Namanya juga cerita imajinasi... jangan pernah dimasukkan ke hati..
Hari-hari ujian sudah selesai. Seperti
biasa, kelompok mereka: Minho, Aiko, Ken dan Makoto berkumpul kembali di ruang
yang tidak terpakai. Kali ini, mereka kumpul di depan makam Ichirou, berdoa
untuk sahabat mereka itu yang telah pergi.
”Ichi kun.. kamu tolong doakan aku supaya
aku tidak berpisah dengan Minho kun ya??,” kata hatinya Aiko ketika dia berdoa
dengan mata terpejam dan telapak tangan terkatup di depan wajahnya.
Dia membayangkan segala kenangannya
bersama cowok yang baik padanya itu mulai dari sekolah menengah pertama.
Ichirou memang baik padanya, namun, dia mengindahkan cinta cowok itu dan
memutuskan memilih Minho. Sempat ada rasa penyesalan dihatinya, apalagi ketika
akhirnya Ichirou pergi mendahului mereka.
”Kamu tahu Ichi kun? Rasanya aku takut
sekali kehilangan... aku sudah kehilanganmu sebagai teman baikku... sekarang.. masalahku bertambah.. rasanya.. aku ingin
juga bersama mu disini,” katanya lagi dalam hati.
”aku minta maaf... karena tak sempat
mengetahui kata hatimu yang sebenarnya... sungguh.. sebenarnya aku sedikit
menyesali dengan kehidupanku sekarang, Ichi kun,”
Suasana masih hening dengan doa
masing-masing terhadap Ichirou, teman mereka. Minho juga terlihat masih
memejamkan matanya, berdoa di depan makam.
”Ichi-kun.. akhir-akhir ini.. aku
membayangkan ingin sekali kamu hidup lagi, bisa menjadi temanku lagi, tidak
tidur di dalam ... membantuku menyelesaikan masalah ku sekarang,” kata Aiko
lagi dalam hati.
”tapi.. tidak mungkin kan?,” dia malah
tersenyum sambil berdoa dan tetap memejamkan matanya.
Tak berapa lama, Minho membuka matanya,
lalu menunduk hormat di depan makam Ichirou.
”doa ku selesai,” katanya pada teman-teman
dan Aiko yang masih memejamkan mata.
Lalu satu persatu menyelesaikan doanya dan
menunduk hormat pula pada makam Ichirou.
”Kita pulang?,” tanya Minho singkat pada
semuanya.
”enggak ngumpul dulu di cafe seperti
biasa??,” pinta Ken.
Minho mengangguk dan hanya
menjawab,”baik”, lalu mereka pun pergi.
............................................
Di tengah perjalanan menuju cafe, seperti
biasanya, mereka pergi naik bus. Tetapi, di dalamnya, Minho terlihat kaku
dengan Aiko, padahal tadi malam, mereka berjanji akan tinggal bersama lagi.
Ketika bus berhenti dan mereka keluar satu
persatu dari dalamnya, Ken menepuk pundak Minho ketika mereka berjalan,
memberikan isyarat sebaiknya lelaki itu memegang tangan pasangannya.
Minho lantas tanpa basa basi langsung
berjalan lebih cepat sedikit, berada di samping Aiko dan memegang tangannya.
Aiko menoleh dan menengadahkan kepalanya,
melihat wajah Minho, lalu tersenyum padanya. Minho pun membalas dengan senyuman
pula.
”eh.. sudah lama kita enggak jalan bareng
seperti ini,” ujar Minho, membuka pembicaraan sambil berjalan menuju kafe.
Ken mencolek Makoto agar mereka berjalan
dibelakang pasangan itu. Makoto mengangguk saja mengikuti perintah Ken.
Aiko mengangguk,”eeh... mungkin, sudah
lebih dari 5 bulan??”
Dia senyum lagi pada Minho,” itu karena
kita terlalu sibuk”
Ken mendadak nyeletuk,”Kalian bukan hanya
sibuk kuliah, tapi juga bertengkar... dasar masih anak-anak”.
Minho agak tersinggung dengan celetukan
Ken baru saja, hanya, dia sadar, dia dan Aiko memang masih bersikap seperti
anak-anak, jadi, didiamkan saja.
Ken berjalan disamping Minho,”gomen (maaf),” katanya, singkat. Dia
bisa membaca ketersinggungan temannya itu terhadap perkataannya. Ken memang
orang yang lebih suka berterus terang mengatakan sesuatu daripada dipendam. Ada
teman seperti dia, baik Makoto, Minho atau Aiko dan juga Ichirou dulu, senang
sekali. Ken dianggap seperti penghubung perasaan mereka yang terkadang terkesan
kaku satu sama lain.
...................................
Di dalam cafe...
”Ini berita baik kalau memang kalian mau
rujuk dan menguatkan diri.. aku setuju banget,” kata Ken dengan mimik santai.
Makoto mengangguk,”Ya.. bagaimanapun juga,
Minho... mulai detik ini, kalian sebaiknya berfikir jauh ke depan... ”
Waktu diam untuk beberapa detik. Minho dan Aiko mengangguk saja dengan apa
yang mereka katakan.
”Jadi... kapan dia akan lahir?,” tanya
Makoto.
”dekat sekali waktunya, Makoto-kun.. kurang
lebih, dua minggu lagi,” jawab Aiko dengan suara lembut.
”Nani...(apa?)..
secepat itu???,” Makoto kaget sampai beberapa tetes minumannya menyembur keluar
dari mulutnya.
Aiko yang melihat ekspresi temannya itu
malah cekikikan.
Sambil Makoto mengelap mulutnya sendiri
dengan ujung lengan baju panjangnya, dia bilang kalau waktu rasanya cepat
sekali berjalan, padahal sepertinya mereka baru saja menikah dan sering
berantem.
Aiko mengangguk. Memang semuanya terasa
cepat berlalu. Waktu, masalah, semuanya harus dihadapi dengan berani.
”Kalian harus yakin... terutama kamu, Aiko
chan..yah.. walau melawan orangtuamu sendiri,” kata Ken.
Minho malah mengeluh sampai nafasnya
terdengar.
”Habis.. mau bagaimana lagi?? Aku memang
jatuh cinta daridulu sama dia kok... ayah mertua saja yang memang keras dan
disiplin sekali,”
”kamu yang mestinya ngertiin mereka,
Minho-kun... sudah tahu ayah mertua mu itu galak, kesannya kamu masih
bermain-main dengan rumahtanggamu sendiri,” sindir Ken.
”tapi kan aku berjanji tidak akan
melakukannya lagi dan berusaha memperbaiki diri,” balas Minho.
Lalu dia menoleh pada Aiko,”iya kan, Aiko
chan?? Seperti yang aku katakan tadi malam?”
Aiko mengangguk saja.
”kalau sudah begitu... apa kalian masih
mau main-main??? Aku enggak kebayang sih.. aku orangnya lebih baik menunda atau
bahkan enggak melakukan sesuatu yang menurutku enggak bisa,” ujar Makoto.
”Tidak kok, Makoto-kun.. kami sudah
berjanji bersama kalau kami akan perjuangkan hak dan cinta kami lagi
dipengadilan berikutnya,” jawab Aiko dengan polos.
Ken kaget, kenapa harus dua minggu lagi.
”Kalian tidak sadar.. itu bisa waktunya Aiko chan melahirkan??”,
mata Ken agak melotot ketika mengucapkan itu.
Minho menepuk dahinya sendiri,”astaga!
Kenapa kita bisa lupa sih, Aiko chan??”
”bisa ditunda kan?? Dan aku rasa.. bisa
jadi ayah mu mempertimbangkan soal cucu, Aiko chan,” ujar Ken.
Makoto mengangguk-angguk membenarkan.
Menurutnya, siapa tahu dengan kelahiran anak mereka terlebih dahulu, maka sang
kakek akan menunda pikirannya untuk memisahkan mereka, atau bahkan membatalkan
persidangan.
”aku tidak yakin kalau ayahmu tidak sayang
cucu... apalagi, kalau misalnya ini yang pertama kali di dalam keluarga
kalian... iya kan??,”
Aiko mengangguk, Minho masih berfikir.
”lagi mikir, Minho kun??,” tanya Ken,
penasaran, walau mimik wajahnya masih santai.
Minho hanya bergumam. Dia memang berfikir,
apakah ayah mertuanya itu akan berfikiran yang sama dengan mereka? Sementara,
dia tahu, betapa kerasnya orangtua itu, sampai dia berfikir, ayah mertuanya itu
sudah tidak mengampuninya lagi.
”ah.. jangan negative thinking dulu deh, Minho kun.. siapa tahu, ayah mertua mu
itu juga sedang berfikir...,” balas Ken.
Aiko memperhatikan saja mereka ngobrol.
Ken memperhatikan Aiko,” eh, Aiko chan..
apa kamu sudah bicarakan soal kelahiranmu dengan keluargamu?”
Lalu dia menoleh pada Minho,”dengan
keluargamu juga, Minho kun??”
Aiko dan Minho kompak sama sama
menggeleng.
Ken jadi berdecak,”kalian... rasanya.. aku
ingin seperti jadi ayah kalian saja, ckckckck”
”sebenarnya habis ini aku akan bicarakan
dengan Nee-chan ku (kakak perempuan),” ujar Aiko.
”bagus itu,” balas Ken.
Minho sudah kusut duluan pikirannya. Dia
berfikir, apa otomatis dia yang harus maju bicara ketika nanti Aiko akan
membicarakan hal itu??
...........................................
Di rumah susun..
”jadi menelepon Nee-san malam ini??,”
tanya Minho pada Aiko, mereka sedang duduk di meja depan.
Aiko meletakkan cangkir teh nya,” apa
perlu?,” katanya memandang Minho dengan tatapan sayu.
Minho mengubah letak duduknya, lebih dekat
lagi dengan pasangannya itu, berada disampingnya. Dia menatap wajah Aiko.
”aku rasa.. apa yang dikatakan Ken kun itu
benar,”
Aiko mengangguk,” aku merasakan dia makin
berat... dan waktunya semakin dekat... aku enggak mau semuanya terhambat.. tahun
ini.. aku merasakan hidupku berat sekali,”
”heran juga... sudah seminggu keluarga mu
tidak ada yang menelepon..,” Minho menopang dagunya.
”mungkin karena mereka sudah pasti tahu..
aku tidak pergi kemana-mana selain ke kost Myo chan... atau kesini,” senyum
Aiko padanya.
Minho meletakkan kepala Aiko di pundaknya,
lalu mengelusnya.
”Nah.. aku tetap bersikeras kita harus
bersama,”
Aiko mengangguk walau kepalanya dielus
Minho. Minho meminta dia menelepon keluarganya malam itu juga, dia akan
memberanikan dirinya berbicara dengan ayah atau ibu mertuanya, atau bahkan
Kumiko, kakaknya Aiko.
Besok, mereka akan bertemu lagi dengan
keluarga Aiko dan bernegosiasi ulang soal sidang kedua yang mendekati hari
kelahiran anak mereka. Mereka menikmati malam itu berdua.
..........................
Esok paginya, mereka pergi bertemu dengan Kumiko
di rumah sakit tempat dia bekerja. Kumiko tidak kaget mereka datang bersama. Dia
hanya yakin jika Aiko tidak bisa dihubungi, sudah pasti bersama Minho.
Tidak ada yang kaku dipagi hari itu. Aiko mencoba mengembangkan perasaannya
biasa saja ketika menelepon kakaknya itu. Kumiko khawatir akan kesehatan
adiknya.
”aku memang ingin membicarakan penundaan
sidang, Ane.. aku dan Minho
tidak ingin lagi melanjutkannya”.
Kimiko kaget, dia pikir, semua tidak
semudah itu. Apalagi ayah
mereka seperti sudah tidak mengampuni Minho lagi.
”harus bagaimana lagi ayah bisa percaya
pada ku dan suamiku, Ane?? Kami benar-benar serius ingin membangun semuanya
dari baru lagi,” begitu jawaban Aiko pada kakaknya.
”tidak semudah itu, Aiko chan.. ayah sudah
menutup pintu kesepakatan untuk Minho kun.. itu hukuman sekaligus pelajaran,”
jawab Kumiko dengan suara yang sedikit dingin.
Aiko jelas sedih rencananya akan gagal dan
mungkin semuanya tinggal kenangan. Dia lalu menutup teleponnya.
”ada apa?? Apa Kumiko ane juga marah dengan kita??,” tanya Minho keheranan melihat
ekspresi pasangannya yang sedih.
Mendadak Aiko memeluk Minho dan menangis
kencang.
”aku sudah capek sekali... aku ingin semua
selesai,”
Minho diam. Disatu sisi bebannya berat
sekali: suami, mahasiswa, belum lagi orangtuanya memaksa dia menjadi dewasa.
Ah, sebenarnya bukan cuma keinginan orangtuanya yang seperti itu, otomatis
memang sebuah keharusan. Ketika seorang lelaki memutuskan hidup memasuki
rumahtangga, tandanya dia harus siap dengan kehidupan baru yang penuh tantangan
dan tidak disangka-sangka. Dia jadi berfikir, dia sudah salah langkah selama
ini terburu-buru sekali menentukan hidupnya, antara tidak ingin kehilangan
siapapun yang dia cintai, tetapi juga sudah mulai lelah dengan beban dan
tanggungjawab.
Dia menerima pelukan Aiko, lalu
merasakannya dengan lembut. Baginya, perempuan di depannya itulah justru orang
yang mengerti dirinya, walau kesalahan telah dia perbuat berkali-kali,
perempuan dalam pelukannya ini masih mengampuni dan memaafkannya. Mungkin,
kalau dia bukan Kohashi Aiko, segalanya telah bubar dalam waktu yang sangat
singkat.
”aku ingin melupakan segala kesalahan ku
dimasa lalu.. dan aku akan
berusaha keras hidup bersama mu lagi,” kata Minho dengan suara sendu.
Rasanya, seperti terlambat mengatakan itu,
namun dia katakan berkali-kali untuk meyakinkan pasangannya itu.
Aiko diam, dia sudah tak tahu lagi harus
bagaimana dan berkata apa lagi. Keluarganya sudah tidak lagi mendukung dia
untuk tetap mencintai Minho.
Minho masih terus memeluknya dengan
lembut.
”kalau nanti dia lahir.. apapun yang
terjadi.. aku tetap akan mendampingi mu,” katanya pada Aiko.
Aiko berusaha mengusap airmatanya walau
masih dalam pelukan Minho. Dia melepaskan dirinya dari pelukan itu dan menatap
Minho.
”aku yakin.. aku tidak salah memilih mu,” katanya pada Minho. Dia mengusap pipi kanan Minho.
”jika keputusan akhir nanti adalah
bercerai.. aku katakan pada ayah.. lebih baik aku mati.. karena.. kamu sudah
berjanji akan berubah demi aku dan anak kita,” lanjutnya.
Minho memeluknya lagi. Dia tidak tahan
mendengar kata-kata itu baru saja.
”tidak begitu, Aiko chan.. kita harus
tetap hidup dan buktikan pada mereka.. kalau kita bisa bahagia,” senyum Minho.
Aiko nyaman berada di pelukan Minho,
sampai tak terasa, dia begitu tertidurnya.
....................................
”Jika memang Kohashi meminta kalian
bercerai.. kami tidak dapat berbuat banyak. Lagipula, sedari awal.. bukannya
pernikahan ini ada yang salah??,” tanya Lee pada anaknya sendiri di telepon.
Minho meneleponnya setelah dia
membaringkan Aiko yang tertidur dalam pelukannya.
”Jangan sekejam itu pada ku dan keluarga
kecilku, Appa.. aku bisa buktikan kalau semua bisa ku lalui dengan baik,” jawab
Minho, dia mengeluarkan suara tegasnya, meyakinkan, kalau dia akan berubah.
”kenyataannya.. kamu sulit sekali berubah,
Minho.. kamu belum dewasa.. Ayah ingin kamu kembali ke Seoul.. tinggal saja bersama kami dan tinggalkan
Tokyo!”, Lee menjawab dengan lebih tegas.
Minho terpukul dengan perkataan ayahnya
itu. Dia sudah tidak mendapat dukungan dari siapapun tentang keinginannya untuk
mengubah diri.
”aku tidak dapat lagi mempercayaimu..
bercerai dan pulanglah ke Seoul,” suara Lee menjadi dingin pada anaknya
sendiri.
Minho terpaku dengan perkataan ayahnya.
Lalu, dia pun tanpa sengaja menjatuhkan handphone nya sendiri.
Dia hanya mendengar suara ayahnya
berteriak-teriak ”Hallo..Minho.. kamu masih disana?”, hatinya hancur,
harapannya untuk bisa dipercayai berubah, serasa lenyap begitu saja dan
perceraian sudah diambang mata.
Dia terduduk. Berarti sebentar lagi, tidak
kurang dari dua minggu, dia akan segera bercerai dengan Aiko dan akan
meninggalkan anak mereka.
Minho diam.. membiarkan handphone nya
memakan sendiri pulsa yang tersisa.
Dia sedih sekali, bagai kalut tak
berujung.
......................................
Minho tertidur duduk. Dia baru sadar dan
bangun ketika mendadak mendengar keluhan keluar dari mulut Aiko. Dia lekas
pergi ke kamar dan menemukan pasangannya itu mengerang kesakitan.
”astaga... pasti sudah waktunya!,” dia
panik ketika melihat darah sudah ada di kaki Aiko dan bercampur dengan cairan.
Aiko mengeluh saja dan mengerang. Minho
langsung terbata-bata menelepon rumah sakit yang terdekat dengan rumah susun
mereka.
Dia jadi panik, cemas, berusaha untuk
tetap menepati janjinya.. mememani kelahiran anak mereka.
”aku tidak tahan.. ini sakit sekali,”
keluh Aiko.
Perawat bertanya pada Minho, apa mereka
memiliki asuransi dan sejenisnya. Minho sangat bingung, akhirnya dia malah
menelepon Kumiko, kakak iparnya.
Kumiko kaget mendengar itu, namun dia
berusaha tidak panik dan menjawab semua pertanyaan Minho yang sedang sibuk pula
menenangkan Aiko.
Setelah selesai, Kumiko pun langsung
menghubungi ayahnya, memberitahukan semuanya.
Kohashi kaget juga, dia berusaha untuk tenang. Dalam
hatinya jelas, dia ingin anak dan cucunya selamat.
”jadi..bagaimana Aiko-chan.. anata (suami-red)?”, tanya isterinya.
”kita pergi saja ke tempat Minho kun
membawanya,” jawab Kohashi dengan langsung mengambil jaketnya. Lalu isterinya bergegas menyiapkan segala
keperluan Aiko dan bayi mereka.
.........................
Di rumah sakit..
Minho masih tetap menemani Aiko yang terus
kesakitan. Dia sebenarnya tidak tahan melihat itu, namun ia ingin membuktikan
cintanya pada perempuan itu. Sementara Aiko kesakitan, dia sibuk mengusap
rambut dan membelai tangan isterinya itu.
Bidan dan dokter membantu mereka.
Kohashi sampai di rumah sakit bersama
isterinya. Tetapi mereka tidak diijinkan masuk.
”sudah ada lelaki yang mengaku suami
Kohashi san.. dia menemaninya,” kata perawat, lalu masuk lagi ke ruangan.
Kohashi heran, dalam hatinya dia
berkata,”apa lelaki itu Minho kun?”
Lalu dia berterima kasih atas informasi
yang diberikan perawat pada mereka.
Mereka duduk saja berdua menunggu dengan
penuh harap dan doa.
Sementara, Minho malah masih di dalam terus
menggenggam tangan Aiko yang sedang berusaha melakukan persalinan. Dia
memberanikan diri melihat semuanya, walau jantungnya sangat berdetak tidak
karuan. Dia sudah bertekad, tidak ingin meninggalkan pasangannya itu, selain
juga dia ingin merebut hati keluarga Kohashi.
Tak berapa lama, terdengar suara tangisan
bayi perempuan yang mungil, menggema di seluruh ruangan itu.
Wajah Minho begitu gembiranya walau penuh
juga dibanjiri peluh.
”hebat sekali Rhi-san bersedia menemani
Kohashi san,” puji bidan dan perawat yang membantu persalinan.
Minho hanya bisa tersenyum. Dia tidak
menyangka bisa membuktikan kedewasaannya satu tahap bisa menemani isterinya di
peristiwa yang menegangkan sekaligus membahagiakan itu.
Kohashi dan isterinya tak berapa lama
masuk ke dalam ruangan inap. Mereka menemukan Minho duduk disamping Aiko yang
masih tertidur. Dan, dia pun tertidur sambil menggenggam tangan perempuan itu.
Kohashi menghampiri mereka berdua, berdiri
di depan Minho.
”saya tahu kamu sebenarnya bukan lelaki
jahat terhadap anakku... dan anakku sendiri sepertinya sudah cinta mati
terhadapmu.. kamu sudah menunjukkan satu tanggung jawab mu... tapi...bukan
berarti masalah kita selesai di pengadilan begitu saja, Minho kun”, katanya
dengan suara tegas.
Minho sama sekali tidak menyadari
mertuanya datang dan tidak mendengar berkata itu, dia kelelahan.
Kohashi dan isterinya lalu keluar ruangan
dan pulang.
...................................................
”sama sekali aku tidak menyangka kalau
Minho kun itu mau juga menemani..,” kata isterinya Kohashi di dalam mobil.
Kohashi diam. Dia harus melawan ego nya
dan mengubah ego nya yang lain agar tidak terlalu strict lagi pikiran dan
perasaannya pada Minho.
”dia memang seharusnya begitu, bertanggung
jawab.. sudah tugasnya bukan??,” jawab Kohashi pada isterinya. Ternyata, dia
menjaga gengsinya.
”apa anata tidak berfikir.. sebaiknya kita
ampuni saja dia..?,” tanya isterinya lagi.
Kohashi tetap dengan keputusannya: Tidak,
semua harus berjalan sesuai dengan proses pengadilan.
Isterinya tetap memaksa ia mengampuni
Minho. Sebab dia berfikir, Minho bisa berubah dan biarkan mereka memberikan
kesempatan pada lelaki itu untuk berubah.
”jangan pernah merasa kasihan dengan
kehidupan anak kita!!!,”
”sudah berapa kali dia mengkhianati
kepercayaan anak kita???!!,”
Bentak Kohashi kepada isterinya di depan
Kumiko dan Akira.
Semua jadi diam. Suasana senyap, wajah
Kohashi memerah. Pikirannya sebenarnya kalut, apakah ingin mengampuni Minho dan
membatalkan sidang kedua mereka, atau melanjutkan sampai dirasa anak itu akan
berubah.
”Ayah lihat kan.. kemarin, bagaimana dia
ingin berubah?? Kalau dia tidak bertanggungjawab, dia akan cuek saja walau Aiko
kesakitan seperti itu,” Kumiko pun angkat bicara.
”pikiran dan perasaannya masih sangat
labil... apa kamu bisa menjamin.. dalam detik atau jam berikutnya... dia tidak
akan menyengsarakan adik mu lagi?,” tanya Kohashi, balik ke anak sulungnya itu.
Akira yang memang sedari awal tidak suka
hubungan antara adiknya dengan Minho, mendukung saja keputusan yang tetap
diambil oleh ayahnya.
Kumiko menoleh pada adik tengahnya itu,
dia tidak suka dengan Akira karena dianggapnya juga masih belum dewasa.
”aku lebih suka kalau kita tidak
mencampuri urusan rumahtangga mereka, Otoosan (ayah).. lagipula.. aku sudah
mulai melihat keseriusan dari sisi keduanya”
Kohashi tetap pada pendiriannya.
Lalu, ”Tidak ada yang bisa membantah
keputusanku!”
Semuanya tercengang jika Kohashi sudah
bicara seperti itu.
Mereka pun pasrah melihat kepala keluarga
itu lantas keluar dari ruang keluarga dan masuk ke kamarnya.
............................................
Kumiko dan ibunya masih berada di ruang
keluarga, sementara Kohashi dan Akira sudah berada di ruangannya masing-masing.
Nana, ibu tiga anak itu terasa sedih
membayangkan perpisahan yang akan terjadi. Kumiko hanya mengelus tangan ibunya.
”sedari awal, aku sudah sadar, kalau
kehidupan Aiko chan akan berantakan,” keluh Nana kepada Kumiko.
”aku rasa, kita tidak perlu ikut campur
lagi, okaasan (ibu-red)... aku pikir, otoosan sudah keterlaluan... anak mereka
sudah lahir.. aku tidak ingin Aiko chan terguncang..,” balas Kumiko.
Nana mengeluhkan sikap suaminya yang keras
jika memang sudah sampai batasnya tidak dapat lagi dicegah. Ia membayangkan
bagaiman sedih anaknya nanti sementara mereka seharusnya bahagia.
...................................
Minho dan Aiko tidak menyadari kalau
orangtua dan mertua mereka datang, sampai perawat memberitahukan. Minho kaget,
karena dia tertidur pulas saat mereka datang. Pastinya, Kumiko lah yang
memberitahukan berita kelahiran anak mereka.
Minho menelepon kedua orangtuanya, dan
mereka senang. Lee menasehati anak lelakinya itu agar Kohashi mungkin saja akan
kasihan pada Minho dan tidak memperpanjang masalah ini. Lee membujuk Minho
untuk berani menemui mertuanya itu untuk meminta maaf.
”aku berharap Kohashi-ssi mau memaafkanmu ...
dan.. kamu harus berubah, Minho..,”
Minho menyanggupi apa yang dikatakan oleh
ayahnya. Dia bahagia melihat anak perempuan dan cucu kedua orangtuanya itu
telah lahir.
Hari itu, mereka sudah bisa pulang...
Minho sangat bahagia melihat Aiko dan bayi
mereka sehat. Tidak bisa dia
menceritakan luapan perasaannya, hanya dia sibuk memandang, bercanda dan berani
menggendong dengan bangganya bayi mereka di dalam kereta.
Aiko mencoba berusaha menerima Minho yang
mengatakan bahwa mereka tidak punya banyak uang dan seadanya membawa bayi
mereka.
Sebelum mereka pergi dari rumah sakit dan
membayar semuanya, Minho terlihat galau dengan uang mereka yang tidak seberapa
banyak.
”apa tidak masalah bagi si kecil kalau
dibawa terlalu jauh dan kami hanya naik kereta??,” tanya Minho pada dokter
anak.
Dokter mengatakan kalau anak mereka sehat
dan baik. Berkali-kali Minho memastikan itu agar anak mereka ketika pulang
tidak dalam keadaan sakit.
Aiko begitu senang Minho memperhatikan anak
mereka, peduli dan sayang.
Sepanjang mereka berada di perjalanan
menuju rumah, mereka berdua bahagia, berseri seri terus memandang wajah Hee
Kyun alias Sakurako yang tidak menangis dan seperti mengerti kondisi kedua
orangtuanya.
”benar kan... dia mirip sekali dengan
ku?,” tanya Minho dengan suara genit sambil memegang pipi anaknya, di dalam
kereta.
Beberapa orang terutama ibu-ibu melihat
mereka.
Minho membalas dengan senyum pandangan
mereka.
”kalian sepertinya bahagia sekali,” sapa
seorang ibu separuh baya yang berpakaian kimono dan duduk di depan mereka.
Minho mencoba berbasa-basi kalau mereka
baru saja bahagia dengan kelahiran Sakurako yang baru tiga hari.
Perempuan setengah baya itu mengucap
selamat pada mereka dan Minho pun berterima kasih atas ucapan itu.
”sepertinya..kalian ini masih muda
sekali..,” kata perempuan itu.
Minho mengangguk mengiyakan, bercerita
kalau mereka memang masih kuliah tingkat dua.
Perempuan itu kaget, tapi Minho lagi-lagi
membalasnya dengan senyum.
Dia tidak percaya dijaman seperti ini ada
pernikahan yang sangat muda, namun terlihat bahagia dimatanya. Minho menghibur
dirinya di depan perempuan itu
Aiko melihat mata Minho yang bahagia. Dia
lalu berbisik pada Sakurako.
”otoo chan mu sangat bahagia... okaachan
juga bahagia karena ada kamu, sakura-chan,”
Bayi itu diam saja, nyaman dalam
kehangatan selimut dan juga dekapan tubuh Aiko.
...............................................
Kohashi kaget ketika melihat Minho, Aiko
dan anak mereka pulang ke rumahnya.
Minho menunduk hormat pada semuanya.
”maaf... aku tidak tahu kalau semua datang
kemarin.. aku terlalu lelah menemani Aiko chan,”
Nana,ibunya Aiko tetap ramah pada Minho.
Dia menghampiri Minho dan mempersilahkan mereka beristirahat.
Kumiko langsung menghampiri Aiko.
Tapi... Kohashi memang masih kaku terhadap
mereka.
”walau kamu menemani Aiko chan
melahirkan...keputusan pengadilan tidak dapat diganggu gugat,” kata Kohashi,
datar dan dingin.
Aiko langsung protest dan tidak setuju
dengan perkataan ayahnya baru saja.
”sudahlah, suamiku... kita harusnya senang
Aiko chan memiliki anak... aku ingin semua tuntutan terhadap Minho kun
dicabut,” kata Nana.
”tidak bisa,” jawab Kohashi, singkat.
Minho menunduk hormat.
Aiko mulai menangis lagi.
”sudahlah, ayah... aku sudah memaafkan
suamiku sendiri... mestinya ayah memaafkan juga”
”dia sudah tidak dapat ku andalkan sebagai
pelindungmu,” jawab Kohashi dengan tegas.
Aiko berani menghampiri ayahnya dan
menangis, mengguncang-guncang kedua bahu ayahnya.
”ayah.. aku mohon.. aku tidak ingin bercerai
dengan Minho kun!,”
Pintanya begitu sedih, dia memang ingin
semuanya damai, dia meyakinkan ayahnya sendiri kalau Minho sudah berubah dan
mereka inginnbersama lagi.
”proses pengadilan tidak bisa diganggu
gugat....mengertilah!,” bentak dan jawab Kohashi pada anaknya.
”Anata! Aku tidak setuju!,” balas
isterinya, singkat.
Kohashi membentak semuanya.
Minho menunduk hormat dalam-dalam pada
mertuanya itu.
”aku akan tetap mempertahankan argumen ku
di depan pengadilan, kalau aku tidak ingin berpisah dari Aiko chan dan Sakurako
chan... aku cinta mereka berdua.. ”
Dia terus menunduk.
Kohashi diam, wajahnya memerah menahan
marah.
”sudahlah, ayah.. aku ingin bersama dia...aku
sudah lelah...aku tidak ingin lagi menyelesaikan pengadilan,” ratap Aiko lagi.
”kita lihat lusa nanti,” balas Kohashi,
singkat.
Semua terdiam. Terdiam. Tak ada satu
katapun meluncur dari mulut mereka di ruangan itu. Dan... sakurako pun
menangis.
Aiko meminta Sakurako dari tangan Kumiko.
Dia lalu bicara di depan Kohashi.
”ayah semestinya mengerti kata hatiku dan
Sakurako-chan... dia tidak mungkin dan tidak bisa kehilangan ayahnya”
Sementara, Minho masih terus menunduk
hormat tanpa lelah pada Kohashi.
Kohashi menoleh pada Minho.
”kamu akan tetap begitu selamanya...
proses pengadilan akan terus berjalan... aku tidak ingin lagi membicarakan
masalah ini”
Minho sadar, dia tidak lagi diberikan
kesempatan memperbaiki dirinya.
”Ayah jahat!,” teriak Aiko. Dia lalu
mendekap Sakurako dan menangis.
Minho menghampiri isteri dan anaknya itu,
lalu memeluknya. Air matanya ikut menetes keluar. Mungkin sampai lusa, akan jadi hari terakhir bagi
dia untuk bersama isteri dan anaknya itu...
Bersambung ke part 40...