Namanya juga cerita imajinasi... jangan pernah dimasukkan ke hati..
”Tapi kan aku sama sekali tidak mau
bercerai, Tachibana san.. jadi.. harus bagaimana??,” keluh Minho di depannya.
Tachibana cuma tertawa dengan pertanyaan
anak muda itu baru saja. Dia mengerti, secara, dulu dia juga menikah di usia
muda, walau lebih tua dari Minho dua tahun saja, yaitu di usia 20 tahun.
”Lalu.. apa kalau masih muda.. artinya
kamu tidak bisa menghadapi masalah?? Dengan kamu menghadapi mertua mu itu
dengan berani.. kamu bisa gertak dia di pengadilan..,”
Minho dan Aiko saling menoleh.
Lalu,” yang mau kabur sebenarnya bukan
aku, Tachibana-san... tapi dia,” kata Minho, menunjuk pada Aiko.
Sekali lagi, Tachibana tertawa dengan
pernyataan Minho baru saja.
”Ah.. kalian berdua sama saja, hahahaha!”
”Dalam situasi tidak jelas seperti ini.. kalau cepat selesai.. ya hadapi apa yang ada”, lanjutnya lagi.
Minho menggaruk kepalanya. Tentu saja dia
ingin semua itu selesai.. tapi.. bagaimana jika keputusan terpaksa untuk bercerai?
”Kamu takut.. kalau bercerai dengannya??,” tanya Tachibana pada
Minho.
Minho menjawab dengan garukan kepala. Dia
memang galau, tidak ingin berpisah dari Aiko. Dia memang butuh teman setia.
Tachibana berdiri, lalu dia katakan kalau
di kehidupan awal menikah di usia muda memang tantangan akan sangat berat.
Sebenarnya, tidak terlalu berbeda, namun... apakah Minho dan Aiko suatu saat
terpaksa akan mengikuti jejaknya dalam waktu dekat... sebuah perpisahan??
”aku tanyakan kepada kalian.. tetapi
jawabannya.. ada di diri
kalian.. aku sudah cukup banyak bercerita pada Minho kun.. apa yang sudah
terjadi... dan aku rasa.. cukup menjadi pelajaran bagi kalian,”
Mereka berdua diam.
”lalu.. apakah kalian siap menghadapi
kehidupan setelah ini?? Dimana
mungkin.. jika kalian tidak berusaha sebaik mungkin.. malah akan berakhir tidak
jelas.. dan...”
”ya sudah,” Tachibana berekspresi dengan
mengangkat kedua tangannya sebahu, seperti orang yang tidak mau tahu lagi.
”aku tidak ingin semuanya berakhir buruk,”
kata Minho, dengan intonasi yang antara harapan dan cemas.
Tachibana bergumam, lalu dia duduk lagi di
depan mereka berdua.
”lalu.. kalau tidak ingin semuanya buruk..
tandanya ya mesti dihadapi,” balas Tachibana, santai.
Minho berfikir, begitu juga dengan Aiko.
Mereka saling menoleh masing-masing.
Tachibana hanya tertawa.
”aku mengerti sekarang... ternyata
kehidupan terpaksa dewasa itu tidak hanya terjadi sewaktu aku muda.. sekarang
pun begitu, hahaha!”.
Sebenarnya, dia menyindir Minho dan Aiko..
kalau memang sudah memutuskan sesuatu, sebaiknya dipikir panjang dan pantang
untuk menyerah kalah karena keputusan dari orang lain mempengaruhi hidup mereka.
”pulanglah... ,” kata Tachibana.
Minho kebingungan, bagaimana dia mau
pulang.. sementara Aiko mengajaknya pergi dan ingin sekali mereka lari dari
pengadilan dan tetap bersama.
”itu terserah kalian... mungkin aku masih
berprinsip seperti seorang tua,” ujar Tachibana.
”walau aku cerai dengan isteriku..pada
dasarnya.. aku susah tanpa dia,” lanjutnya lagi.
Minho dan Aiko jadi bingung lagi, berfikir
ulang tentang itikad mereka ingin kabur dari rumah. Mereka lalu pamit dari
apartment Tachibana tanpa memikirkan lagi ingin tinggal di penginapan kecil
tradisional yang asri milik komikus terkenal itu.
...................................
Mereka menyusuri jalan menuju rumah susun
Minho. Keduanya sebenarnya bingung, tidak ingin berpisah, tetapi sudah
terlanjur harus menghadapi pengadilan.
”malam ini.. menginap disini saja ya...,”
kata Minho, memulai pembicaraan menyusuri jalan itu.
Aiko mengangguk senang.
”aku memang kangen kamu,” ujarnya dengan
tulus.
Minho senyum lalu menggenggam tangannya.
”pokoknya.. aku enggak mau kita berpisah..
dari awal.. aku yang memang sudah cinta mati sama kamu.. ”
Mereka berjalan pulang, tidak peduli
sebenarnya Kumiko menelepon Aiko berkali-kali satu hari itu, meminta adiknya
pulang sehabis ujian kuliah hari itu.
Mereka mencoba tertawa, bercanda di dalam
flat itu.
”tapi.. bagaimana Aiko chan.. kalau
ternyata, keputusan ayah.. kita harus pisah sampai 5-6 tahun ke depan??,” Minho
malah jadi ingat lagi.
”aku tidak mau... aku ingin katakan pada
ayah... kalau itu akan menyiksaku,” jawab Aiko dengan mantap.
Mereka sedang belajar bersama untuk ujian
besok.
Aiko berani melihat mobile phone nya, mengatakan kalau Kumiko meneleponnya terus. Dan
ketika itu, Kumiko masih meneleponnya. Lalu Minho mengambil mobile phone itu
dari tangan Aiko dan menjawab pertanyaan Kumiko.
”Ya, Ane..
aku mengerti.. aku sama sekali tidak membawa Aiko chan kesini.. semua karena
keinginannya sendiri,” balas Minho di telepon.
Kumiko mengira, cowok itu memaksa adiknya
untuk tinggal bersamanya satu hari lebih itu.
”aku tidak mempermasalahkan kalian masih
akan bersama atau tidak.. tapi
ayah marah ketika Aiko chan sama sekali tidak membalas telepon dari kami... kami
cemas.. takut dia melakukan
hal yang tidak-tidak... kalian sedang ujian kan??,”
Minho mengangguk. Dia lebih suka memang
bercerita dengan Kumiko, kakak ipar perempuannya itu, daripada dengan Akira,
yang menurutnya masih kekanak-kanakan seperti dirinya.
”Ane.. apa benar.. kalau keluarga Kohashi
memenangkan urusan ini.. aku dan Aiko chan.. akan bercerai??,” tanya Minho.
Sikap mellow nya muncul lagi.
”ayah paling tidak suka dengan situasi
yang berlarut-larut, Minho kun.. dewasalah... kamu memang sudah semestinya
dewasa dan tahu kemana arah hidupmu.. ,” balas Kumiko.
” tidak bisa lagi semuanya dipikirkan
dengan bantuan kami... atau bantuan kedua orangtuamu...,”
Minho diam. Dia mendengar baik-baik apa
kata kakak iparnya itu, sampai perempuan itu selesai berbicara.
”Kalau Ane menjadi ayah.. apa yang akan
Ane lakukan terhadap kami?? Memisahkan selamanya.. atau hanya sebentar saja..
sesuai dengan perjanjian awal??,” tanya Minho dengan suara yang agak mellow,
masih dia coba menahan kesedihannya.
”aku tidak punya sikap setegas dan sekeras
Ayah... namun.. sebagai orangtua... aku akan mencaritahu perasaan anakku
sebenarnya terhadap pasangannya,” jawab Kumiko.
”ya... sebaiknya memang seperti itu,
Ane...,” ujar Minho.
”lalu.. apa kamu selalu berharap kalau
ayah kami akan memaafkanmu??,” tanya Kumiko.
Minho berada diambang optimis dan pesimis
menghadapi hal itu. Dia bukan tipe lelaki muda yang bisa berdiri sendiri, dia
masih membutuhkan orang lain untuk mendukungnya. Takkan bisa dia berjalan
sendirian, terutama dukungan itu datang dari kedua orangtuanya. Dengan kemarin
ayahnya sudah menyatakan tidak lagi bertanggungjawab atas apa yang
dilakukannya, sebenarnya dia sedih, bingung, stress.. bagaimana nanti dia bisa bertahan
dengan hidupnya. Berputar-putar terus dia memikirkan hal itu.. yang kalau dia
akhirnya gagal.. tidak tahu harus bagaimana.
Minho terus berbicara kata hatinya pagi
itu pada Kumiko. Belum lagi, dalam waktu dekat, mereka akan segera menghadapi
kelahiran bayi mereka. Dan sudah pasti, Minho mengharapkan hatinya damai dengan
sedikit masalah dan bisa berkumpul dengan keluarga kecilnya.
”karena kamu kemarin mengindahkan
kesepakatan itu, makanya ayah marah sekali padamu, Minho kun.. ayah kami
sebenarnya masih punya hati... ,” kata Kumiko.
”bisakah kamu melakukan perjanjian satu
kali lagi dengan beliau?? Tentu saja, dengan keyakinan dan optimisme kamu.. aku
tidak ingin.. anak kalian
sama sekali tidak kenal dengan orangtuanya,”
Minho menyanggupi. Lalu dia bertanya pada
Kumiko, kapan ayah mereka datang kembali. Namun Kumiko katakan, ayah mereka
memang baru pulang saat sidang kedua selesai.
Minho galau.. dia ingin semuanya beres,
dia berjanji pada Kumiko tidak akan rela jika semua lepas darinya.
”kalau begitu.. kamu usahakan yang
terbaik, tentang ayah dengan halus.. jangan dengan kasar.. ayah sudah terlalu
biasa dengan itu semua,” kata Kumiko.
Minho mengangguk menyanggupi.
.........................................
”jadi.. anata (suamiku sayang)... mau kembali ke rumah dan bicara dengan otoosan (ayah)??,” tanya Aiko ketika
mereka sudah pulang ujian sore itu.
Minho mengangguk mantap. Dia sudah bilang pada Aiko, apa hasil
pembicaraannya dengan Kumiko. Mereka lalu duduk ditaman seperti biasa.
”kemungkinan.. dua minggu lagi.. dia lahir
loh,” Aiko senyum pada Minho sambil mereka duduk menikmati sore menjelang malam
dengan dua cup teh hijau bubble yang dingin. Waktu sudah masuk awal musim
panas.
”aku masih punya tabungan kok.. kamu
jangan khawatir,” balas Minho.
”aku kan sudah bilang... aku ingin jadi
kepala keluarga yang bertanggung jawab,” lanjutnya lagi.
”anata
o shinjiteru, anata... ,” balas Aiko dengan lembut.
Minho senyum bahagia.
”lalu.. jadinya.. cowok atau cewek??,”
”umm.. kata Ikeda sensei (dokter) sih... cewek..,” balas Aiko dengan senangnya.
”wah.. doaku terkabul... yes!,” kata Minho
dengan semangat.
”aku sudah siapkan dia nama.. tapi.. nama
korea loh,” lanjutnya lagi.
Aiko langsung agak ngotot (maksa),” ih.. aku maunya nama jepang,.. aku mau namakan dia
Mai”
Minho jadi ikutan ngotot dan enggak mau
kalah.
”eh.. dame
da (tidak bisa)... dia kan akan punya nama dari aku.. enggak bisa dong,
ah... ”
Aiko cemberut, dia melipat kedua
tangannya, memang kadang dia kesal kalau pendapatnya dikalahkan Minho dan dia
tidak bisa menolak.
Tapi Minho malah tertawa lalu mencium
pipinya.
”eh.. nanti saja deh.. dibicarakannya ya?
Ini masih ulangan loh.. memang enggak mau kalau nilai kita bagus??? Aku harus
punya nilai bagus.. supaya beasiswaku tidak hilang..chu”
”ya.. tapi aku bilang.. kalau aku mau nama jepang,” balas Aiko
dengan cemberut.
”eh... ya sudah deh.. nanti ya?? Kita
pulang dulu.. kamu sudah
bilang kan.. pada ayah.. kalau menginap di rumah susun??,” tanya Minho.
Aiko mengangguk, mereka pulang dengan rasa
senang karena ujian kuliah hari itu bisa diselesaikan bersama.
.............................
Ternyata, ketika mereka pulang ke rumah
susun, Minho malah mendapat telepon langsung dari Kohashi. Dia berharap, kalau
ayah mertuanya itu akan menangguhkan persidangan yang kedua. Namun, sama sekali
tidak disetujui oleh orangtua itu.
”sudah ku katakan...aku tidak ingin
mengundurkan semuanya,” ujar Kohashi dengan tegas.
Minho masih memohon. Lalu Aiko merebut hp
yang sedang dipegang Minho.
”ayah... ini aku... ayah mestinya tahu..
kalau aku sayang dengan Minho kun... ayah mestinya berfikir.. kalau sebentar
lagi cucu ayah akan lahir... kenapa justru ayah ingin sekali Minho kun pisah
dariku??,”
”semua itu, agar dia bisa belajar untuk
menghargai mu,” balas Kohashi dengan nada dingin.
”Minho kun...sedang berusaha, Ayah..
percaya aku,” balas Aiko. Suaranya ditekan yang biasanya terkesan manja dengan
ayahnya sendiri.
”sudah berapa kali dia mencoba..ternyata
hasilnya sama saja??,” tanya Kohashi. Dia ingin mematikan jawaban anaknya
sendiri.
Aiko diam sejenak. Namun, dia tetap harus
menjawab pertanyaan ayahnya itu.
”aku.. tetap percaya Minho kun.. walau
mungkin ayah tidak akan pernah menganggap aku sebagai anak ayah sendiri,”
Kohashi kaget. Seumur dia merawat anak
bungsunya itu, belum pernah dia menemukan kata itu keluar dari mulutnya.
Seperti sebuah usaha menentang keputusannya sebagai orangtua dan dihormati.
”berani sekali kamu melawan ayahmu
sendiri!,” bentak Kohashi, masih ditelepon.
Mata Aiko langsung berkaca-kaca. Dia memang tidak tahan dibentak ayahnya. Tapi,
perasannya pada Minho tetap kuat.
Dia menangis tersedu-sedu.
”ayah.. maafkan aku... memang itu
perasaanku sekarang,”
Minho terpaku. Dia tidak menyangka kalau
isterinya memang tidak ingin berpisah darinya dan dia duluan yang berani
bicara.
Minho lalu senyum melihat Aiko yang
membela dirinya di telepon, dia meminta telepon itu lagi.
”ayah...sudah tahu kan?? Kalau
sebenarnya.. kami masih
saling cinta??,” kata Minho.
”aku tidak akan berpisah dengan Aiko
chan.. aku sudah janji... kalau ayah tidak setuju.. maka aku cukup berjanji
pada Aiko chan dan anak kami..cucu ayah juga,”
”proses pengadilan tetap
berjalan...silahkan kamu mau melakukan apa saja.. selamat malam,” Kohashi pun
mengakhiri pembicaraannya.
Aiko masih menangis tersedu-sedu. Minho
memeluknya, mencoba menenangkannya.
”apapun yang terjadi.. aku tetap cinta
Aiko-chan... ayah tidak berhak turut campur atas semuanya,” kata Minho, masih
memeluk Aiko.
”kenapa ayah tidak mau menerima
perkataanku??,” balas Aiko lagi.
Minho senyum saja dan mengelus rambut
panjang Aiko. Dia terus
menenangkan pasangannya itu agar tidak terpengaruh terhadap kandungannya.
”Hora
(hai)... aku yakin.. kita bisa melalui semuanya,” senyum Minho, melepaskan
pelukannya dan mengusap air mata yang jatuh dikedua pipi Aiko.
”besok kita masih ujian.. kita harus
belajar... jangan sampai nilai mu turun,” lanjutnya lagi.
Aiko mengangguk. Dia lalu berjalan ke
kamar mengambil buku dan kembali lagi ke meja depan, duduk di depan Minho yang
sedang belajar juga.
Minho beberapa kali memandangnya, lalu
tersenyum.
”Ganbatte...
hwaiting, Aiko chan! Kamu ini perempuan pintar... jadi pasti anak kita
pintar loh,” kata Minho.
Wajah Aiko sudah mulai bisa cerah lagi.
”ummm.. anata juga pintar... ung.. tahu kan.. kalau anak perempuan itu
lebih banyak seperti ayahnya?? Jadi.. pasti nanti mirip deh,”
Minho cekikikan, dia jadi ge er (gede rasa) sendiri.
”kalau mirip aku...wah... beruntung dong,”
dia malah menggoda Aiko.
Aiko jadi malah yang cemberut.
”mentang mentang aku jelek ya?? Gitu??”
Minho tertawa lebar, lalu mendekatkan hidungnya
ke hidung Aiko.
”kok tahu sih? Merasa ya?? Hehehe”
”warui
da yo (jelek deh),” balas Aiko.
”joudan
da yo... Aiko chan ga totemo kirei... hontou da (bercanda.. Aiko cantik
kok..sungguh),” balas Minho.
Lalu dia mencium pasangannya itu, dan
memeluk Aiko, walau berjarak beberapa puluh centimeter karena saling
bersebrangan meja.
”Aiko chan.. sungguh berharga bagiku.. aku
minta maaf kalau aku seperti anak-anak.. tapi aku sadar.. inilah aku”
”aku berterima kasih padamu.. kamu masih
cinta aku,” lanjutnya lagi.
”apapun, anata... aku menghargaimu... sepertinya memang aku naive ya??
Tapi..aku memang cinta kamu juga kok... ,” balas Aiko.
”ya.. kalau begitu... enggak ada lagi
janji-janji mau pisah ya??,” tanya Minho.
Aiko meminta Minho melepaskan pelukannya
karena dia susah dengan perutnya dan setengah berdiri.
”ah... bukannya anata sendiri kan... yang
waktu itu buat kesepakatan seperti itu??,”
Minho cengengesan, dia malu kalau dia
sendiri yang memulai kesalahan itu.
”Tegur aku mulai sekarang, kalau aku salah
ya, Aiko chan,” katanya, sambil cengengesan dan menggaruk kepalanya.
Aiko mengangguk mantap.
”Tapi...aku minta sesuatu dari anata,”
”apa itu??,” balas Minho.
”jawab pertanyaanku....,” kata Aiko.
”pertanyaan apa??,” tanya Minho lagi.
”seberapa kamu tidak bisa hidup tanpa
ku??,” senyum Aiko.
Minho malah memeluknya lagi.
”seberapa?? Besar sekali.. seperti dadaku
berkecamuk ketika pertama kali aku jadi ketua kelompok di perkenalan kampus,
ketika pertama kali kita pacaran... ketika aku tidak tahu harus berkata apa waktu
nembak kamu jadi pacarku...pokoknya aku enggak bisa bayangkan.. gak bisa
ceritakan... tapi.. itu jelas ada dihatiku,”
”terima kasih,” balas Aiko.
Minho lama memeluknya, sebelum akhirnya
dia puas, melepaskan kembali pelukannya lalu mereka belajar bersama.
Aiko menemani Minho belajar sampai dia
benar-benar ketiduran, menaruh kepalanya diatas meja rendah, karena pelajaran
yang terlalu berat.
Minho senyum padanya, lalu menggotongnya
ke kamar, membaringkannya.
”oyasumi, Aiko chan... saranghae.. i love you,”
Minho mencium pipinya.
Bersambung
ke part 39….