This is me....

Senin, Juni 01, 2015

Pernikahan ½ (Part 38: Apa Aku Bisa Hidup Tanpamu?)

Namanya juga cerita imajinasi... jangan pernah dimasukkan ke hati..

Minho dan Aiko sungguh nekat pergi ke apartment Tachibana. Sontak saja, Tachibana kaget dengan apa yang mereka pikirkan. Bagi lelaki itu, jelas saja sebuah masalah harus diselesaikan sampai tuntas, jangan lari darinya. Tachibana duduk diatas sofa ruang tamu apartmentnya. Dia jadi memikirkan tentang hidup pasangan muda itu. Sebagai orang yang juga pernah nikah diusia muda, dia menasehati keduanya agar bisa menghadapi hidup dengan berani, apa adanya dan penuh rencana.

”Tapi kan aku sama sekali tidak mau bercerai, Tachibana san.. jadi.. harus bagaimana??,” keluh Minho di depannya.
Tachibana cuma tertawa dengan pertanyaan anak muda itu baru saja. Dia mengerti, secara, dulu dia juga menikah di usia muda, walau lebih tua dari Minho dua tahun saja, yaitu di usia 20 tahun.
”Lalu.. apa kalau masih muda.. artinya kamu tidak bisa menghadapi masalah?? Dengan kamu menghadapi mertua mu itu dengan berani.. kamu bisa gertak dia di pengadilan..,”
Minho dan Aiko saling menoleh.
Lalu,” yang mau kabur sebenarnya bukan aku, Tachibana-san... tapi dia,” kata Minho, menunjuk pada Aiko.
Sekali lagi, Tachibana tertawa dengan pernyataan Minho baru saja.

”Ah.. kalian berdua sama saja, hahahaha!”
”Dalam situasi tidak jelas seperti ini.. kalau cepat selesai.. ya hadapi apa yang ada”, lanjutnya lagi.
Minho menggaruk kepalanya. Tentu saja dia ingin semua itu selesai.. tapi.. bagaimana jika keputusan terpaksa untuk bercerai?
”Kamu takut.. kalau bercerai dengannya??,” tanya Tachibana pada Minho.
Minho menjawab dengan garukan kepala. Dia memang galau, tidak ingin berpisah dari Aiko. Dia memang butuh teman setia.
Tachibana berdiri, lalu dia katakan kalau di kehidupan awal menikah di usia muda memang tantangan akan sangat berat. Sebenarnya, tidak terlalu berbeda, namun... apakah Minho dan Aiko suatu saat terpaksa akan mengikuti jejaknya dalam waktu dekat... sebuah perpisahan??
”aku tanyakan kepada kalian.. tetapi jawabannya.. ada di diri kalian.. aku sudah cukup banyak bercerita pada Minho kun.. apa yang sudah terjadi... dan aku rasa.. cukup menjadi pelajaran bagi kalian,”

Mereka berdua diam.
”lalu.. apakah kalian siap menghadapi kehidupan setelah ini?? Dimana mungkin.. jika kalian tidak berusaha sebaik mungkin.. malah akan berakhir tidak jelas.. dan...”
”ya sudah,” Tachibana berekspresi dengan mengangkat kedua tangannya sebahu, seperti orang yang tidak mau tahu lagi.
”aku tidak ingin semuanya berakhir buruk,” kata Minho, dengan intonasi yang antara harapan dan cemas.
Tachibana bergumam, lalu dia duduk lagi di depan mereka berdua.
”lalu.. kalau tidak ingin semuanya buruk.. tandanya ya mesti dihadapi,” balas Tachibana, santai.
Minho berfikir, begitu juga dengan Aiko. Mereka saling menoleh masing-masing.

Tachibana hanya tertawa.
”aku mengerti sekarang... ternyata kehidupan terpaksa dewasa itu tidak hanya terjadi sewaktu aku muda.. sekarang pun begitu, hahaha!”.
Sebenarnya, dia menyindir Minho dan Aiko.. kalau memang sudah memutuskan sesuatu, sebaiknya dipikir panjang dan pantang untuk menyerah kalah karena keputusan dari orang lain mempengaruhi hidup mereka.
”pulanglah... ,” kata Tachibana.
Minho kebingungan, bagaimana dia mau pulang.. sementara Aiko mengajaknya pergi dan ingin sekali mereka lari dari pengadilan dan tetap bersama.
”itu terserah kalian... mungkin aku masih berprinsip seperti seorang tua,” ujar Tachibana.
”walau aku cerai dengan isteriku..pada dasarnya.. aku susah tanpa dia,” lanjutnya lagi.
Minho dan Aiko jadi bingung lagi, berfikir ulang tentang itikad mereka ingin kabur dari rumah. Mereka lalu pamit dari apartment Tachibana tanpa memikirkan lagi ingin tinggal di penginapan kecil tradisional yang asri milik komikus terkenal itu.
                                                ...................................
Mereka menyusuri jalan menuju rumah susun Minho. Keduanya sebenarnya bingung, tidak ingin berpisah, tetapi sudah terlanjur harus menghadapi pengadilan.
”malam ini.. menginap disini saja ya...,” kata Minho, memulai pembicaraan menyusuri jalan itu.
Aiko mengangguk senang.
”aku memang kangen kamu,” ujarnya dengan tulus.
Minho senyum lalu menggenggam tangannya.
”pokoknya.. aku enggak mau kita berpisah.. dari awal.. aku yang memang sudah cinta mati sama kamu.. ”
Mereka berjalan pulang, tidak peduli sebenarnya Kumiko menelepon Aiko berkali-kali satu hari itu, meminta adiknya pulang sehabis ujian kuliah hari itu.
Mereka mencoba tertawa, bercanda di dalam flat itu.

”tapi.. bagaimana Aiko chan.. kalau ternyata, keputusan ayah.. kita harus pisah sampai 5-6 tahun ke depan??,” Minho malah jadi ingat lagi.
”aku tidak mau... aku ingin katakan pada ayah... kalau itu akan menyiksaku,” jawab Aiko dengan mantap.
Mereka sedang belajar bersama untuk ujian besok.
Aiko berani melihat mobile phone nya, mengatakan kalau Kumiko meneleponnya terus. Dan ketika itu, Kumiko masih meneleponnya. Lalu Minho mengambil mobile phone itu dari tangan Aiko dan menjawab pertanyaan Kumiko.

”Ya, Ane.. aku mengerti.. aku sama sekali tidak membawa Aiko chan kesini.. semua karena keinginannya sendiri,” balas Minho di telepon.
Kumiko mengira, cowok itu memaksa adiknya untuk tinggal bersamanya satu hari lebih itu.
”aku tidak mempermasalahkan kalian masih akan bersama atau tidak.. tapi ayah marah ketika Aiko chan sama sekali tidak membalas telepon dari kami... kami cemas.. takut dia melakukan hal yang tidak-tidak... kalian sedang ujian kan??,”
Minho mengangguk. Dia lebih suka memang bercerita dengan Kumiko, kakak ipar perempuannya itu, daripada dengan Akira, yang menurutnya masih kekanak-kanakan seperti dirinya.
”Ane.. apa benar.. kalau keluarga Kohashi memenangkan urusan ini.. aku dan Aiko chan.. akan bercerai??,” tanya Minho. Sikap mellow nya muncul lagi.
”ayah paling tidak suka dengan situasi yang berlarut-larut, Minho kun.. dewasalah... kamu memang sudah semestinya dewasa dan tahu kemana arah hidupmu.. ,” balas Kumiko.
” tidak bisa lagi semuanya dipikirkan dengan bantuan kami... atau bantuan kedua orangtuamu...,”
Minho diam. Dia mendengar baik-baik apa kata kakak iparnya itu, sampai perempuan itu selesai berbicara.

”Kalau Ane menjadi ayah.. apa yang akan Ane lakukan terhadap kami?? Memisahkan selamanya.. atau hanya sebentar saja.. sesuai dengan perjanjian awal??,” tanya Minho dengan suara yang agak mellow, masih dia coba menahan kesedihannya.
”aku tidak punya sikap setegas dan sekeras Ayah... namun.. sebagai orangtua... aku akan mencaritahu perasaan anakku sebenarnya terhadap pasangannya,” jawab Kumiko.
”ya... sebaiknya memang seperti itu, Ane...,” ujar Minho.
”lalu.. apa kamu selalu berharap kalau ayah kami akan memaafkanmu??,” tanya Kumiko.
Minho berada diambang optimis dan pesimis menghadapi hal itu. Dia bukan tipe lelaki muda yang bisa berdiri sendiri, dia masih membutuhkan orang lain untuk mendukungnya. Takkan bisa dia berjalan sendirian, terutama dukungan itu datang dari kedua orangtuanya. Dengan kemarin ayahnya sudah menyatakan tidak lagi bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya, sebenarnya dia sedih, bingung, stress.. bagaimana nanti dia bisa bertahan dengan hidupnya. Berputar-putar terus dia memikirkan hal itu.. yang kalau dia akhirnya gagal.. tidak tahu harus bagaimana.
Minho terus berbicara kata hatinya pagi itu pada Kumiko. Belum lagi, dalam waktu dekat, mereka akan segera menghadapi kelahiran bayi mereka. Dan sudah pasti, Minho mengharapkan hatinya damai dengan sedikit masalah dan bisa berkumpul dengan keluarga kecilnya.

”karena kamu kemarin mengindahkan kesepakatan itu, makanya ayah marah sekali padamu, Minho kun.. ayah kami sebenarnya masih punya hati... ,” kata Kumiko.
”bisakah kamu melakukan perjanjian satu kali lagi dengan beliau?? Tentu saja, dengan keyakinan dan optimisme kamu.. aku tidak ingin.. anak kalian sama sekali tidak kenal dengan orangtuanya,”
Minho menyanggupi. Lalu dia bertanya pada Kumiko, kapan ayah mereka datang kembali. Namun Kumiko katakan, ayah mereka memang baru pulang saat sidang kedua selesai.
Minho galau.. dia ingin semuanya beres, dia berjanji pada Kumiko tidak akan rela jika semua lepas darinya.
”kalau begitu.. kamu usahakan yang terbaik, tentang ayah dengan halus.. jangan dengan kasar.. ayah sudah terlalu biasa dengan itu semua,” kata Kumiko.
Minho mengangguk menyanggupi.
                                                .........................................
”jadi.. anata (suamiku sayang)... mau kembali ke rumah dan bicara dengan otoosan (ayah)??,” tanya Aiko ketika mereka sudah pulang ujian sore itu.
Minho mengangguk mantap. Dia sudah bilang pada Aiko, apa hasil pembicaraannya dengan Kumiko. Mereka lalu duduk ditaman seperti biasa.
”kemungkinan.. dua minggu lagi.. dia lahir loh,” Aiko senyum pada Minho sambil mereka duduk menikmati sore menjelang malam dengan dua cup teh hijau bubble yang dingin. Waktu sudah masuk awal musim panas.
”aku masih punya tabungan kok.. kamu jangan khawatir,” balas Minho.
”aku kan sudah bilang... aku ingin jadi kepala keluarga yang bertanggung jawab,” lanjutnya lagi.
anata o shinjiteru, anata... ,” balas Aiko dengan lembut.
Minho senyum bahagia.
”lalu.. jadinya.. cowok atau cewek??,”
”umm.. kata Ikeda sensei (dokter) sih... cewek..,” balas Aiko dengan senangnya.
”wah.. doaku terkabul... yes!,” kata Minho dengan semangat.
”aku sudah siapkan dia nama.. tapi.. nama korea loh,” lanjutnya lagi.
Aiko langsung agak ngotot (maksa),” ih.. aku maunya nama jepang,.. aku mau namakan dia Mai”
Minho jadi ikutan ngotot dan enggak mau kalah.
”eh.. dame da (tidak bisa)... dia kan akan punya nama dari aku.. enggak bisa dong, ah... ”
Aiko cemberut, dia melipat kedua tangannya, memang kadang dia kesal kalau pendapatnya dikalahkan Minho dan dia tidak bisa menolak.
Tapi Minho malah tertawa lalu mencium pipinya.
”eh.. nanti saja deh.. dibicarakannya ya? Ini masih ulangan loh.. memang enggak mau kalau nilai kita bagus??? Aku harus punya nilai bagus.. supaya beasiswaku tidak hilang..chu”
”ya.. tapi aku bilang.. kalau aku mau nama jepang,” balas Aiko dengan cemberut.
”eh... ya sudah deh.. nanti ya?? Kita pulang dulu.. kamu sudah bilang kan.. pada ayah.. kalau menginap di rumah susun??,” tanya Minho.
Aiko mengangguk, mereka pulang dengan rasa senang karena ujian kuliah hari itu bisa diselesaikan bersama.
                                                .............................
Ternyata, ketika mereka pulang ke rumah susun, Minho malah mendapat telepon langsung dari Kohashi. Dia berharap, kalau ayah mertuanya itu akan menangguhkan persidangan yang kedua. Namun, sama sekali tidak disetujui oleh orangtua itu.
”sudah ku katakan...aku tidak ingin mengundurkan semuanya,” ujar Kohashi dengan tegas.
Minho masih memohon. Lalu Aiko merebut hp yang sedang dipegang Minho.
”ayah... ini aku... ayah mestinya tahu.. kalau aku sayang dengan Minho kun... ayah mestinya berfikir.. kalau sebentar lagi cucu ayah akan lahir... kenapa justru ayah ingin sekali Minho kun pisah dariku??,”
”semua itu, agar dia bisa belajar untuk menghargai mu,” balas Kohashi dengan nada dingin.
”Minho kun...sedang berusaha, Ayah.. percaya aku,” balas Aiko. Suaranya ditekan yang biasanya terkesan manja dengan ayahnya sendiri.
”sudah berapa kali dia mencoba..ternyata hasilnya sama saja??,” tanya Kohashi. Dia ingin mematikan jawaban anaknya sendiri.
Aiko diam sejenak. Namun, dia tetap harus menjawab pertanyaan ayahnya itu.
”aku.. tetap percaya Minho kun.. walau mungkin ayah tidak akan pernah menganggap aku sebagai anak ayah sendiri,”

Kohashi kaget. Seumur dia merawat anak bungsunya itu, belum pernah dia menemukan kata itu keluar dari mulutnya. Seperti sebuah usaha menentang keputusannya sebagai orangtua dan dihormati.
”berani sekali kamu melawan ayahmu sendiri!,” bentak Kohashi, masih ditelepon.
Mata Aiko langsung berkaca-kaca. Dia memang tidak tahan dibentak ayahnya. Tapi, perasannya pada Minho tetap kuat.
Dia menangis tersedu-sedu.
”ayah.. maafkan aku... memang itu perasaanku sekarang,”
Minho terpaku. Dia tidak menyangka kalau isterinya memang tidak ingin berpisah darinya dan dia duluan yang berani bicara.
Minho lalu senyum melihat Aiko yang membela dirinya di telepon, dia meminta telepon itu lagi.
”ayah...sudah tahu kan?? Kalau sebenarnya.. kami masih saling cinta??,” kata Minho.
”aku tidak akan berpisah dengan Aiko chan.. aku sudah janji... kalau ayah tidak setuju.. maka aku cukup berjanji pada Aiko chan dan anak kami..cucu ayah juga,”
”proses pengadilan tetap berjalan...silahkan kamu mau melakukan apa saja.. selamat malam,” Kohashi pun mengakhiri pembicaraannya.

Aiko masih menangis tersedu-sedu. Minho memeluknya, mencoba menenangkannya.
”apapun yang terjadi.. aku tetap cinta Aiko-chan... ayah tidak berhak turut campur atas semuanya,” kata Minho, masih memeluk Aiko.
”kenapa ayah tidak mau menerima perkataanku??,” balas Aiko lagi.
Minho senyum saja dan mengelus rambut panjang Aiko. Dia terus menenangkan pasangannya itu agar tidak terpengaruh terhadap kandungannya.
Hora (hai)... aku yakin.. kita bisa melalui semuanya,” senyum Minho, melepaskan pelukannya dan mengusap air mata yang jatuh dikedua pipi Aiko.
”besok kita masih ujian.. kita harus belajar... jangan sampai nilai mu turun,” lanjutnya lagi.
Aiko mengangguk. Dia lalu berjalan ke kamar mengambil buku dan kembali lagi ke meja depan, duduk di depan Minho yang sedang belajar juga.
Minho beberapa kali memandangnya, lalu tersenyum.
Ganbatte... hwaiting, Aiko chan! Kamu ini perempuan pintar... jadi pasti anak kita pintar loh,” kata Minho.
Wajah Aiko sudah mulai bisa cerah lagi.
”ummm.. anata juga pintar... ung.. tahu kan.. kalau anak perempuan itu lebih banyak seperti ayahnya?? Jadi.. pasti nanti mirip deh,”
Minho cekikikan, dia jadi ge er (gede rasa) sendiri.
”kalau mirip aku...wah... beruntung dong,” dia malah menggoda Aiko.
Aiko jadi malah yang cemberut.
”mentang mentang aku jelek ya?? Gitu??”
Minho tertawa lebar, lalu mendekatkan hidungnya ke hidung Aiko.
”kok tahu sih? Merasa ya?? Hehehe”
warui da yo (jelek deh),” balas Aiko.
joudan da yo... Aiko chan ga totemo kirei... hontou da (bercanda.. Aiko cantik kok..sungguh),” balas Minho.

Lalu dia mencium pasangannya itu, dan memeluk Aiko, walau berjarak beberapa puluh centimeter karena saling bersebrangan meja.
”Aiko chan.. sungguh berharga bagiku.. aku minta maaf kalau aku seperti anak-anak.. tapi aku sadar.. inilah aku”
”aku berterima kasih padamu.. kamu masih cinta aku,” lanjutnya lagi.
”apapun, anata... aku menghargaimu... sepertinya memang aku naive ya?? Tapi..aku memang cinta kamu juga kok... ,” balas Aiko.
”ya.. kalau begitu... enggak ada lagi janji-janji mau pisah ya??,” tanya Minho.
Aiko meminta Minho melepaskan pelukannya karena dia susah dengan perutnya dan setengah berdiri.
”ah... bukannya anata sendiri kan... yang waktu itu buat kesepakatan seperti itu??,”
Minho cengengesan, dia malu kalau dia sendiri yang memulai kesalahan itu.
”Tegur aku mulai sekarang, kalau aku salah ya, Aiko chan,” katanya, sambil cengengesan dan menggaruk kepalanya.
Aiko mengangguk mantap.
”Tapi...aku minta sesuatu dari anata,”
”apa itu??,” balas Minho.
”jawab pertanyaanku....,” kata Aiko.
”pertanyaan apa??,” tanya Minho lagi.
”seberapa kamu tidak bisa hidup tanpa ku??,” senyum Aiko.
Minho malah memeluknya lagi.
”seberapa?? Besar sekali.. seperti dadaku berkecamuk ketika pertama kali aku jadi ketua kelompok di perkenalan kampus, ketika pertama kali kita pacaran... ketika aku tidak tahu harus berkata apa waktu nembak kamu jadi pacarku...pokoknya aku enggak bisa bayangkan.. gak bisa ceritakan... tapi.. itu jelas ada dihatiku,”
”terima kasih,” balas Aiko.
Minho lama memeluknya, sebelum akhirnya dia puas, melepaskan kembali pelukannya lalu mereka belajar bersama.
Aiko menemani Minho belajar sampai dia benar-benar ketiduran, menaruh kepalanya diatas meja rendah, karena pelajaran yang terlalu berat.
Minho senyum padanya, lalu menggotongnya ke kamar, membaringkannya.
oyasumi, Aiko chan... saranghae.. i love you,” Minho mencium pipinya.


Bersambung ke part 39….