Cerita ini hanya imajinasi saja.. jangan dimasukkan ke hati banget...
Pemain imajinasi: Lee Minho, Lee Kyung Soon, Lee Chin Ho,Hwang Yu Ri, Go
Young Chul, Ryu Ji Won, Bibi Hwang, Bu Guru Kang.
Sore itu Minho masuk kerja. Dia lekas berlari ke tempat kerjanya itu
supaya tidak terlambat. Dilihatnya,
teman satu shift nya sudah mau selesai.
”loh.. sepeda kamu mana, Minho?,” tanya
Jin Hyuk, teman satu shift nya untuk kasir sebelah.
”rusak, hehe,” balas Minho singkat, sambil
cengengesan seperti merasa tidak bersalah.
”rasanya sepedamu masih bagus.. ,” ujar
Jin Hyuk.
Minho memang tidak bercerita kalau
sepedanya dirusak orang lain. Lalu dia bilang pada Jin Hyuk yang sudah agak
lama bekerja disitu darinya, apa bisa dia minta ijin pada Supervisor Bo untuk
sebentar pergi keluar membeli sepeda baru.
”wah.. mestinya tadi sebelum jam shift
kamu perginya, Minho.. aku enggak yakin Supervisor Bo menginjinkan kamu pergi
deh,” balas Jin Hyuk.
Minho menunduk sedih. Dia ingin segera
punya sepeda baru walau meminjam uang dari bibi Hwang. Tapi Jin Hyuk
menghiburnya, siapa tahu memang supervisor itu mengijinkan dia.
Dia langsung berbicara pada Bo di
ruangannya.
”aku pikir, hari ini sibuk sekali, Minho..
jadi kita lihat saja nanti...,” balas Supervisor Bo. Dia kembali mengetes
mental Minho.
”aku tidak setuju kalau kamu meninggalkan
pekerjaan... retail kita semakin hari semakin ramai”, lanjutnya lagi dengan
mimik kalem.
Dalam hatinya, Minho sedih. Sebab dalam waktu dekat, dia akan
melaksanakan ujian semester dan tidak boleh terlambat. Uang untuk mengendarai
bus harus dia tabung dan dihemat makanya dia meminjam dari bibi Hwang dan ingin
membeli sepeda baru.
Dia menunduk hormat pada atasannya itu,
lalu keluar ruangan.
Diluar, dia mengeluh.. bagaimana nanti
bisa membeli sepeda?? Sedang hari sudah menjelang malam??? Dia harus segera
pergi besok pagi lebih awal supaya tidak terlambat sekolah.
Tetapi, Minho berusaha untuk melayani
pembeli dengan ramah, walau hatinya galau
memikirkan bagaimana caranya hari itu dia bisa membeli sepeda.
............................................
Di dalam ruangan, Supervisor Bo
mendapatkan telepon dari Yu Ri. Cewek itu bertanya, apa Minho sudah ijin
kepadanya untuk meluangkan waktu membeli sepeda. Jawaban supervisor itu sudah
tetapi memang sedang banyak orang membeli di toko retail mereka dan rekan kerja
Minho tidak bisa melayani mereka sendirian.
”Besok kami akan ujian, Supervisor Bo..
jadi aku minta tolong kamu memberikan waktu kepada Minho supaya dia bisa beli
sepeda barunya,” ujar Yu Ri.
Kalau sudah begitu, Bo tidak bisa apa-apa
lagi, atau dia akan dipecat. Tak berapa lama dia bicara dengan Yu Ri, dia pun
keluar berbicara dengan Minho, yang dilihatnya masih melayani beberapa pembeli
yang mengantri di kasir. Dia
mengijinkan Minho pergi sebentar di waktu istirahat, mengabulkan permohonannya.
Dengan wajah berbinar dan senang sekali,
jelas saja Minho akan pergi pas jam istirahat dan membawa uang pinjamannya dari
bibi Hwang.
”besok aku ujian.. makanya aku harus beli yang
baru lagi, Hyeongje (kakak lelaki),”
katanya pada Jin Hyuk.
”kamu jadi.. dapat beasiswa nya??,” tanya
Jin Hyuk, mahasiswa yang kerja part time.
Minho menggeleng tanda tidak tahu, dia
memang baru saja mengajukan pada wali kelasnya, sementara dia harus bersaing
dengan kelas dua.
Jin Hyuk menepuk-nepuk pundak Minho yang
hampir setinggi badannya itu.
”kalau aku sih.. yakin banget kamu bisa
dapatkan beasiswa itu.. disini kamu rajin, supervisor Bo memuji kerjamu..kamu
juga pasti rajin dirumah dan disekolah”
Minho cengengesan dengan pujian rekan
kerja seniornya itu. Dia katakan kalau dia sedang berusaha sebaik mungkin dalam
hidupnya supaya bisa berjuang mendapatkan pendidikan yang layak untuk dia dan
kedua adiknya.
”apa...saudaramu tidak ada yang
membantumu, Minho??”, tanya Jin Hyuk keheranan...bagaimana bisa baginya, jika
seorang anak yang masih berusia akan 16 tahun sudah berjuang sendirian sama
sekali tanpa bantuan siapapun.. sepengetahuan dia?
Minho menjawab dengan polos, kalau selama
ini yang membantu dia dan kedua adiknya adalah paman dan bibi Hwang, yang sudah
dianggap sebagai anak mereka.
Jin Hyuk terkesan dengan cerita Minho
tentang kebaikan kedua orangtua itu, termasuk pinjaman uang untuk membeli
sepeda.
”gila sekali gerombolan anak yang merusak
sepedamu itu.. kenapa para guru tidak berani marah pada mereka??,” tanya Jin
Hyuk dengan emosi.
”aku tidak tahu siapa mereka.. hanya saja,
Hyeongje.. ketika aku membantu mengajar ...rasanya anak salahsatu pemilik
yayasan itu ikut mengeroyokku,” balas Minho, dia mencoba mengingat wajah Go
Young Chul.
Jin Hyuk malah melarang Minho untuk
membela dirinya kalau sudah bertemu dengan orang semacam itu, bisa menjadi
malah lebih disakiti.
”kamu gak balas dia bukan berarti kamu
kalah,”
Minho mengangguk saja, sebab kalau dia
membalas, dia bisa kena sanksi sekolah dan beasiswanya bisa tidak jadi.
Beasiswa itulah harapan dia untuk mengurangi beban hidup dia dan kedua adiknya.
Sore itu, Minho langsung berlari cepat ke
toko sepeda yang ada dua blok dari tokonya. Sementara Yu Ri ngobrol dengan
supervisor Bo dimesseger.
”sepertinya dia sedang berlari, Nona..
karena saya hanya memberi waktu satu jam untuk memilih sepeda itu,”
Yu Ri senang karena Bo menuruti
perintahnya. Baginya, Minho memang teman yang baik dan tidak macam-macam. Sebenarnya,
dia sudah mulai bosan dekat dengan Go Young Chul, karena sikap sombongnya cowok
itu, serasa menguasai sekolah dan dia khawatir kalau nanti Minho tidak bisa
ikut dalam ajang mendapatkan beasiswa itu. Yu Ri berterima kasih pada Bo.
”besok Minho pasti dapat sepeda baru, jadi
dia tidak perlu naik bus,” senyumnya di depan gadget.
..........................
Wajah Minho ceria di depan toko sepeda. Sang
pemilik toko mempersilahkannya masuk dan melihat-lihat.
Dia pun memilah milih. Agak lama dia sempat
berjongkok dan mengetuk-ketuk stang, batangan, pelek sepeda, sampai akhirnya
ada pada satu pilihan, sepeda berwarna hitam metalik.
”apa kamu beli buat adikmu??,” tanya si
pemilik toko.
Minho menggeleng, itu untuk dia. Pemilik
toko heran juga, karena di jaman ini, anak abg
(anak baru gede aka remaja) seumuran dia pastinya meminta motor, bukan sepeda.
Minho senyum saja dengan keheranan si
pemilik toko, dia tawar menawar dan akhirnya sepakat mendapatkan harga yang
lebih murah.
Wajahnya sumringah, ceria sekali ketika
dia berhasil membawa sepeda yang didambakannya kembali ke toko. Dia pulang
langsung mengendarai sepeda itu.
Dilihatnya, ketika masuk, orang sudah
mulai banyak lagi datang berbelanja. Jin Hyuk yang sedang menemani dia bekerja menyapanya.
”jadi.. dapat sepedanya??,” katanya sambil
melayani di kasir.
Minho mengangguk senang, sambil juga dia
melayani pelanggan di mesin kasirnya.
”besok aku bisa pergi ujian tenang,
Hyeongje... berkat doa kamu juga dan kebaikan Supervisor Bo,”
Di depannya ada seorang wanita setengah
baya sedang berbelanja, mendengar mereka berdua mengobrol sambil melayani. Wanita
itu bertanya, dimana Minho bersekolah. Minho menjawab dengan ramah sambil tetap
melayani pelanggan itu.
”wah..bukannya itu kebanyakan sahamnya
milik Tuan Go ya??,”
Minho mengangguk, sambil masih terus
melayani wanita itu, memasukkan barang-barang yang dibelinya.
Wanita itu menepuk pundak Minho dengan
lembut.
”hai, Nak... kamu harus hati-hati ya..
mereka bukan orang kaya yang baik.. aku saja tidak menyuruh anakku bergaul
dengan isteri Tuan Go itu,”
Minho heran, kenapa mendadak wanita paruh
baya itu memperingatkan Minho.
”aku cerewet padamu supaya kamu tahu..
mereka bukan keluarga yang baik,” kata wanita itu.
Minho lalu sedikit menunduk hormat dan
senyum terima kasih atas informasi yang diberikan, walau kesannya seperti
menggosip.
Wanita itu pun selesai berbelanja setelah
dia mengoceh panjang lebar di depan Minho dan sampai ke pintu depan retail.
Minho menunduk hormat ketika wanita itu
masuk ke dalam sebuah mobil mewah setelah dia membantu membawa banyak keranjang
belanjaan.
”ingat yang tadi, anak muda,” kata wanita
itu pada Minho.
Minho senyum dan menunduk hormat saja.
Mobil wanita itupun berlalu.
.........................................
Malamnya, Minho pulang ke rumah. Dilihatnya,
yang belum tidur adalah ChinHo. Dia menyapa adiknya itu yang sedang mengerjakan
PR itu. Chin Ho menoleh dan senyum ramah ketika melihat kakaknya pulang.
Minho membuka seperti tudung penutup
makanan. Ternyata ada makanan enak diatas meja, dia langsung menebak kalau
semua itu pasti dari bibi Hwang. Dia pun lalu makan karena memang sudah malam
dan belum makan sewaktu kerja tadi.
Minho dengan wajah senang sambil makan
lalu bercerita pada Chin Ho kalau dia sudah punya sepeda yang diparkir depan
rumah.
Chin Ho langsung berwajah senang melihat
kakaknya bahagia.
”aku juga dibilang tadi oleh bibi Hwang
kalau Kyung Soon makannya banyak...”
Minho bergumam sambil makan, Chin Ho
meneruskan kata-katanya, dia duduk di depan Minho.
”Hyeong je..kenapa sih...aku kepikiran
kalau bibi Hwang akan mengambil Kyung Soon jadi anaknya??,”
Minho mendadak berhenti makan, ternyata
adiknya menyadari juga kalau memang mereka sebenarnya sudah dianggap anak oleh
tetangga mereka itu.
”ah..kata siapa?? Bibi Hwang bukannya memang sayang pada kita
semua??,”
Minho senyum pada adiknya itu, lalu
meneruskan makannya.
”tapi.. aku enggak ngerasain itu,
Hyeongje..,” balas Chin Ho polos.
”ah..tenang saja.. bibi Hwang gak akan
lakukan itu.. aku memang sengaja minta tolong beliau supaya ada yang menjaga
Kyung Soon...aku kerja.. kamu
sekolah.. Kyung Soon mau bermain dengan siapa??”, kata Minho, kalem.
Dia sendiri sebenarnya galau, takut-takut
apa yang dimilikinya dalam kondisi begini akan diambil orang. Walau dia tahu
bibi Hwang memang baik, dia masih tidak tahu bagaimana kondisi kehidupan mereka
ke depannya.
”apa..tidak ada paman dan bibi kita yang
mau bantu?? Apa hyeongje sudah telepon mereka??,” tanya Chin Ho lagi, dia
langsung loncat topik pembicaraan.
Ya, Minho belum mencari saudara dari ibu
dan ayahnya yang lain. Mereka bukan keluarga besar. Menjadi orang dari keluarga
biasa yang harus kerja demi mencukupi keperluan hidup membuat Minho setiap hari
malah tidak sempat memikirkan dimana keluarga dari kedua orangtuanya tinggal.
Mereka jauh.
”aku belum sempat mencari, Chin Ho.. nanti mungkin kalau libur,” jawab Minho,
singkat.
”Paman Byung sepertinya tinggal di Seoul
juga, Eomma sempat katakan padaku,” ujar Chin Ho.
Minho menggeleng,” aku tidak tahu, Eomma
belum pernah cerita.. kamu kan tahu.. paman Byung itu tukang mabuk.. memang
kamu mau... punya wali orangtua seperti itu??,”
Chin Ho jadi diam. Memang, bisa-bisa malah
menyusahkan kalau hak asuh mereka ke orang itu. Tapi mereka memang membutuhkan
wali supaya urusan administrasi sekolah bisa mudah selesai.
”Hyeongje.. ,” kata Chin Ho, mencoba
berbicara tetapi ragu.
Minho meneruskan makannya dan hanya
menjawab ya.
Chin Ho diam sejenak, dia memang tampaknya
ragu ingin berbicara lagi dengan Minho.
Minho lalu mendongakkan kepalanya.
”ada apa?? Ada yang mau dibahas lagi?,” tanya dia pada
adiknya itu.
Chin Ho bergumam sebentar, lalu menarik
nafasnya, agak sedikit tertahan.
”aku pikir... ,” katanya, kalimatnya
tertunda lagi.
Minho menghentikan makannya, menaruh
sumpit diatas mangkuknya. Lalu menatap mata adiknya itu.
”ada apa??,” tanya dia, penasaran.
”lebih baik.. kita berikan saja Kyung Soon pada bibi Hwang,” kata
Chin Ho dengan terbata-bata.
Minho tidak kaget sama sekali, karena dia
sebenarnya berpikiran yang sama dengan adiknya itu. Dia malah tertawa, yang membuat Chin Ho keheranan.
”memang... aku kenapa??,” tanya Chin Ho.
”kamu.. apa enggak sayang Kyung Soon??,”
Minho malah jadi menguji adiknya sendiri.
”sayang kok,” jawab Chin Ho, sambil duduk
di depan Minho.
”lalu.. kenapa punya pikiran supaya Kyung
Soon sebaiknya bersama paman dan bibi Hwang??,” tanya Minho lagi.
Chin
Ho diam. Minho meminta jawaban sejujurnya. Akhirnya,
adiknya itupun membuka mulutnya.
“aku
enggak yakin… Hyeongje bisa merawat ku dan Kyung Soon baik-baik,” kata Chin Ho
sambil menunduk. Dia takut melihat wajah kakaknya itu.
“jadi…kamu mau berikan Kyung Soon pada
bibi Hwang??,” tanya Minho.
”bagaimana nanti kalau dia dibawa jauh dan
kita gak bisa ketemu dia sama sekali??,” lanjutnya.
Chin
Ho mendadak diam. Minho pun ikut terdiam.
Tak berapa lama, waktu yang terasa
terhenti karena saling diam, mendadak berputar kembali.... Chin Ho menangis di hadapan Minho.
”aku takut... kalau nanti.. Hyeongje
sakit.. Kyung Soon enggak ada
yang merawat... dan aku enggak lulus sekolah,” katanya dengan terisak.
Minho hanya senyum. Dia dapat membayangkan
kondisi kejiwaan adiknya. Dia saja yang sudah mau 16 tahun begitu pusingnya
memikirkan hidup keseharian mereka, apalagi Chin Ho yang sudah kehilangan
orangtua baru berumur 10 tahun, sama sekali belum lulus sekolah dasar. Namun
Minho berusaha menenangkan hati adiknya, berusaha tidak lagi emosi seperti
hari-hari yang lalu.
”aku masih sehat-sehat saja kok, Chin
Ho..,” senyum Minho pada adiknya yang masih terisak-isak itu.
”aku dapat semangat dari arwah Appa dan
Eomma di langit,” lanjutnya lagi.
Chin Ho mengangguk-angguk mengiyakan
ketika Minho memintanya untuk tetap rajin belajar, tidak nakal sehingga adiknya
itu tidak dimarahi guru dan bisa sekolah dengan baik.
”kamu tidak boleh kerja.. nanti kalau
bekerja, keluarga kita bisa diambil pemerintah.. aku enggak mau kamu dan Kyung Soon hidup di panti
asuhan”
”aku juga enggak mau pisah dari
Hyeongje... ,” isak tangis Chin Ho.
Dalam hati Minho sebenarnya sedih. Yang
ditakutkan memang jika mereka terlihat oleh para tetangga hidup susah, tetangga
akan melapor kepada pekerja sosial lalu mereka semua akan diasuh dalam panti.
Minho tidak ingin kedua adiknya diambil. Beberapa waktu lalu, dia bersikeras
kepada pengacara khusus urusan kependudukan kalau dia sudah dewasa dan cukup
umur untuk mengurus kedua adiknya. Pengacara itu mengawasi perjanjian nya
dengan Minho, jika kedua adiknya itu malah mendapatkan masalah sosial misalnya
menjadi anak nakal dan tidak sekolah, maka mereka berhak menarik keduanya untuk
diserahkan kepada negara. Minho menentang itu, dia tidak ingin berpisah.
Chin Ho memeluk Minho dan dibalas pelukan
adiknya itu.
”apalagi aku sayang Kyung Soon...aku
enggak akan biarkan petugas negara bawa mereka,” kata Chin Ho.
Minho senyum.
”enggak ada yang berani bawa kamu dan
Kyung Soon dari aku... kalau paman kita misalnya sampai merebut kalian...aku
juga enggak setuju,” jawab Minho.
”kita jalanin hidup sama-sama.. aku yang akan berusaha keras supaya kalian
tetap bisa makan dan sekolah,” lanjutnya lagi.
Minho membiarkan saja adiknya itu
memeluknya, sampai akhirnya dilepas sendiri pelukannya itu.
Chin Ho bilang, lusa dia ujian dan dia
sudah siap belajar. Minho senang adiknya bisa mandiri ditengah kesulitan hidup
mereka. Sebelum Chin Ho pamit tidur, Minho berjanji setelah ujian akan mencari
alamat beberapa paman mereka untuk mengabarkan, apa yang sebenarnya telah
terjadi. Siapa tahu, paman mereka sebenarnya mencaritahu berita keluarga ini.
Minho mengijinkannya pergi tidur duluan karena hari semakin malam.
..........................................................
Minho masuk ke kamarnya sendiri. Dia
membuka sepatu lalu berbaring, menekuk kedua tangannya menjadi bantal, menatap
langit-langit. Dia melamun.
Tak berapa lama, tetesan air mata yang
hangat keluar, mengalir di pipinya. Dia teringat lagi waktu-waktu bahagia
bersama kedua orangtua dan kedua adiknya.
”Eomma... Appa.. sampai sekarang... aku
belum bisa bertemu dengan paman dan bibi yang lain.. mereka tidak ada waktu
kalian meninggal...sampai sekarang pun.. mereka tidak ada untuk kami..”
”hanya paman dan bibi Hwang yang baik pada
aku, Chin Ho dan Kyung Soon,”
Paman dan bibi yang tetangga dan sama
sekali bukan saudara itu menganggap mereka sebagai anak. Setiap pagi bibi Hwang
rajin memasak makanan sebelum mereka berangkat sekolah, bahkan ia berjanji akan
membantu menyekolahkan Kyung Soon yang sudah waktunya masuk taman kanak-kanak.
”apa... Eomma dan Appa dilangit sana setuju..
kalau Kyung Soon diambil oleh paman dan bibi Hwang??,”
Kyung Soon masih kecil, baru berusia empat
tahun, masa yang indah bermain bagi seorang anak. Namun, Minho sedih sepertinya
dia tidak bisa merawat adiknya yang satu itu, terpaksa dititipkan karena
sepulang sekolah, dia langsung harus bekerja part time.
”aku... sebenarnya tidak rela kalau Kyung
Soon bersama orang lain, Eomma.. Appa..tapi.. kalau memang bibi Hwang suka
dengannya.. dan mungkin Kyung Soon bisa bahagia.. aku mungkin terpaksa melepas dia
jadi adikku...,”
Air mata Minho jadi bertambah deras
mengalir, dia juga lelah dengan fisiknya. Bagi anak seusianya yang baru
memasuki 16 tahun, lalu harus keras sekolah belajar dan bekerja, fisik dan
mentalnya terkuras habis. Disekolah, dia semakin pendiam dan pemikir. Temannya
hanya Ryu Ji Won, anak lelaki keluarga menengah yang suka membuat komik, dan
Hwang Yu Ri, salah seorang anak kaya pemilik saham sekolah.
Dia membayangkan, kalau dirinya tidak
sanggup untuk merawat kedua adiknya itu, dia akan mengambil keputusan
membiarkan Kyung Soon bahagia dengan paman dan bibi Hwang, diambil anak oleh
mereka. Dia tidak ingin adiknya yang kecil mungil itu menderita perasaan dan
juga kekurangan.
”Kyung Soon harus jadi anak yang bisa
bikin Appa dan Eomma bangga pada dia,” katanya dalam hati.
Lama dia merenung masih menatap
langit-langit. Lalu dia bangun dan kembali duduk, berdiri lalu ke meja
belajarnya. Dia tidak cukup
tidur sampai pagi hari, karena harus belajar persiapan ujian.
.......................................
Pagi hari datang, Kyung Soon sibuk
menangis, ingat kembali dengan kedua orangtuanya. Pagi hari memang biasanya di
keluarga Lee sibuk sekali. Dahulu ibu mereka sudah sepagi itu menyiapkan
sarapan bagi semuanya, mereka akan duduk rapi lalu makan pagi bersama. Semuanya
berubah.
Minho menggendong adiknya itu, mencoba
mengingatkan, kalau kedua orangtua mereka sudah tidak ada, jadi Kyung Soon
harus bisa mandiri dan makan sendiri tanpa dibantu oleh Minho dan Chin Ho. Sementara, Chin Ho menyediakan sendiri
makannya, dia sudah mulai mandiri.
Pagi itu, mereka hanya mempunyai nasi dan
kimchi saja. Namun Chin Ho makan tanpa ragu.
”lalu.. kenapa kamu nangis?,” tanya Minho
ramah pada adik kecilnya itu.
”Eomma.. tadi malam.. eomma datang padaku,
Oppa,” kata Kyung Soon, jujur.
Minho jadi sedih dengan penuturan jujur
adik kecilnya itu, namun, dia menutupinya dan tetap mencoba tersenyum.
”Eomma bilang apa?? Bilang kalau kamu
enggak boleh nakal kan??,”
Kyung Soon mengangguk saja, dia lalu
katakan kalau ibu mereka memeluknya dengan lembut di mimpi.
Minho mengusap-usap rambut adiknya itu.
Tadi malam dia memang juga memikirkan kedua orangtuanya. Ternyata, Kyung Soon
malah bermimpi.
”Eomma kan tidak bisa kembali lagi.. Oppa
sudah bilang kan.. mereka dilangit.. disurga,” kata Minho.
”tapi, Eomma peluk aku, Oppa.. kenapa
Eomma pergi selama ini?,” tanya Kyung Soon, polos.
Minho tidak bisa menjawab, tidak ada yang
pernah tahu takdir seseorang, kenapa kedua orangtuanya harus begitu cepat
meninggalkan mereka. Dia mengalihkan perasaan adiknya itu.
”Eomma kangen sama kamu... tapi Eomma dan
Appa harus tetap di surga.. enggak bisa kembali”
Minho lalu menurunkan adiknya dari
gendongannya dan mengambil Gom, boneka beruang milik adiknya itu.
”Gom belum makan pagi.. Kyung Soon juga
harus makan pagi.. nanti bibi Hwang jemput main,” senyum Minho .
Kyung Soon mengangguk mantap. Dia lalu
duduk di kursi makannya sambil menggendong bonekanya itu.
Minho membantunya makan sambil dia juga
makan.
”Kemarin, bibi Hwang bilang ke aku, Oppa..
kalau aku harus sekolah,” ujar Kyung Soon dengan nada kekanak-kanakannya.
Minho senyum,” kamu memang harus sekolah,
Kyung Soon... nanti aku bilang pada bibi Hwang.. kalau bantu supaya kamu bisa
sekolah”
”kenapa tidak Eomma saja yang antarkan aku
sekolah??,” tanya Kyung Soon, dengan ekspresi masih polos.
Rasanya Minho ingin menangis mendengar
itu. Sewaktu umur 4 tahun, dia bersekolah hari pertama ditemani ibunya, begitu
pula dengan Chin Ho. Tetapi, tidak untuk Kyung Soon.
Chin Ho langsung berhenti makan, dia ingin
menyudahi makannya, namun Minho meminta dia menghabiskan sisa makanan di
mangkuknya itu. Minho tahu, Chin Ho juga sedih dengan ceritanya tadi malam.
Mereka harus bisa dewasa dengan situasi seperti ini.
Chin Ho menunduk mengangguk ketika Minho
memintanya menghabiskan sisa makanannya, padahal, dia ingin menangis.
”Lalu.. aku harus bersekolah dengan bibi
Hwang??,” tanya Kyung Soon.
Minho senyum, sambil membantu membersihkan
sedikit nasi yang jatuh disamping mangkuk adiknya itu.
”Iya.. Eomma tidak marah kalau bibi Hwang
yang antar Kyung Soon.. ,”
Kyung Soon tidak bicara apa-apa lagi, dia
langsung makan, lalu tak berapa lama, dia bilang.
”ah.. baiklah, Oppa kalau begitu.. aku mau
diantar bibi Hwang saja sekolahnya”
Minho senyum senang. Chin Ho pun pamit
pada keduanya, berjalan ke sekolah.
Minho memperhatikan saja adiknya makan
sendiri dengan lahap. Kyung Soon selalu tersenyum ceria kalau Minho
memperhatikannya. Padahal dalam hati Minho, dia bagai tertusuk duri yang tajam
dan panas dengan melihat senyuman adiknya itu. Wajah adiknya yang seperti
ibunya, mengingatkan selalu pada kedua orangtuanya itu. Kyung Soon berkali-kali cerita sambil makan, apa
saja yang sudah dibelikan bibi Hwang untuknya persiapan sekolah.
”bibi Hwang baik padaku, Oppa..,” ujarnya.
Minho mengangguk. Kyung Soon masih belum
mengerti kejamnya dunia ini.. kalau hidup ini keras... dan entah.. apakah dia masih akan memikirkan... apakah
Kyung Soon akan dilepasnya dan membiarkan adiknya itu menjadi anak angkat bibi
Hwang..
Bersambung ke part 6....