This is me....

Minggu, Agustus 09, 2015

Pernikahan ½ (Part 39: Mereka Kebahagiaanku..)


Namanya juga cerita imajinasi... jangan pernah dimasukkan ke hati..

Hari-hari ujian sudah selesai. Seperti biasa, kelompok mereka: Minho, Aiko, Ken dan Makoto berkumpul kembali di ruang yang tidak terpakai. Kali ini, mereka kumpul di depan makam Ichirou, berdoa untuk sahabat mereka itu yang telah pergi.
”Ichi kun.. kamu tolong doakan aku supaya aku tidak berpisah dengan Minho kun ya??,” kata hatinya Aiko ketika dia berdoa dengan mata terpejam dan telapak tangan terkatup di depan wajahnya.


Dia membayangkan segala kenangannya bersama cowok yang baik padanya itu mulai dari sekolah menengah pertama. Ichirou memang baik padanya, namun, dia mengindahkan cinta cowok itu dan memutuskan memilih Minho. Sempat ada rasa penyesalan dihatinya, apalagi ketika akhirnya Ichirou pergi mendahului mereka.
”Kamu tahu Ichi kun? Rasanya aku takut sekali kehilangan... aku sudah kehilanganmu sebagai teman baikku... sekarang.. masalahku bertambah.. rasanya.. aku ingin juga bersama mu disini,” katanya lagi dalam hati.
”aku minta maaf... karena tak sempat mengetahui kata hatimu yang sebenarnya... sungguh.. sebenarnya aku sedikit menyesali dengan kehidupanku sekarang, Ichi kun,”

Suasana masih hening dengan doa masing-masing terhadap Ichirou, teman mereka. Minho juga terlihat masih memejamkan matanya, berdoa di depan makam.
”Ichi-kun.. akhir-akhir ini.. aku membayangkan ingin sekali kamu hidup lagi, bisa menjadi temanku lagi, tidak tidur di dalam ... membantuku menyelesaikan masalah ku sekarang,” kata Aiko lagi dalam hati.
”tapi.. tidak mungkin kan?,” dia malah tersenyum sambil berdoa dan tetap memejamkan matanya.
Tak berapa lama, Minho membuka matanya, lalu menunduk hormat di depan makam Ichirou.
”doa ku selesai,” katanya pada teman-teman dan Aiko yang masih memejamkan mata.
Lalu satu persatu menyelesaikan doanya dan menunduk hormat pula pada makam Ichirou.
”Kita pulang?,” tanya Minho singkat pada semuanya.
”enggak ngumpul dulu di cafe seperti biasa??,” pinta Ken.
Minho mengangguk dan hanya menjawab,”baik”, lalu mereka pun pergi.
                                                ............................................
Di tengah perjalanan menuju cafe, seperti biasanya, mereka pergi naik bus. Tetapi, di dalamnya, Minho terlihat kaku dengan Aiko, padahal tadi malam, mereka berjanji akan tinggal bersama lagi.
Ketika bus berhenti dan mereka keluar satu persatu dari dalamnya, Ken menepuk pundak Minho ketika mereka berjalan, memberikan isyarat sebaiknya lelaki itu memegang tangan pasangannya.
Minho lantas tanpa basa basi langsung berjalan lebih cepat sedikit, berada di samping Aiko dan memegang tangannya.
Aiko menoleh dan menengadahkan kepalanya, melihat wajah Minho, lalu tersenyum padanya. Minho pun membalas dengan senyuman pula.

”eh.. sudah lama kita enggak jalan bareng seperti ini,” ujar Minho, membuka pembicaraan sambil berjalan menuju kafe.
Ken mencolek Makoto agar mereka berjalan dibelakang pasangan itu. Makoto mengangguk saja mengikuti perintah Ken.
Aiko mengangguk,”eeh... mungkin, sudah lebih dari 5 bulan??”
Dia senyum lagi pada Minho,” itu karena kita terlalu sibuk”
Ken mendadak nyeletuk,”Kalian bukan hanya sibuk kuliah, tapi juga bertengkar... dasar masih anak-anak”.
Minho agak tersinggung dengan celetukan Ken baru saja, hanya, dia sadar, dia dan Aiko memang masih bersikap seperti anak-anak, jadi, didiamkan saja.
Ken berjalan disamping Minho,”gomen (maaf),” katanya, singkat. Dia bisa membaca ketersinggungan temannya itu terhadap perkataannya. Ken memang orang yang lebih suka berterus terang mengatakan sesuatu daripada dipendam. Ada teman seperti dia, baik Makoto, Minho atau Aiko dan juga Ichirou dulu, senang sekali. Ken dianggap seperti penghubung perasaan mereka yang terkadang terkesan kaku satu sama lain.
                                                ...................................
Di dalam cafe...
”Ini berita baik kalau memang kalian mau rujuk dan menguatkan diri.. aku setuju banget,” kata Ken dengan mimik santai.
Makoto mengangguk,”Ya.. bagaimanapun juga, Minho... mulai detik ini, kalian sebaiknya berfikir jauh ke depan... ”
Waktu diam untuk beberapa detik. Minho dan Aiko mengangguk saja dengan apa yang mereka katakan.
”Jadi... kapan dia akan lahir?,” tanya Makoto.
”dekat sekali waktunya, Makoto-kun.. kurang lebih, dua minggu lagi,” jawab Aiko dengan suara lembut.
Nani...(apa?).. secepat itu???,” Makoto kaget sampai beberapa tetes minumannya menyembur keluar dari mulutnya.
Aiko yang melihat ekspresi temannya itu malah cekikikan.
Sambil Makoto mengelap mulutnya sendiri dengan ujung lengan baju panjangnya, dia bilang kalau waktu rasanya cepat sekali berjalan, padahal sepertinya mereka baru saja menikah dan sering berantem.

Aiko mengangguk. Memang semuanya terasa cepat berlalu. Waktu, masalah, semuanya harus dihadapi dengan berani.
”Kalian harus yakin... terutama kamu, Aiko chan..yah.. walau melawan orangtuamu sendiri,” kata Ken.
Minho malah mengeluh sampai nafasnya terdengar.
”Habis.. mau bagaimana lagi?? Aku memang jatuh cinta daridulu sama dia kok... ayah mertua saja yang memang keras dan disiplin sekali,”
”kamu yang mestinya ngertiin mereka, Minho-kun... sudah tahu ayah mertua mu itu galak, kesannya kamu masih bermain-main dengan rumahtanggamu sendiri,” sindir Ken.
”tapi kan aku berjanji tidak akan melakukannya lagi dan berusaha memperbaiki diri,” balas Minho.
Lalu dia menoleh pada Aiko,”iya kan, Aiko chan?? Seperti yang aku katakan tadi malam?”
Aiko mengangguk saja.
”kalau sudah begitu... apa kalian masih mau main-main??? Aku enggak kebayang sih.. aku orangnya lebih baik menunda atau bahkan enggak melakukan sesuatu yang menurutku enggak bisa,” ujar Makoto.
”Tidak kok, Makoto-kun.. kami sudah berjanji bersama kalau kami akan perjuangkan hak dan cinta kami lagi dipengadilan berikutnya,” jawab Aiko dengan polos.

Ken kaget, kenapa harus dua minggu lagi.
”Kalian tidak sadar.. itu bisa waktunya Aiko chan melahirkan??”, mata Ken agak melotot ketika mengucapkan itu.
Minho menepuk dahinya sendiri,”astaga! Kenapa kita bisa lupa sih, Aiko chan??”
”bisa ditunda kan?? Dan aku rasa.. bisa jadi ayah mu mempertimbangkan soal cucu, Aiko chan,” ujar Ken.
Makoto mengangguk-angguk membenarkan. Menurutnya, siapa tahu dengan kelahiran anak mereka terlebih dahulu, maka sang kakek akan menunda pikirannya untuk memisahkan mereka, atau bahkan membatalkan persidangan.
”aku tidak yakin kalau ayahmu tidak sayang cucu... apalagi, kalau misalnya ini yang pertama kali di dalam keluarga kalian... iya kan??,”
Aiko mengangguk, Minho masih berfikir.

”lagi mikir, Minho kun??,” tanya Ken, penasaran, walau mimik wajahnya masih santai.
Minho hanya bergumam. Dia memang berfikir, apakah ayah mertuanya itu akan berfikiran yang sama dengan mereka? Sementara, dia tahu, betapa kerasnya orangtua itu, sampai dia berfikir, ayah mertuanya itu sudah tidak mengampuninya lagi.
”ah.. jangan negative thinking dulu deh, Minho kun.. siapa tahu, ayah mertua mu itu juga sedang berfikir...,” balas Ken.
Aiko memperhatikan saja mereka ngobrol.
Ken memperhatikan Aiko,” eh, Aiko chan.. apa kamu sudah bicarakan soal kelahiranmu dengan keluargamu?”
Lalu dia menoleh pada Minho,”dengan keluargamu juga, Minho kun??”
Aiko dan Minho kompak sama sama menggeleng.
Ken jadi berdecak,”kalian... rasanya.. aku ingin seperti jadi ayah kalian saja, ckckckck”
”sebenarnya habis ini aku akan bicarakan dengan Nee-chan ku (kakak perempuan),” ujar Aiko.
”bagus itu,” balas Ken.
Minho sudah kusut duluan pikirannya. Dia berfikir, apa otomatis dia yang harus maju bicara ketika nanti Aiko akan membicarakan hal itu??
                                                ...........................................
Di rumah susun..
”jadi menelepon Nee-san malam ini??,” tanya Minho pada Aiko, mereka sedang duduk di meja depan.
Aiko meletakkan cangkir teh nya,” apa perlu?,” katanya memandang Minho dengan tatapan sayu.
Minho mengubah letak duduknya, lebih dekat lagi dengan pasangannya itu, berada disampingnya. Dia menatap wajah Aiko.
”aku rasa.. apa yang dikatakan Ken kun itu benar,”
Aiko mengangguk,” aku merasakan dia makin berat... dan waktunya semakin dekat... aku enggak mau semuanya terhambat.. tahun ini.. aku merasakan hidupku berat sekali,”
”heran juga... sudah seminggu keluarga mu tidak ada yang menelepon..,” Minho menopang dagunya.
”mungkin karena mereka sudah pasti tahu.. aku tidak pergi kemana-mana selain ke kost Myo chan... atau kesini,” senyum Aiko padanya.
Minho meletakkan kepala Aiko di pundaknya, lalu mengelusnya.
”Nah.. aku tetap bersikeras kita harus bersama,”
Aiko mengangguk walau kepalanya dielus Minho. Minho meminta dia menelepon keluarganya malam itu juga, dia akan memberanikan dirinya berbicara dengan ayah atau ibu mertuanya, atau bahkan Kumiko, kakaknya Aiko.
Besok, mereka akan bertemu lagi dengan keluarga Aiko dan bernegosiasi ulang soal sidang kedua yang mendekati hari kelahiran anak mereka. Mereka menikmati malam itu berdua.
                                                ..........................
Esok paginya, mereka pergi bertemu dengan Kumiko di rumah sakit tempat dia bekerja. Kumiko tidak kaget mereka datang bersama. Dia hanya yakin jika Aiko tidak bisa dihubungi, sudah pasti bersama Minho.
Tidak ada yang kaku dipagi hari itu. Aiko mencoba mengembangkan perasaannya biasa saja ketika menelepon kakaknya itu. Kumiko khawatir akan kesehatan adiknya.
”aku memang ingin membicarakan penundaan sidang, Ane.. aku dan Minho tidak ingin lagi melanjutkannya”.
Kimiko kaget, dia pikir, semua tidak semudah itu. Apalagi ayah mereka seperti sudah tidak mengampuni Minho lagi.
”harus bagaimana lagi ayah bisa percaya pada ku dan suamiku, Ane?? Kami benar-benar serius ingin membangun semuanya dari baru lagi,” begitu jawaban Aiko pada kakaknya.
”tidak semudah itu, Aiko chan.. ayah sudah menutup pintu kesepakatan untuk Minho kun.. itu hukuman sekaligus pelajaran,” jawab Kumiko dengan suara yang sedikit dingin.
Aiko jelas sedih rencananya akan gagal dan mungkin semuanya tinggal kenangan. Dia lalu menutup teleponnya.

”ada apa?? Apa Kumiko ane juga marah dengan kita??,” tanya Minho keheranan melihat ekspresi pasangannya yang sedih.
Mendadak Aiko memeluk Minho dan menangis kencang.
”aku sudah capek sekali... aku ingin semua selesai,”
Minho diam. Disatu sisi bebannya berat sekali: suami, mahasiswa, belum lagi orangtuanya memaksa dia menjadi dewasa. Ah, sebenarnya bukan cuma keinginan orangtuanya yang seperti itu, otomatis memang sebuah keharusan. Ketika seorang lelaki memutuskan hidup memasuki rumahtangga, tandanya dia harus siap dengan kehidupan baru yang penuh tantangan dan tidak disangka-sangka. Dia jadi berfikir, dia sudah salah langkah selama ini terburu-buru sekali menentukan hidupnya, antara tidak ingin kehilangan siapapun yang dia cintai, tetapi juga sudah mulai lelah dengan beban dan tanggungjawab.
Dia menerima pelukan Aiko, lalu merasakannya dengan lembut. Baginya, perempuan di depannya itulah justru orang yang mengerti dirinya, walau kesalahan telah dia perbuat berkali-kali, perempuan dalam pelukannya ini masih mengampuni dan memaafkannya. Mungkin, kalau dia bukan Kohashi Aiko, segalanya telah bubar dalam waktu yang sangat singkat.

”aku ingin melupakan segala kesalahan ku dimasa lalu.. dan aku akan berusaha keras hidup bersama mu lagi,” kata Minho dengan suara sendu.
Rasanya, seperti terlambat mengatakan itu, namun dia katakan berkali-kali untuk meyakinkan pasangannya itu.
Aiko diam, dia sudah tak tahu lagi harus bagaimana dan berkata apa lagi. Keluarganya sudah tidak lagi mendukung dia untuk tetap mencintai Minho.
Minho masih terus memeluknya dengan lembut.
”kalau nanti dia lahir.. apapun yang terjadi.. aku tetap akan mendampingi mu,” katanya pada Aiko.
Aiko berusaha mengusap airmatanya walau masih dalam pelukan Minho. Dia melepaskan dirinya dari pelukan itu dan menatap Minho.
”aku yakin.. aku tidak salah memilih mu,” katanya pada Minho. Dia mengusap pipi kanan Minho.
”jika keputusan akhir nanti adalah bercerai.. aku katakan pada ayah.. lebih baik aku mati.. karena.. kamu sudah berjanji akan berubah demi aku dan anak kita,” lanjutnya.
Minho memeluknya lagi. Dia tidak tahan mendengar kata-kata itu baru saja.
”tidak begitu, Aiko chan.. kita harus tetap hidup dan buktikan pada mereka.. kalau kita bisa bahagia,” senyum Minho.
Aiko nyaman berada di pelukan Minho, sampai tak terasa, dia begitu tertidurnya.
                                                ....................................
”Jika memang Kohashi meminta kalian bercerai.. kami tidak dapat berbuat banyak. Lagipula, sedari awal.. bukannya pernikahan ini ada yang salah??,” tanya Lee pada anaknya sendiri di telepon.
Minho meneleponnya setelah dia membaringkan Aiko yang tertidur dalam pelukannya.
”Jangan sekejam itu pada ku dan keluarga kecilku, Appa.. aku bisa buktikan kalau semua bisa ku lalui dengan baik,” jawab Minho, dia mengeluarkan suara tegasnya, meyakinkan, kalau dia akan berubah.
”kenyataannya.. kamu sulit sekali berubah, Minho.. kamu belum dewasa.. Ayah ingin kamu kembali ke Seoul.. tinggal saja bersama kami dan tinggalkan Tokyo!”, Lee menjawab dengan lebih tegas.
Minho terpukul dengan perkataan ayahnya itu. Dia sudah tidak mendapat dukungan dari siapapun tentang keinginannya untuk mengubah diri.
”aku tidak dapat lagi mempercayaimu.. bercerai dan pulanglah ke Seoul,” suara Lee menjadi dingin pada anaknya sendiri.
Minho terpaku dengan perkataan ayahnya. Lalu, dia pun tanpa sengaja menjatuhkan handphone nya sendiri.
Dia hanya mendengar suara ayahnya berteriak-teriak ”Hallo..Minho.. kamu masih disana?”, hatinya hancur, harapannya untuk bisa dipercayai berubah, serasa lenyap begitu saja dan perceraian sudah diambang mata.
Dia terduduk. Berarti sebentar lagi, tidak kurang dari dua minggu, dia akan segera bercerai dengan Aiko dan akan meninggalkan anak mereka.
Minho diam.. membiarkan handphone nya memakan sendiri pulsa yang tersisa.
Dia sedih sekali, bagai kalut tak berujung.
                                                ......................................

Minho tertidur duduk. Dia baru sadar dan bangun ketika mendadak mendengar keluhan keluar dari mulut Aiko. Dia lekas pergi ke kamar dan menemukan pasangannya itu mengerang kesakitan.
”astaga... pasti sudah waktunya!,” dia panik ketika melihat darah sudah ada di kaki Aiko dan bercampur dengan cairan.
Aiko mengeluh saja dan mengerang. Minho langsung terbata-bata menelepon rumah sakit yang terdekat dengan rumah susun mereka.
Dia jadi panik, cemas, berusaha untuk tetap menepati janjinya.. mememani kelahiran anak mereka.
”aku tidak tahan.. ini sakit sekali,” keluh Aiko.
Perawat bertanya pada Minho, apa mereka memiliki asuransi dan sejenisnya. Minho sangat bingung, akhirnya dia malah menelepon Kumiko, kakak iparnya.
Kumiko kaget mendengar itu, namun dia berusaha tidak panik dan menjawab semua pertanyaan Minho yang sedang sibuk pula menenangkan Aiko.
Setelah selesai, Kumiko pun langsung menghubungi ayahnya, memberitahukan semuanya.
Kohashi  kaget juga, dia berusaha untuk tenang. Dalam hatinya jelas, dia ingin anak dan cucunya selamat.
”jadi..bagaimana Aiko-chan.. anata (suami-red)?”, tanya isterinya.
”kita pergi saja ke tempat Minho kun membawanya,” jawab Kohashi dengan langsung mengambil jaketnya. Lalu isterinya bergegas menyiapkan segala keperluan Aiko dan bayi mereka.
                                                .........................
Di rumah sakit..
Minho masih tetap menemani Aiko yang terus kesakitan. Dia sebenarnya tidak tahan melihat itu, namun ia ingin membuktikan cintanya pada perempuan itu. Sementara Aiko kesakitan, dia sibuk mengusap rambut dan membelai tangan isterinya itu.
Bidan dan dokter membantu mereka.
Kohashi sampai di rumah sakit bersama isterinya. Tetapi mereka tidak diijinkan masuk.
”sudah ada lelaki yang mengaku suami Kohashi san.. dia menemaninya,” kata perawat, lalu masuk lagi ke ruangan.
Kohashi heran, dalam hatinya dia berkata,”apa lelaki itu Minho kun?”
Lalu dia berterima kasih atas informasi yang diberikan perawat pada mereka.
Mereka duduk saja berdua menunggu dengan penuh harap dan doa.

Sementara, Minho malah masih di dalam terus menggenggam tangan Aiko yang sedang berusaha melakukan persalinan. Dia memberanikan diri melihat semuanya, walau jantungnya sangat berdetak tidak karuan. Dia sudah bertekad, tidak ingin meninggalkan pasangannya itu, selain juga dia ingin merebut hati keluarga Kohashi.
Tak berapa lama, terdengar suara tangisan bayi perempuan yang mungil, menggema di seluruh ruangan itu.
Wajah Minho begitu gembiranya walau penuh juga dibanjiri peluh.
”hebat sekali Rhi-san bersedia menemani Kohashi san,” puji bidan dan perawat yang membantu persalinan.
Minho hanya bisa tersenyum. Dia tidak menyangka bisa membuktikan kedewasaannya satu tahap bisa menemani isterinya di peristiwa yang menegangkan sekaligus membahagiakan itu.

Kohashi dan isterinya tak berapa lama masuk ke dalam ruangan inap. Mereka menemukan Minho duduk disamping Aiko yang masih tertidur. Dan, dia pun tertidur sambil menggenggam tangan perempuan itu.
Kohashi menghampiri mereka berdua, berdiri di depan Minho.
”saya tahu kamu sebenarnya bukan lelaki jahat terhadap anakku... dan anakku sendiri sepertinya sudah cinta mati terhadapmu.. kamu sudah menunjukkan satu tanggung jawab mu... tapi...bukan berarti masalah kita selesai di pengadilan begitu saja, Minho kun”, katanya dengan suara tegas.
Minho sama sekali tidak menyadari mertuanya datang dan tidak mendengar berkata itu, dia kelelahan.
Kohashi dan isterinya lalu keluar ruangan dan pulang.
                                                ...................................................
”sama sekali aku tidak menyangka kalau Minho kun itu mau juga menemani..,” kata isterinya Kohashi di dalam mobil.
Kohashi diam. Dia harus melawan ego nya dan mengubah ego nya yang lain agar tidak terlalu strict lagi pikiran dan perasaannya pada Minho.
”dia memang seharusnya begitu, bertanggung jawab.. sudah tugasnya bukan??,” jawab Kohashi pada isterinya. Ternyata, dia menjaga gengsinya.
”apa anata tidak berfikir.. sebaiknya kita ampuni saja dia..?,” tanya isterinya lagi.
Kohashi tetap dengan keputusannya: Tidak, semua harus berjalan sesuai dengan proses pengadilan.
Isterinya tetap memaksa ia mengampuni Minho. Sebab dia berfikir, Minho bisa berubah dan biarkan mereka memberikan kesempatan pada lelaki itu untuk berubah.

”jangan pernah merasa kasihan dengan kehidupan anak kita!!!,”
”sudah berapa kali dia mengkhianati kepercayaan anak kita???!!,”
Bentak Kohashi kepada isterinya di depan Kumiko dan Akira.
Semua jadi diam. Suasana senyap, wajah Kohashi memerah. Pikirannya sebenarnya kalut, apakah ingin mengampuni Minho dan membatalkan sidang kedua mereka, atau melanjutkan sampai dirasa anak itu akan berubah.
”Ayah lihat kan.. kemarin, bagaimana dia ingin berubah?? Kalau dia tidak bertanggungjawab, dia akan cuek saja walau Aiko kesakitan seperti itu,” Kumiko pun angkat bicara.
”pikiran dan perasaannya masih sangat labil... apa kamu bisa menjamin.. dalam detik atau jam berikutnya... dia tidak akan menyengsarakan adik mu lagi?,” tanya Kohashi, balik ke anak sulungnya itu.
Akira yang memang sedari awal tidak suka hubungan antara adiknya dengan Minho, mendukung saja keputusan yang tetap diambil oleh ayahnya.

Kumiko menoleh pada adik tengahnya itu, dia tidak suka dengan Akira karena dianggapnya juga masih belum dewasa.
”aku lebih suka kalau kita tidak mencampuri urusan rumahtangga mereka, Otoosan (ayah).. lagipula.. aku sudah mulai melihat keseriusan dari sisi keduanya”
Kohashi tetap pada pendiriannya.
Lalu, ”Tidak ada yang bisa membantah keputusanku!”
Semuanya tercengang jika Kohashi sudah bicara seperti itu.
Mereka pun pasrah melihat kepala keluarga itu lantas keluar dari ruang keluarga dan masuk ke kamarnya.
                                                ............................................

Kumiko dan ibunya masih berada di ruang keluarga, sementara Kohashi dan Akira sudah berada di ruangannya masing-masing.
Nana, ibu tiga anak itu terasa sedih membayangkan perpisahan yang akan terjadi. Kumiko hanya mengelus tangan ibunya.
”sedari awal, aku sudah sadar, kalau kehidupan Aiko chan akan berantakan,” keluh Nana kepada Kumiko.
”aku rasa, kita tidak perlu ikut campur lagi, okaasan (ibu-red)... aku pikir, otoosan sudah keterlaluan... anak mereka sudah lahir.. aku tidak ingin Aiko chan terguncang..,” balas Kumiko.
Nana mengeluhkan sikap suaminya yang keras jika memang sudah sampai batasnya tidak dapat lagi dicegah. Ia membayangkan bagaiman sedih anaknya nanti sementara mereka seharusnya bahagia.
                                                ...................................
Minho dan Aiko tidak menyadari kalau orangtua dan mertua mereka datang, sampai perawat memberitahukan. Minho kaget, karena dia tertidur pulas saat mereka datang. Pastinya, Kumiko lah yang memberitahukan berita kelahiran anak mereka.
Minho menelepon kedua orangtuanya, dan mereka senang. Lee menasehati anak lelakinya itu agar Kohashi mungkin saja akan kasihan pada Minho dan tidak memperpanjang masalah ini. Lee membujuk Minho untuk berani menemui mertuanya itu untuk meminta maaf.
”aku berharap Kohashi-ssi mau memaafkanmu ... dan.. kamu harus berubah, Minho..,”
Minho menyanggupi apa yang dikatakan oleh ayahnya. Dia bahagia melihat anak perempuan dan cucu kedua orangtuanya itu telah lahir.

Hari itu, mereka sudah bisa pulang...
Minho sangat bahagia melihat Aiko dan bayi mereka sehat. Tidak bisa dia menceritakan luapan perasaannya, hanya dia sibuk memandang, bercanda dan berani menggendong dengan bangganya bayi mereka di dalam kereta.
Aiko mencoba berusaha menerima Minho yang mengatakan bahwa mereka tidak punya banyak uang dan seadanya membawa bayi mereka.
Sebelum mereka pergi dari rumah sakit dan membayar semuanya, Minho terlihat galau dengan uang mereka yang tidak seberapa banyak.
”apa tidak masalah bagi si kecil kalau dibawa terlalu jauh dan kami hanya naik kereta??,” tanya Minho pada dokter anak.
Dokter mengatakan kalau anak mereka sehat dan baik. Berkali-kali Minho memastikan itu agar anak mereka ketika pulang tidak dalam keadaan sakit.
Aiko begitu senang Minho memperhatikan anak mereka, peduli dan sayang.

Sepanjang mereka berada di perjalanan menuju rumah, mereka berdua bahagia, berseri seri terus memandang wajah Hee Kyun alias Sakurako yang tidak menangis dan seperti mengerti kondisi kedua orangtuanya.
”benar kan... dia mirip sekali dengan ku?,” tanya Minho dengan suara genit sambil memegang pipi anaknya, di dalam kereta.
Beberapa orang terutama ibu-ibu melihat mereka.
Minho membalas dengan senyum pandangan mereka.

”kalian sepertinya bahagia sekali,” sapa seorang ibu separuh baya yang berpakaian kimono dan duduk di depan mereka.
Minho mencoba berbasa-basi kalau mereka baru saja bahagia dengan kelahiran Sakurako yang baru tiga hari.
Perempuan setengah baya itu mengucap selamat pada mereka dan Minho pun berterima kasih atas ucapan itu.
”sepertinya..kalian ini masih muda sekali..,” kata perempuan itu.
Minho mengangguk mengiyakan, bercerita kalau mereka memang masih kuliah tingkat dua.
Perempuan itu kaget, tapi Minho lagi-lagi membalasnya dengan senyum.
Dia tidak percaya dijaman seperti ini ada pernikahan yang sangat muda, namun terlihat bahagia dimatanya. Minho menghibur dirinya di depan perempuan itu
Aiko melihat mata Minho yang bahagia. Dia lalu berbisik pada Sakurako.
”otoo chan mu sangat bahagia... okaachan juga bahagia karena ada kamu, sakura-chan,”
Bayi itu diam saja, nyaman dalam kehangatan selimut dan juga dekapan tubuh Aiko.
                                    ...............................................
Kohashi kaget ketika melihat Minho, Aiko dan anak mereka pulang ke rumahnya.
Minho menunduk hormat pada semuanya.
”maaf... aku tidak tahu kalau semua datang kemarin.. aku terlalu lelah menemani Aiko chan,”
Nana,ibunya Aiko tetap ramah pada Minho. Dia menghampiri Minho dan mempersilahkan mereka beristirahat.
Kumiko langsung menghampiri Aiko.
Tapi... Kohashi memang masih kaku terhadap mereka.
”walau kamu menemani Aiko chan melahirkan...keputusan pengadilan tidak dapat diganggu gugat,” kata Kohashi, datar dan dingin.

Aiko langsung protest dan tidak setuju dengan perkataan ayahnya baru saja.
”sudahlah, suamiku... kita harusnya senang Aiko chan memiliki anak... aku ingin semua tuntutan terhadap Minho kun dicabut,” kata Nana.
”tidak bisa,” jawab Kohashi, singkat.
Minho menunduk hormat.
Aiko mulai menangis lagi.
”sudahlah, ayah... aku sudah memaafkan suamiku sendiri... mestinya ayah memaafkan juga”
”dia sudah tidak dapat ku andalkan sebagai pelindungmu,” jawab Kohashi dengan tegas.
Aiko berani menghampiri ayahnya dan menangis, mengguncang-guncang kedua bahu ayahnya.
”ayah.. aku mohon.. aku tidak ingin bercerai dengan Minho kun!,”
Pintanya begitu sedih, dia memang ingin semuanya damai, dia meyakinkan ayahnya sendiri kalau Minho sudah berubah dan mereka inginnbersama lagi.
”proses pengadilan tidak bisa diganggu gugat....mengertilah!,” bentak dan jawab Kohashi pada anaknya.
”Anata! Aku tidak setuju!,” balas isterinya, singkat.
Kohashi membentak semuanya.
Minho menunduk hormat dalam-dalam pada mertuanya itu.
”aku akan tetap mempertahankan argumen ku di depan pengadilan, kalau aku tidak ingin berpisah dari Aiko chan dan Sakurako chan... aku cinta mereka berdua.. ”
Dia terus menunduk.
Kohashi diam, wajahnya memerah menahan marah.
”sudahlah, ayah.. aku ingin bersama dia...aku sudah lelah...aku tidak ingin lagi menyelesaikan pengadilan,” ratap Aiko lagi.
”kita lihat lusa nanti,” balas Kohashi, singkat.
Semua terdiam. Terdiam. Tak ada satu katapun meluncur dari mulut mereka di ruangan itu. Dan... sakurako pun menangis.
Aiko meminta Sakurako dari tangan Kumiko. Dia lalu bicara di depan Kohashi.
”ayah semestinya mengerti kata hatiku dan Sakurako-chan... dia tidak mungkin dan tidak bisa kehilangan ayahnya”
Sementara, Minho masih terus menunduk hormat tanpa lelah pada Kohashi.
Kohashi menoleh pada Minho.
”kamu akan tetap begitu selamanya... proses pengadilan akan terus berjalan... aku tidak ingin lagi membicarakan masalah ini”
Minho sadar, dia tidak lagi diberikan kesempatan memperbaiki dirinya.
”Ayah jahat!,” teriak Aiko. Dia lalu mendekap Sakurako dan menangis.
Minho menghampiri isteri dan anaknya itu, lalu memeluknya. Air matanya ikut menetes keluar. Mungkin sampai lusa, akan jadi hari terakhir bagi dia untuk bersama isteri dan anaknya itu...

Bersambung ke part 40...