecat. Tak berapa lama dia bicara dengan Yu Ri, dia pun keluar berbicara dengan Minho, yang dilihatnya masih melayani beberapa pembeli yang mengantri di kasir. Dia mengijinkan Minho pergi sebentar di waktu istirahat, mengabulkan permohonannya.

Dengan wajah berbinar dan senang sekali, jelas saja Minho akan pergi pas jam istirahat dan membawa uang pinjamannya dari bibi Hwang.
”besok aku ujian.. makanya aku harus beli yang baru lagi, Hyeongje (kakak lelaki),” katanya pada Jin Hyuk.
”kamu jadi.. dapat beasiswa nya??,” tanya Jin Hyuk, mahasiswa yang kerja part time.
Minho menggeleng tanda tidak tahu, dia memang baru saja mengajukan pada wali kelasnya, sementara dia harus bersaing dengan kelas dua.
Jin Hyuk menepuk-nepuk pundak Minho yang hampir setinggi badannya itu.
”kalau aku sih.. yakin banget kamu bisa dapatkan beasiswa itu.. disini kamu rajin, supervisor Bo memuji kerjamu..kamu juga pasti rajin dirumah dan disekolah”
Minho cengengesan dengan pujian rekan kerja seniornya itu. Dia katakan kalau dia sedang berusaha sebaik mungkin dalam hidupnya supaya bisa berjuang mendapatkan pendidikan yang layak untuk dia dan kedua adiknya.

”apa...saudaramu tidak ada yang membantumu, Minho??”, tanya Jin Hyuk keheranan...bagaimana bisa baginya, jika seorang anak yang masih berusia akan 16 tahun sudah berjuang sendirian sama sekali tanpa bantuan siapapun.. sepengetahuan dia?
Minho menjawab dengan polos, kalau selama ini yang membantu dia dan kedua adiknya adalah paman dan bibi Hwang, yang sudah dianggap sebagai anak mereka.
Jin Hyuk terkesan dengan cerita Minho tentang kebaikan kedua orangtua itu, termasuk pinjaman uang untuk membeli sepeda.
”gila sekali gerombolan anak yang merusak sepedamu itu.. kenapa para guru tidak berani marah pada mereka??,” tanya Jin Hyuk dengan emosi.
”aku tidak tahu siapa mereka.. hanya saja, Hyeongje.. ketika aku membantu mengajar ...rasanya anak salahsatu pemilik yayasan itu ikut mengeroyokku,” balas Minho, dia mencoba mengingat wajah Go Young Chul.
Jin Hyuk malah melarang Minho untuk membela dirinya kalau sudah bertemu dengan orang semacam itu, bisa menjadi malah lebih disakiti.
”kamu gak balas dia bukan berarti kamu kalah,”
Minho mengangguk saja, sebab kalau dia membalas, dia bisa kena sanksi sekolah dan beasiswanya bisa tidak jadi. Beasiswa itulah harapan dia untuk mengurangi beban hidup dia dan kedua adiknya.

Sore itu, Minho langsung berlari cepat ke toko sepeda yang ada dua blok dari tokonya. Sementara Yu Ri ngobrol dengan supervisor Bo dimesseger.
”sepertinya dia sedang berlari, Nona.. karena saya hanya memberi waktu satu jam untuk memilih sepeda itu,”
Yu Ri senang karena Bo menuruti perintahnya. Baginya, Minho memang teman yang baik dan tidak macam-macam. Sebenarnya, dia sudah mulai bosan dekat dengan Go Young Chul, karena sikap sombongnya cowok itu, serasa menguasai sekolah dan dia khawatir kalau nanti Minho tidak bisa ikut dalam ajang mendapatkan beasiswa itu. Yu Ri berterima kasih pada Bo.
”besok Minho pasti dapat sepeda baru, jadi dia tidak perlu naik bus,” senyumnya di depan gadget.
                                                ..........................
Wajah Minho ceria di depan toko sepeda. Sang pemilik toko mempersilahkannya masuk dan melihat-lihat.
Dia pun memilah milih. Agak lama dia sempat berjongkok dan mengetuk-ketuk stang, batangan, pelek sepeda, sampai akhirnya ada pada satu pilihan, sepeda berwarna hitam metalik.
”apa kamu beli buat adikmu??,” tanya si pemilik toko.
Minho menggeleng, itu untuk dia. Pemilik toko heran juga, karena di jaman ini, anak abg (anak baru gede aka remaja) seumuran dia pastinya meminta motor, bukan sepeda.
Minho senyum saja dengan keheranan si pemilik toko, dia tawar menawar dan akhirnya sepakat mendapatkan harga yang lebih murah.
Wajahnya sumringah, ceria sekali ketika dia berhasil membawa sepeda yang didambakannya kembali ke toko. Dia pulang langsung mengendarai sepeda itu.

Dilihatnya, ketika masuk, orang sudah mulai banyak lagi datang berbelanja. Jin Hyuk yang sedang menemani dia bekerja menyapanya.
”jadi.. dapat sepedanya??,” katanya sambil melayani di kasir.
Minho mengangguk senang, sambil juga dia melayani pelanggan di mesin kasirnya.
”besok aku bisa pergi ujian tenang, Hyeongje... berkat doa kamu juga dan kebaikan Supervisor Bo,”
Di depannya ada seorang wanita setengah baya sedang berbelanja, mendengar mereka berdua mengobrol sambil melayani. Wanita itu bertanya, dimana Minho bersekolah. Minho menjawab dengan ramah sambil tetap melayani pelanggan itu.
”wah..bukannya itu kebanyakan sahamnya milik Tuan Go ya??,”
Minho mengangguk, sambil masih terus melayani wanita itu, memasukkan barang-barang yang dibelinya.
Wanita itu menepuk pundak Minho dengan lembut.
”hai, Nak... kamu harus hati-hati ya.. mereka bukan orang kaya yang baik.. aku saja tidak menyuruh anakku bergaul dengan isteri Tuan Go itu,”
Minho heran, kenapa mendadak wanita paruh baya itu memperingatkan Minho.
”aku cerewet padamu supaya kamu tahu.. mereka bukan keluarga yang baik,” kata wanita itu.
Minho lalu sedikit menunduk hormat dan senyum terima kasih atas informasi yang diberikan, walau kesannya seperti menggosip.
Wanita itu pun selesai berbelanja setelah dia mengoceh panjang lebar di depan Minho dan sampai ke pintu depan retail.
Minho menunduk hormat ketika wanita itu masuk ke dalam sebuah mobil mewah setelah dia membantu membawa banyak keranjang belanjaan.
”ingat yang tadi, anak muda,” kata wanita itu pada Minho.
Minho senyum dan menunduk hormat saja.
Mobil wanita itupun berlalu.
                                                .........................................
Malamnya, Minho pulang ke rumah. Dilihatnya, yang belum tidur adalah ChinHo. Dia menyapa adiknya itu yang sedang mengerjakan PR itu. Chin Ho menoleh dan senyum ramah ketika melihat kakaknya pulang.
Minho membuka seperti tudung penutup makanan. Ternyata ada makanan enak diatas meja, dia langsung menebak kalau semua itu pasti dari bibi Hwang. Dia pun lalu makan karena memang sudah malam dan belum makan sewaktu kerja tadi.
Minho dengan wajah senang sambil makan lalu bercerita pada Chin Ho kalau dia sudah punya sepeda yang diparkir depan rumah.
Chin Ho langsung berwajah senang melihat kakaknya bahagia.
”aku juga dibilang tadi oleh bibi Hwang kalau Kyung Soon makannya banyak...”
Minho bergumam sambil makan, Chin Ho meneruskan kata-katanya, dia duduk di depan Minho.
”Hyeong je..kenapa sih...aku kepikiran kalau bibi Hwang akan mengambil Kyung Soon jadi anaknya??,”
Minho mendadak berhenti makan, ternyata adiknya menyadari juga kalau memang mereka sebenarnya sudah dianggap anak oleh tetangga mereka itu.
”ah..kata siapa?? Bibi Hwang bukannya memang sayang pada kita semua??,”
Minho senyum pada adiknya itu, lalu meneruskan makannya.
”tapi.. aku enggak ngerasain itu, Hyeongje..,” balas Chin Ho polos.
”ah..tenang saja.. bibi Hwang gak akan lakukan itu.. aku memang sengaja minta tolong beliau supaya ada yang menjaga Kyung Soon...aku kerja.. kamu sekolah.. Kyung Soon mau bermain dengan siapa??”, kata Minho, kalem.
Dia sendiri sebenarnya galau, takut-takut apa yang dimilikinya dalam kondisi begini akan diambil orang. Walau dia tahu bibi Hwang memang baik, dia masih tidak tahu bagaimana kondisi kehidupan mereka ke depannya.

”apa..tidak ada paman dan bibi kita yang mau bantu?? Apa hyeongje sudah telepon mereka??,” tanya Chin Ho lagi, dia langsung loncat topik pembicaraan.
Ya, Minho belum mencari saudara dari ibu dan ayahnya yang lain. Mereka bukan keluarga besar. Menjadi orang dari keluarga biasa yang harus kerja demi mencukupi keperluan hidup membuat Minho setiap hari malah tidak sempat memikirkan dimana keluarga dari kedua orangtuanya tinggal. Mereka jauh.
”aku belum sempat mencari, Chin Ho.. nanti mungkin kalau libur,” jawab Minho, singkat.
”Paman Byung sepertinya tinggal di Seoul juga, Eomma sempat katakan padaku,” ujar Chin Ho.
Minho menggeleng,” aku tidak tahu, Eomma belum pernah cerita.. kamu kan tahu.. paman Byung itu tukang mabuk.. memang kamu mau... punya wali orangtua seperti itu??,”

Chin Ho jadi diam. Memang, bisa-bisa malah menyusahkan kalau hak asuh mereka ke orang itu. Tapi mereka memang membutuhkan wali supaya urusan administrasi sekolah bisa mudah selesai.
”Hyeongje.. ,” kata Chin Ho, mencoba berbicara tetapi ragu.
Minho meneruskan makannya dan hanya menjawab ya.
Chin Ho diam sejenak, dia memang tampaknya ragu ingin berbicara lagi dengan Minho.
Minho lalu mendongakkan kepalanya.
”ada apa?? Ada yang mau dibahas lagi?,” tanya dia pada adiknya itu.
Chin Ho bergumam sebentar, lalu menarik nafasnya, agak sedikit tertahan.
”aku pikir... ,” katanya, kalimatnya tertunda lagi.
Minho menghentikan makannya, menaruh sumpit diatas mangkuknya. Lalu menatap mata adiknya itu.
”ada apa??,” tanya dia, penasaran.
”lebih baik.. kita berikan saja Kyung Soon pada bibi Hwang,” kata Chin Ho dengan terbata-bata.
Minho tidak kaget sama sekali, karena dia sebenarnya berpikiran yang sama dengan adiknya itu. Dia malah tertawa, yang membuat Chin Ho keheranan.
”memang... aku kenapa??,” tanya Chin Ho.
”kamu.. apa enggak sayang Kyung Soon??,” Minho malah jadi menguji adiknya sendiri.
”sayang kok,” jawab Chin Ho, sambil duduk di depan Minho.
”lalu.. kenapa punya pikiran supaya Kyung Soon sebaiknya bersama paman dan bibi Hwang??,” tanya Minho lagi.
Chin Ho diam. Minho meminta jawaban sejujurnya. Akhirnya, adiknya itupun membuka mulutnya.
“aku enggak yakin… Hyeongje bisa merawat ku dan Kyung Soon baik-baik,” kata Chin Ho sambil menunduk. Dia takut melihat wajah kakaknya itu.
Minho sama sekali tidak marah, walau dia sedang lelah sehabis pulang kerja, dan sehabis ini dia harus menguras pikirannya dengan belajar persiapan ujian. Dia tahu dan sadar benar, hidup mereka akan semakin keras. Uang semakin akan banyak dibutuhkan, Minho harus makin berkerja keras mendapatkan uang agar dia dan kedua adiknya tetap bertahan.
“jadi…kamu mau berikan Kyung Soon pada bibi Hwang??,” tanya Minho.
”bagaimana nanti kalau dia dibawa jauh dan kita gak bisa ketemu dia sama sekali??,” lanjutnya.
Chin Ho mendadak diam. Minho pun ikut terdiam.

Tak berapa lama, waktu yang terasa terhenti karena saling diam, mendadak berputar kembali.... Chin Ho menangis di hadapan Minho.
”aku takut... kalau nanti.. Hyeongje sakit.. Kyung Soon enggak ada yang merawat... dan aku enggak lulus sekolah,” katanya dengan terisak.
Minho hanya senyum. Dia dapat membayangkan kondisi kejiwaan adiknya. Dia saja yang sudah mau 16 tahun begitu pusingnya memikirkan hidup keseharian mereka, apalagi Chin Ho yang sudah kehilangan orangtua baru berumur 10 tahun, sama sekali belum lulus sekolah dasar. Namun Minho berusaha menenangkan hati adiknya, berusaha tidak lagi emosi seperti hari-hari yang lalu.
”aku masih sehat-sehat saja kok, Chin Ho..,” senyum Minho pada adiknya yang masih terisak-isak itu.
”aku dapat semangat dari arwah Appa dan Eomma di langit,” lanjutnya lagi.
Chin Ho mengangguk-angguk mengiyakan ketika Minho memintanya untuk tetap rajin belajar, tidak nakal sehingga adiknya itu tidak dimarahi guru dan bisa sekolah dengan baik.
”kamu tidak boleh kerja.. nanti kalau bekerja, keluarga kita bisa diambil pemerintah.. aku enggak mau kamu dan Kyung Soon hidup di panti asuhan”
”aku juga enggak mau pisah dari Hyeongje... ,” isak tangis Chin Ho.
Dalam hati Minho sebenarnya sedih. Yang ditakutkan memang jika mereka terlihat oleh para tetangga hidup susah, tetangga akan melapor kepada pekerja sosial lalu mereka semua akan diasuh dalam panti. Minho tidak ingin kedua adiknya diambil. Beberapa waktu lalu, dia bersikeras kepada pengacara khusus urusan kependudukan kalau dia sudah dewasa dan cukup umur untuk mengurus kedua adiknya. Pengacara itu mengawasi perjanjian nya dengan Minho, jika kedua adiknya itu malah mendapatkan masalah sosial misalnya menjadi anak nakal dan tidak sekolah, maka mereka berhak menarik keduanya untuk diserahkan kepada negara. Minho menentang itu, dia tidak ingin berpisah.
Chin Ho memeluk Minho dan dibalas pelukan adiknya itu.
”apalagi aku sayang Kyung Soon...aku enggak akan biarkan petugas negara bawa mereka,” kata Chin Ho.
Minho senyum.
”enggak ada yang berani bawa kamu dan Kyung Soon dari aku... kalau paman kita misalnya sampai merebut kalian...aku juga enggak setuju,” jawab Minho.
”kita jalanin hidup sama-sama.. aku yang akan berusaha keras supaya kalian tetap bisa makan dan sekolah,” lanjutnya lagi.
Minho membiarkan saja adiknya itu memeluknya, sampai akhirnya dilepas sendiri pelukannya itu.
Chin Ho bilang, lusa dia ujian dan dia sudah siap belajar. Minho senang adiknya bisa mandiri ditengah kesulitan hidup mereka. Sebelum Chin Ho pamit tidur, Minho berjanji setelah ujian akan mencari alamat beberapa paman mereka untuk mengabarkan, apa yang sebenarnya telah terjadi. Siapa tahu, paman mereka sebenarnya mencaritahu berita keluarga ini. Minho mengijinkannya pergi tidur duluan karena hari semakin malam.
                                                ..........................................................
Minho masuk ke kamarnya sendiri. Dia membuka sepatu lalu berbaring, menekuk kedua tangannya menjadi bantal, menatap langit-langit. Dia melamun.
Tak berapa lama, tetesan air mata yang hangat keluar, mengalir di pipinya. Dia teringat lagi waktu-waktu bahagia bersama kedua orangtua dan kedua adiknya.
”Eomma... Appa.. sampai sekarang... aku belum bisa bertemu dengan paman dan bibi yang lain.. mereka tidak ada waktu kalian meninggal...sampai sekarang pun.. mereka tidak ada untuk kami..”
”hanya paman dan bibi Hwang yang baik pada aku, Chin Ho dan Kyung Soon,”
Paman dan bibi yang tetangga dan sama sekali bukan saudara itu menganggap mereka sebagai anak. Setiap pagi bibi Hwang rajin memasak makanan sebelum mereka berangkat sekolah, bahkan ia berjanji akan membantu menyekolahkan Kyung Soon yang sudah waktunya masuk taman kanak-kanak.
”apa... Eomma dan Appa dilangit sana setuju.. kalau Kyung Soon diambil oleh paman dan bibi Hwang??,”

Kyung Soon masih kecil, baru berusia empat tahun, masa yang indah bermain bagi seorang anak. Namun, Minho sedih sepertinya dia tidak bisa merawat adiknya yang satu itu, terpaksa dititipkan karena sepulang sekolah, dia langsung harus bekerja part time.
”aku... sebenarnya tidak rela kalau Kyung Soon bersama orang lain, Eomma.. Appa..tapi.. kalau memang bibi Hwang suka dengannya.. dan mungkin Kyung Soon bisa bahagia.. aku mungkin terpaksa melepas dia jadi adikku...,”
Air mata Minho jadi bertambah deras mengalir, dia juga lelah dengan fisiknya. Bagi anak seusianya yang baru memasuki 16 tahun, lalu harus keras sekolah belajar dan bekerja, fisik dan mentalnya terkuras habis. Disekolah, dia semakin pendiam dan pemikir. Temannya hanya Ryu Ji Won, anak lelaki keluarga menengah yang suka membuat komik, dan Hwang Yu Ri, salah seorang anak kaya pemilik saham sekolah.
Dia membayangkan, kalau dirinya tidak sanggup untuk merawat kedua adiknya itu, dia akan mengambil keputusan membiarkan Kyung Soon bahagia dengan paman dan bibi Hwang, diambil anak oleh mereka. Dia tidak ingin adiknya yang kecil mungil itu menderita perasaan dan juga kekurangan.
”Kyung Soon harus jadi anak yang bisa bikin Appa dan Eomma bangga pada dia,” katanya dalam hati.
Lama dia merenung masih menatap langit-langit. Lalu dia bangun dan kembali duduk, berdiri lalu ke meja belajarnya. Dia tidak cukup tidur sampai pagi hari, karena harus belajar persiapan ujian.
                                                .......................................
Pagi hari datang, Kyung Soon sibuk menangis, ingat kembali dengan kedua orangtuanya. Pagi hari memang biasanya di keluarga Lee sibuk sekali. Dahulu ibu mereka sudah sepagi itu menyiapkan sarapan bagi semuanya, mereka akan duduk rapi lalu makan pagi bersama. Semuanya berubah.
Minho menggendong adiknya itu, mencoba mengingatkan, kalau kedua orangtua mereka sudah tidak ada, jadi Kyung Soon harus bisa mandiri dan makan sendiri tanpa dibantu oleh Minho dan Chin Ho. Sementara, Chin Ho menyediakan sendiri makannya, dia sudah mulai mandiri.
Pagi itu, mereka hanya mempunyai nasi dan kimchi saja. Namun Chin Ho makan tanpa ragu.

”lalu.. kenapa kamu nangis?,” tanya Minho ramah pada adik kecilnya itu.
”Eomma.. tadi malam.. eomma datang padaku, Oppa,” kata Kyung Soon, jujur.
Minho jadi sedih dengan penuturan jujur adik kecilnya itu, namun, dia menutupinya dan tetap mencoba tersenyum.
”Eomma bilang apa?? Bilang kalau kamu enggak boleh nakal kan??,”
Kyung Soon mengangguk saja, dia lalu katakan kalau ibu mereka memeluknya dengan lembut di mimpi.
Minho mengusap-usap rambut adiknya itu. Tadi malam dia memang juga memikirkan kedua orangtuanya. Ternyata, Kyung Soon malah bermimpi.
”Eomma kan tidak bisa kembali lagi.. Oppa sudah bilang kan.. mereka dilangit.. disurga,” kata Minho.
”tapi, Eomma peluk aku, Oppa.. kenapa Eomma pergi selama ini?,” tanya Kyung Soon, polos.
Minho tidak bisa menjawab, tidak ada yang pernah tahu takdir seseorang, kenapa kedua orangtuanya harus begitu cepat meninggalkan mereka. Dia mengalihkan perasaan adiknya itu.
”Eomma kangen sama kamu... tapi Eomma dan Appa harus tetap di surga.. enggak bisa kembali”
Minho lalu menurunkan adiknya dari gendongannya dan mengambil Gom, boneka beruang milik adiknya itu.
”Gom belum makan pagi.. Kyung Soon juga harus makan pagi.. nanti bibi Hwang jemput main,” senyum Minho.
Kyung Soon mengangguk mantap. Dia lalu duduk di kursi makannya sambil menggendong bonekanya itu.
Minho membantunya makan sambil dia juga makan.
”Kemarin, bibi Hwang bilang ke aku, Oppa.. kalau aku harus sekolah,” ujar Kyung Soon dengan nada kekanak-kanakannya.
Minho senyum,” kamu memang harus sekolah, Kyung Soon... nanti aku bilang pada bibi Hwang.. kalau bantu supaya kamu bisa sekolah”
”kenapa tidak Eomma saja yang antarkan aku sekolah??,” tanya Kyung Soon, dengan ekspresi masih polos.
Rasanya Minho ingin menangis mendengar itu. Sewaktu umur 4 tahun, dia bersekolah hari pertama ditemani ibunya, begitu pula dengan Chin Ho. Tetapi, tidak untuk Kyung Soon.
Chin Ho langsung berhenti makan, dia ingin menyudahi makannya, namun Minho meminta dia menghabiskan sisa makanan di mangkuknya itu. Minho tahu, Chin Ho juga sedih dengan ceritanya tadi malam. Mereka harus bisa dewasa dengan situasi seperti ini.
Chin Ho menunduk mengangguk ketika Minho memintanya menghabiskan sisa makanannya, padahal, dia ingin menangis.
”Lalu.. aku harus bersekolah dengan bibi Hwang??,” tanya Kyung Soon.
Minho senyum, sambil membantu membersihkan sedikit nasi yang jatuh disamping mangkuk adiknya itu.
”Iya.. Eomma tidak marah kalau bibi Hwang yang antar Kyung Soon.. ,”
Kyung Soon tidak bicara apa-apa lagi, dia langsung makan, lalu tak berapa lama, dia bilang.
”ah.. baiklah, Oppa kalau begitu.. aku mau diantar bibi Hwang saja sekolahnya”
Minho senyum senang. Chin Ho pun pamit pada keduanya, berjalan ke sekolah.

Minho memperhatikan saja adiknya makan sendiri dengan lahap. Kyung Soon selalu tersenyum ceria kalau Minho memperhatikannya. Padahal dalam hati Minho, dia bagai tertusuk duri yang tajam dan panas dengan melihat senyuman adiknya itu. Wajah adiknya yang seperti ibunya, mengingatkan selalu pada kedua orangtuanya itu. Kyung Soon berkali-kali cerita sambil makan, apa saja yang sudah dibelikan bibi Hwang untuknya persiapan sekolah.
”bibi Hwang baik padaku, Oppa..,” ujarnya.
Minho mengangguk. Kyung Soon masih belum mengerti kejamnya dunia ini.. kalau hidup ini keras... dan entah.. apakah dia masih akan memikirkan... apakah Kyung Soon akan dilepasnya dan membiarkan adiknya itu menjadi anak angkat bibi Hwang..


Bersambung ke part 6....